Assalamu'alaikum.
Saya lagi cediih! Hiks! Peluk aku, peluk aku! :'(
Beberapa hari yang lalu nggak sengaja liat tautan video di news feed. Saya nggak biasa langsung klik kalau ada tautan video karena takut isinya aneh-aneh. Sama juga dengan yang ini, begitu liat judulnya, saya langsung memutuskan nggak mau liat. Saya memutuskan menutup mata. Tapi video itu ternyata jadi kehebohan besar. Ya iyaa, dari judulnya aja saya udah bisa menduga gimana isinya. Anak SD mem-bully temannya di kelas. Walaupun tentu saja saya nggak bisa menduga separah apa perlakuan pelaku kepada si korban.
Tapi beberapa fakta cukup membuat saya sesak napas:
Tapi beberapa fakta cukup membuat saya sesak napas:
1. Kejadian di kelas. (Ke mana gurunya?)
2. Ini anak usia SD lho! SD! Paling tua usia SD itu 12 tahun. Nggak membenarkan kalau usia mereka lebih tua lalu bisa melakukan pem-bully-an juga.
3. Ada teman lain dari pelaku atau mungkin hanya menonton yang dengan sadar merekamnya lewat kamera handphone.
4. Beberapa teman yang melihat video tersebut mengaku menangis karena tidak tahan melihat perlakuan terhadap anak perempuan yang menjadi korban. Menurut mereka pelaku anak laki-laki dan juga perempuan.
Kasus bully (btw, kalau dibahasaIndonesiakan jadinya apa, sih?) sudah lama kita dengar. Mulai dari tiap tahun berulang di kampus-kampus dan sekolah-sekolah menengah lewat kegiatan orientasi siswa barunya, sampai ke masalah di masyarakat kayak perlakuan preman yang semena-mena ke pedagang kaki lima. Fadhil, anak sulung saya, dulu juga sempat pernah menjadi korban bully oleh teman-temannya saat dia kelas 3 SD. Tapi kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi kepada anak perempuan di video yang saya sebut tadi, perlakuan yang diterima Fadhil dari si bully tampak lebih "ringan". Biarpun gitu, gak ada perlakuan yang ringan atau berat kalau menyangkut bully-membully, IMHO. Menekan pihak yang lemah sedemikian rupa tanpa tahu sebab dan tujuannya apa, kadang cuma ingin memuaskan nafsu aja, itu jahat.
Ngenes, mak! Anak SD kok udah bisa "jahat" begitu ke sesama teman? Belajar dari mana? Duh, panjang bener urusannya kalau mau diusut. Di rumah orang tuanya ngajarin apa? Tontonan sehari-harinya apa? Mengisi waktu luangnya ngapain? Perhatian orang tua cukup atau nggak? Banyaaak penyebabnya. Itu udah banyak yang bahas termasuk Kak Seto juga pernah bahas masalah itu.
Yang agak mengganggu saya sebenarnya, dalam kasus bully (pada anak-anak khususnya) ada dua pihak yang terlibat: si korban dan si pelaku. Oh ya, sudah pasti sedih kalau anak kita yang jadi korban. Marah dan nggak terima. Tapi apa yang akan kita lakukan kalau ternyata anak kita justru si pelaku? Bisa terima kenyataan nggak kalau itu adalah salah kita sebagai orang tua? Anak-anak adalah manusia dengan nalar yang masih terbatas. Pengetahuannya berdasarkan apa yang diajarkan, dilihat dan didengarnya selama ini. Dari rumah, sekolah, televisi, permainan atau bacaan.
Dalam kasus bully pada anak-anak, pelaku dan korban harus sama-sama dapat perhatian dari orang tua dan guru. Orang tua cenderung resah anaknya bisa jadi korban bully. Jika ternyata anak kita yang menjadi pelaku, seharusnya kita jauh lebih resah karena anak kita tumbuh menjadi orang yang semena2 dan merasa berkuasa dengan menekan yang lemah. Mungkin ada yang salah dengan cara kita mendidik anak. Jangan lengah hanya karena tidak mendengar kabar kalau anak kita tidak menjadi korban bully. Who knows, mungkin malah mereka yang menjadi tukang bully di sekolah atau luar rumah.
