ABOUT ME
▼
Jumat, 28 Januari 2011
Januari 50K (#13): Tasha dan Donny
Donny duduk diam di ruang kerjanya. Sibuk mikirin Bali dan Tasha. Susan, sekretarisnya yang menunggu tanda tangannya sejak tadi di depan meja kerjanya bengong. Perasaan tadi dia udah ngomong kalau dia butuh tanda tangan untuk hasil rapat dengan klien dari Bali. Terus sekarang Pak Bos-nya malah jadi bengong. Susan nggak tahu aja si Pak Bos-nya sedang sensi sama yang berbau-bau Bali.
Donny sebenarnya curiga kalau Tasha udah tahu tentang perasaannya ke Tasha. Tapi kalau melihat gelagatnya yang dingin-dingin aja dan nggak kelihatan grogi sama sekali saat mereka pulang dari Bali, Donny jadi ragu. Ini cuma ada dua kemungkinan, Tasha tahu dan nggak punya perasaan apa-apa sama dia atau Tasha nggak tahu dan masih biasa-biasa aja sampai sekarang. Donny berharap banget kalau kemungkinan yang kedua yang terjadi.
Kamis, 13 Januari 2011
Januari 50K (#11): Di Antara Dua Lelaki Dan George Michael
“Lo nyadar nggak sih kalo Decky itu banyak berubah sejak lulus kuliah, Don?” tanya Tasha.
Donny memandang Tasha dengan pandangan yang sulit diartikan. Entah dia ngerti atau nggak dengan maksud pertanyaan Tasha tadi. Yang jelas dia diam saja tidak menjawab pertanyaan itu. Donny justru malah sibuk dengan Communicator di tangannya dan mengganti-ganti lagu yang sedang mereka dengarkan dari tadi sejak mereka bertiga duduk-duduk dengan sebotol red wine yang hampir habis dan berbungkus-bungkus rokok di pinggir kolam renang itu.
Decky sedang naik ke atas, mau pipis, katanya. Tinggal Donny dan Tasha termangu-mangu tidak tahu lagi mau ngobrolin apa. Lalu terdengar intro musik yang agak-agak bossas dan mereka berdua saling menatap dan tersenyum lebar.
Senin, 10 Januari 2011
Januari 50K (#9): Elizabeth Who? Ketut Who?
Cinta bukan rumah
Kau tak harus pulang ke sana
Kau tak harus mengunci pintunya
Kau tak harus membersihkannya setiap saat
Cinta bukan pakaian
Kau tak harus memakainya setiap saat
Kau tak harus mencucinya di saat kotor
Kau tak harus menyimpannya dalam lemari
Cinta bukan makanan
Kau tak harus mengunyahnya
Kau tak harus mengendus aromanya
Kau tak harus menelannya walaupun kau menyukainya
Kau tak harus meludahkannya saat terasa pahit atau busuk
Cinta hanya satu rasa yang tak bisa kau simpan sendiri
Cinta hanya satu rasa yang tak bisa kau kira seperti apa
Cinta hanya satu rasa untuk kau rasa
Itu saja
-Kay-
Jumat, 07 Januari 2011
Januari 50K (#7): Puisi Kayla
“Rimba…
Gelap, eksotis, mengundang…
Masuk…
Kita mulai petualangan…”
-Kay-
Decky memandang lukisan yang tergantung di dinding kamarnya. Lukisan yang dibuatnya sendiri beberapa tahun yang lalu. Lukisan cat minyak menggambarkan pepohonan rimbun dan gelap, suasana dalam hutan yang didominasi oleh warna ungu dan biru tua. Lukisan yang sangat disukai Kayla. Bahlan Kayla menorehkan puisinya di pojok kanan lukisan itu dengan tulisan tangannya menggunakan tinta putih.
Hanya itu satu-satunya kenang-kenangan yang masih disimpan Decky tentang Kayla. Satu tahun pacaran dengan Kayla, mereka sama sekali tidak punya foto untuk dipandang-pandang saat lagi kangen. Boro-boro foto berdua, foto masing-masing mereka saja tidak punya. Gaya pacaran mereka memang sedikit berbeda dengan gaya pacaran orang-orang pada umumnya.
Di mana sih kamu sekarang, Kay? Decky berbisik dalam hati sambil memandang lukisan itu. Diubek-ubek di Facebook, nggak ketemu. Dibongkar-bongkar di Friendster yang lebih jadul juga nggak ada. Dicoba cari ke Twitter, apalagi! Pernah juga iseng googling namanya, yang ketemu orang lain dengan nama serupa. Cari lewat Yahoo! juga sama aja hasilnya.
Nomor telepon rumahnya masih disimpan Decky sampai sekarang. Tapi mau nelpon apa iya bisa ketemu? Sedangkan dulu jaman pacaran aja dia nggak pernah telpon Kayla ke rumahnya. Apalagi sekarang. Jangan-jangan Kayla malah udah lupa sama dia sama sekali. Sudah empat tahun, lho! Lumayan lama juga. Walaupun buat Decky rasanya perlu waktu lebih lama lagi untuk bisa lupa sama perempuan misterius itu.
Iya, Kayla memang misterius. Dia beda. Dia sangat pendiam, bahkan saat mereka sudah resmi pacaran pun, gayanya masih sama. Kayla nggak pernah curhat tentang dirinya. Dia lebih banyak diam mendengarkan cerita-cerita Decky sambil tersenyum. Tapi justru itu yang bikin Decky sampai klepek-klepek. Kayla nggak kayak perempuan kebanyakan yang dikenalnya.
Pernah juga beberapa kalai Decky bertanya-tanya tentang dirinya. Apa makanan kesukaannya. Kay menjawab sambil menunjukkan sandwich yang selalu dibawanya dari rumah. Tidak bicara sama sekali. Lalu Decky tanya apa warna kesukaannya, dia akan menunjukkan bajunya yang berwarna baby pink kepada Decky, masih sambil tersenyum. Padahal, besoknya Decky menanyakan hal yang sama padanya, Kayla akan menunjuk ke arah bajunya yang berwarna oranye muda. Dan Decky cuma bisa berasumsi kalau Kayla punya banyak warna favorit. Pernah juga Decky bertanya dia suka melakukan apa di waktu senggangnya. Dan kali itu Kayla menunjukkan sebuah buku catatan berwarna hijau pupus yang ada di tangannya. Saat Decky hendak melihatnya, Kayla dengan cepat menepis tangannya. Bikin penasaran aja! Kayla nggak tahu sampai sekarang kalau Decky pernah mengintip isi buku hijau muda itu saat Kayla sedang menemui dosen dan menitipkan tasnya ke Decky. Isinya puisi. Dan Decky tidak terlalu suka baca puisi. Makanya dia nggak pernah baca tuntas semua isi buku itu.
Sekarang Decky menyesal setangah mati kenapa dulu dia nggak fotocopy aja isi buku hijau muda milik Kayla itu. Ingin sekali dia membaca-baca hasil curahan hati Kayla saat ini. Mungkin dari sana ia bisa menyelami keunikan Kayla yang sering tidak dipahaminya tapi selalu membuatnya penasaran itu. Tapi itu kan sekarang sudah nggak mungkin lagi. Kayla ada di mana aja dia nggak ada clue sama sekali. Kayla hilang ditelan bumi, like…literally. Umm, OK, memang terlalu berlebihan mengatakan dia ditelan bumi, tapi dia benar-benar tidak terlacak sama sekali. Dan kerinduan Decky padanya hari ini sudah sampai ke ubun-ubun.
Saking rindunya Decky merasa dia bisa makan apa aja yang ada di depannya saat ini. Itu rindu apa laper? Yang jelas Decky makan siang di rumah kayak orang kesurupan. Mami sampai geleng-geleng nggak percaya ngeliatnya.
“Kamu lagi kenapa, Bang?” tanya Mami yang memanggilnya dengan Abang, panggilan kesayangan untuk Decky sejak Siska, adiknya, lahir.
“Lagi laper, Mam,” jawab Decky sambil meringis.
“Tumben…” kata Mami sambil nyomot potongan timun dari piring lalapan di meja.
Mami memandang anak lelaki satu-satunya itu dengan takjub. Decky itu gagah banget, bahkan Maminya aja bisa sampai terkagum-kagum gitu sama dia. Mirip almarhum Papi waktu masih muda, dan Decky adalah edisi masa kininya. Makanya Mami heran kenapa sampai sekarang Decky belum juga punya pacar. Umurnya sudah lebih dari cukup untuk menikah dan berkeluarga.
“Bang, kapan kamu mau ngenalin Mami ke pacar kamu?” tanya Mami berspekulasi. Bahkan Mami nggak yakin kalau Decky lagi punya pacar sekarang.
“Pacar yang mana?”
“Yang mana aja, deh!”
“Yee, asal nebak aja! Aku lagi nggak punya pacar sekarang, Mam!”
“Kapan sih kamu punya pacar? Terakhir kamu cerita, dulu waktu akhir tahun kuliah, kamu punya pacar namanya Kayla. Tapi nggak pernah kamu bawa ke rumah dan dikenalin sama Mami. Trus, tau-tau abis itu nggak pernah kedengeran lagi namnya. Kemana dia? Udah putus?”
“Duh, Mamiii! Itu udah jaman prasejarah banget, kali! Udah nggak tau juga dia ada di mana!” jawab Decky sambil memandang Mami tidak percaya.
Masak Mami masih mikir kalau dia masih pacaran sama Kayla sih? Udah empat tahun yang lalu lho, waktu pertama kali Decky sempat cerita sedikit ke Mami soal Kayla.
“Jadi sekarang kamu lagi nggak ada pacar? Nggak ada perempuan yang lagi kamu suka? Tasha gimana? Kalian kan deket banget! Dia udah punya pacar? Mami nggak nolak lho punya menantu kayak Tasha. Cantik, baik, supel,” kata Mami tidak peduli dengan tatapan memelas Decky yang seolah-olah bilang, “Please deh, Mam!” itu.
“Tasha itu temen, Maaam. Temeeen!” kata Decky sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lho? Trus kenapa kalau temen? Nggak bisa jadi pacar, ya? Ada aturannya? Jaman Mami dulu justru dari temen itu harusnya yang bisa berlanjut jadi pacar dan calon suami atau istri. Kalau nggak temenan dulu gimana bisa kenal? Ya, kan?” Mami makin semangat ngomporin.
Ini deh kesukaannya orang-orang jaman dulu yang nggak relevan dengan dunia masa kini di mata Decky. Suka sekali membanding-bandingkan keadaan jaman dulu dengan masa sekarang. Walaupun pendapat Mami tentang pertemanan yang harusnya bisa mengawali satu hubungan menjadi hubungan cinta bahkan pernikahan itu sampai sekarang banyak terjadi, tapi bagi Decky itu tetap nggak relevan. Karena Mami mengatakan kalimat ‘jaman Mami dulu’. Itu sangat berpengaruh. Apa Mami nggak tahu ya kalau anak-anak muda (jaman sekarang atau dulu) nggak akan mau disama-samain dengan orang tua mereka? Seperti ada rasa ‘sori, sori, sori, jek!’ gitu, deh! Nggak rela aja disamain sama orang jadul.
“Kalau kondisinya kayak aku sama Tasha itu rasanya bakalan susah untuk jadi pacaran, Mi! Aku sama dia udah saling tahu belang masing-masing saking deketnya,” ujar Decky sambil mencuci tangannya.
“Apalagi itu! Kamu tahu nggak berapa lama Mami harus menyesuaikan diri sama Papimu dulu waktu baru nikah karena Mami sama sekali belum tahu kebiasaan-kebiasaan jelek Papimu? Sepuluh tahun pertama itu benar-benar menyiksa, lho sebenarnya buat Mami. Untungnya Mami dan Papi emang beneran saling cinta. Kalau nggak bisa-bisa Mami minta cerai di tahun kedua kami nikah dulu.”
“Astaga, Mami! Ngapain sih pake ngomong kayak gitu segala? Papi kan udah nggak ada. Nggak kasian apa?” kata Decky sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan beranjak pindah duduk ke sofa di ruang tivi.
“Hahaha, bukan begitu. Mami cuma mau kasih gambaran aja sama kamu. Dulu Mami dan Papi sebelum menikah padahal sempat temenan dulu, walaupun nggak sedekat kamu dan Tasha. Tapi tetap aja masih ada yang Mami ternyata belum tahu tentang Papi. Memang sih itu cuma hal-hal kecil aja, tapi kalau terjadi dalam skala waktu harian ternyata mengganggu juga kalau nggak biasa. Kayak kebiasaan Papimu menggantung handuk di belakang pintu dan nggak langsung menjemurnya ke belakang. Itu suka bikin Mami senewen, lho! Tapi Papi bilang sama Mami kalau dia udah biasa begitu dulu waktu hidup sendiri di mess, masa dia pelatihan dulu,” kata Mami berusaha menjelaskan.
Decky diam saja mendengar ceramah hubungan bilateral antara Mami dan Papi jaman dulu itu. Somehow, dia merasa Mami lagi kangen aja sama Papi sehingga dia cari-cari bahan pembicaraan yang bisa mengangkat dan membawa-bawa nama Papi ke dalamnya. Ya sudahlah, biarkan Mami menikmati rindunya.
Dia mengambil sebuah majalah anak di meja depan tivi. Keningnya berkerut mendapati ada majalah anak-anak keluaran terbaru di rumahnya. Siska sudah terlalu besar kayaknya buat baca majalah yang membahas tentang film Toy Story dan edisi lanjutan yang membahas permainan Play Station yang sedang banyak disukai anak-anak itu.
“Ini majalah siapa?” tanyanya sama Mami sambil lalu.
Dia membolak-balik halaman-halaman majalah yang berwarna-warni itu. Asyik juga lihat-lihat majalah anak-anak pas hari libur begini. Dan Decky jadi geleng-geleng kepala sekarang membaca isinya.
“Punya cucunya Bu Krisno, tetangga depan. Kemaren dia mampir ke sini sambil ngemong cucunya. Ketinggalan mungkin. Ntar kamu balikin, ya!” kata Mami dari dapur.
“Ckckck, anak-anak jaman sekarang emang beda ya bacaannya,” katanya sendiri sambil terkagum-kagum.
Setengah dari majalah itu berisi iklan. Hal yang sangat berbeda dengan majalah yang sama dulu saat Decky masih SD. Dari artikel iklan majalah yang mengajak liburan bersama ke Universal Studio Singapura, sampai iklan-iklan restoran-restoran cepat saji yang menawarkan hadiah-hadiah lucu untuk anak-anak. Artikel tentang film terbaru di bioskop, dari yang biasa sampai yang 3D. Penawaran kartu member untuk bisa masuk ke arena-arena bermain di mall-mall besar di Jakarta. Kemana perginya rubrik cerpen yang dulu suka sekali dibacanya? Kemana perginya rubrik soal-soal latihan untuk anak SD yang sering jadi ajang latihannya menjelang ulangan umum? Dan kemana perginya rubrik puisi yang ditulis oleh anak-anak seumurannya dulu?
Ah, ini ada cerpen nyelip satu buah di tengah-tengah artikel yang heboh membahas film Toy Story 3 dan iklan es krim Paddle Pop. Kasihan banget itu cerpen, dikasih halaman biasa, walaupun berwarna tapi kalah menarik dengan artikel Toy Story 3 yang dicetak di atas kertas tebal berkilat itu. Dan, ini ada satu puisi yang lebih nyempil lagi, berbagi halaman dengan rubrik ‘Surat Dari Kamu’. Ckckck, menyedihkan!
Decky membaca sekilas puisi pendek itu. Penulisnya –Kay-. Sesaat mata Decky tertumbuk pada cara penulisan nama penulis puisi itu. Dibacanya puisi itu dengan serius sekarang. Judulnya Warna Matahari.
Matahari abu-abu
Di ufuk timur
Di langit ungu terang
Saatnya aku terjaga
Menyambut hari
Matahari putih
Di atas kepala
Di langit biru benderang
Saatnya aku pulang
Menuju rumah
Matahari kuning
Di ufuk barat
Di langit biru tua
Saatnya aku bersiap
Menyambut mimpi
-Kay-
Ini Kay-nya. Kayla! Pasti! Decky mendadak merasa darahnya terpompa sangat deras ke ubun-ubunnya. Dia segera berlari ke atas menuju kamarnya dengan majalah itu di tangannya. Meraih BB yang tergolek pasrah di atas tempat tidurnya. Lalu bengong.
Mau nelpon siapa? Donny? Tasha? Ratna? Sandra? Bisa-bisa dia diketawain sama mereka. Masak cuma gara-gara namanya sama dia bisa yakin banget kalau itu Kayla? Decky mulai bisa membayangkan muka Donny yang jahil yang sedang ngakak-ngakak di telpon. Bweh, mending nggak usah kasih tau anak-anak itu dulu deh sebelum pasti.
Dibukanya lagi majalah itu. Berusaha mengingat-ingat sesuatu. Heheey! Ronald, teman SMA-nya dulu kan kerja di majalah wanita yang satu penerbitan sama majalah anak-anak ini. Ah, nanya Ronald aja kali, ya?
*BERSAMBUNG*
*Image from goodcomics.comicresources.com*
Kamis, 06 Januari 2011
Januari 50K (#5): Taste From The Past
Beneran ternyata Sandra nggak bisa datang ke pertemuan bulanan mereka. Dio, anaknya yang baru berumur dua tahun, mendadak panas tinggi. Kebayang gimana paniknya Sandra. Ummm, sebenernya nggak kebayang-bayang banget juga sih sama Tasha, Donny dan Decky. Cuma pasti nggak enaklah rasanya. Teman sakit aja suka khawatir, apalagi anak. Ya kan?
Mereka pun kembali duduk-duduk di taman rumah Ratna dengan matahari sudah mulai berwarna oranye. Nyamuk-nyamuk sudah mulai beterbangan di sekitar mereka. Tapi nggak ada satupun yang berniat untuk masuk ke dalam rumah. Suami Ratna sudah kembali dari acara reuniannya. Sekarang dia ikut bergabung bersama mereka.
“Pada nginep di sini aja,” kata Mas Ruli kepada mereka, entah serius entah basa-basi.
Mereka bertiga saling bertatapan sambil tersenyum. Nginep di rumah Ratna? Nggak salah? Walaupun masing-masing punya alasan yang berbeda untuk menolaknya, tapi mereka tahu sekali kalau mereka sama-sama nggak pengen menyambut ajakan itu, bahkan dengan paksaan sekalipun.
Buat Tasha nggak perlu lama-lama ada di rumah Ratna dan melihat segala keruwetan Ratna mengurus keluarganya. Takutnya dia makin nggak selera buat nikah nantinya. Atau malah jangan-jangan dia bisa ikut kena repotnya. Masak dia bisa cuek aja duduk-duduk di rumah temannya sementara sang teman sibuk mondar-mandir ini itu? Nggak enak banget. Nggak, deh!
Kalau buat Decky nggak mungkin dia nginep di rumah Ratna. Besok hari Minggu. Satu-satunya hari di mana dia bisa tidur lebih lama di kamarnya tanpa harus diganggu dengan segala macem urusan. Kebayang kalau dia tidur di rumah Ratna. Bangun siang jelas bukan pilihan. Walaupun nggak mungkin juga pintu kamar tempat dia tidur nanti akan digedor-gedor oleh Ratna. Emang mau disuruh apaan dia sama Ratna? Kan dia tamu? Tapi tetap aja Decky tahu pasti kalau dia nggak mau nginep di sana.
Buat Donny sudah jelas banget kenapa dia harus menolak ajakan itu. Tidur di rumah mantan pacar? And by the way, itu pacar udah punya suami dan anak. Oh no, BIG NO! Situasi yang aneh. Selama ini dia masih mau ketemuan sama Ratna juga kalau ada teman-teman lain yang ikut. Sebisa mungkin dia menghindar ketemuan berduaan aja sama Ratna. Lagian emang belum pernah juga kok mereka harus ketemuan berdua aja.
Jadi serentak mereka menggelengkan kepala sambil menggumamkan satu alasan dengan suara tidak jelas. Berusaha terlihat sopan, tapi intinya ogah banget nerima tawaran Mas Ruli itu.
“Aku ada janji sama temen besok, Mas,” kata Tasha sambil memasang muka nggak enak. Akting.
“Saya ada urusan keluarga, Mas. Padahal kalau nggak ada sih, mau aja nginep di sini,” kata Decky juga sambil memasang muka nggak enak. Akting.
“Saya mau ke bengkel, Mas. Mobil udah minta diservis,” kata Donny seadanya dan nggak pake muka nggak enak. Polos.
Mas Ruli tampak memasang muka sedikit kecewa. Entah akting, entah benar dia kecewa. Nggak ada yang peduli. Ratna sedang di dalam menyiapkan makan malam untuk mereka. Diam-diam dia melihat ke arah taman. Dilihatnya bagaimana Donny sesekali mencuri-curi pandang ke arah Tasha tiap kali cewek itu tertawa lepas.
Tasha memang cewek yang menarik perhatian siapa saja. Dia cantik, putih, tinggi, langsing, rambut panjang hitam dan lurus. Tipikal gadis iklan di tivi banget. Satu aja kekurangannya, nggak punya pacar sampai sekarang. Kalau dilihat-lihat, sebenarnya Tasha itu cocok banget disandingkan dengan Donny. Sama-sama cakep, sama-sama keren, sama-sama nggak punya pacar.
Ratna sendiri sebenarnya agak shock juga mengetahui kalau ternyata Donny masih suka sama Tasha. Setelah sekian lama, ternyata perasaan Donny ke Tasha belum berubah sama sekali. Terngiang lagi di kepalanya percakapan singkatnya sore tadi di dapur sama Donny. Setelah dia menebak dengan tepat tentang perasaan Donny ke Tasha.
“Plis, Rat, gue pernah percaya sama lo untuk simpen rahasia gue dulu. Dan sekarang gue minta hal yang sama. Jangan bilang siapa-siapa. OK?” Donny meminta dengan wajah memelas.
Ratna mengangguk pasti. Bukan masalah itu yang bikin dia agak terkejut. Ratna jelas bisa menjaga rahasia. Buktinya selama bertahun-tahun persahabatan mereka, tidak ada satu pun teman-teman mereka yang tahu kalau Donny cinta mati sama Tasha. Sampe sekarang lho, catet! Cuma masalahnya sekarang Ratna nggak habis pikir sama Donny. Umur segini udah bukan saatnya untuk memendam perasaan. Kenapa sih Donny masih aja menunggu untuk mengungkapkan perasaannya ke Tasha? Apa lagi yang ditunggunya? Kalau masalah takut ditolak, itu resiko. Tapi menyimpan perasaan sekian lama itu kan menyiksa banget. Duh, Ratna benar-benar kasihan sekarang sama Donny.
Dulu dia pacaran dengan Donny juga tahu sekali kalau Donny nggak punya perasaan apa-apa sama dia selain nggak enak. Nggak enak karena mereka udah terlanjur ciuman nggak sengaja. Lalu Donny bilang kalau dia butuh Ratna, karena cuma Ratna yang bisa ngerti dia. Ratna tahu banget kalau dia cuma jadi rebound girl buat Donny. Dia nggak masalah sama sekali. Perasaannya ke Donny terlalu dalam. Dan dia tahu, kalau bukan dengan jalan itu, nggak mungkin dia cukup beruntung selama beberapa bulan menyandang predikat pacarnya Donny. Sebenarnya bukan predikat itu yang diincarnya. Dia hanya ingin sempat merasakan dekat dengan Donny, karena tahu kalau Donny bukan untuknya. Kenangannya dengan Donny selalu ada di satu tempat istimewa yang tersembunyi dalam hatinya dan cuma dia yang tahu di mana tempat itu dan cuma dia yang punya anak kunci untuk membukanya.
Kadang kalau lagi sebel sama Mas Ruli, dia suka membuka-buka lagi ruang rahasia di hatinya dimana dia menyimpan kenangannya dengan Donny. Cuma sekedar menghibur diri aja. Mengingat-ingat yang sudah lalu tanpa ada keinginan untuk kembali lagi ke sana. Reta, anaknya cukup jadi alasan utnuk tetap berada di tempatnya sekarang tanpa dia harus iseng main-main api dengan masa lalunya. Lagipula Donny memang pure menganggap dia sahabat sampai sekarang. Segila-gilanya Donny, nggak mungkin dia coba-coba untuk main-main lagi dengan Ratna yang sudah jadi istri orang. Donny nggak segila itu.
Empat bulan pacaran sama Donny cukup memperkaya harinya dengan kenangan-kenangan yang lucu dan menyenangkan sebenarnya. Jalan-jalan ke tempat-tempat yang nggak pernah dia datangi sebelumnya, makan di restoran-restoran mahal, dibanjiri hadiah-hadiah keren yang sampai sekarang masih disimpannya dengan rapi. Semua itu bagi Ratna adalah bonus. Hal utama yang paling dia nikmati saat pacaran dengan Donny adalah bisa selalu ada dekat dengannya. Ratna sama sekali nggak masalah kalau tiap akhir kencan mereka Donny selalu menyebut-nyebut nama Tasha, entah dengan sengaja atau keceplosan. Yang jelas Tasha tetap selalu ada di antara mereka. Sampai sekarang.
Ratna tahu banget kalau dia nggak akan bisa bikin Donny bahagia, walaupun dia jungkir balik maksa untuk melakukan apa pun yang bisa buat dia bahagia. Cuma Tasha yang bisa. Dan malam ini dia menemukan cara bagaimana membahagiakan Donny, in sort of an awkward way. Ratna sendiri sebenarnya nggak ngerti juga kenapa dia harus melakukan ini. Tapi dia tahu Donny pasti akan sangat bahagia kalau dia ikut membantunya mendapatkan Tasha kali ini. Ratna tahu, dulu sekali Donny datang kepadanya adalah untuk tujuan itu. Minta bantuannya untuk mendapatkan Tasha. Dan waktu itu Ratna nggak bisa apa-apa karena Tasha sudah pacaran dengan Rakha.
Sekarang keadaan sudah berbeda sekali. Tasha dan Donny sama-sama bebas sebebas-bebasnya. Sampai saat ini Ratna belum mendengar kabar kalau Tasha sedang dekat dengan seseorang. Kalaupun ada, Ratna yakin sekali itu nggak akan bertahan lama. Tasha terlalu sulit membuka diri dengan orang baru. Itu juga makanya teman-teman dekatnya sampai sekarang nggak nambah-nambah. Dia susah percaya dengan orang yang baru dikenalnya. Donny juga, walaupun sering gonta-ganti gandengan, nggak ada satupun yang diseriusin sama dia. Donny masih Donny yang dulu. Semua dianggapnya hanya main-main, kecuali satu. Tasha.
“Yuk, makan dulu,” ajak Ratna dari arah dalam rumah.
Mereka semua beranjak masuk ke dalam dan duduk di meja makan kayu persegi panjang itu. Ratna masak besar malam itu. Gurame goreng yang lumayan besar ada di tengah-tenagh meja makan. Sayur asem, sambel terasi dan goreng-gorengan tempe, tahu dan ikan asin plus lalapan juga hadir meramaikan. Donny dan Decky membelalakkan matanya sambil mengelus-elus perut mereka. Masakan rumahan selalu menggoda iman dengan caranya sendiri. Apalagi ini dimasak sama sahabat sendiri.
“Wuaaah, Ratna…makasih yaa…,” kata Tasha dengan takjub.
“Hahaha, biasa aja, kali! Ayo, banzaai!” kata Ratna sambil menyendokkan nasi ke piring Mas Ruli.
Pemandangan itu tertangkap di mata Tasha. Harus ya seorang istri itu menyendokkan nasi ke piring suaminya? Nggak bisa ngambil sendiri apa? Mau nggak mau Tasha merasa sedikit terganggu dengan pemandangan itu. Dan entah dengan maksud apa, Tasha sendiri bingung, dia pun lalu menyendokkan nasi ke piring Decky. Ratna melirik adegan itu dengan perasaan ketar-ketir. Dia melihat Donny yang pura-pura nggak lihat adegan itu, padahal jelas-jelas dia tahu apa yang sedang dilakukan Tasha.
“Sendokin Donny juga dong, Sha! Biar adil. Hahaha,” kata Ratna berusaha mencairkan ketegangan di wajah Donny.
“Sini, sini sayang, aku sendokin nasi ke piring kamu,” kata Tasha sambil mengerling ke arah Donny.
Mereka tertawa terbahak-bahak sambil melanjutkan makan malam itu. Donny memandang penuh arti ke arah Ratna. Dia masih sama seperti dulu. Sangat tahu apa yang dirasakannya. Dia tersenyum dan dibalas dengan senyum tipis di bibir Ratna.
Selseai makan malam itu jam sudah menunjukkan jam sembilan. Donny, Decky dan Mas Ruli sedang menikmati rokok mereka di taman. Tasha membantu Ratna membenahi meja makan. Ratna nggak punya pembantu. Ada ibu-ibu tua yang datang sekali-sekali ke rumahnya untuk membersihkan rumah dan mencuci. Semua dikerjakannya sendiri. Tasha nggak kebayang bagaimana capeknya Ratna sehari-hari.
“Tiap hari lo kayak gini, Rat?” tanyanya sambil mengeringkan piring di tangannya.
“Iya,” jawab Ratna singkat.
“Capek ya, bo…” katanya lagi, entah bertanya, entah menyatakan.
“Kalau dibawa capek ya capek, kalau ikhlas demi keluarga, apalagi anak, nggak terasa capeknya,” jawab Ratna.
Tasha memandang wajah Ratna dengan seksama. Motherhood is really can change you upside down. Ratna sebelum menikah jauh beda dengan Ratna setelah menikah dan menjadi seorang ibu. Dulu Ratna adalah salah satu golongan perempuan mandiri, tahu keinginannya, dan memandang pernikahan itu tidak perlu-perlu amat. Sampai cinta mengubah segalanya. Katanya sih begitu dulu. Ratna bilang dia jatuh cinta sama Mas Ruli, atasannya di kantor. Jatuh Cinta sampai rela meninggalkan kehidupan bebas dan pekerjaannya. Ffiiuh, di mata Tasha, Ratna berkorban sangat besar. Tapi mungkin buat Ratna anak, suami dan keluarganya adalah bayaran sepadan atas pengorbanan itu. Walaupun yang kelihatan di mata Tasha sekarang Ratna justru jadi jauh lebih capek. Kapan enjoynya yah? Tasha mikir-mikir sendiri dalam hati.
“Lo lagi deket sama siapa sekarang, Sha?” Tiba-tiba suara Ratna membuyarkan pikirannya tentang Ratna.
“Eh? Nggak ada,” jawabnya singkat.
“Sama sekali?” Ratna mengejar.
“Ya Ratnaa, kalo ada juga gue pasti cerita sama lo!” jawab Tasha lagi dengan suara meyakinkan.
“Maksud gue, lagi nggak punya perasaan khusus sama seseorang, gitu? Sampe sekarang?” tanya Ratna lagi masih penasaran.
“Umm, kalo soal itu, lain lagi…” kata Tasha dengan nada suara mengambang.
“Maksudnya?”
“Ya, gitu deh…” jawab Tasha makin nggak jelas.
“Lo lagi suka sama seseorang, gitu?”
Tasha menganggukkkan kepalanya dengan ragu.
“Kayaknya sih gitu, tapi..nggak tau, deh!”
“Siapa?”
Tasha diam.
“Kok diem? Gue kenal?”
Tasha masih diam.
“Sha? Siapa?”
Mata Tasha menatap keluar, ke arah taman. Donny, Decky dan Mas Ruli masih asyik ngobrol di sana dengan asap putih rokok mereka di sekeliling. Ratna terbelalak. Bukan! Bukan karena dia ngirain Tasha suka sama Mas Ruli. Tapi mata Tasha tertumbuk pada satu sosok di sana. Dan itu…
“Decky? Sejak kapan?” tanya Ratna pelan.
“Sejak lama…” Kali ini suaranya makin mengambang.
*BERSAMBUNG*
*Image from goodcomics.comicresources.com*
Januari 50K (#3): Antara Ridho Rhoma dan Eminem
Kenapa sih buat cewek lajang umur 27 seperti dirinya masalah baju bisa jadi issue yang pelik sekali, ngalah-ngalahin issue global warming? Mau pake yang sporty takut dikirain nggak nyadar umur. Mau pake yang agak rapi, takut dipanggil ibu atau tante. Mau pake rok mini, rasanya nggak pas kalau acaranya sore-sore. Mau pake gaun…helloo, mau kondangan, jeng?
Sebenarnya bukan masalah pakaiannya yang bikin ribet Tasha siang ini. Tapi lebih ke masalah dugaan orang-orang terhadapnya. Tasha pernah pergi ke minimarket pakai kemeja gombrong, celana jeans dan sandal jepit. Eh, kok mbak pramuniaganya malah nawarin susu bayi ke dia? Dikirain ibu-ibu menyusui? Beteee! Trus pernah lagi jalan nemenin Ratna jemput anaknya les KUMON waktu dia bolos kerja dulu. Dia pake blouse putih chiffon dengan sedikit renda di lengan dan leher. Malah dikasih brosur KUMON bahasa inggris sama mbak-mbaknya.
“Ini program baru kita, bu. KUMON sekarang nggak cuma matematika aja, tapi ada bahasa inggrisnya juga,” kata si mbak-mbak kepada Tasha.
Ngomong ke Tasha lho, bukan ke Ratna. Karena si mbak-mbak emang udah kenal sama Ratna. Emangnya tampangnya setua itu ya? Ehm, maksudnya udah pantes ya dia punya anak? Stupid question! Bukannya Ratna yang sedang duduk nungguin anaknya di sebelahnya itu seumur sama dia? Tapi tetap Tasha gondok aja kalau ada yang mengira dia sudah menikah apalagi punya anak. Atas dasar apa?
Memangnya status menikah atau belum menikah itu ditentukan oleh wajah? Atau umur? Ih, sebel banget! Tapi biar sebel-sebel begitu, Tasha tetap belum ada keinginan untuk menikah sampai sekarang. Dia masih ingat tekad bajanya setelah putus dari Rakha dulu. Nggak akan nikah sampai dia menemukan laki-laki yang benar-benar sreg di hatinya. Lho, bukannya semua orang yang menikah juga begitu?
Tasha tersenyum sinis di depan cermin di kamarnya. Nggak semua orang nikah dengan seseorang yang emang sreg di hatinya. Ada yang karena terpaksa. Ada yang karena kasihan. Ada yang karena dijodohin. Dan yang terakhir itu beneran nggak banget, deh! Hare gene dijodohin?
Jadi inget sama Rakha lagi kan, tuh! Tasha sempat tahu kabarnya Rakha setelah lulus kuliah. Konon kabarnya dia berangkat ke Amerika dengan si Nisa itu setelah menikah secara sederhana di rumahnya. Cuma keluarga dekat aja yang diundang. Rencananya resepsi besar-besaran baru akan mereka gelar setelah Rakha selesai dengan studi dua tahunnya di sana. Jadi menikah itu lebih ke supaya Nisa bisa ikut dengan Rakha ke Amerika sebagai istri. Cih! Somehow rasanya kok jadi berbelok ya niatan nikah mereka dalam pikiran Tasha? Kalau Rakha nggak harus ke Amerika berarti belum tentu dong mereka menikah buru-buru begitu. Ya, nggak? Pasti mereka akan merencanakan dengan matang segala sesuatunya termasuk perayaan besar-besaran. Ini Rakha lho, anaknya CEO wilayah Asia sebuah perusahaaan minyak punya Amerika itu. Sampai si mamanya Rakha mau banget menahan diri untuk nggak langsung menggelar pesta besar-besaran untuk putra satu-satunya itu rasanya aneh aja buat Tasha. Buat apa menikah kalau cuma ingin mengejar halal hidup serumah di Amerika sana? Nggak bisa ya si Nisa itu nunggu aja sampe Rakha lulus kuliah trus baru nikah? Hahaa, sekarang jadi sewot lagi deh kalau ingat itu.
Brrr. Tasha menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menghapus ingatannya tentang Rakha dan Nisa. Dan yang paling ingin dihilangkannya saat ini juga adalah bayangannya di depan cermin dengan celana jeans ketat dan T-shirt warna baby blue bertuliskan Girly Girl yang ditulis dengan tinta sablon glitter. So ABG! Tinggal nambahin bando atau jepit rambut warna pink di rambut sepundaknya itu, lengkaplah sudah.
Cepat-cepat Tasha membuka T-shirt biru muda itu. Kembali ke lemari pakaiannya yang luas menutupi satu sisi dinding kamar di apartemennya itu. Pintu geser lemarinya itu sudah puluhan kali dibuka dan ditutup. Sekarang di tangan Tasha sudah ada kemeja ketat warna ungu muda dengan motif kotak-kotak kecil. Tangan baju sepanjang siku dengan aksen kancing kayu yang manis. Ah, pake ini aja kali, ya? Tapi ungu?
Ini lagi yang bikin ribet. Kenapa justru warna kesukaannya itu identik sama yang namanya warna janda? Padahal ungu itu cantik banget di mata Tasha. Apalagi ungu muda seperti kemejanya itu. Ya iyyalaah, kalau nggak suka nggak akan dibeli kali! Lagian ada apa sih dengan orang-orang? Warna aja bisa jadi prasangka tentang status seseorang? Janda pula. Kan kasihan yang suka warna ungu seperti dirinya. Lebih kasihan lagi yang statusnya janda, masa mau kemana-mana kudu pake baju warna ungu? Hehehe, mulai ngaco, deh!
Tasha sadar banget kalau pikiran-pikiran ribetnya ini mulai mengganggunya sejak sahabat-sahabat perempuannya, Ratna dan Sandra, menikah. Apalagi setelah itu Ratna langsung tokcer hamil. Melihat teman-teman sepergaulannya itu tiba-tiba berubah drastis dari cewek sosialita dengan karir bagus lalu mendadak menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak di rumah cukup bikin dia menelan ludah. Apa Ratna dan Sandra nggak kangen ya pengen kerja lagi kayak dulu? Nongkrong-nongkrong di café sepulang kerja seperti yang biasa mereka lakukan dulu? Atau sekedar menghabiskan uang gajian mereka di mall, shop ‘till they literally drop?
Semenjak mereka punya anak, mau janjian ketemu aja susahnya minta ampun.
“Anak gue les KUMON besok, Sha. Nggak bisa ketemuan.” Alasan Ratna waktu dia ngajakin Ratna ketemu di Grand Indonesia jam makan siang.
“Anak gue lagi sakit, say. Nggak mungkin gue tinggalin berdua aja sama si mbak.” Alasan Sandra waktu dia ngajak Sandra nongkrong di Kemang di akhir pekan.
Mendadak semuanya seperti nggak punya waktu sama sekali untuk diri mereka sendiri. Mengerikan! Bahkan ajakan ke salon untuk facial dan creambath sekali sebulan aja jarang-jarang bisa mereka penuhi. Astaga! Mau sampai kapan kayak begitu? Seumur hidup dong, ya? Beraaaat!
Kalau sudah begitu, biasanya Tasha cuma bisa pasrah dan akhirnya nongkrong sama Decky dan Donny. Bukannya dia nggak suka ngobrol sama sahabat-sahabat cowoknya itu. Cuma aja, kadang ada aja nggak nyambungnya kalau ngobrol sama mereka. Kadang-kadang Tasha ingin minta pendapat mereka soal sepatu yang lagi diincarnya. Nanya ke mereka berdua sama aja bikin kepala mau meledak.
“Itu sepatu satu lemari emang dipake semua ya, Sha?” Itu Decky pasti deh yang suka nanya kayak gitu.
“Sha, kaki lo nggak pegel apa pake sepatu tinggi banget gitu? Lo kan nggak pendek-pendek amat buat ukuran cewek. Kalo lo pake sepatu itu, ntar malah lo jadi lebih tinggi dari gue sama Decky, tau!” Itu Donny yang komentar waktu dia sedang histeris menatap sepasang stiletto merah di etalase mall.
They just don’t get it! Ini bukan masalah dipake atau nggak. Bukan juga masalah issue tinggi badan. Ini masalah cewek! Dan mereka nggak akan pernah ngerti sampe kapanpun. Itulah makanya Tasha selalu ngotot kalau mereka semua harus bertemu tiap bulan. Kalau bisa di luar dan bukan di rumah salah satu dari mereka. Tasha kangen dengan kebersamaan mereka yang bebas kayak jaman kuliah dulu. Itu pun sebenarnya nggak bebas-bebas banget buat Ratna dan Sandra. Kadang mereka bawa anak-anaknya. Kadang malah sama suami-suami mereka, karena selesai ngumpul mereka mau lanjut rekreasi keluarga. Tapi paling nggak, ada sedikit waktu dalam sebulan mereka kembali ke masa-masa kuliah dulu. Bebas ngobrol dan bercanda. Satu jam juga nggak apa-apa, deh!
“Just gonna stand there and watch me burn. But that’s alright. Because I like the way it hurts…” Terdengar sayup-sayup lagu Love The Way You Lie si Eminem dan Rihanna dari handphone Tasha.
Tasha sengaja jalan pelan-pelan menuju meja rias di depannya itu. Dia masih ingin dengar sedikit lagi lirik lagu yang sedang cucok banget dengan moodnya beberapa bulan belakangan ini.
“Just gonna stand there and hear me cry. But that’s alright. Because I love the way you lie…”
Donny. Namanya terpampang di layar handphone Tasha.
“Haloh!”
“Sha, bisa ganti nggak ring back tone lo? Gue pengen nangis darah dengernya.” Suara Donny langsung bicara tanpa sapaan, khas Donny.
Somehow dia emang pede banget orangnya. Nggak pernah dia bilang ‘halo’ atau ‘helo’ atau apa kek kalau menelepon teman-temannya. Kalau diprotes, dengan santainya dia akan bilang, “Itu kan nomor lo yang gue hubungi, pasti lo kan yang angkat? Masih perlu gue basa-basi pake bilang, ‘Hallooow, bisa bicara dengan Tasha?’ Cape dee!”
Padahal maksud mereka itu, kenapa dia nggak bisa bertingkah kayak kebanyakan orang aja sewajarnya? Yang umum itu kan kalau menelepon seseorang ya menyapa dulu. Dan Donny dengan santai lagi akan bilang, “Gue kan emang beda! Jangan samain gue sama rakyat jelata kayak lo, dong!” Minta ditabok atau gimana, coba?
“Emang RBT gue apaan, ya?” tanya Tasha sambil berusaha mengingat-ingat ring back tone yang sedang dipakainya saat ini. Soalnya kayaknya udah lama juga dia nggak ganti-ganti RBT.
“Lagunya Ridho Romaaa! Sumpah, nggak tengsin ya lo kalau relasi kerja lo yang nelpon gitu?”
Tasha mau nggak mau ketawa ngakak sekarang. Dia ingat dua bulan yang lalu dia iseng pake RBT itu karena Decky juga ngajakin dia iseng-iseng pake lagu dangdut buat RBT-nya. Asli, Cuma iseng aja. Abis itu dia malah lupa sama sekali. Hihihi…
“Lho, emang kenapa? Kok mesti malu? Hahaha…” Tasha ketawa ngakak dengar Donny misuh-misuh habis disuguhi lagu dangdut dari handphone-nya itu.
“Tau, ah! Lo udah siap belum? Mau gue jemput, nggak?” kata Donny dengan suara pasrah.
“Belooom! Masih bingung mau pake baju apa. Tolongin gue, dooong!” Suara khas Tasha merengek manja keluar, teringat dengan dilema ‘baju pertemuan’ yang sedang dihadapinya itu.
“Lho? Mau gue bantuin apaan? Makein baju? Sini, siniii, tunggu akuuu!” kata Donny dengan bandel.
“Bantuin gue pilihin baju, begooo!”
“Hahaha, kalo lo nanya gue, gue bakal nyaranin lo nggak usah pake baju, Sha!” Lalu terdengar suara Donny di seberang sana ketawa ngakak kenceng banget.
“Percuma ngomong sama orang Timbuktu! Udah sini, jemput gue. Ntar kita berangkat bareng. Decky juga udah gue telpon, gue suruh ke apartemen gue dulu. Jadi kita berangkat bertiga,” kata Tasha sambil ngedumel dalam hati menghadapi kelakuan Donny barusan.
Dezigh! Tiba-tiba aja Donny merasa ada sesuatu yang menusuk dadanya. Pelan sih, tapi cukup deh buat bikin dia diam beberapa saat. Kenapa Tasha telpon Decky, sih? Kenapa dia nggak telpon Donny? Kalau dia nggak ngajak Tasha buat berangkat bareng, berarti Tasha bakalan berangkat berdua aja dong sama Decky?
“Ooo…oke, deh! Gue jalan sekarang, ya!” kata Donny berusaha terdengar biasa.
*BERSAMBUNG*
*Image from kabukishojo.com*
Januari 50K (#1): Sahabat
“Pertemuan Dharma Wanita bulan ini di rumah Ratna, soalnya anaknya lagi UAS (ulangan umum ya?) jadi nggak bisa ngumpul di café biasa. Decky, lo bawa minuman dingin…minuman diiingin…’ya know what I mean *wink* and Sandra, lo bawa apa aja deh, asal jangan bawa anak lo! Hahaha…becanda, dear! Bring your ‘lil bad boy along, but don’t forget to bring the nanny as well. Donny, bawa apa kek, asal jangan bawa cewek! Hehehe, bawa snack sekalian ya, Don! OK? All set? Don’t be late! Saturday, 3 pm”
Decky menghembuskan nafasnya kesal. Mesti ya tu anak pake istilah ‘dharma wanita’ untuk pertemuan bulanan mereka itu? Nggak ada istilah yang lebih ‘kinky’ lagi apa? Like, ‘Pertemuan Orang Tua Murid SD Inpres Apa Gitu’ atau ‘Rapat Panitia Tujuhbelasan RW’? OK, pertemuan orang tua murid itu mungkin bisa langsung dicoret karena baru Ratna dan Sandra yang udah punya anak. Yang tiga lagi masih single and very happy sampai sekarang. Rapat panitia tujuhbelasan itu juga kayanya kalah ‘kinky’ sama ‘pertemuan dharma wanita’ karena pertemuan mereka ini diadakan setiap bulan, nggak cuma bulan Agustus aja. So? That means Decky harus, mau nggak mau, terima sebutan pertemuan bulanannya dengan sahabat-sahabatnya saat kuliah itu dengan ‘Pertemuan Dharma Wanita’.
Arrrgh! Kenapa gue bisa stuck sama cewek-cewek gila itu sih? Cewek gila plus satu cowok malang yang bernasib serupa dengan dirinya, Donny. Decky memasukkan kembali Blackberrynya ke dalam saku kemejanya. Sudahlah, ini masih tengah hari. Setengah hari lagi harus berkutat dengan kerjaannya di kantor. Nanti setelah pulang kerja, dia akan telepon Tasha, si pengirim SMS tadi, dan maki-maki tu anak sepuasnya.
Belum sampai pantat Decky di kursi abu-abunya, BB-nya kembali bunyi. Kali ini telepon masuk. Dari Donny, sahabatnya sejak jaman kuliah.
“Yellow!”
“Dateng nggak lo? Kalo nggak dateng, gue juga males, ah!”
“Pret! Nelpon orang gak pake manner lo! Salamlekum dulu kek, halo kek! Dasar udik!”
“Hahaha, kagak pake salam-salaman dah sama lo! Udah kayak pak ustad aja lo! Dateng nggak?”
“Dateng kalo lo dateng. Sama aja kan?”
“Ya, udah. Bareng ya!”
“Cuih! Lo ngomong barusan kayak cewek banget lo! Bareng ya, aku takut kalo berangkat sendirian nih! Ntar kalo aku dicolek om-om gimana?” Decky ngakak sendiri setelah ngomong dengan logat suara perempuan jadi-jadiannya itu.
“Sompret! Bukan apa-apa, bro! Lo tau dong tu cewek-cewek ganas banget. Gue takut diperkosa! Huahaha! Mana yang dua udah jadi ibu-ibu pula! Hadooh! Ide siapa sih neh yang kudu bikin pertemuan tiap bulan segala? Udah kayak arisan RT nyokap gue aja!”
“Santai aja napa sih? Dua bulan lalu juga gue dateng sendiri. Lo nggak bisa dateng. Inget kan lo? Kalo gue mau, harusnya sekarang giliran lo yang dateng sendiri. Mampus!” Decky geli sendiri membayangkan bagaimana wajah sahabatnya itu setelah medengar ucapannya barusan.
“Ah, gila! Nggak, nggak deh! Kalo gitu gue confirm deh nggak dateng! No thank’s!”
“Hahaha, santai, mameeen! Gue dateng kok kalo nggak ada acara lain. Lagian kalo nggak ada gue kan ada lakinya Ratna sama Sandra. Mereka kan cowok juga. Udah terbukti malah! Udah bisa bikin anak gitu!”
“Arrrgh! Tambah gak pengen dateng deh gue! Males banget ngomong sama bapak-bapak. Yang diomongin anak, sekolah, ekonomi negara yang ujung-ujungnya berat buat hidup berkeluarga, bla, bla, bla dan bla!”
Decky tambah ngakak mendengar ocehan Donny di seberang telepon sana. Temannya ini memang alergi banget sama yang namanya pembicaraan seputar keluarga dan anak. Well, actually yang bikin dia alergi itu adalah pernikahan dan segala yang mengikuti setelahnya. Padahal usia mereka semua hampir seumur. Akhir duapuluhan. Suami Ratna dan Sandra juga mungkin hanya setahun atau dua tahun di atas mereka. Tidak ada gap kalau dilihat dari angka. Tapi jelas ada jurang menganga kalau dilihat dari status dan kelakuan.
Decky akhirnya bisa mengakhiri pembicaraan tidak terarah itu dengan Donny. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia kembali menatap layar komputer kerjanya. Cahaya matahari sore dari arah barat, di samping kirinya, masuk melalui jendela. Silau dan sedikit menyengat terasa di kulit lengannya. Benar-benar jam malas dan hampir mustahil untuk bekerja. Tapi mau apa, dia cuma karyawan. Melakukan segalanya demi uang. Nnngg, somehow kok itu jadi kedengeran kayak kerjaan yang gimana gitu, ya?
Asisten pemasaran di sebuah perusahaan trading di pusat kota, Sudirman tepatnya, bagi Decky tidak bisa disebut achievement of a lifetime. Mengingat betapa seringnya ia harus tertnduk-tunduk dengan kemauan dan perintah atasannya yang berkewarganegaraan Jepang itu. God, says who kita udah bebas dari penjajahan? Decky salah satu terjajah itu. Kalau nggak ingat masih ada Mami dan Siska, adiknya, di rumah yang butuh nafkah darinya, rasanya Decky lebih memilih untuk mengejar passion-nya yang tidak sudah lama ditinggalkannya itu.
Entah kapan terakhir kalinya ia bersentuhan dengan yang satu itu. Satu-satunya hal yang bisa ia nikmati dengan hati dan rasa. Tidak bisa dihitung dengan uang, walaupun Decky cukup yakin, hanya masalah waktu saja maka ‘itu’ bisa menjadi sumber pendapatan yang jauh mencukupi untuknya dan keluarganya.
Terdampar di perusahaan asing ini juga bisa dibilang sebagai sebuah keabsurd-an dalam hidupnya. Bagaimana ceritanya seorang lulusan arsitektur bisa diterima kerja sebagai staff pemasaran logam? Decky masih ingat sekali bagaimana hal itu bisa terjadi.
Suatu pagi yang cerah…(why do we always starts story with these lame words?), Decky mendatangi kantor itu setelah menerima panggilan interview kemarin harinya. Datang dengan kemeja lengan panjang satu-satunya dan dasi milik almarhum Papi, Decky sama sekali had no clue perusahaan apa yang memanggilnya. Enam bulan menjadi pengangguran memang akhirnya membuat idealismenya pupus dan larut perlahan seperti gula dalam teh poci. Pekerjaan apa aja deh, asal kerja. Begitulah awalnya ia akhirnya memasukkan lamarannya ke semua lowongan kerja yang ditemukannya di internet. Selama yang diminta lulusan S1 dan bisa berbahasa asing lebih dari dua bahasa langsung bisa dipastikan akan menerima e-mail darinya. Pliiis, hire me! Kalau saja dia bisa mencantumkan itu di bagian akhir surat lamarannya.
Decky sempat shock juga setelah berada di dalam ruangan bersama sang interviewer yang berkebangsaan Jepang. Bukan masalah dia orang Jepang, karena proudly speaking, Decky lumayan fasih berbahasa Jepang. Dia sempat mengikuti kursus singkat selama tiga bulan di Tokyo dulu. Jaman-jamannya masih awal kuliah dulu dan Papi masih ada, dia pernah tinggal di Tokyo. Dia berangkat dengan Papi ke sana, lalu dititipkan di rumah salah satu kerabat Papi yang sedang menyusun thesis S3-nya di sebuah universitas di Tokyo.
Back to orang Jepang tadi, bukan dia yang bikin Decky shock. Tapi pertanyaannya seputar logam dan eksport import yang sukses bikin dia melongo bodoh. Yakin sekali kalau dia tidak akan diterima, Decky malas-malasan menjawab pertanyaan si Jepang itu. Tapi orang Jepang tua yang mewawancarainya itu kelihatannya justru lebih tertarik untuk bertanya-tanya dalam bahasa Jepang setelah mengetahui kalau Decky cukup fasih berkomunikasi dengan bahasa Jepang. Akhirnya pertanyaan pun berbelok menjadi pertanyaan-pertanyaan yang kayaknya ‘nggak nyambung banget sih’ dengan lowongan yang tersedia. Bapak Jepang tua itu, yang akhirnya Decky bisa tahu namanya setelah selesai wawancara, Shimura san, tampak sangat terkesan dengan kemampuan bahasa Jepang Decky.
Dan voila, begitulah kisahnya bagaimana akhirnya Decky, sang arsitektur, diterima bekerja sebagai staff pemasaran bagian logam di perusahaan Jepang tadi. Mau ditolak…ya nggak mungkinlaaah! Tapi mau diterima juga, sempat membuat Decky kebat-kebit. Bisa nggak ya gue? Ah tapi itu derita lo deh, kenapa juga nerima gue? Decky cuek bebek lanjut tanda tangan kontrak awal dengan perusahaan itu.
So, here he is now, di meja kerjanya, jam tiga sore, ditumpahi sinar matahari yang sumpah nggak enak banget rasanya di kulit tangannya dan sibuk mengetik segala angka dalam tabel excel sambil sibuk nyumpah-nyumpahin si Dadang, OB kantor, karena belum–belum juga mengantar kopi pesanannya ke meja.
Decky jadi mikir apa semua orang di Jakarta ini memang bekerja demi uang? Adakah seseorang di luar sana, dalam gedung-gedung tinggi di sekitar jalanan macet ini yang melakukan pekerjaannya dengan tersenyum sumringah dan tidak merasa terpaksa melakukannya? Most of all, adakah orang-orang di Jakarta ini yang bekerja dengan hati yang bahagia. Bangun pagi setiap hari dengan semangat menyambut hari. Berangkat ke kantor sambil mengayun-ayunkan tas kerjanya dan berjalan sambil melompat-lompat seperti anak kecil sedang bermain di padang rumput? OK, that is so weird when you picture that on your mind. Laki-laki dengan jas dan dasi, mengayun-ayunkan tas hitam kecil berisi laptop dan berlari-larian menuju kantornya seolah-olah dia sedang shooting film The Remake Of Little House On The Prairie. But seriously, ada nggak sih?
Huff! Decky menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dengan kesal. Matanya pedas karena menatap layar komputer tanpa berkedip. Bukan karena dia begitu berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Tapi karena dia sibuk berpikir, mau sampai kapan kerja kayak gini? Kapan dia bisa merasa seperti dulu lagi? Bahagia melakukan sesuatu yang sangat disukainya. Dan bahagia yang lebih lengkap lagi karena seseorang yang sangat dicintainya juga ikut merasakan bahagianya itu.
Ah, ngelantur, deh! Decky cepat-cepat berdiri dan berjalan keluar dari kubikel kecilnya itu. Toilet lantai 15 tujuannya. Berarti harus turun tangga dua lantai. Cuma di toilet itu yang bisa merokok bebas. Sebenarnya dia bisa saja pergi ke tangga darurat di belakang kantornya, tapi di sana panas. Atau ke rooftop. Umm, no…di sana lebih garang lagi. Mungkin nanti, kalau matahari sudah hilang baru dia akan ke rooftop gedung untuk merokok dan memperhatikan jalanan macet dari atas.
“Pak Decky! Ini kopinya jadi nggak?” Suara Dadang, si OB, terdengar memanggilnya dari arah pantry.
“Ah, lama lo! Taro di meja gue aja, deh! And please, jangan panggil gue bapak! Berapa kali sih gue bilang?” sahut Decky dengan kesal.
“Maap, pak..eh, mas..eh…” Dadang kalang-kabut gugup menjawab.
“Nah, iya, mas aja maksud gue!” kata Decky dengan nada lebih enak sekarang.
Kasihan juga si Dadang, nggak tahu apa-apa, tapi paling sering kena efek dari stress orang-orang di kantor. Sambil berjalan menuruni tangga Decky jadi mikirin Dadang. Ah ya, belum tahu ya, sejak meninggalkan ‘itu’ Decky memang berubah jadi orang yang paling gampang ke-distract? Tadi lagi mikirin apa, semenit kemudian dia bisa lupa dan mulai mikirin hal lain yang lewat begitu aja di kepalanya. Itu juga dulu waktu masih kecil Mami masukin dia ke kursus musik dan melukis. Biar bisa latihan konsentrasi, kata Mami dulu ke Papi.
Decky sendiri juga heran. Kenapa sekarang pikirannya sering banget loncat-loncat. Lagi mikirin kerjaan, tiba-tiba sang bos lewat. Langsung aja gitu dia mikirin minum bir dingin gara-gara inget kalau si bos sering banget balik makan siang ke akntor dengan muka merah abis minum-minum bir. Terus tiba-tiba Danis, sekretaris si bos lewat sambil nowel pipinya dengan genit. Langsung aja gitu Decky kepikiran sama Maria Ozawa. Hehehe…
Padahal dulu Decky adalah orang yang paling fokus dan penuh konsentrasi. Apalagi kalau dia sedang melakukan ‘itu’ (kapan mau dikuak sih ‘itu’ ini?). Nggak ada yang bisa bikin dia kehilangan konsentrasi. Makanya teman-teman dan keluarganya dulu lebih milih nggak mau ngajak ngobrol Decky kalau dia sedang sibuk dengan ‘itu’nya (‘enuff already with ‘itu’!).
Sampai juga di toilet lantai 15. Decky merogoh-rogoh kantong celananya. Mencari-cari rokok dan korek api gas merk Tokai yang biasanya ada di sana. Bungkus rokoknya ada di saku celana kirinya. Korek api gasnya…ketinggalan! Dan lagi nggak ada siapa-siapa dalam toilet itu selain dirinya.
“Tokai!”
*BERSAMBUNG*
*Image from kabukishojo.com*