ADA APA DENGAN ONIS?
Kembali ke kantor dengan kesibukan yang sama. Tidak terasa sudah setahun aku bekerja di Misako. Onis tidak jadi bertemu denganku di Bandung ketika ada acara gathering itu. Dia cerita padaku kalau Tommy mengajaknya melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Pantas saja hari Seninnya dia bolos.
Aku ceritakan pada Onis tentang Deni dan Dian. Onis hanya tertawa kecil mendengar ceritaku. Dia benar-benar sudah tidak berminat membahas tentang Deni sepertinya.
Ada yang aneh dari Onis beberapa hari ini. Dia kelihatan seperti orang bingung. Sering sekali membuat kesalahan yang tidak perlu. Kemarin dia salah meletakkan surat. Harusnya untuk bagian Steel, ditaruhnya di mailbox milik bagian Textile. Akibatnya, Pak Ganda harus keliling seantero kantor mencari surat yang salah alamat itu. Dua hari yang lalu dia salah menuliskan jadwal pesanan ruang meeting. Akibatnya sudah bisa ditebak, saat tamu yang dimaksud datang, ruang meeting tidak tersedia karena terisi oleh orang lain. Aku dan Onis kena omel sekretaris Kawanishi san.
"Lo lagi kenapa sih, Nis? Gak biasa-biasanya ngaco gini?" tanyaku bingung padanya.
"Mmm? Nggak apa-apa..." jawabnya singkat sambil melihat ke arah komputer.
"Masih lama gak pake komputernya? Gue mau lihat pesanan ruang meeting yang baru," kataku padanya.
"Eh, ya udah...pake aja nih..." katanya seperti tersadar dari lamunannya.
Aku menatapnya dengan bingung. Benar-benar seperti orang linglung si Onis semingguan ini.
Aku duduk di depan komputer dan log out dari akun milik Onis. Kemudian aku log in kembali ke akun milikku. Ada dua buah pesanan ruang meeting. Salah satunya dari Dian, memesan ruang meeting untuk Tanabe san. Kulihat dia memforward e-mail ini untuk Tanabe san juga. Aku segera follow up ke dua pesanan itu.
Onis masih duduk saja di sebelahku diam. Matanya menerawang ke arah luar jendela. Aku malas bertanya-tanya. Sepertinya dia juga tidak mau berbagi padaku tentang apa yang sedang dirasakannya belakangan ini.
Kuperhatikan beberapa hari ini penampilannya juga terlihat agak kacau. Tidak seperti Onis yang biasanya. Dandanannya tidak full seperti biasa, malah kemarin dia datang ke kantor tanpa make-up sama sekali. Benar-benar aneh. Onis yang aku kenal tidak akan keluar rumah tanpa make-up terpasang di wajahnya. Sedangkan rambut yang berantakan saja bisa membuat dia membatalkan janji makan siang, bukan?
Tiba-tiba serombongan tamu datang. Kami sudah biasa menghadapi situasi yang mendadak ramai seperti sekarang ini. Satu menit sebelumnya lobi lengang seperti kuburan, menit berikutnya kami akan pontang-panting bolak-balik mengantar tamu dan surat-surat yang datang bersamaan menyerbu kami.
Kutinggalkan komputer begitu saja. Biar bagaimana, melayani tamu adalah tugas utama kami. Konfirmasi ruang meeting itu bisa menunggu, pikirku. Aku mengantar dua orang tamu Nakanishi san ke ruang meeting lima. Onis mengantar seorang tamu untuk Kobayashi san ke ruang meeting delapan. Tiga orang kurir masih kami biarkan menunggu di lobi.Setelah aku kembali dari mengantarkan tamu-tamu itu aku segera mengangkat telpon untuk menghubungi pantry. Dua tamu plus Nakanishi san, berarti tiga kopi, aku berusaha mengingat-ingat agar tidak salah pesan.
"Fan, sekalian buat ruang delapan, dua ocha!" kata Onis begitu tahu aku sedang menghubungi pantry.
Aku mengangguk. Dia kembali duduk di depan komputer. Aku masih sibuk menerima surat dan paket dari tiga orang kurir tadi. Ternyata salah satu paket itu harus diantar langsung kepada Fujiyama san. Mau tidak mau aku membawanya sendiri ke dalam untuk memberikannya langsung kepada Syasya.
Ffiiuh...Aku berbelok ke arah pantry sebelum kembali ke lobi. Aku mau duduk sebentar di pantry sambil minum teh manis hangat.
