ABOUT ME

Sabtu, 13 November 2010

Pengalaman Menulisku: Spongebob Guru Kreatifitasku (#6)


“Are ‘ya ready, kids?”

“Ay ay, captain!”

“I can’t hear you!”

“AY AY, CAPTAIN!”

“Ooo, who lives in the pineapple under the sea?”

“Spongebob Squarepants!”

Sepenggal lirik lagu di atas tentu sudah sangat akrab bagi para anak-anak dan orang tua yang masih memiliki anak usia balita seperti saya. Saya sendiri, walaupun usia sudah tak terbilang imut, sangat menyukai film seri animasi tersebut.

Bercerita tentang sebuah (seorang?) sponge berwarna kuning dan bercelana kotak yang bernama Spongebob Squarepants. Tinggal dalam sebuah nanas di dasar laut. Bekerja sebagai juru masak di restoran milik Tuan Krab dan memiliki sahabat yang ‘lemot’ yaitu seekor bintang laut berwarna pink, Patrick.

Ah, rasanya akan panjang kalau saya ceritakan sejarah hidup Spongebob di sini. Lagipula bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya ingin berbagi sebuah ‘lightning strike’ yang tiba-tiba saja menyambar saya saat saya sedang menemani anak-anak saya menonton film seri tersebut.

Begitu seringnya saya menonton, saya sampai hampir hafal dengan semua kisah dalam tiap episode-nya. Tema yang paling sering diangkat dalam tiap episode film Spongebob itu antara lain adalah kisah Mr. Plankton, saingan bisnis Mr. Krab, yang selalu penasaran ingin mencuri resep rahasia Krabby Patty, menu andalan di restoran tempat Spongebob bekerja.

Di satu episode dikisahkan Mr. Krab memerintahkan Spongebob untuk menjadi mata-mata. Menyelidiki apa rencana terbaru Mr. Plankton untuk merebut resep rahasia miliknya. Maklum, Mr. Krab terkenal sangat paranoid dan juga pelit. Wkwkwkwk…

Lalu di episode lainnya diceritakan bagaimana Mr. Plankton berusaha membujuk Spongebob untuk pindah bekerja di restorannya Chum Bucket agar ia dapat mengorek rahasia Krabby Patty lebih mudah.

Kemudian ada juga satu episode yang menceritakan bagaimana Mr. Plankton yang sudah putus asa masuk menerobos ke dalam restoran Mr. Krab untuk merebut sebuah Krabby Patty. Krabby patty itu akan diteliti di lab miliknya untuk ditemukan apa resep rahasia yang terkandung di dalamnya.

Saya tak habis pikir, bagaimana kreatifnya para penulis kisah Spongebob dan kawan-kawannya ini. Hanya berangkat dari satu ide, bisa bermunculan beragam kisah yang menarik dan juga lucu. Dari sana saya berkesimpulan, ide untuk membuat sebuah cerita tak harus kompleks atau banyak. Yang paling penting adalah bagaimana mengolah sebuah ide sederhana menjadi sebuah cerita menarik yang penuh intrik dan mengundang rasa penasaran.

Saya jadi mencoba mengingat-ingat tahapan-tahapan menulis sebuah cerita yang selama ini saya jalani. Seringkali pada saat saya ingin memulai menulis sebuah kisah, ide adalah yang paling membuat tersendat. Awalnya ide yang saya punya sangat sederhana, lalu langsung saja saya berpikir, “Ah, simple banget sih? Basi…”. Lalu akhirnya saya harus berpikir ulang untuk menulis cerita berdasarkan ide ‘basi’ tersebut tanpa saya mencobanya mengolah terlebih dahulu. Lalu saya lanjutkan dengan mencari-cari lagi sebuah ide baru yang lebih ‘canggih’ menurut pemikiran saya. Ujung-ujungnya jadi ribet sendiri. Soalnya kapasitas otak saya jelas tidak seperti Dan Brown dengan Da Vinci Code-nya itu. Hehehe…ini namanya sotoy! Wkwkwkwk…

Spongebob menyadarkan saya hari ini. Sebuah ide tak harus brillian atau kompleks sehingga terdengar canggih dan bombastis. Pada akhirnya, sekeren apapun ide yang ingin kita tulis, kalau pada saat eksekusi menulis kisahnya tetap melempem, ya percuma saja. Lebih baik mengolah ide sederhana dengan jalan cerita yang dibuat semenarik mungkin. Kreatifitas dalam berpikir ditambah rajin mencari sumber atau bahasa kerennya riset nantinya yang akan membuat ide sederhana itu menjelma menjadi sebuah cerita menarik dan tidak sederhana.

Terima kasih untuk Spongebob. Hari ini saya tahu, ide sesederhana apapun itu bisa saya ‘mainkan’ dengan cerdik untuk menjadi sebuah kisah yang menarik. Dan sedikit tambahan, menurut saya pribadi, kreatifitas bukanlah bakat melainkan ketrampilan yang dapat dilatih. Jadi jangan malas melatih cara berpikir yang ‘out of the box’. Bisa karena biasa. Percaya deh!


image from www.ezthemes.ezthemes.com

Rabu, 10 November 2010

Oh, Om Bama... Aku Padamu Tadi Pagi...

"I'm not a fan, but I have to admit that he is one hell of a public speaker!" (My status on FB this morning)

Indeed, he is! Siapa lagi yang lagi aku bicarakan kalau bukan si Mr. President yang baru saja selesai berkunjung ke Indonesia dengan meninggalkan keruwetan-keruwetan di setelahnya. Tuan Presiden dari Amerika yang hanya hadir kurang dari 24 jam di ibukota tapi sempat bikin semua orang ribet, nggak cuma panitia istana tapi juga semua penduduk Jakarta. Hahahaa... Om Barry emang gak ada duanya, deh! Harus mengakui, kayanya.

Aku ingat pertama kali kenal sosoknya waktu nonton acara Oprah Show sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Saat itu Obama masih menjadi senator di parlemen Amerika. Oprah benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada laki-laki manis berkulit hitam ini. Senyum Jeng Oprah selalu terkembang sepanjang percakapan. Matanya tidak lepas-lepas menatap wajah ramah dan selalu dihiasi senyum itu. Aku sendiri waktu itu sempat merasa, mmm...lumayan muda ya untuk seorang senator. Secara selama ini suka lihat di tivi, senator itu kebanyakan kulit putih dan kepala botak. Wkwkwkwk....

Tapi begitu dia buka mulut dan bersuara, aku langsung seperti terhipnotis. Tidak sedetikpun aku bisa mengalihkan pandangan dan perhatian dari layar kaca waktu itu. Suaranya, intonasinya, gesturnya...semuanya bersatu membentuk sebuah image yang benar-benar membius perhatian. Sumpah, ini mah nggak lebay kayanya! Banyak juga yang mengakui hal ini. Ya kan? Ya kan? :)

Sebenarnya sebulan sebelum aku melihatnya di Oprah Show, aku sempat mendapat telepon dari adikku yang sedang menyelesaikan study-nya di Oklahoma, AS dan bercerita sekilas tentang Obama. Waktu itu adikku bilang, "Ada senator yang lagi naik daun di sini. Namanya Barrack Obama. Banyak yang curiga dia muslim, karena namanya dan latar belakang masa kecilnya yang dulu pernah tinggal di Indonesia." Waw, waw, waktu itu aku hanya bisa terkesima...Seorang senator Amerika pernah tinggal di Indonesia? Keren juga! Walaupun entah di mana ketak kekerenannya itu, tapi saat itu harus aku akui kalau sedikitnya nasionalisme-ku yang nyaris hilang agak terangkat karenanya. Somehow...hehehe...

Back to Oprah Show. Walaupun tak sempat banyak dikisahkan tentang masa kecilnya di Jakarta, namun paling tidak dari sana aku bisa mendapat sedikit pencerahan dari pandangan-pandangannya. Obama bukan sosok yang asal bicara dan tidak ada aksi. Waktu masih menjadi seorang pejabat daerah, ia tidak segan-segan untuk turun langsung melihat keadaan lingkungannya. Bagiku itu sebuah nilai yang positif dan mutlak untuk menjadi seorang pemimpin. Setelah sekian lamanya muak dan makin muak dengan tingkah-tingkah pejabat di sini yang sibuk memperkaya diri sendiri, sosoknya bisa menginspirasi banyak pihak.

Berjalan dengan waktu, akhirnya aku sempat melantik diriku sendiri sebagai salah satu pengagumnya. Buku-buku yang berbicara tentang dirinya aku beli. Termasuk buku yang ditulisnya tentang sang ayah. Sebenarnya untuk sebuah perjalanan hidup, kisah hidupnya tentu tidak terlalu istimewa. Tapi ya itu tadi, sebuah benang tipis bernama Menteng selama 4 tahun, memang bisa menjadi magnet yang kuat untuk menarik rasa ingin tahu kita. Aku bukan hanya tertarik lagi, tapi nempel! Hahahaa...

Ketika putaran PEMILU AS berlangsung, aku adalah salah satu dari sekian juta rakyat Indonesia yang ikut dag dig dug ser menonton dari tivi dan berdoa semoga dia yang maju dan bukan Hillary. Dan ketika akhirnya dia lolos mewakili Demokrat, aku juga termasuk yang bersyukur karenanya. Sekali lagi, entah apa hubungannya dengan diriku dan dengan negara ini. Hanya saja, magnet anak Menteng itu memang begitu kuat menarik perhatianku.

Aku ikut terharu-biru seperti Jeng Oprah yang juga menonton pidato penasbihannya sebagai Presiden saat ia memenangkan PEMILU itu pada akhirnya. Oh, come on..Oprah aja bisa lebay gitu, apalagi gw! Wkwkwkwk...

Namun seiring dengan perjalanan kepresidenannya kemudian, kekaguman itu perlahan surut sedikit demi sedikit. Aku tahu, berharap sesuatu dari terpilihnya dia sebagai Presiden adalah sesuatu yang amat sangat absurd. Hellooo...desye Presiden Amrik bukan Indonesia, gitu! Memang mau mengharapkan apa dari dia? Tapi Mamaku sempat melontarkan sebuah ucapan pengharapan saat ia terpilih waktu itu. "Mudah-mudahan ijin ke Amerika bisa lebih gampang setelah dia terpilih!" Aku mengamininya. Maklum saja, kami masih punya saudara dekat yang tinggal di sana. Beberapa kali Mamaku dan adikku pergi ke sana, memang sulit sekali untuk mendapatkan visa. Berharap agar pintu Amerika bisa terbuka lebih lebar untuk warga Indonesia agar bisa berkunjung ke sana, aku kira tidak terlalu absurd pada akhirnya.

Tapi kemudian, Obama adalah Obama, dan Presiden adalah Presiden. Dengan berbagai kepentingan dan taktik politik yang selalu harus dibawanya kemanapun dan apapaun langkah yang diambilnya. Ditambah aku bukanlah pengamat politik, apalagi sekelas politik Amerika. Sehingga pada akhirnya aku jadi sadar, tidak ada untungnya sedikitpun bagi rakyat Indonesia dia telah terpilih sebagai Presiden Amerika. Dan alangkah naifnya kalau memang kita sempat berharap akan ada perubahan itu untuk kita. Hahaha...siapa elu? Wkwkwkwk....

Jadi tinggallah Obama sebagai laki-laki kulit hitam yang manis dengan cara berbicara yang menarik hati dan pembawaan yang menghanyutkan. Itu saja sosok dia bagiku sekarang. Dinikmati saja sebatas mata memandang dari layar kaca. Sluurp...Wkwkwkwk...

Dan lagi-lagi pagi tadi aku kembali terhanyut mendengar buaian suaranya yang menggelitik dan intonasi suaranya yang tak pernah bisa membuatku bosan mendengarnya. Sepanjang kuliah umum yang diberikannya di UI tadi pagi, setiap kata yang meluncur dari mulutnya, semua kutangkap dan seolah menetap dalam telinga dan kepalaku. Kekuatannya yang satu ini tampaknya makin kuat. Ditambah lagi, entah mengapa aku merasa dia begitu tulus dalam menyampaikan pidatonya. Terutama saat dia berbicara tentang kenangan masa kecilnya di Jakarta. Semua keluar dari dalam hatinya. Ucapan yang keluar tanpa basa-basi dan kebohongan, untukku pribadi.

Dan sekali lagi, pagi tadi, aku kembali jatuh cinta padanya. Hanya kali ini, tidak separah yang pertama. Tak ada harapan-harapan, melainkan 'hanya' nilai-nilai positif yang bisa kuambil. Cara berbicara yang sangat membius perhatian dan gaya bicara yang sangat akrab dan intim. Tidak semua pemimpin dunia memilikinya, bahkan pemimpinku di negeri ini sekalipun. Yes, Mr. Obama...I'm not a fan anymore, but I have to admit that you are one hell of a public speaker! I guess our leaders should learn from you of how to speak through their hearts. Yiuuuk....

Minggu, 07 November 2010

Rubbish is Sampah


Rubbish is sampah. Begitu kira-kira terjemahan literaturnya. Akhir-akhir ini sampah lagi naik daun. Entah bagaimana caranya sampah bisa naik ke daun, yang jelas semua jadi bicara soal sampah atau bicara sampah.

Bicara soal sampah, ada event keren tadi di Istora. Judulnya Festival Green. Di sana terkumpul ide-ide dari seluruh dunia untuk menyelamatkan bumi dengan green campaign-nya. Kewl! Aku sendiri, jujur, masih minim banget berkontribusi dalam menyelamatkan bumi dari efek global warming itu. Hiks. Maaf ya. But for me, diapers are still crutial. Dan kantong plastik masih jadi tempat membuang sampah yang utama. Aku nggak tahu harus ganti kantong plastik pakai apa untuk buang sampah-sampah di rumahku. Kalau langsung dituang ke tempat sampah akan mengundang tikus dan binatang-binatang kotor lainnya. Any ideas, guys?

Tapi kalau pemakaian kertas aku udah mulai mengurangi. Nggak tahu kenapa, setiap mengambil satu helai kertas baru yang kosong yang terbayang ada satu pohon di hutan yang hilang. Kebayang waktu kemarin ngirim naskah ke lomba. 200 halaman kertas HVS dipakai untuk print naskah. Kayaknya penerbit-penerbit sekarang sudah saatnya untuk jangan males baca lewat e-mail deh. Kenapa harus hard copy kalau masih belum yakin juga untuk dicetak? Kalaupun akan dicetak jadi buku, toh prosesnya juga lewat komputer, bukan? Atau mau dong penerbit terima naskah yang di-print di kertas daur ulang. Yang belakangnya sudah terpakai. Bayangin aja, 200 kertas baru. Itu baru aku sendiri. Peserta lomba itu ada sekitar 300 orang. Hitung sendiri berapa lembar kertas baru yang dipakai. Sedangkan nantinya cuma akan ada lima naskah yang gol untuk dibukukan. Kemana sisa naskah yang tidak menang sebanyak 295 copy itu? Itu kertas-kertas...huaaa...ngilu.... :(

Aku bicara begini juga bukan berarti aku aktivis go-green atau semacamnya. Cuma kadang pengen juga bisa bebas dari segala plastik, kertas tissue, diapers secepatnya. Tapi suliiit...Kadang aku mikir, ini bukan salah aku sepenuhnya. Membela diri aja. Kemajuan jaman sudah menciptakan suatu kondisi tertentu yang membuat manusia jadi ketergantungan dengan benda-benda ciptaan pabrik yang tidak bisa di daur ulang. Memangnya jaman dulu aku pake diapers gitu? Nggak! Trus kenapa sekarang anak-anakku harus pakai? Itu dia...Kenapa? Dipakai karena ada. Coba nggak ada, mau makai diapers apa? Pasti tetap pakai popok kain seperti jaman dulu, kan? Jadi, bukan salahku sepenuhnya. Tapi salah si punya pabrik diapers. Hehehehe...Maaf, ini rada cetek emang. I know.. :P

Bicara soal sampah dan bicara sampah. Nah, ini beda! Waduh, sudah berapa minggu terakhir ini banyak banget aku ketemu tulisan-tulisan berisi curhat-curhat sampah di mana-mana. Mungkin ini juga termasuk curhat sampah. Ya, mau gimana? Seperti yang sudah aku bilang tadi, sampah lagi naik daun. Hihihihi...

Mulai dari orang-orang yang bicara nggak pakai hati. Pemimpin yang harusnya bisa menenangkan rakyatnya yang tengah ditimpa musibah dengan entengnya bisa bilang, musibah yang diterima rakyatnya itu resiko mereka sendiri. Dengan kata lain, ya hadapi aja, gak usah cengeng! Dude...Kemana hati lo?

Belum lagi curhat emosi cemburu seorang perempuan publik figur yang diumbar-umbar di ruang publik. Amat sangat tidak pantas, karena yang dia bicarakan adalah kekurangan suaminya sendiri, yang notabene juga publik figur. Duh, kemana mukamu, jeung?

Wah, belum juga dibersihin, sampah-sampah ini sudah bikin repot. Tapi intinya, lebih mudah membersihkan sampah yang sebenarnya dibandingkan membersihkan omongan sampah yang sudah kadung menyakiti hati orang lain. So, watch your tongue. Think before you speak. Put yourself in other's shoes, so you can have a reflection of what they're dealing. Berempati itu memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Hanya tinggal mengikutsertakan hati ke dalamnya, maka ia akan muncul dengan indahnya.
Selamat mengelola sampah anda. :)

(image from www.xdzombiez.edublogs.org)