Ini jadi bahan introspeksi buat saya juga. Mentang-mentang anak saya pernah jadi korban bully, saya cenderung selalu khawatir dia akan dibully oleh teman-temannya lagi. Padahal tidak menutup kemungkinan anak saya bisa saja jadi si pembully. Apalagi kasus bully akrab dengan yang namanya "dendam". Bukan nggak mungkin, yang dulunya pernah jadi korban, besok-besok belajar untuk jadi pelaku. Mencari-cari korban yang lebih lemah dari dirinya.
Mungkin ada yang salah dengan cara kita mendidik generasi penerus. Mulai dari rumah, sekolah, tontonan sehari-hari, pendidikan agama sampai pergaulan. Mari introspeksi diri dan berbenah bersama. Mungkin perlu lebih intensif lagi komunikasi dari hati ke hati dengan anak-anak kita. Mungkin perlu lebih sering ngobrol dengan guru di sekolah. Mungkin perlu lebih cermat mengamati minat dan bakat anak, agar percaya dirinya tumbuh. Mungkin perlu lebih banyak mengajarkan ke anak, berprestasi itu penting, tapi menjadi orang yang baik jauh lebih penting. Mungkin kita terlalu banyak memberi tekanan pada anak sehingga mereka merasa perlu untuk melepasnya di luar rumah. Atau malah mungkin tekanan berat itu justru datangnya dari sekolah? Banyak yang perlu dibenahi, mulai dari diri sendiri sebagai orang tua. Buat saya, kasus bully pada anak-anak tetap jatuhnya adalah kesalahan pada orang tua.
Emak Gaoel Lagi Galaoe :(
Kasus bully (btw, kalau dibahasaIndonesiakan jadinya apa, sih?) sudah lama kita dengar. Mulai dari tiap tahun berulang di kampus-kampus dan sekolah-sekolah menengah lewat kegiatan orientasi siswa barunya, sampai ke masalah di masyarakat kayak perlakuan preman yang semena-mena ke pedagang kaki lima. Fadhil, anak sulung saya, dulu juga sempat pernah menjadi korban bully oleh teman-temannya saat dia kelas 3 SD. Tapi kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi kepada anak perempuan di video yang saya sebut tadi, perlakuan yang diterima Fadhil dari si bully tampak lebih "ringan". Biarpun gitu, gak ada perlakuan yang ringan atau berat kalau menyangkut bully-membully, IMHO. Menekan pihak yang lemah sedemikian rupa tanpa tahu sebab dan tujuannya apa, kadang cuma ingin memuaskan nafsu aja, itu jahat.
Ngenes, mak! Anak SD kok udah bisa "jahat" begitu ke sesama teman? Belajar dari mana? Duh, panjang bener urusannya kalau mau diusut. Di rumah orang tuanya ngajarin apa? Tontonan sehari-harinya apa? Mengisi waktu luangnya ngapain? Perhatian orang tua cukup atau nggak? Banyaaak penyebabnya. Itu udah banyak yang bahas termasuk Kak Seto juga pernah bahas masalah itu.
Yang agak mengganggu saya sebenarnya, dalam kasus bully (pada anak-anak khususnya) ada dua pihak yang terlibat: si korban dan si pelaku. Oh ya, sudah pasti sedih kalau anak kita yang jadi korban. Marah dan nggak terima. Tapi apa yang akan kita lakukan kalau ternyata anak kita justru si pelaku? Bisa terima kenyataan nggak kalau itu adalah salah kita sebagai orang tua? Anak-anak adalah manusia dengan nalar yang masih terbatas. Pengetahuannya berdasarkan apa yang diajarkan, dilihat dan didengarnya selama ini. Dari rumah, sekolah, televisi, permainan atau bacaan.
Dalam kasus bully pada anak-anak, pelaku dan korban harus sama-sama dapat perhatian dari orang tua dan guru. Orang tua cenderung resah anaknya bisa jadi korban bully. Jika ternyata anak kita yang menjadi pelaku, seharusnya kita jauh lebih resah karena anak kita tumbuh menjadi orang yang semena2 dan merasa berkuasa dengan menekan yang lemah. Mungkin ada yang salah dengan cara kita mendidik anak. Jangan lengah hanya karena tidak mendengar kabar kalau anak kita tidak menjadi korban bully. Who knows, mungkin malah mereka yang menjadi tukang bully di sekolah atau luar rumah.
Ini jadi bahan introspeksi buat saya juga. Mentang-mentang anak saya pernah jadi korban bully, saya cenderung selalu khawatir dia akan dibully oleh teman-temannya lagi. Padahal tidak menutup kemungkinan anak saya bisa saja jadi si pembully. Apalagi kasus bully akrab dengan yang namanya "dendam". Bukan nggak mungkin, yang dulunya pernah jadi korban, besok-besok belajar untuk jadi pelaku. Mencari-cari korban yang lebih lemah dari dirinya.
Mungkin ada yang salah dengan cara kita mendidik generasi penerus. Mulai dari rumah, sekolah, tontonan sehari-hari, pendidikan agama sampai pergaulan. Mari introspeksi diri dan berbenah bersama. Mungkin perlu lebih intensif lagi komunikasi dari hati ke hati dengan anak-anak kita. Mungkin perlu lebih sering ngobrol dengan guru di sekolah. Mungkin perlu lebih cermat mengamati minat dan bakat anak, agar percaya dirinya tumbuh. Mungkin perlu lebih banyak mengajarkan ke anak, berprestasi itu penting, tapi menjadi orang yang baik jauh lebih penting. Mungkin kita terlalu banyak memberi tekanan pada anak sehingga mereka merasa perlu untuk melepasnya di luar rumah. Atau malah mungkin tekanan berat itu justru datangnya dari sekolah? Banyak yang perlu dibenahi, mulai dari diri sendiri sebagai orang tua. Buat saya, kasus bully pada anak-anak tetap jatuhnya adalah kesalahan pada orang tua.
Emak Gaoel Lagi Galaoe :(
Mak, fenomena ini bikin kita miris. dan bagaimana memperbaiki mental dan attitude mereka. kayaknya ortu yang ciyus nangani anak2nya dan yang semau gue presentasinya fifty fifty atau gimana ya..tapi kalau dibiarkan, bakal semakin amburadul deh bansa ini.Yuk kita awali dari dalam keluarga, terus ke teangga, saudara dan ya di ajang sosmed kayak gn ya Mak.
BalasHapusiya mak, sama...aku juga miris...
Hapusmemang harus semuanya bergerak...dari rumah, sekolah, lingkungan rumah, sampe ke socmed juga penting...
anak jaman sekarang masalahnya ngalah2in orang dewasa. Aku loh mak, punya anak SMP kalau dia curhat aku jadi mikir, jamanku dulu ga gini-gini banget. Tapi terlepas dari itu, semua anak perlu didengar dan jangan kira jadi anak-anak hepi mlulu... Nyatanya anak yang cengengesan begitu curhat, beuh, bisa jadi novel keles
BalasHapusweh, jadi pengen denger curhat anak abege jaman sekarang...siapa tau terinspirasiong...hihihihi
HapusNgeri juga ya mak,, duh jd keiinget keponakanku yg pendieeeemmm bgt
BalasHapusiya cha, yang pendiem2 gitu sebaiknya didekati dan diajak ngobrol...biar gk galau sendiri..kasian... :(
Hapusliat video itu saya sedih mak... marah, kecewa, semua campur aduk... anak saya pernah jadi korban bully, baru pindah sekolah dan temannya gak terima ada saingan soal nilai... gak tanggung2, dilempar bangku mak... kakinya sampai bengkak...
BalasHapuslain waktu kaki anak saya diinjak2 banyak temannya, sampai sepatunya sobek...
nangis saya mak... ingin rasanya datengin anak-anak itu dan marahin satu per satu...
tapi saya pikir ini gak bakal menyelesaikan masalah... jadilah saya mengajak mereka main di rumah dan berteman dengan anak saya... judulnya sih belajar bersama tiap jumat pulang sekolah, padahal di sini juga cuma main-main... rumah berantakan biarin deh... setidaknya mereka terawasi dan anak saya aman dari bully-an
wuaaa, mak orin...pedih banget ya pasti...
Hapusaku juga waktu awal masuk sekolah, safina sempat tertekan...sama kayak mak orin, akhirnya aku "turun tangan" berusaha mendekatkan teman2nya dengan anakku...cukup sewajarnya aja campur tangan kita...yg penting tetap diawasi..
Aku juga ga berani nonton mak..mo buka linknya aja udh nyesek banget... ada apa ya dgn anak2 jman skr ni? :(
BalasHapusSemoga kita bisa mendidik anak2 kita dgn baik dr semua segi (imtaq,iptek,moral)
iya maak, aamiin....
HapusSaya sama sekali tidak mau nonton video itu. Bener juga Mak, orang tua InsyaAllah akan lebih siap jika kemungkinan anaknya menjadi korban bully. Namanya ortu pasti punya rasa melindungi. Tapi, saya juga sedikit yakin mereka akan shock jika ternyata anaknyalah yg menjadi pelaku. Kebanyakan reaksi pertama mereka adalah menyalahkan si anak. Kenapa saya bilang seperti itu? Saya sudah sering melihat di keseharian, jarang sekali orang tua yang diam dulu kalau anaknya salah, kemudian bersama-sama bicara sebab dan akibatnya dengan anak. Ahhh... peristiwa2 seperti ini merupakan selfnote untuk saya kelak jika saya memiliki anak. Pun saat ini agar saya bisa ikut mendidik anak-anak orang lain dan keponakan2 saya, biar dijauhkan dari peristiwa mem- dan di- bully. :)
BalasHapusNice sharing Mak :)
iya ya, kadang suka reaktif kalau anak ketauan berbuat salah..padahal kalau diusut2, ya org tuanya yg gimana...namanya anak, pasti butuh bimbingan org tua...
HapusSaya melihat video itu mak, saya kira awalnya tidak ada gurunya. Tapi semalam saya melihats alahs atu stasiun televisi yang mewawancarai kepala sekolahnya, ternyata di dalam itu ada gurunya. Apa nggak gila itu guru sampai tidak melihat kejadian sebejat itu?
BalasHapusSemoga tidak terulang lagi kejadian-kejadian seperti ini
huhuhuhu, jadi ada gurunya? :(
HapusBahasa Indonesia bullying: perundungan.
BalasHapusmakasih mak haya...asli baru tau dan baru dengar...jadi belajar.. :)
HapusSetahuku, sebelum populer istilah bully, yang kita kenal adalah 'penggencetan' :)
HapusJauh sebelum mereka mengecap pendidikan formal kita harus benar-benar menanamkan nilai kemanusiaan. Duh, harus siap-siap nih jadi orangtua yang bener. :(
BalasHapusiya, semua berawal dari rumah...emang gak gampang jadi org tua..tantangan datang setiap saat...harus waspda terus..
HapusArya aja udah jadi korban bully tetangga ini.
BalasHapusini malah anak TK. gimana kalau dia dah SD atau SMP?
diajak ngobrol mak..trus tumbuhkan rasa percaya dirinya...aku juga sedang berusaha begitu ke anak2...
Hapussalam kenal mak.. visitor baru nih saya.
BalasHapusmau meralat sedikit, dr video yang saya lihat, kejadian nya bukan dikelas mak. tapi di mushollah. mungkin lagi pelajaran agama islam.
rasanya gak akan ada habisnya ngebahas masalah bully ini. bingung juga mau nyalahin siapa. entah lingkungan? entah tontonan? entah orang tuanya sendiri? . mungkin benar apa yang dibilang mba Hilda Ikka. jauh sebelum mereka mengecap pendidikan formal, nilai2 kemanusiaan harus terlebih dahulu diutamakan. percuma pinter matematika, juara olimpiade sains tapi kalo kelakuannya minus.
halo mbak rahma, salam kenal....
Hapusooh, di musholla ya? aku dapat data soalnya dari status teman2 yg share link video tersebut, beneran gak berani nonton...
saya setuju, pendidikan moral dari rumah harus dimantapkan dulu sebelum anak kita terjuan ke dunia luar...
saya jadi miris mbak, bukan hal mustahil itu bisa terjadi pada anak didik saya juga
BalasHapus