Curhat Bini Wartawan dan Komentator Bola

Beberapa hari ini ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Tsahelah! Sok mikirin negara beud! Wkwkwkwkwk.... Etapi, serius, nih! Agak-agak nelongso gimanaaa gitu. Ihik.

Berawal dari sebuah twit yang nggak sengaja kebaca yang isinya ngetawain kerjaan seseorang. Bukan ngetawain sih, cuma ngenye' gitu. Katanya, "Komentator bola kan taunya cuma komentar doang, coba suruh main bola, mana bisaa! Hahahaha!" Lah, ekeh sensiiii, booo! Wakakakakakkkk....

Ya, kenalkeun, saya teh istri seorang wartawan sepakbola yang kebetulan suka jadi komentator sepakbola di tipi-tipi. Aduh ya, gitu aja sensi gue? Hihihihihi, ya gimana, yaaa! Bukan masalah bisa atau nggaknya main bola sih yang jadi masalah. Soalnya kalau begitu, emang suami saya (kayanya) nggak jago-jago amat sih main bola. Hahahahaa.... Tapi nada ngenye' dalam ucapan itu (yang bukan kebetulan) bukan pertama kalinya saya dengar. Jadi saya mau cerita-cerita dikit nih tentang seluk-beluk dunia komentator sepakbola yang diarungi oleh suami saya. Bukan buat membela, karena menurut saya nggak ada yang perlu dibela, tapi sekedar buat menambah pengetahuan aja buat kita semua.

Suami saya kerja enam hari seminggu dengan hari libur satu-satunya tiap minggu adalah hari Sabtu. Hari Minggu? Kerjaaa! Jam kerja? Jangan samain dengan orang kerja kantoran. Setiap hari dia berangkat ke kantor jam 14.00 dan baru pulang sampai rumah jam 02.00 pagi, setiap hari! Gaji gimana gaji? Heuheuheu...ya alhamdulillaah, nggak berlebih tapi cukup kalau mengandalkan gaji thok. Nah, dari sinilah cerita seputar komentator pertandingan bola saya mulai.

Alhamdulillah, sejak beberapa tahun yang lalu suami diajak untuk mengisi acara pertandingan bola di televisi sebagai komentator. Lumayan buat nambah-nambah uang jajan dan tabungan nyicil rumah. Ihik. Sejak saat itu, saya mulai terbiasa melihat suami saya lebih lama berada di depan komputer rumah, berjam-jam sebelum dia berangkat kerja dan beberapa waktu setelah dia sampai rumah.

Untuk menjadi komentator satu pertandingan, paling tidak dia harus mencari data seputar dua team yang bertanding. Bukan perkara mudah, walaupun dibantu dengan fasilitas internet (nggak kebayang gimana komentator jaman dulu ngumpulin datanya). Setelah data terkumpul, bukan berarti urusan selesai. Dia harus menguasai data-data tersebut agar nanti saat on air dia percaya diri berbicara dan menguasai bahan. Artinya, ada beberapa jam lagi dihabiskan untuk membaca-baca dan menghafal data-data yang sudah dikumpulkannya tadi.

Coba bayangkan, kalau dia harus menjadi komentator di pertandingan pukul 02.00 pagi, itu artinya sehari sebelumnya dia harus bangun lebih pagi (dengan kondisi malam sebelumnya dia hanya tidur sekitar 3 jam) untuk mencari dan mengumpulkan data. Bangun pukul 05.00 pagi langsung kasak-kusuk untuk mengantar anak sekolah, lalu lanjut mencari data di depan komputer. Baca-baca, sampai siang...tadaaa, ternyata sudah harus berangkat kerja. Jam 14.00 siang dia berangkat kerja. Dari kantor nanti dia akan langsung berangkat ke studio televisi dimaksud sejak pukul 00.00. Siaran pertandingan bola itu bisa makan hampir 3 jam sendiri. Pukul 02.00 pagi pertandingan dimulai, maka dia baru bisa keluar studio sekitar pukul 05.00 subuh. Sampai rumah? Kalau lagi beruntung bisa jam 06.00, kalau lagi apes, bisa jam 08.00. Kalau waktunya pas, biasanya dia langsung mengantar anak kami ke sekolah, lagi! Kapan tidurnya? Ya, kapan? Ya nggak tidur. Kapan ketemu sama anak-anaknya? Ya, diusahakan sesempatnya, biar pun cuma sebentar.

Iya sih, komentator bola memang belum tentu bisa main bola, tapi menertawakan pekerjaannya apalagi ngenye' dikait-kaitkan dengan kemampuannya bermain bola, seolah-olah they don't walk the talk atau cuma bisa omong doang itu rasanya.... :( Suami saya bisa "omong doang" di televisi sebagai komentator pertandingan sepakbola itu bukan cuma modal "omong doang". Perjuangan dan pengorbanannya sebelum dia bisa duduk manis dan ngomong di depan kamera itu, ya seperti tadi yang saya ceritakan itulah kira-kira.

Saya jadi ingat waktu dulu masih bekerja sebagai seorang receptionist kantor. Banyak juga yang merendahkan profesi saya. "Nggak bosen lo kerja kayak gini? Cuma duduk-duduk doang, nggak ngapa-ngapain!" Rasanya waktu itu pengen geplak tu orang. "Cuma duduk-duduk doang" itu emang salah satu tugas saya sebagai receptionist. Karena kalau saya nggak "duduk-duduk doang" di meja receptionist berarti tidak ada yang menyambut tamu kantor.

Sejak saat itu saya nggak mau ngenye' pekerjaan orang lain (sebelumnya juga nggak pernah sih, tapi mungkin secara nggak sadar pernah). Ada banyak hal yang kita tidak tahu dibalik pekerjaan atau profesi seseorang, walaupun kelihatan sepele. Tukang parkir cuma priwit-priwit doang, dapet duit. Apa iya cuma begitu? Tukang ojek cuma modal motor kreditan doang bisa dapet duit banyak. Apa iya cuma itu modalnya? Tukang sampah asal tahan sama bau sampah aja sih aman. Apa iya tu tukang sampah nggak menderita tiap hari nyium bau sampah?

Jadi sebagai istri seorang wartawan dan komentator pertandingan sepakbola, saya cuma mau bilang, "Iyeee, suami gue emang omong doang di tiviii! Soalnya kalau dia sambil Gangnam Style juga, ntar saingan sama Psy!" Hahahahaaa! "Cuma omong doang" dia itu berbanding lurus dengan kurang tidur, jarang ketemu anak dan kelelahan luar biasa. Demikian.