"Mbak Fani, kopi buat ruang delapan, ocha buat ruang lima, kan?" tanya Ida saat melihatku masuk ke dalam pantry?
"He? Salaah! Kebaliiik! Udah dianter ya?" tanyaku panik.
Kesalahan kecil seperti ini bisa jadi masalah besar bagi para Jepang-Jepang itu. Aku sudah pernah beberapa kali melakukannya dan kena teguran langsung dari mereka. Menurut mereka sungguh tidak sopan karena tidak mendengarkan apa pesanan minuman mereka.
"Yaah...Udah dianter Yuli...," kata Ida dengan polosnya.
Aduuh...tampaknya aku harus kembali lari-larian mengejar Yuli ke dalam lagi. Aku segera berlari menyusul Yuli. Mudah-mudahan masih sempat.
"Yulii! Ocha buat ruang delapan! Jangan kebalik!" kataku setengah berteriak melihat Yuli sedang berdiri di depan ruang meeting delapan memegang baki penuh dengan minuman.
"Oooh...kebalik ya? Untung aja, belum sempet ditaro, Mbak," kata Yuli.
Aku menghela nafas lega. Selamaaat...
Aku kembali lagi berjalan menuju pantry. Kutelpon Onis dari pantry.
"Nis, gue di pantry. Capek gue bolak-balik. Mau minum teh dulu ah..." kataku padanya.
"OK..." jawabnya singkat.
Setengah jam lebih aku duduk-duduk di pantry. Aku tidak khawatir Onis akan marah padaku. Kami sudah biasa begitu. Kalau dia mendadak sibuk lagi di lobi, dia pasti akan menelponku ke pantry. Tapi kelihatannya Onis memang lagi senang sendiri belakangan ini. Jadi aku juga tidak mau mengganggunya, kecuali kalau urusan pekerjaan.
Kriing! Telpon pantry berbunyi mengejutkan aku yang sedang memejamkan mata sambil bersender di kursi. Yuli mengangkatnya.
"Ya, mbak.." katanya lalu menutup telpon itu.
"Mbak Fani, disuruh ke depan sama mbak Onis," kata Yuli padaku.
"OK," jawabku sambil meregangkan tubuhku dengan malas.
Onis memandangku dengan pandangan khawatir begitu aku sampai di lobi..
"Kenapa?" tanyaku bingung melihat raut wajahnya yang aneh itu.
"Syasya nelpon lo barusan. Lo disuruh ke ruang Fujiyama san sekarang," katanya dengan nada khawatir.
Aku jadi ikut-ikutan bingung sekarang. Ada apa GM memanggilku? Apa aku buat kesalahan? Tapi apa? Mendadak kelakuan jelekku muncul lagi. Ketakutan tanpa alasan yang jelas. Duh, benar-benar mental bawahan, batinku dalam hati mengutuki kelakuanku.
Sampai di dalam aku menghampiri meja Syasya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruang Fujiyama san.
"Ada apa ya, Sya?" tanyaku bingung berusaha mendapat sedikit informasi darinya.
Syasya hanya menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan sekarang.
"Eh, Fan...di dalem ada Dian. Aku nggak tau dia mau ngapain, yang pasti dia bawa-bawa kertas ke dalam tadi. Nggak lama Fujiyama san nyuruh aku manggil kamu," kata Syasya sebelum aku mengetuk pintu ruangan Fujiyama san.
Nahloo? Ada apa lagi ini? Pikiranku tambah kalut. Apa Dian sedang melakukan upaya balas dendam ke aku? Tapi apa yang bisa dia katakan kepada Fujiyama san? Aku pacaran dengan Tanabe san? Apa dengan alasan begitu saja Fujiyama san akan memecatku? Rasanya tidak. Jadi kenapa nih?
"Selamat sore, Fujiyama san," sapaku ketika masuk ke ruangannya.
Dian tampak sedang duduk tenang di depan Fujiyama san. Dia melihatku dengan pandangan sinis dan sedikit senyum tersungging di ujung bibirnya.
"Fani san, silahkan duduk. Saya perlu penjelasan tentang ini," kata Fujiyama san langsung tanpa basa-basi sambil menyerahkan selembar kertas print out sebuah e-mail kepadaku.
Kuambil kertas itu dan segera membacanya. Seketika jantungku seperti berhenti. Tanganku bergetar tidak karuan. Untuk sesaat aku berpikir aku akan pingsan. Tapi ternyata aku cukup bisa menguasai diriku. Dan sekarang satu-satunya yang ingin aku lakukan adalah mencekik leher Onis!
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar