CHAOTIC
Aku masih berdiri di dalam ruangan Fujiyama san sambil memegang kertas itu. Aku masih belum bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan semua ini. Terus terang aku pun masih bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa sampai ini semua menimpaku? Dan kenapa harus ada Dian yang terlibat tidak sengaja di dalamnya?
Fujiyama san masih berdiri menunggu penjelasanku. Dian masih duduk dengan tenang menungguku untuk mulai berbicara. Akhirnya Fujiyama san berinisiatif untuk menunda ini semua.
"Saya ada meeting di luar sebentar lagi. Saya akan tunggu Tanabe san kembali dari rapat di Cikarang, lalu kamu dan dia akan saya panggil lagi ke sini," katanya akhirnya.
Aku menarik nafas lega. Paling tidak aku masih punya waktu untuk meluruskan ini semua.
Aku menganggukkan kepala dan membungkukkan badanku sekilas lalu keluar. Kulirik sekilas Dian yang sudah berdiri dan siap-siap untuk keluar ruangan juga.
Begitu sampai di luar Dian menyenggolku dengan sengaja.
"Kelakuan brengsek emang susah buat disembunyiin, Fan. Siapa sangka lo bisa ngirim e-mail kaya gitu ke gue," katanya dengan nada rendah sambil berlalu dari hadapanku.
Aku hanya bisa diam mendengarnya. Sumpah, aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
Aku segera kembali ke lobi mencari Onis. Kulihat lobi kosong. Pak Ganda tengah duduk di kursiku.
"Onis mana?" tanyaku pada Pak Ganda yang sedang berputar-putar di kursiku..
"Ke toilet katanya, Fan..." jawab Pak Ganda.
Aku segera melangkah cepat ke dalam, mencarinya.
Brak! Brak! Kupukul pintu toilet yang terkunci itu dengan keras.
"Onis! Keluar lo sekarang!" kataku tidak bisa menahan geram.
Pintu terbuka, dan keluarlah Onis dengan wajah sembab. Kelihatannya dia habis menangis. Tapi peduli setan, aku cuma mau minta penjelasannya tentang kertas yang ada di tanganku saat ini.
"Apa ini?" tanyaku mendesis ke wajahnya sambil menunjukkan kertas itu.
Onis tampak kebingungan sambil mengambil kertas itu dan membacanya.
Seketika mukanya berubah menjadi panik.
"Astaga, Fan! Astagaa!!! Sori, Fan! Soriiiii...." katanya memohon-mohon maaf padaku.
"Apaan ini?" tanyaku lebih keras lagi tidak peduli pada permintaan maafnya.
Onis terduduk di kursi di dalam toilet itu dan menangis tanpa suara.
"Maafin gue, Fan! Ah, gila...kemana pikiran gue? Gue mau kirim e-mail itu buat Tommy...Gue kirain gue masih di e-mail gue, Fan. Ternyata masih dalam e-mail lo..." jelasnya dengan suara lemah.
"Bukan itu yang gue tanyain! Gue nggak masalah lo salah make akun gw ngirim e-mail ke siapa-siapa. Itu bisa dijelasin. Tapi isi e-mail ini...isi e-mail ini...Apa-apaan ini?" tanyaku kembali dengan suara meninggi.
Aku benar-benar emosi menghadapinya. Dan dia sekarang menangis lagi tersengguk-sengguk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Kubaca lagi tulisan di kertas itu. Bahasa Inggris ala Onis jelas terbaca.
To : Dian Susanti / Assistant to HRD
Cc : Fumitaka Tanabe / HRD Manager of Misako & Co,. Ltd
From : Fani Ellyana / GA Staff
After a long thought, I will do what you asked me to do. I will get rid of this baby, if it is what you want.
I just need you to come with me when I do this. Will you come with me?
I checked the doctor's address and you're right. He does abortion.
Kugeleng-gelengkan kepala lagi membacanya. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kubaca barusan.
"Jadi lo lagi hamil, Nis?" tanyaku dengan kasihan padanya.
Onis menggangguk lemah sambil masih menghapus air matanya dengan selembar tissue.
"Tommy nyuruh gue gugurin, Fan. Gue sebenernya nggak mau, Fan. Gue nggak mau bikin kesalahan dua kali," katanya.
"Lho? Dua kali?" tanyaku bingung. "Dulu waktu sama Deni katanya lo keguguran?" tanyaku teringat dengan ceritanya.
"Gue bohong, Fan. Gue juga aborsi waktu itu. Gue aborsi tanpa sepengetahuan Deni. Makanya Deni marah banget sama gue waktu itu. Dia bilang dia mau tanggung jawab, tapi kenapa gue malah gugurin janin gue waktu itu. Ahh...semuanya kacau sejak kejadian itu, Fan...Gue nggak sanggup mikirinnya..." kata Onis dengan galau.
Aku terdiam tidak tahu harus berkata apa. Kejadian ini benar-benar tidak disangka-sangka. Dan aku terjerumus ke dalam masalah Onis dengan cara yang tidak kuduga. Saat ini otakku kosong tidak mampu mencari jalan atau celah kecil sekali pun untuk bisa keluar dengan bebas dari dalamnya.
Aku serba salah. Aku bisa saja mengatakan kalau itu e-mail salah kirim. Tapi apa aku perlu mengatakan kalau itu e-mail milik Onis? Aku tidak mau menjadi mulut ular menjerumuskan teman sendiri ke dalam kesulitan. Tanpa kuadukan, Onis sudah cukup punya kesulitan saat ini. Kecuali kalau dia mau menjelaskannya sendiri kepada Fujiyama san.
"Jadi gimana dong sekarang? Fujiyama san udah tau soal ini. Dia mau manggil gue sama Tanabe nanti sore atau besok. Gue harus ngomong apa, Nis?" tanyaku bingung.
"Maaf banget ya, Fan...Lo jadi ikut-ikutan terseret ke dalam masalah gue ini. Gue...masih belum tahu harus ngapain sekarang, Fan. Mikirin gue mau aborsi aja pikiran gue udah kacau gini...." katanya dengan tatapan kosong.
Aku kasihan sekali sebenarnya melihat temanku seperti ini. Aku ingin sekali menolongnya, tapi sekarang ini keadaanku juga sedang terjepit. Sepertinya aku harus menyelesaikannya sendiri dengan caraku, pikirku.
"Gue ke depan dulu, ya...And, by the way, gue harap lo mikir-mikir seribu kali sebelum lo aborsi, Nis..." kataku padanya.
Dia diam saja mendengar ucapanku. Aku melangkah keluar toilet. Aku harus menelpon Tanabe san untuk memberitahunya mengenai kesalahpahaman ini.
Kuhubungi handphonenya dari handphoneku. Tidak diangkat. Aku belum pernah menelponnya sejak kami pulang dari Bandung sebulan yang lalu. Dia juga tampak dingin padaku di kantor sejak itu. Dia tidak pernah tersenyum atau menyapaku lagi. Semua urusan kantor yang berhubungan denganku diserahkannya pada Dian.
Kukirim pesan singkat.
Tanabe san, please jawab telpon saya. Ada sesuatu yang penting!
Tidak lama kemudian aku menerima balasan :
Maaf, saya sedang sibuk.
Aku mendecakkan lidah dengan kesal. Bukan saatnya untuk bertingkah seperti anak kecil yang sedang ngambek kayak gini, kataku kesal dalam hati. Aku duduk tidak berdaya di kursiku. Kulihat layar komputer yang masih menampilkan akun e-mail milikku. Aku keluar dari akunku dan masuk ke akun milik Onis. Aku baca beberapa e-mail dari Tommy untuknya. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mudah-mudahan Onis tidak keberatan. Toh dia sudah menceritakan semuanya padaku.
Tiba-tiba Andi muncul dari dalam dengan tergopoh-gopoh. Mukanya terlihat sangat penasaran.
"Fani! Lo tekdung sama Tanabe?" tanyanya dengan suara yang lumayan kencang.
Kupukul kepalanya spontan.
"Suara lo kecilin dikit, bego!" kataku kesal.
"Jadi bener?" tanyanya dengan berbisik.
Aku menggeleng. Dan dia kelihatan bingung sekarang.
"Salah paham, Ndi. Bukan gue yang hamil..." jawabku menggantung.
Dan perlahan tapi pasti wajah Andi berubah menjadi mengerti. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Onis?" .
Aku menggangguk pelan. Rasanya tidak perlu aku tanyakan dari mana Andi mendapatkan berita kalau aku hamil oleh Tanabe san. Sedetik setelah aku keluar dari ruang Fujiyama san tadi aku sudah tahu kalau berita itu akan langsung tersebar ke seluruh kantor. Bisa apa aku? Aku cuma mau pulang ke rumah sekarang.
Sore itu jam empat, dan menjadi satu jam terlama dalam sejarah aku bekerja di Misako menunggu jam lima datang. Onis tetap belum kembali dari toilet sampai aku bersiap pulang. Dan tampaknya Fujiyama san juga belum kembali dari meetingnya di luar kantor. Aku bernafas lega. Paling tidak masih ada waktu untuk menghubungi Tanabe san nanti malam. Mudah-mudahan dia mau menjawab telponku nanti malam.
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar