ABOUT ME
▼
Minggu, 25 Juli 2010
Work Hard Before Play Hard?
Lana memutuskan untuk lembur masuk kerja hari Senin besok. Tidak ada lagi semangat yang tersisa untuk pergi ke Sentosa Island bersama dua sahabatnya, Fani dan Ogi. Alex sudah menceritakan padanya kalau dia harus hadir di acara gathering kampusnya Senin sore. Dengan berat hati dia membatalkan untuk ikut ke Sentosa bersama mereka bertiga. Lana diam saja berusaha terlihat tenang.
Sama sekali tidak dibahasnya tentang percakapan yang didengarnya antara Alex dan Sally. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya berdenyut. Apalagi membawanya ke permukaan menjadi sebuah percakapan dengan Alex. Biar saja, pikirnya. Baginya tak ada yang harus diklarifikasi. Toh Alex bukan pacarnya. Belum. Tak ada yang perlu dijelaskan tentang status mereka masing-masing saat ini.
Lana memang sedang berupaya untuk menipu hatinya saat ini. Mungkin dengan masuk kerja hari Senin nanti, dia akan cepat melupakan resah dalam hatinya itu. Itu harapan Lana.
Fani sendiri protes keras ketika Lana membatalkan pergi ke Sentosa.
“Kenapa?” tanyanya tak mengerti.
“Males ah, kalo cuma bertiga. Ntar gue ganggu lo berdua,” kata Lana ogah-ogahan.
“Yeee, gak gitu juga kali! Emangnya selama gue pacaran sama Ogi, pernah gitu lo gue cuekin?” Lana tetap protes.
“Ya, nggak sih. Cuma maksud gue, ini kesempatan lo buat berdua aja sama dia. Pergi aja. Biarin deh gue kerja. Lumayan lemburannya lebih gede kalo kerja di hari off, kan?” jelas Lana lagi, berusaha meyakinkan Fani.
“Emang mau masuk jam berapa? Kalo lo masuk pagi, gue tungguin deh sampai jam empat, biar bisa bareng,” Fani masih tetap bersikeras mengajak Lana pergi.
“Masuk siang. Pulang jam dua belas malam,” kata Lana singkat.
Fani terdiam sebentar. Dipandangnya Lana. Dua hari ini mukanya kusut sekali. Tidak ceria seperti biasanya. Tadinya Fani berpikir dia sedang datang bulan. Tapi sepertinya tidak terlalu begitu juga biasanya kalau dia datang bulan. Tapi Lana kenapa? Tanyanya dalam hati.
Tidak biasa-biasanya juga Lana diam, memendam sendiri kalau dia sedang punya masalah. Dia selalu cerita kepada Fani, apapun masalahnya. Apapun itu, Fani yakin sekali kalau Lana sedang menyembunyikan sesuatu.
Cara berbicaranya pada Alex juga jadi berubah, dalam penglihatan Fani. Dia jadi lebih kaku dan seperti menjaga jarak dengan Alex. Jangan-jangan ini memang ada hubungannya dengan Alex? Lana berusaha menelusuri masalah Lana.
Siang itu mereka akan masuk kerja. Lana meninggalkan Fani di lokernya tanpa mengatakan apa-apa lagi setelah percakapan itu. Fani hanya memandangnya melangkah ke luar ruang ganti.
“Lan! Atau kita mundurin aja acaranya ya?” Fani berteriak dengan sisa-sisa usahanya untuk membujuk Lana.
“Jangaan! Susah lagi nemuin jadwal yang cocok. Udah pergi aja!” kata Lana sambil menutup pintu.
Fani diam lagi. Kali ini dia sudah bisa melihat sedikit alasan Lana kenapa dia ikut membatalkan pergi. Bukankah kemarin Alex juga bilang dia tidak bisa ikut? Ada acara kampus katanya. Pantas. Mungkin dia kecewa karena Alex tidak ikut. Akhirnya Fani menghela nafas lega setelah menemukan sendiri kesimpulannya.
Fani keluar dari ruang ganti wanita dan berjalan santai menuju lift khusus karyawan. Alex tampak berjalan menuju ruang ganti pria sambil membuka dasinya. Dia tersenyum melihat Fani.
“Hai. Lana mana?” tanyanya seperti biasa.
Selalu, setiap dia bertemu Fani, yang ditanya olehnya lebih dahulu adalah Lana.
Fani menunjuk ke atas, mengisyaratkan Lana sudah menuju pos kerjanya di Reception lantai satu hotel itu. Alex menganggukkan kepalanya.
“Alex! Kamu emang betul nggak bisa ikut hari Senin?” tanya Fani akhirnya.
Alex berhenti di depan pintu. Dia mengangkat bahunya dengan ekspresi sebal lalu menggeleng lemah.
“Tidak bisa. Maaf, ya! Sebab dosenku juga hadir. Aku harus ada di sana,” jelas Alex padanya.
“OK…Saya cuma kasihan sama Lana. Dia yang ingin sekali ke sana. Tapi dia malah akhirnya memutuskan untuk lembur di hari liburnya. Katanya dia tidak mau pergi kalau cuma bertiga,” kata Fani lagi.
“Dia mau masuk kerja?” tanya Alex sedikit terkejut.
Fani menganggukkan kepalanya.
“Ya sudah. Biar saya jemput dia pulang kerja hari Senin itu. Saya akan langsung ke hotel setelah acara sekolah saya selesai,” ujarnya seperti pada dirinya sendiri.
Fani kembali menganggukkan kepalanya. Semangatnya untuk pergi ke Sentosa Island hanya tinggal lima puluh persen saja. Kalau saja Ogi bukan pacarnya, mungkin dia juga akan membatalkan untuk pergi. Fani tidak ingin melewatkan juga keinginannya untuk jalan bersama Ogi selama satu hari penuh. Walaupun akan lebih menyenangkan kalau ada Lana dan Alex bersama mereka.
Sudahlah. Kapan-kapan bisa direncanakan lagi, harapnya sendiri. Tanpa disadarinya dia sudah sampai ke dapur restoran yang ditujunya.
Tampak Uncle Stephen sedang berteriak-teriak menyuruh para chef trainee itu untuk bergerak lebih cepat. Suasana dalam dapur memang selalu panas. Panas karena hawa api untuk memasak dan juga panas oleh hawa emosi para awaknya. Di mana-mana sama saja. Fani ingat dapur tempat prakteknya di kampus. Pak Dadang, dosen yang mengajar bagian Kitchen juga selalu berteriak-teriak dan memukul keras-keras apapun yang ada di dekatnya. Kalau kebetulan di dekatnya ada panci stock yang besarnya hampir sebesar tubuhnya itu, maka dia akan memukul panci itu dengan sekeras-kerasnya.
Fani melihat suasana di dalam dapur sekilas. Untung aku bukan praktek di sana, pikirnya lega. Fani bersyukur dia bekerja di bagian depan restoran. Di mana segalanya tampak rapi, bersih, penuh tata tertib, damai dan sedikit romantis dengan alunan musik klasik yang lembut serta dinginnya penyejuk ruangan yang disetel dengan maksimal. Para tamu itu tidak tahu bagaimana kacau-balaunya di belakang sana menyiapkan hidangan untuk mereka di restoran yang elegan ini, kata Fani sambil mengambil cloth putih untuk mengeringkan goblet yang sudah selesai dicuci oleh para busboy di belakang.
Keindahan dalam restoran itu hanya sebatas permukaan saja. Sebatas yang perlu ditampilkan di mata para tamu yang mereka layani. Padahal untuk menghadirkan keindahan itu, banyak sekali keributan dan kekacauan serta kepanikan yang harus terjadi di belakang. Para chef itu pontang-panting menyiapkan pesanan mereka. Panik jika sampai pesanan itu terlambat hadir ke meja tamu. Belum lagi kalau ada kekacauan seperti sup tumpah atau salah memberi garnish dan sebagainya. Semua harus dilakukan dengan benar dan cepat. Tidak heran Uncle Stephen tampak jauh lebih tua dari usianya. Pekerjaannya sungguh berat. Lagi-lagi Fani asyik sendiri dengan pikirannya.
“Fani! Move!” sebuah suara keras mengejutkannya.
Reflek Fani meloncat ke arah samping. Sebuah trolley besar berisi piring dan mangkok berjumlah ratusan sedang di dorong oleh seorang waiter dengan susah payah. Waiter itu menghentikan trolley tepat di samping Fani. Lantas dia tersenyum dan menyerahkan selembar kertas. Inventory. Begitu yang tertulis di kertas itu.
Fani melenguh pelan. Uuuh, kenapa selalu aku yang kebagian tugas menyebalkan ini? Ratapnya dalam hati. Apa karena statusku cuma trainee? Tega banget sih! Fani cemberut mengambil kertas itu lalu mulai menurunkan piring-piring keramik yang berat itu sedikit demi sedikit. Menghitungnya satu demi satu. Menyesuaikan jumlahnya dengan data di kertas itu. Lalu menuliskannya kembali di kolom yang baru. Sungguh memuakkan. Tiba-tiba dia hanya ingin saat itu dia dan Ogi sudah sampai di pinggir pantai memandang pulau Batam dari Sentosa.
***
BERSAMBUNG
image from http://www.blackwolf-images.com/images/dis/sw_animals.jpg
Minggu, 18 Juli 2010
G, Konflik dan (Tetep) Cemburu Dibahas...Hahahaaa....
Hahahahaaaai...
itu si G emang jaiiil banget! Entah jail atau emang dia pinter baca pikiran dan perasaan orang lewat tulisan. Selalu telak nebak apa yang gw coba sampaikan secara tersirat dalam tulisan-tulisan gw. Bahkan kadang yang spooky-nya lagi, dia bisa nebak pesan lain yang justru tadinya gk kepikiran sama gw dan tring, malah dia yang berhasil nemuin. Wkwkwkwkwk...dukun lo ya? Hahahaaaa....
Puisi Hello Jealousy itu bener-bener gambaran suasana hati gw waktu gw bikin itu. Waktu itu G cuma ketawa-ketawa ngakak aja bacanya. Tapi pas dia baca cerpen tentang cemburu gw, dia bisa langsung menilai itu bener-bener datang dari dalam hati! Shit! Jadi mau malu gw ketauan. Wkwkwkwkwk....
Padahal gw gak bilang apa-apa sama dia soal cemburu-cemburuan itu. Lagian gk pengen juga diumbar-umbar. Tapi kayanya gelora cemburu di hati gw kebaca sama dia lewat cerpen gw. Hahahaaa...you're good, G! Damn good! Wkwkwkwkwk....
Ngomong-ngomong soal cemburu...Delapan tahun menikah plus dua tahun pacaran, baru kali ini lho gw ngerasain. Makanya gw jadi jungkir balik gk karuan gini. Gak ngerti mesti gimana. Gak ngerti mesti bereaksi seperti apa. Dan gak ngerti mesti ngomong apa? Walaaah...gak enak bener dah!
Menyebalkan banget kena perasaan yang satu ini. Mudah-mudahan bisa cepet ilang. Abis perasaan gw kok kayanya itu rasa merusak hati banget ya? Susah ngelupainnya, walaupun alhamdulillah gw masih bisa menemukan sisi lucu dari kejadian itu. Teteeeup, cemburu ya cemburu. Jeles ya jeles aja. Wkwkwkwkwk...Mumeeet!
Gak penting ya gw ceritain apa yang gw cemburuin. Biarlah gw yang tau dan nelen getirnya sendiri. Hkkk, jleb! Cuma ngerasain cemburu itu bener-bener pengalaman baru buat gw. Wkwkwkwkwk...Gilaaa, sepuluh tahun lho berhubungan, kok ya baru pertama kalinya ngerasain cemburu? Kemana aja, mbakyuuu??? Hahahahaaa....
Apa mungkin karena gw ini termasuk pribadi yang terlalu cuek ya? Maca ciii? (Sumpah gw eneg banget nulis kata 'maca cii' ini..hueek!). Apa itu artinya gw bukan pribadi yang romantis picis kacang buncis engklek, ya? Waduh, susah dong! Katanya mau ikutan lomba penulisan novel romansa di Gagas Media. Lha, yang nulis gk romantis gini. Huahahahaa...capcay deee....
Back to G again, katanya kadang perlu ngerasain konflik itu sendiri untuk bahan tulisan kita. Huaaaa...tapi gw gk pengen ngerasain yang kayak gini lagi! Benar-benar menyebalpun! Emang terasa sih sebenernya kekuatan aura cerita gw dengan mengalami sendiri cerita yang gw tulis. Beda kalau itu cerita dari hasil mengkhayal. Tapi, tetep gak mauuuu lagiii!!!
Sampai saat ini pun sebenernya gw masih sebel sama si cemburu itu. Bukan sebel sama pemicunya. Masalahnya sendiri udah kelar dari kapan tau! Wkwkwkwk...cuma cemburunya itu masih suka ilang nimbul gitu. Gimana sih caranya nenggelemin dia sampe modar sekalian? Hueee...
Jealousy...bete deh looo!!!
G, silahkan ngakak yang kenceng, biar Mamimu bingung sekalian. Hahahahaa....
itu si G emang jaiiil banget! Entah jail atau emang dia pinter baca pikiran dan perasaan orang lewat tulisan. Selalu telak nebak apa yang gw coba sampaikan secara tersirat dalam tulisan-tulisan gw. Bahkan kadang yang spooky-nya lagi, dia bisa nebak pesan lain yang justru tadinya gk kepikiran sama gw dan tring, malah dia yang berhasil nemuin. Wkwkwkwkwk...dukun lo ya? Hahahaaaa....
Puisi Hello Jealousy itu bener-bener gambaran suasana hati gw waktu gw bikin itu. Waktu itu G cuma ketawa-ketawa ngakak aja bacanya. Tapi pas dia baca cerpen tentang cemburu gw, dia bisa langsung menilai itu bener-bener datang dari dalam hati! Shit! Jadi mau malu gw ketauan. Wkwkwkwkwk....
Padahal gw gak bilang apa-apa sama dia soal cemburu-cemburuan itu. Lagian gk pengen juga diumbar-umbar. Tapi kayanya gelora cemburu di hati gw kebaca sama dia lewat cerpen gw. Hahahaaa...you're good, G! Damn good! Wkwkwkwkwk....
Ngomong-ngomong soal cemburu...Delapan tahun menikah plus dua tahun pacaran, baru kali ini lho gw ngerasain. Makanya gw jadi jungkir balik gk karuan gini. Gak ngerti mesti gimana. Gak ngerti mesti bereaksi seperti apa. Dan gak ngerti mesti ngomong apa? Walaaah...gak enak bener dah!
Menyebalkan banget kena perasaan yang satu ini. Mudah-mudahan bisa cepet ilang. Abis perasaan gw kok kayanya itu rasa merusak hati banget ya? Susah ngelupainnya, walaupun alhamdulillah gw masih bisa menemukan sisi lucu dari kejadian itu. Teteeeup, cemburu ya cemburu. Jeles ya jeles aja. Wkwkwkwkwk...Mumeeet!
Gak penting ya gw ceritain apa yang gw cemburuin. Biarlah gw yang tau dan nelen getirnya sendiri. Hkkk, jleb! Cuma ngerasain cemburu itu bener-bener pengalaman baru buat gw. Wkwkwkwkwk...Gilaaa, sepuluh tahun lho berhubungan, kok ya baru pertama kalinya ngerasain cemburu? Kemana aja, mbakyuuu??? Hahahahaaa....
Apa mungkin karena gw ini termasuk pribadi yang terlalu cuek ya? Maca ciii? (Sumpah gw eneg banget nulis kata 'maca cii' ini..hueek!). Apa itu artinya gw bukan pribadi yang romantis picis kacang buncis engklek, ya? Waduh, susah dong! Katanya mau ikutan lomba penulisan novel romansa di Gagas Media. Lha, yang nulis gk romantis gini. Huahahahaa...capcay deee....
Back to G again, katanya kadang perlu ngerasain konflik itu sendiri untuk bahan tulisan kita. Huaaaa...tapi gw gk pengen ngerasain yang kayak gini lagi! Benar-benar menyebalpun! Emang terasa sih sebenernya kekuatan aura cerita gw dengan mengalami sendiri cerita yang gw tulis. Beda kalau itu cerita dari hasil mengkhayal. Tapi, tetep gak mauuuu lagiii!!!
Sampai saat ini pun sebenernya gw masih sebel sama si cemburu itu. Bukan sebel sama pemicunya. Masalahnya sendiri udah kelar dari kapan tau! Wkwkwkwk...cuma cemburunya itu masih suka ilang nimbul gitu. Gimana sih caranya nenggelemin dia sampe modar sekalian? Hueee...
Jealousy...bete deh looo!!!
G, silahkan ngakak yang kenceng, biar Mamimu bingung sekalian. Hahahahaa....
Jumat, 16 Juli 2010
Hello, Jealousy...
Hello, jealousy...
What are you really?
I've tasted you once...
It was kinda sweet...
But you didn't go at all..
You stay still instead...
Then the sweetness becomes bitterness...
Hello, jealousy...
Won't you please just go?
Let love takes your place...
Like you took its place before...
So sweetness will come once again...
Hello, jealousy...
How to deal with you?
You come and go as you wish...
Can you at least tell me...?
Tell me why you are here...
Hello, jealousy...
Can you tell my love one...?
That you're already here...
In my heart...
So he can help me to let you go...
Becoz I've tasted you...
And that's enough...
Bye, jealousy...
Let love take the way...
Come again some other time...
Only next time...
Please visit him, instead of me...
Hahaaa...
What are you really?
I've tasted you once...
It was kinda sweet...
But you didn't go at all..
You stay still instead...
Then the sweetness becomes bitterness...
Hello, jealousy...
Won't you please just go?
Let love takes your place...
Like you took its place before...
So sweetness will come once again...
Hello, jealousy...
How to deal with you?
You come and go as you wish...
Can you at least tell me...?
Tell me why you are here...
Hello, jealousy...
Can you tell my love one...?
That you're already here...
In my heart...
So he can help me to let you go...
Becoz I've tasted you...
And that's enough...
Bye, jealousy...
Let love take the way...
Come again some other time...
Only next time...
Please visit him, instead of me...
Hahaaa...
Kamis, 15 Juli 2010
Sayembara Cerpen dan Cerber Femina
Ayooo...Siapa mau ikutaaan? Terus terang gw tertarik sih. Bukan sama hadiahnya, walaupun iyess saya butuh duit. Hahahaa...
Tapi mau ngukur aja, bisakah? Dan kalau ini gw anggap tantangan, berarti harus gw sambut. Sebab, gw gak bisa nyuekin tantangan.
Gimana, ma prens? Kalian pasti lagi mikir-mikir...hmmm, ikut gak yaaa?
Ayyolaaah...kata seseorang dulu kala...you've got nothing to loose...Hahahahaa...
Cekidot di sini, okeh! ^^b
Tapi mau ngukur aja, bisakah? Dan kalau ini gw anggap tantangan, berarti harus gw sambut. Sebab, gw gak bisa nyuekin tantangan.
Gimana, ma prens? Kalian pasti lagi mikir-mikir...hmmm, ikut gak yaaa?
Ayyolaaah...kata seseorang dulu kala...you've got nothing to loose...Hahahahaa...
Cekidot di sini, okeh! ^^b
Selasa, 13 Juli 2010
Resep Si Onis : Epilog Absurd (Part 30)
EPILOG ABSURD
Aku mendengar suara klakson berulangkali dari luar kamarku. Cepat-cepat aku berlari menuju balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah limousine barwarna hitam dengan rooftop terbuka berhenti di depan rumahku. Kulihat Tanabe san tengah menyembulkan kepalanya dari rooftop limousine hitam itu. Sebuah karangan bunga mawar merah teracung tinggi di tangan kanannya. Dia tersenyum padaku dengan penuh kebahagiaan.
Aku tak bisa menahan senyum mengembang di wajahku. Rasanya aku adalah perempuan paling bahagia di dunia. Dia datang ke rumahku membuktikan cintanya padaku. Kudengar dia memanggilku dari bawah.
"Fani! Faniii!"
Lama-lama suara beratnya berubah menjadi suara tinggi Mamiku.
"Faniiii! Bangun doong! Udah siang begini! Makanya cepet dong cari kerja lagi. Jangan nganggur melulu. Mami senewen deh bangunin kamu tiap hari kayak gini," kudengar Mamiku ngomel membangunkan aku dari mimpi indahku.
Semprul! Mimpi itu datang lagi. Sudah empat bulan ini mimpi ala film Pretty Woman itu menghampiri tidurku. Sungguh norak. Berarti sudah empat bulan aku menganggur dan tidur sampai siang seperti ini.
"Iyaaa!" teriakku malas dari dalam kamarku.
Tiin! Tiin! Kudengar suara klakson mobil dari luar. Lho? Aku masih mimpi atau sudah bangun sih? Mendadak aku kehilangan orientasi sesaat. Aku berlari ke arah balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah sedan hitam mirip limousine berhenti di depan rumahku. Aku mengusap-usap mataku dengan setengah tidak percaya. Ternyata itu sebuah taksi berargo mahal yang dulu selalu dinaiki Onis. Aku nyengir menyadari kebodohanku. Tentu saja tidak mungkin ada limousine datang ke rumahku. Dan lebih tidak mungkin lagi aku berharap Tanabe san akan muncul dari dalam limousine itu dengan seikat mawar merah ala Richard Gere dalam film Pretty Woman itu. Hahaha...anak bodoh, kutukku pada diri sendiri.
Aku kembali ke dalam kamar sambil tertawa sendiri. Aku tidak peduli siapa yang datang. Paling-paling tamu untuk Mami, pikirku.
"Faniii! Ada tamu niiih!" Mami memanggilku dengan berteriak.
Siapa? Jadi taksi tadi membawa tamu untukku? Aku segera berlari ke bawah masih mengenakan dasterku.
Onis! Onis dengan perutnya yang mulai membesar. Aku tertawa lebar melihatnya. Aku kangen sekali padanya. Dan aku bahagia sekali melihat perut gendutnya itu.
Oh Tuhan, dia tidak menggugurkan kandungannya! Aku sangat bahagia. Aku menghambur ke arahnya untuk memeluknya.
"Oniiis! Gue kangen bangeeet!" kataku sambil berlinangan air mata. Norak banget, deh. Biarin ah, pikirku.
Onis tertawa ngakak melihat reaksiku. Dia membalas pelukanku dengan hangat. Kuajak dia untuk duduk di taman belakang rumahku. Aku ingin mendengar ceritanya. Semuanya. Tentang Misako. Tentang Tommy. Tentang kehamilannya. Tentang Tanabe san kalau bisa. Huhuhu...ngarep!
Panjang dan lama Onis bercerita. Intinya dia memberanikan diri untuk meneruskan kehamilannya. Tommy sudah bisa dipastikan menghilang begitu dia memutuskan untuk tidak menggugurkan janinnya itu. Ayah Onis tidak bereaksi banyak mendapai putrinya hamil tanpa suami. Dia sudah terlalu pikun untuk itu. Dan Dion, adiknya, ternyata bisa mengerti kondisi Onis dan dengan tahu diri mencari kerja sambilan untuk membiayai kuliahnya. Onis dan keluarganya pindah rumah ke rumah yang lebih kecil di pinggiran Depok. Menjauhi segala omongan tetangga yang malas didengarnya. Dan sekarang Onis membuka sebuah toko pakaian anak-anak di dekat rumahnya dari modal tabungannya selama ini. Aku tidak mau bertanya-tanya dari mana hasil tabungannya itu. Aku cukup mengerti akan itu.
Aku menatap Onis dengan kagum. Dia sudah berubah menjadi wanita yang sangat dewasa hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Empat bulan! Kurasa hormon keibuannya membantunya tumbuh dewasa dalam berpikir sekarang. Onis tidak meledak-ledak seperti aku mengenalnya dulu. Dia berbicara dengan tenang sambil sesekali mengelus-elus perutnya yang membuncit itu. Dia masih tetap cantik dan modis seperti biasa.
"Deni gimana?" tanyaku. Mau tidak mau aku jadi teringat dengannya.
"Aku nggak tau, Fan. Kabar terakhir yang aku dengar dia pacaran sama Dian," jawab Onis tidak berminat membahasnya.
"Dian? Jadi mereka akhirnya pacaran? Hahaha...Apa kabar tuh si perempuan sinting itu?" tanyaku pada Onis.
"Dia dapat peringatan keras dari Tanabe san, Fan. Gara-gara ketauan nyebar fitnah ke lo. Trus dia disuruh minta maaf juga ke Fujiyama san. Gak lama abis kejadian itu dia resign. Malu kali!" kata Onis sambil tertawa geli.
Wahahaa...aku tidak bisa memungkiri kalau saat ini aku menjadi manusia jahat yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi bukannya Dian sudah lebih dahulu tertawa menginjak-injak aku? Kurasa balasan setimpal sudah didapatnya.
"Trus, gimana ceritanya waktu lo berhenti kerja, Nis?" tanyaku penasaran.
"Semua orang udah mulai kasak-kusuk dari sebulan yang lalu waktu mereka nyadar gue hamil. Trus Tanabe san manggil gue," jelas Onis dan berhenti sejenak.
Aku menunggu kelanjutan cerita Onis. Tapi tampaknya Onis sengaja menggantung kalimatnya untuk melihat reaksiku mendengar nama Tanabe disebut-sebutnya. Aku membenarkan posisi dudukku dengan gelisah. Onis tertawa melihatku.
"Hahaha...lo masih kepikiran dia, ya?' tanya Onis dengan tatapan penuh selidik.
"Ah, nggak juga sih. Cuma pengen tau aja, gimana reaksinya waktu tau kalo yang hamil itu lo bukan gue," kataku membela diri, berusaha terlihat cool. Padahal dalam hati aku hampir mampus penasaran ingin mendengar kabar tentang dia, si Richard Gere dalam mimpiku itu.
"Dia udah balik ke Jepang, Fan. Tapi dia titip pesan buat lo sebelum dia pergi. Waktu itu dia tanya-tanya dengan detail tentang kejadian e-mail nyasar itu. Gue kasih tau semuanya sama dia. Setelah gue cerita semuanya itu dia kasih peringatan keras ke Dian. Intinya dia nyesel setengah mati karena nggak bisa belain lo waktu itu. Gue juga minta maaf sama dia karena udah bikin kacau hubungan lo sama dia. Tapi dia dengan penuh pengertian bilang lo itu mau menyelamatkan gue. Gue udah tau itu, Fan. Gue tau lo adalah teman terbaik yang pernah gue punya seumur hidup gue," kata Onis memandangku dalam.
Aku masih diam mendengarkan. Aku menunggu pesan apa yang dikatakan Tanabe pada Onis?
"Dia bilang dia mau balik ke Indonesia lagi untuk ketemu sama lo. Bukan sebagai atasan. Ya iyalaaah....Katanya dia mau minta maaf dan memperbaiki semuanya. Itu kalau lo bersedia," kata Onis.
"Oooh...,jadi dia udah di Jepang ya sekarang?" tanyaku kecewa.
Onis tertawa lagi melihatku.
"Minggu depan dia ada di sini. Mau ketemu nggak sama dia?" tanya Onis padaku.
"Ngapain? Kalau dia mau ketemu sama gue, suruh aja dia dateng ke rumah gue! Kenapa gue yang mesti dateng ke dia? Gue kan bukan karyawannya lagi!" jawabku sewot.
"Ya, iyalaah, noon..." kata Onis. "Lo tunggu aja. Dia punya rencana besar buat lo kayaknya," kata Onis penuh rahasia.
"Rencana besar apaan? Jangan ngomong kalo dia mau ngelamar gue ya!" kataku panik.
"Huahahaa...GR banget sih lo, Fan?" Onis tidak bisa menahan tawanya.
Sompret! Aku jadi malu sendiri dengan ucapanku barusan. Tapi sumpah, memang itu yang terbersit di benakku waktu Onis bilang tentang ‘rencana besar' itu tadi.
"Jadi? Apaan dong?" tanyaku lagi dengan bloon.
"Dia udah keluar dari Misako, Fan. Sekarang sedang ngurus ijin berdiri perusahaan punya dia di Jakarta. OK! Segitu aja yang gue tau, tapi gue rasa itu lebih dari cukup buat lo untuk bisa membayangkan rencana besar seperti apa yang dia maksud," kata Onis sambil mengerling padaku.
Aku terdiam beberapa saat mencerna ucapan Onis barusan. Olalaa...dia akan ada di sini lagi untuk selamanya? Dan ada rencana besar untukku, kata Onis? Rencana besar yang belum bisa kubayangkan, tapi sudah terbentuk dalam khayalku dengan indahnya.. Kubiarkan pikiranku melayang sesukanya. Dia akan datang untukku, kataku dengan perasaan sumringah yang luar biasa saat ini. Atau aku hanya merasa GR sendiri? Sebodo! Biarkan aku dengan cengiranku yang tak mau pergi ini. Mohon jangan ganggu aku.
Ini duniaku
Tak perlu kau lihat
Kalau kau tak mau
Apalagi kau nilai
Karena aku tak butuh
Aku hanya ingin hidup damai
Bahagia secara hatiku
Aku tak butuh teman
Jika teman adalah hakimku
Aku tak butuh cinta
Jika cinta adalah belengguku
Aku ingin bahagia dengan caraku
Kau carilah bahagiamu
Aku tak akan mengganggumu
_____________________________________________________________________________________
TAMAT
Aku mendengar suara klakson berulangkali dari luar kamarku. Cepat-cepat aku berlari menuju balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah limousine barwarna hitam dengan rooftop terbuka berhenti di depan rumahku. Kulihat Tanabe san tengah menyembulkan kepalanya dari rooftop limousine hitam itu. Sebuah karangan bunga mawar merah teracung tinggi di tangan kanannya. Dia tersenyum padaku dengan penuh kebahagiaan.
Aku tak bisa menahan senyum mengembang di wajahku. Rasanya aku adalah perempuan paling bahagia di dunia. Dia datang ke rumahku membuktikan cintanya padaku. Kudengar dia memanggilku dari bawah.
"Fani! Faniii!"
Lama-lama suara beratnya berubah menjadi suara tinggi Mamiku.
"Faniiii! Bangun doong! Udah siang begini! Makanya cepet dong cari kerja lagi. Jangan nganggur melulu. Mami senewen deh bangunin kamu tiap hari kayak gini," kudengar Mamiku ngomel membangunkan aku dari mimpi indahku.
Semprul! Mimpi itu datang lagi. Sudah empat bulan ini mimpi ala film Pretty Woman itu menghampiri tidurku. Sungguh norak. Berarti sudah empat bulan aku menganggur dan tidur sampai siang seperti ini.
"Iyaaa!" teriakku malas dari dalam kamarku.
Tiin! Tiin! Kudengar suara klakson mobil dari luar. Lho? Aku masih mimpi atau sudah bangun sih? Mendadak aku kehilangan orientasi sesaat. Aku berlari ke arah balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah sedan hitam mirip limousine berhenti di depan rumahku. Aku mengusap-usap mataku dengan setengah tidak percaya. Ternyata itu sebuah taksi berargo mahal yang dulu selalu dinaiki Onis. Aku nyengir menyadari kebodohanku. Tentu saja tidak mungkin ada limousine datang ke rumahku. Dan lebih tidak mungkin lagi aku berharap Tanabe san akan muncul dari dalam limousine itu dengan seikat mawar merah ala Richard Gere dalam film Pretty Woman itu. Hahaha...anak bodoh, kutukku pada diri sendiri.
Aku kembali ke dalam kamar sambil tertawa sendiri. Aku tidak peduli siapa yang datang. Paling-paling tamu untuk Mami, pikirku.
"Faniii! Ada tamu niiih!" Mami memanggilku dengan berteriak.
Siapa? Jadi taksi tadi membawa tamu untukku? Aku segera berlari ke bawah masih mengenakan dasterku.
Onis! Onis dengan perutnya yang mulai membesar. Aku tertawa lebar melihatnya. Aku kangen sekali padanya. Dan aku bahagia sekali melihat perut gendutnya itu.
Oh Tuhan, dia tidak menggugurkan kandungannya! Aku sangat bahagia. Aku menghambur ke arahnya untuk memeluknya.
"Oniiis! Gue kangen bangeeet!" kataku sambil berlinangan air mata. Norak banget, deh. Biarin ah, pikirku.
Onis tertawa ngakak melihat reaksiku. Dia membalas pelukanku dengan hangat. Kuajak dia untuk duduk di taman belakang rumahku. Aku ingin mendengar ceritanya. Semuanya. Tentang Misako. Tentang Tommy. Tentang kehamilannya. Tentang Tanabe san kalau bisa. Huhuhu...ngarep!
Panjang dan lama Onis bercerita. Intinya dia memberanikan diri untuk meneruskan kehamilannya. Tommy sudah bisa dipastikan menghilang begitu dia memutuskan untuk tidak menggugurkan janinnya itu. Ayah Onis tidak bereaksi banyak mendapai putrinya hamil tanpa suami. Dia sudah terlalu pikun untuk itu. Dan Dion, adiknya, ternyata bisa mengerti kondisi Onis dan dengan tahu diri mencari kerja sambilan untuk membiayai kuliahnya. Onis dan keluarganya pindah rumah ke rumah yang lebih kecil di pinggiran Depok. Menjauhi segala omongan tetangga yang malas didengarnya. Dan sekarang Onis membuka sebuah toko pakaian anak-anak di dekat rumahnya dari modal tabungannya selama ini. Aku tidak mau bertanya-tanya dari mana hasil tabungannya itu. Aku cukup mengerti akan itu.
Aku menatap Onis dengan kagum. Dia sudah berubah menjadi wanita yang sangat dewasa hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Empat bulan! Kurasa hormon keibuannya membantunya tumbuh dewasa dalam berpikir sekarang. Onis tidak meledak-ledak seperti aku mengenalnya dulu. Dia berbicara dengan tenang sambil sesekali mengelus-elus perutnya yang membuncit itu. Dia masih tetap cantik dan modis seperti biasa.
"Deni gimana?" tanyaku. Mau tidak mau aku jadi teringat dengannya.
"Aku nggak tau, Fan. Kabar terakhir yang aku dengar dia pacaran sama Dian," jawab Onis tidak berminat membahasnya.
"Dian? Jadi mereka akhirnya pacaran? Hahaha...Apa kabar tuh si perempuan sinting itu?" tanyaku pada Onis.
"Dia dapat peringatan keras dari Tanabe san, Fan. Gara-gara ketauan nyebar fitnah ke lo. Trus dia disuruh minta maaf juga ke Fujiyama san. Gak lama abis kejadian itu dia resign. Malu kali!" kata Onis sambil tertawa geli.
Wahahaa...aku tidak bisa memungkiri kalau saat ini aku menjadi manusia jahat yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi bukannya Dian sudah lebih dahulu tertawa menginjak-injak aku? Kurasa balasan setimpal sudah didapatnya.
"Trus, gimana ceritanya waktu lo berhenti kerja, Nis?" tanyaku penasaran.
"Semua orang udah mulai kasak-kusuk dari sebulan yang lalu waktu mereka nyadar gue hamil. Trus Tanabe san manggil gue," jelas Onis dan berhenti sejenak.
Aku menunggu kelanjutan cerita Onis. Tapi tampaknya Onis sengaja menggantung kalimatnya untuk melihat reaksiku mendengar nama Tanabe disebut-sebutnya. Aku membenarkan posisi dudukku dengan gelisah. Onis tertawa melihatku.
"Hahaha...lo masih kepikiran dia, ya?' tanya Onis dengan tatapan penuh selidik.
"Ah, nggak juga sih. Cuma pengen tau aja, gimana reaksinya waktu tau kalo yang hamil itu lo bukan gue," kataku membela diri, berusaha terlihat cool. Padahal dalam hati aku hampir mampus penasaran ingin mendengar kabar tentang dia, si Richard Gere dalam mimpiku itu.
"Dia udah balik ke Jepang, Fan. Tapi dia titip pesan buat lo sebelum dia pergi. Waktu itu dia tanya-tanya dengan detail tentang kejadian e-mail nyasar itu. Gue kasih tau semuanya sama dia. Setelah gue cerita semuanya itu dia kasih peringatan keras ke Dian. Intinya dia nyesel setengah mati karena nggak bisa belain lo waktu itu. Gue juga minta maaf sama dia karena udah bikin kacau hubungan lo sama dia. Tapi dia dengan penuh pengertian bilang lo itu mau menyelamatkan gue. Gue udah tau itu, Fan. Gue tau lo adalah teman terbaik yang pernah gue punya seumur hidup gue," kata Onis memandangku dalam.
Aku masih diam mendengarkan. Aku menunggu pesan apa yang dikatakan Tanabe pada Onis?
"Dia bilang dia mau balik ke Indonesia lagi untuk ketemu sama lo. Bukan sebagai atasan. Ya iyalaaah....Katanya dia mau minta maaf dan memperbaiki semuanya. Itu kalau lo bersedia," kata Onis.
"Oooh...,jadi dia udah di Jepang ya sekarang?" tanyaku kecewa.
Onis tertawa lagi melihatku.
"Minggu depan dia ada di sini. Mau ketemu nggak sama dia?" tanya Onis padaku.
"Ngapain? Kalau dia mau ketemu sama gue, suruh aja dia dateng ke rumah gue! Kenapa gue yang mesti dateng ke dia? Gue kan bukan karyawannya lagi!" jawabku sewot.
"Ya, iyalaah, noon..." kata Onis. "Lo tunggu aja. Dia punya rencana besar buat lo kayaknya," kata Onis penuh rahasia.
"Rencana besar apaan? Jangan ngomong kalo dia mau ngelamar gue ya!" kataku panik.
"Huahahaa...GR banget sih lo, Fan?" Onis tidak bisa menahan tawanya.
Sompret! Aku jadi malu sendiri dengan ucapanku barusan. Tapi sumpah, memang itu yang terbersit di benakku waktu Onis bilang tentang ‘rencana besar' itu tadi.
"Jadi? Apaan dong?" tanyaku lagi dengan bloon.
"Dia udah keluar dari Misako, Fan. Sekarang sedang ngurus ijin berdiri perusahaan punya dia di Jakarta. OK! Segitu aja yang gue tau, tapi gue rasa itu lebih dari cukup buat lo untuk bisa membayangkan rencana besar seperti apa yang dia maksud," kata Onis sambil mengerling padaku.
Aku terdiam beberapa saat mencerna ucapan Onis barusan. Olalaa...dia akan ada di sini lagi untuk selamanya? Dan ada rencana besar untukku, kata Onis? Rencana besar yang belum bisa kubayangkan, tapi sudah terbentuk dalam khayalku dengan indahnya.. Kubiarkan pikiranku melayang sesukanya. Dia akan datang untukku, kataku dengan perasaan sumringah yang luar biasa saat ini. Atau aku hanya merasa GR sendiri? Sebodo! Biarkan aku dengan cengiranku yang tak mau pergi ini. Mohon jangan ganggu aku.
Ini duniaku
Tak perlu kau lihat
Kalau kau tak mau
Apalagi kau nilai
Karena aku tak butuh
Aku hanya ingin hidup damai
Bahagia secara hatiku
Aku tak butuh teman
Jika teman adalah hakimku
Aku tak butuh cinta
Jika cinta adalah belengguku
Aku ingin bahagia dengan caraku
Kau carilah bahagiamu
Aku tak akan mengganggumu
_____________________________________________________________________________________
TAMAT
Resep Si Onis : Bye Misako (Part 29)
BYE MISAKO
Pagi ini sangat...sangat...sangat...huaah...tidak bisa digambarkan. Perutku sudah melilit tidak karuan sejak aku berangkat dari rumah. Kucium tangan Mami lebih lama dari biasanya.
"Kenapa sih? Lama amat nyium tangannya? Mami kan baru megang ikan. Gak bau?" tanya Mamiku heran melihat kelakuanku yang tidak seperti biasanya.
Aku meringis mendengar ucapan Mami. Memang tercium bau amis ikan dari tangan Mami, tapi aku tidak peduli. Entah kenapa, sepertinya aku mendapat kekuatan ekstra setelah mencium tangan Mami pagi ini.
Semalam aku tidak berhasil berbicara dengan Tanabe san. Tapi aku mengirim pesan singkat tentang apa yang terjadi. Aku hanya mengatakan ada e-mail yang salah terkirim ke alamat e-mail miliknya dan Dian. Aku tidak mengatakan kalau itu e-mail dari Onis. Aku hanya mengatakan ada kesalahan pengiriman e-mail yang seharusnya bukan ditujukan untuk Dian atau pun dirinya. Aku tidak mau Onis terseret. Aku takut Onis akan dipecat, sedangkan dia pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Kukirim pesan singkat itu ke Tanabe san hanya sekedar untuk berjaga-jaga supaya dia tidak terlalu terkejut kalau hari ini dipanggil menghadap Fujiyama san. Dia tidak membalas pesanku.
Onis tidak masuk hari ini. Perasaanku tidak enak. Aku khawatir sekali dia akan melakukan ‘itu' hari ini. Mudah-mudahan dugaanku salah, doaku dalam hati. Kantor masih sepi. Sengaja aku datang pagi-pagi untuk mempersiapkan mental menghadapi hari ini.
Beberapa teman kantor sudah datang dan melewatiku dengan pandangan aneh. Aku tahu mereka pasti sudah mendengar berita-berita bohong dari Dian tentangku berikut bumbu-bumbu penyedapnya. Aku tidak bisa menyalahkan mereka termakan gosip itu. Bagaimana pun , bukti hitam di atas putih ada di tangan Dian, walau pun ternyata itu bukti yang salah.
Sudah jam sembilan pagi. Tanabe san sudah datang dan langsung melewatiku begitu saja tanpa melihat ke arahku. Aku juga tidak berusaha untuk menyapanya seperti biasa. Dian juga sudah datang lima menit sebelum Tanabe san datang. Dia tersenyum lebar padaku dengan muka sinisnya itu. Aku tersenyum balik padanya seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dan dia melengos kesal dan membuang muka melihat aku bisa tersenyum padanya. Mungkin dia berharap aku akan mendelik marah atau berteriak marah padanya. Ah, sekali lagi, dia berharap aku akan bermain seperti orang tidak bersekolah? Dia sungguh salah!
Kriing! Telpon di mejaku berbunyi. Dari Syasya.
"Pagi, Fan...Fujiyama san tunggu kamu di ruangannya ya. Ada Tanabe san juga," kata Syasya dengan nada prihatin.
Entah cerita apa yang sudah didengarnya. Aku tidak mau bertanya-tanya lagi.
Kutarik nafasku dalam-dalam. This is it! Siap tidak siap, aku harus menghadapinya. Aku sudah punya keputusan bulat sejak tadi malam sebelum aku tidur. Dan rasanya keputusan itu semakin mantap terasa dalam hatiku.
"Ohayo gozaimasu, Fujiyama san..Tanabe san..." sapaku sambil masuk ke ruangan Fujiyama san.
Tidak ada Dian. Pertanda bagus, kataku menghibur diri. Degup jantungku terasa kencang. Kutenangkan hatiku. Aku tidak salah...dan tidak ada satu pun yang bersalah di ruangan ini, aku menenangkan diri.
"Haik. Sit down, please..." Fujiyama san mempersilahkan aku duduk di samping Tanabe san.
"So...ada yang bisa menjelaskan apa maksudnya e-mail ini?" tanya Fujiyama san sambil menyerahkan selembar kertas kepada Tanabe san.
Tanabe san tampak membaca sekilas kertas itu dan terdiam sesaat. Dia memandang ke arahku dengan pandangan tidak mengerti. Aku tahu dia tidak akan menyangka kalau e-mail salah kirim yang kumaksud itu berisi tentang rencana aborsi yang mengerikan. Tanabe san menarik nafas sebentar lalu mulai berbicara.
"Saya sudah diberitahu oleh Fani san mengenai hal ini, Fujiyama san. Fani san bilang dia salah kirim e-mail. Seharusnya e-mail itu bukan untuk saya atau Dian san," jelasnya pada Fujiyama san.
Fujiyama san mengangguk-anggukkan kepalanya tanda paham akan penjelasan itu. Tapi tampaknya dia merasa belum puas.
"Fine..But I think I still have to talk to you about your attitude then, Fani san," katanya padaku.
"What's with my attitude?" tanyaku berani.
"Well, saya tahu ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu. Kamu bekerja dengan baik di sini. Tapi saya tidak bisa menutupi kenyataan kalau kita ada di Indonesia. Saya sangat memahami ada nilai-nilai yang kalian junjung tinggi berhubungan dengan masalah aborsi ini. Lain halnya jika kita bukan di Indonesia. Jadi saya hanya ingin menanyakan kepada kamu Fani san, apa yang sebaiknya saya lakukan menghadapi masalah kamu ini?" tanya Fujiyama san padaku.
"Saya rasa tidak ada, Fujiyama san. Kalau menurut anda saya sudah tidak pantas untuk bekerja di sini lagi, silahkan pecat saya. Tapi jangan memecat saya karena alasan yang tidak ada kaitannya dengan performance saya selama ini. Itu sungguh tidak adil untuk saya," kataku berusaha berdiplomasi di hadapan laki-laki Jepang paruh baya ini.
"You're right...Tapi bagaimana tanggapan rekan-rekanmu kalau saya membiarkan kamu tetap bekerja di sini dengan kondisi begitu?" tanyanya padaku.
"Kondisi begitu? Hamil maksud anda?" tanyaku dengan berani.
Fujiyama san mengangguk. Tanabe san yang sejak tadi hanya diam tiba-tiba seperti bergerak terhenyak mendengar aku mengucapkan kata ‘hamil' dengan lantang.
"Apa yang salah dengan kehamilan? Semua perempuan hamil," kataku lagi.
"Tapi umumnya mereka di Indonesia sudah menikah baru hamil. Bagaimana dengan kamu?" tanyanya lagi padaku.
"Saya punya jawaban tepat untuk itu, Fujiyama san. Itu bukan urusan anda," kataku dengan berani. "Saya bisa melihat sekarang bahwa anda seorang pemimpin yang tidak tegas. Kalau anda mau memecat atau memberi sangsi pada saya, seharusnya dari tadi sudah anda lakukan. Tapi anda justru berputar-putar bebicara menunggu saya untuk mengundurkan diri. Kalau itu memang yang anda inginkan, saya mengundurkan diri. I quit! Paling tidak salah satu di antara kita ada yang bisa bersikap tegas!" kataku berani.
Aku berdiri dari tempat dudukku. Kuanggukkan kepala kepada Tanabe san yang tampak terperangah dengan keputusanku. Lalu aku membungkukkan badanku sedikit kepada Fujiyama san dan cepat-cepat aku keluar dari ruangannya. Kembali, untuk ke dua kalinya di Misako aku menahan air mataku agar tidak tumpah di hadapan Tanabe san.
Aku bergegas kembali ke mejaku untuk membenahi barang-barangku. Aku hanya berharap aku sudah mengambil keputusan yang tepat. Aku hanya ingin membantu Onis. Kalau pun pada akhirnya nanti Fujiyama san atau Tanabe san atau Dian atau semua orang di kantor ini menyadari bahwa yang hamil itu adalah Onis dan bukan aku, segalanya sudah terlambat. Atau kalau pun Onis nantinya tetap akan diberhentikan juga dengan alasan attitude-nya itu, dia masih ada kesempatan untuk mencari pekerjaan baru. Toh ini baru pekerjaan pertamaku dan aku masih ada ke dua orang tuaku untuk bergantung sementara ini. Dan jangan lupakan Fia adikku yang karirnya justru lebih baik dari aku. Dia juga masih bisa kujadikan tempat bergantung finansial untuk sementara walaupun nantinya akan kudengar omelan-omelan bawelnya. Sungguh, aku masih jauh lebih beruntung dari pada Onis.
Tiba-tiba Tanabe san muncul di hadapanku. Dia kelihatan sangat gundah. Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku tidak bisa mengharapkan pembelaan darinya. Sejujurnya aku justru merasa kasihan padanya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanya menghadapi kejadian ini. Tapi aku menguatkan hatiku. Aku melakukan ini untuk Onis, ucapku dalam hati.
"Fani san...saya tidak menduga akan begini jadinya," ungkapnya penuh nada penyesalan.
"Kenapa?" tanyaku berusaha tegar.
"Saya tidak menyangka ternyata kamu bisa melakukan hal ini. Saya kira saya sudah sangat mengenal kamu. Saya sempat berpikir kalau kamu tidak sama seperti Anis," katanya dengan masygul.
Aku terdiam. Ingin rasanya aku teriak di mukanya : Aku memang tidak seperti Onis! Tapi kubatalkan keinginanku itu. Biar saja, waktu nantinya yang akan memberitahunya. Dan pada saatnya nanti, mungkin dia sudah tidak ada di Indonesia lagi. Bukankah beberapa bulan lagi dia akan kembali ke Jepang? Lagi-lagi aku berpikir alangkah tidak bergunanya semua perasaan ini.
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Pagi ini sangat...sangat...sangat...huaah...tidak bisa digambarkan. Perutku sudah melilit tidak karuan sejak aku berangkat dari rumah. Kucium tangan Mami lebih lama dari biasanya.
"Kenapa sih? Lama amat nyium tangannya? Mami kan baru megang ikan. Gak bau?" tanya Mamiku heran melihat kelakuanku yang tidak seperti biasanya.
Aku meringis mendengar ucapan Mami. Memang tercium bau amis ikan dari tangan Mami, tapi aku tidak peduli. Entah kenapa, sepertinya aku mendapat kekuatan ekstra setelah mencium tangan Mami pagi ini.
Semalam aku tidak berhasil berbicara dengan Tanabe san. Tapi aku mengirim pesan singkat tentang apa yang terjadi. Aku hanya mengatakan ada e-mail yang salah terkirim ke alamat e-mail miliknya dan Dian. Aku tidak mengatakan kalau itu e-mail dari Onis. Aku hanya mengatakan ada kesalahan pengiriman e-mail yang seharusnya bukan ditujukan untuk Dian atau pun dirinya. Aku tidak mau Onis terseret. Aku takut Onis akan dipecat, sedangkan dia pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Kukirim pesan singkat itu ke Tanabe san hanya sekedar untuk berjaga-jaga supaya dia tidak terlalu terkejut kalau hari ini dipanggil menghadap Fujiyama san. Dia tidak membalas pesanku.
Onis tidak masuk hari ini. Perasaanku tidak enak. Aku khawatir sekali dia akan melakukan ‘itu' hari ini. Mudah-mudahan dugaanku salah, doaku dalam hati. Kantor masih sepi. Sengaja aku datang pagi-pagi untuk mempersiapkan mental menghadapi hari ini.
Beberapa teman kantor sudah datang dan melewatiku dengan pandangan aneh. Aku tahu mereka pasti sudah mendengar berita-berita bohong dari Dian tentangku berikut bumbu-bumbu penyedapnya. Aku tidak bisa menyalahkan mereka termakan gosip itu. Bagaimana pun , bukti hitam di atas putih ada di tangan Dian, walau pun ternyata itu bukti yang salah.
Sudah jam sembilan pagi. Tanabe san sudah datang dan langsung melewatiku begitu saja tanpa melihat ke arahku. Aku juga tidak berusaha untuk menyapanya seperti biasa. Dian juga sudah datang lima menit sebelum Tanabe san datang. Dia tersenyum lebar padaku dengan muka sinisnya itu. Aku tersenyum balik padanya seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dan dia melengos kesal dan membuang muka melihat aku bisa tersenyum padanya. Mungkin dia berharap aku akan mendelik marah atau berteriak marah padanya. Ah, sekali lagi, dia berharap aku akan bermain seperti orang tidak bersekolah? Dia sungguh salah!
Kriing! Telpon di mejaku berbunyi. Dari Syasya.
"Pagi, Fan...Fujiyama san tunggu kamu di ruangannya ya. Ada Tanabe san juga," kata Syasya dengan nada prihatin.
Entah cerita apa yang sudah didengarnya. Aku tidak mau bertanya-tanya lagi.
Kutarik nafasku dalam-dalam. This is it! Siap tidak siap, aku harus menghadapinya. Aku sudah punya keputusan bulat sejak tadi malam sebelum aku tidur. Dan rasanya keputusan itu semakin mantap terasa dalam hatiku.
"Ohayo gozaimasu, Fujiyama san..Tanabe san..." sapaku sambil masuk ke ruangan Fujiyama san.
Tidak ada Dian. Pertanda bagus, kataku menghibur diri. Degup jantungku terasa kencang. Kutenangkan hatiku. Aku tidak salah...dan tidak ada satu pun yang bersalah di ruangan ini, aku menenangkan diri.
"Haik. Sit down, please..." Fujiyama san mempersilahkan aku duduk di samping Tanabe san.
"So...ada yang bisa menjelaskan apa maksudnya e-mail ini?" tanya Fujiyama san sambil menyerahkan selembar kertas kepada Tanabe san.
Tanabe san tampak membaca sekilas kertas itu dan terdiam sesaat. Dia memandang ke arahku dengan pandangan tidak mengerti. Aku tahu dia tidak akan menyangka kalau e-mail salah kirim yang kumaksud itu berisi tentang rencana aborsi yang mengerikan. Tanabe san menarik nafas sebentar lalu mulai berbicara.
"Saya sudah diberitahu oleh Fani san mengenai hal ini, Fujiyama san. Fani san bilang dia salah kirim e-mail. Seharusnya e-mail itu bukan untuk saya atau Dian san," jelasnya pada Fujiyama san.
Fujiyama san mengangguk-anggukkan kepalanya tanda paham akan penjelasan itu. Tapi tampaknya dia merasa belum puas.
"Fine..But I think I still have to talk to you about your attitude then, Fani san," katanya padaku.
"What's with my attitude?" tanyaku berani.
"Well, saya tahu ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu. Kamu bekerja dengan baik di sini. Tapi saya tidak bisa menutupi kenyataan kalau kita ada di Indonesia. Saya sangat memahami ada nilai-nilai yang kalian junjung tinggi berhubungan dengan masalah aborsi ini. Lain halnya jika kita bukan di Indonesia. Jadi saya hanya ingin menanyakan kepada kamu Fani san, apa yang sebaiknya saya lakukan menghadapi masalah kamu ini?" tanya Fujiyama san padaku.
"Saya rasa tidak ada, Fujiyama san. Kalau menurut anda saya sudah tidak pantas untuk bekerja di sini lagi, silahkan pecat saya. Tapi jangan memecat saya karena alasan yang tidak ada kaitannya dengan performance saya selama ini. Itu sungguh tidak adil untuk saya," kataku berusaha berdiplomasi di hadapan laki-laki Jepang paruh baya ini.
"You're right...Tapi bagaimana tanggapan rekan-rekanmu kalau saya membiarkan kamu tetap bekerja di sini dengan kondisi begitu?" tanyanya padaku.
"Kondisi begitu? Hamil maksud anda?" tanyaku dengan berani.
Fujiyama san mengangguk. Tanabe san yang sejak tadi hanya diam tiba-tiba seperti bergerak terhenyak mendengar aku mengucapkan kata ‘hamil' dengan lantang.
"Apa yang salah dengan kehamilan? Semua perempuan hamil," kataku lagi.
"Tapi umumnya mereka di Indonesia sudah menikah baru hamil. Bagaimana dengan kamu?" tanyanya lagi padaku.
"Saya punya jawaban tepat untuk itu, Fujiyama san. Itu bukan urusan anda," kataku dengan berani. "Saya bisa melihat sekarang bahwa anda seorang pemimpin yang tidak tegas. Kalau anda mau memecat atau memberi sangsi pada saya, seharusnya dari tadi sudah anda lakukan. Tapi anda justru berputar-putar bebicara menunggu saya untuk mengundurkan diri. Kalau itu memang yang anda inginkan, saya mengundurkan diri. I quit! Paling tidak salah satu di antara kita ada yang bisa bersikap tegas!" kataku berani.
Aku berdiri dari tempat dudukku. Kuanggukkan kepala kepada Tanabe san yang tampak terperangah dengan keputusanku. Lalu aku membungkukkan badanku sedikit kepada Fujiyama san dan cepat-cepat aku keluar dari ruangannya. Kembali, untuk ke dua kalinya di Misako aku menahan air mataku agar tidak tumpah di hadapan Tanabe san.
Aku bergegas kembali ke mejaku untuk membenahi barang-barangku. Aku hanya berharap aku sudah mengambil keputusan yang tepat. Aku hanya ingin membantu Onis. Kalau pun pada akhirnya nanti Fujiyama san atau Tanabe san atau Dian atau semua orang di kantor ini menyadari bahwa yang hamil itu adalah Onis dan bukan aku, segalanya sudah terlambat. Atau kalau pun Onis nantinya tetap akan diberhentikan juga dengan alasan attitude-nya itu, dia masih ada kesempatan untuk mencari pekerjaan baru. Toh ini baru pekerjaan pertamaku dan aku masih ada ke dua orang tuaku untuk bergantung sementara ini. Dan jangan lupakan Fia adikku yang karirnya justru lebih baik dari aku. Dia juga masih bisa kujadikan tempat bergantung finansial untuk sementara walaupun nantinya akan kudengar omelan-omelan bawelnya. Sungguh, aku masih jauh lebih beruntung dari pada Onis.
Tiba-tiba Tanabe san muncul di hadapanku. Dia kelihatan sangat gundah. Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku tidak bisa mengharapkan pembelaan darinya. Sejujurnya aku justru merasa kasihan padanya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanya menghadapi kejadian ini. Tapi aku menguatkan hatiku. Aku melakukan ini untuk Onis, ucapku dalam hati.
"Fani san...saya tidak menduga akan begini jadinya," ungkapnya penuh nada penyesalan.
"Kenapa?" tanyaku berusaha tegar.
"Saya tidak menyangka ternyata kamu bisa melakukan hal ini. Saya kira saya sudah sangat mengenal kamu. Saya sempat berpikir kalau kamu tidak sama seperti Anis," katanya dengan masygul.
Aku terdiam. Ingin rasanya aku teriak di mukanya : Aku memang tidak seperti Onis! Tapi kubatalkan keinginanku itu. Biar saja, waktu nantinya yang akan memberitahunya. Dan pada saatnya nanti, mungkin dia sudah tidak ada di Indonesia lagi. Bukankah beberapa bulan lagi dia akan kembali ke Jepang? Lagi-lagi aku berpikir alangkah tidak bergunanya semua perasaan ini.
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Resep Si Onis : Chaotic (Part 28)
CHAOTIC
Aku masih berdiri di dalam ruangan Fujiyama san sambil memegang kertas itu. Aku masih belum bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan semua ini. Terus terang aku pun masih bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa sampai ini semua menimpaku? Dan kenapa harus ada Dian yang terlibat tidak sengaja di dalamnya?
Fujiyama san masih berdiri menunggu penjelasanku. Dian masih duduk dengan tenang menungguku untuk mulai berbicara. Akhirnya Fujiyama san berinisiatif untuk menunda ini semua.
"Saya ada meeting di luar sebentar lagi. Saya akan tunggu Tanabe san kembali dari rapat di Cikarang, lalu kamu dan dia akan saya panggil lagi ke sini," katanya akhirnya.
Aku menarik nafas lega. Paling tidak aku masih punya waktu untuk meluruskan ini semua.
Aku menganggukkan kepala dan membungkukkan badanku sekilas lalu keluar. Kulirik sekilas Dian yang sudah berdiri dan siap-siap untuk keluar ruangan juga.
Begitu sampai di luar Dian menyenggolku dengan sengaja.
"Kelakuan brengsek emang susah buat disembunyiin, Fan. Siapa sangka lo bisa ngirim e-mail kaya gitu ke gue," katanya dengan nada rendah sambil berlalu dari hadapanku.
Aku hanya bisa diam mendengarnya. Sumpah, aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
Aku segera kembali ke lobi mencari Onis. Kulihat lobi kosong. Pak Ganda tengah duduk di kursiku.
"Onis mana?" tanyaku pada Pak Ganda yang sedang berputar-putar di kursiku..
"Ke toilet katanya, Fan..." jawab Pak Ganda.
Aku segera melangkah cepat ke dalam, mencarinya.
Brak! Brak! Kupukul pintu toilet yang terkunci itu dengan keras.
"Onis! Keluar lo sekarang!" kataku tidak bisa menahan geram.
Pintu terbuka, dan keluarlah Onis dengan wajah sembab. Kelihatannya dia habis menangis. Tapi peduli setan, aku cuma mau minta penjelasannya tentang kertas yang ada di tanganku saat ini.
"Apa ini?" tanyaku mendesis ke wajahnya sambil menunjukkan kertas itu.
Onis tampak kebingungan sambil mengambil kertas itu dan membacanya.
Seketika mukanya berubah menjadi panik.
"Astaga, Fan! Astagaa!!! Sori, Fan! Soriiiii...." katanya memohon-mohon maaf padaku.
"Apaan ini?" tanyaku lebih keras lagi tidak peduli pada permintaan maafnya.
Onis terduduk di kursi di dalam toilet itu dan menangis tanpa suara.
"Maafin gue, Fan! Ah, gila...kemana pikiran gue? Gue mau kirim e-mail itu buat Tommy...Gue kirain gue masih di e-mail gue, Fan. Ternyata masih dalam e-mail lo..." jelasnya dengan suara lemah.
"Bukan itu yang gue tanyain! Gue nggak masalah lo salah make akun gw ngirim e-mail ke siapa-siapa. Itu bisa dijelasin. Tapi isi e-mail ini...isi e-mail ini...Apa-apaan ini?" tanyaku kembali dengan suara meninggi.
Aku benar-benar emosi menghadapinya. Dan dia sekarang menangis lagi tersengguk-sengguk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Kubaca lagi tulisan di kertas itu. Bahasa Inggris ala Onis jelas terbaca.
To : Dian Susanti / Assistant to HRD
Cc : Fumitaka Tanabe / HRD Manager of Misako & Co,. Ltd
From : Fani Ellyana / GA Staff
After a long thought, I will do what you asked me to do. I will get rid of this baby, if it is what you want.
I just need you to come with me when I do this. Will you come with me?
I checked the doctor's address and you're right. He does abortion.
Kugeleng-gelengkan kepala lagi membacanya. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kubaca barusan.
"Jadi lo lagi hamil, Nis?" tanyaku dengan kasihan padanya.
Onis menggangguk lemah sambil masih menghapus air matanya dengan selembar tissue.
"Tommy nyuruh gue gugurin, Fan. Gue sebenernya nggak mau, Fan. Gue nggak mau bikin kesalahan dua kali," katanya.
"Lho? Dua kali?" tanyaku bingung. "Dulu waktu sama Deni katanya lo keguguran?" tanyaku teringat dengan ceritanya.
"Gue bohong, Fan. Gue juga aborsi waktu itu. Gue aborsi tanpa sepengetahuan Deni. Makanya Deni marah banget sama gue waktu itu. Dia bilang dia mau tanggung jawab, tapi kenapa gue malah gugurin janin gue waktu itu. Ahh...semuanya kacau sejak kejadian itu, Fan...Gue nggak sanggup mikirinnya..." kata Onis dengan galau.
Aku terdiam tidak tahu harus berkata apa. Kejadian ini benar-benar tidak disangka-sangka. Dan aku terjerumus ke dalam masalah Onis dengan cara yang tidak kuduga. Saat ini otakku kosong tidak mampu mencari jalan atau celah kecil sekali pun untuk bisa keluar dengan bebas dari dalamnya.
Aku serba salah. Aku bisa saja mengatakan kalau itu e-mail salah kirim. Tapi apa aku perlu mengatakan kalau itu e-mail milik Onis? Aku tidak mau menjadi mulut ular menjerumuskan teman sendiri ke dalam kesulitan. Tanpa kuadukan, Onis sudah cukup punya kesulitan saat ini. Kecuali kalau dia mau menjelaskannya sendiri kepada Fujiyama san.
"Jadi gimana dong sekarang? Fujiyama san udah tau soal ini. Dia mau manggil gue sama Tanabe nanti sore atau besok. Gue harus ngomong apa, Nis?" tanyaku bingung.
"Maaf banget ya, Fan...Lo jadi ikut-ikutan terseret ke dalam masalah gue ini. Gue...masih belum tahu harus ngapain sekarang, Fan. Mikirin gue mau aborsi aja pikiran gue udah kacau gini...." katanya dengan tatapan kosong.
Aku kasihan sekali sebenarnya melihat temanku seperti ini. Aku ingin sekali menolongnya, tapi sekarang ini keadaanku juga sedang terjepit. Sepertinya aku harus menyelesaikannya sendiri dengan caraku, pikirku.
"Gue ke depan dulu, ya...And, by the way, gue harap lo mikir-mikir seribu kali sebelum lo aborsi, Nis..." kataku padanya.
Dia diam saja mendengar ucapanku. Aku melangkah keluar toilet. Aku harus menelpon Tanabe san untuk memberitahunya mengenai kesalahpahaman ini.
Kuhubungi handphonenya dari handphoneku. Tidak diangkat. Aku belum pernah menelponnya sejak kami pulang dari Bandung sebulan yang lalu. Dia juga tampak dingin padaku di kantor sejak itu. Dia tidak pernah tersenyum atau menyapaku lagi. Semua urusan kantor yang berhubungan denganku diserahkannya pada Dian.
Kukirim pesan singkat.
Tanabe san, please jawab telpon saya. Ada sesuatu yang penting!
Tidak lama kemudian aku menerima balasan :
Maaf, saya sedang sibuk.
Aku mendecakkan lidah dengan kesal. Bukan saatnya untuk bertingkah seperti anak kecil yang sedang ngambek kayak gini, kataku kesal dalam hati. Aku duduk tidak berdaya di kursiku. Kulihat layar komputer yang masih menampilkan akun e-mail milikku. Aku keluar dari akunku dan masuk ke akun milik Onis. Aku baca beberapa e-mail dari Tommy untuknya. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mudah-mudahan Onis tidak keberatan. Toh dia sudah menceritakan semuanya padaku.
Tiba-tiba Andi muncul dari dalam dengan tergopoh-gopoh. Mukanya terlihat sangat penasaran.
"Fani! Lo tekdung sama Tanabe?" tanyanya dengan suara yang lumayan kencang.
Kupukul kepalanya spontan.
"Suara lo kecilin dikit, bego!" kataku kesal.
"Jadi bener?" tanyanya dengan berbisik.
Aku menggeleng. Dan dia kelihatan bingung sekarang.
"Salah paham, Ndi. Bukan gue yang hamil..." jawabku menggantung.
Dan perlahan tapi pasti wajah Andi berubah menjadi mengerti. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Onis?" .
Aku menggangguk pelan. Rasanya tidak perlu aku tanyakan dari mana Andi mendapatkan berita kalau aku hamil oleh Tanabe san. Sedetik setelah aku keluar dari ruang Fujiyama san tadi aku sudah tahu kalau berita itu akan langsung tersebar ke seluruh kantor. Bisa apa aku? Aku cuma mau pulang ke rumah sekarang.
Sore itu jam empat, dan menjadi satu jam terlama dalam sejarah aku bekerja di Misako menunggu jam lima datang. Onis tetap belum kembali dari toilet sampai aku bersiap pulang. Dan tampaknya Fujiyama san juga belum kembali dari meetingnya di luar kantor. Aku bernafas lega. Paling tidak masih ada waktu untuk menghubungi Tanabe san nanti malam. Mudah-mudahan dia mau menjawab telponku nanti malam.
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Aku masih berdiri di dalam ruangan Fujiyama san sambil memegang kertas itu. Aku masih belum bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan semua ini. Terus terang aku pun masih bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa sampai ini semua menimpaku? Dan kenapa harus ada Dian yang terlibat tidak sengaja di dalamnya?
Fujiyama san masih berdiri menunggu penjelasanku. Dian masih duduk dengan tenang menungguku untuk mulai berbicara. Akhirnya Fujiyama san berinisiatif untuk menunda ini semua.
"Saya ada meeting di luar sebentar lagi. Saya akan tunggu Tanabe san kembali dari rapat di Cikarang, lalu kamu dan dia akan saya panggil lagi ke sini," katanya akhirnya.
Aku menarik nafas lega. Paling tidak aku masih punya waktu untuk meluruskan ini semua.
Aku menganggukkan kepala dan membungkukkan badanku sekilas lalu keluar. Kulirik sekilas Dian yang sudah berdiri dan siap-siap untuk keluar ruangan juga.
Begitu sampai di luar Dian menyenggolku dengan sengaja.
"Kelakuan brengsek emang susah buat disembunyiin, Fan. Siapa sangka lo bisa ngirim e-mail kaya gitu ke gue," katanya dengan nada rendah sambil berlalu dari hadapanku.
Aku hanya bisa diam mendengarnya. Sumpah, aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
Aku segera kembali ke lobi mencari Onis. Kulihat lobi kosong. Pak Ganda tengah duduk di kursiku.
"Onis mana?" tanyaku pada Pak Ganda yang sedang berputar-putar di kursiku..
"Ke toilet katanya, Fan..." jawab Pak Ganda.
Aku segera melangkah cepat ke dalam, mencarinya.
Brak! Brak! Kupukul pintu toilet yang terkunci itu dengan keras.
"Onis! Keluar lo sekarang!" kataku tidak bisa menahan geram.
Pintu terbuka, dan keluarlah Onis dengan wajah sembab. Kelihatannya dia habis menangis. Tapi peduli setan, aku cuma mau minta penjelasannya tentang kertas yang ada di tanganku saat ini.
"Apa ini?" tanyaku mendesis ke wajahnya sambil menunjukkan kertas itu.
Onis tampak kebingungan sambil mengambil kertas itu dan membacanya.
Seketika mukanya berubah menjadi panik.
"Astaga, Fan! Astagaa!!! Sori, Fan! Soriiiii...." katanya memohon-mohon maaf padaku.
"Apaan ini?" tanyaku lebih keras lagi tidak peduli pada permintaan maafnya.
Onis terduduk di kursi di dalam toilet itu dan menangis tanpa suara.
"Maafin gue, Fan! Ah, gila...kemana pikiran gue? Gue mau kirim e-mail itu buat Tommy...Gue kirain gue masih di e-mail gue, Fan. Ternyata masih dalam e-mail lo..." jelasnya dengan suara lemah.
"Bukan itu yang gue tanyain! Gue nggak masalah lo salah make akun gw ngirim e-mail ke siapa-siapa. Itu bisa dijelasin. Tapi isi e-mail ini...isi e-mail ini...Apa-apaan ini?" tanyaku kembali dengan suara meninggi.
Aku benar-benar emosi menghadapinya. Dan dia sekarang menangis lagi tersengguk-sengguk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Kubaca lagi tulisan di kertas itu. Bahasa Inggris ala Onis jelas terbaca.
To : Dian Susanti / Assistant to HRD
Cc : Fumitaka Tanabe / HRD Manager of Misako & Co,. Ltd
From : Fani Ellyana / GA Staff
After a long thought, I will do what you asked me to do. I will get rid of this baby, if it is what you want.
I just need you to come with me when I do this. Will you come with me?
I checked the doctor's address and you're right. He does abortion.
Kugeleng-gelengkan kepala lagi membacanya. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kubaca barusan.
"Jadi lo lagi hamil, Nis?" tanyaku dengan kasihan padanya.
Onis menggangguk lemah sambil masih menghapus air matanya dengan selembar tissue.
"Tommy nyuruh gue gugurin, Fan. Gue sebenernya nggak mau, Fan. Gue nggak mau bikin kesalahan dua kali," katanya.
"Lho? Dua kali?" tanyaku bingung. "Dulu waktu sama Deni katanya lo keguguran?" tanyaku teringat dengan ceritanya.
"Gue bohong, Fan. Gue juga aborsi waktu itu. Gue aborsi tanpa sepengetahuan Deni. Makanya Deni marah banget sama gue waktu itu. Dia bilang dia mau tanggung jawab, tapi kenapa gue malah gugurin janin gue waktu itu. Ahh...semuanya kacau sejak kejadian itu, Fan...Gue nggak sanggup mikirinnya..." kata Onis dengan galau.
Aku terdiam tidak tahu harus berkata apa. Kejadian ini benar-benar tidak disangka-sangka. Dan aku terjerumus ke dalam masalah Onis dengan cara yang tidak kuduga. Saat ini otakku kosong tidak mampu mencari jalan atau celah kecil sekali pun untuk bisa keluar dengan bebas dari dalamnya.
Aku serba salah. Aku bisa saja mengatakan kalau itu e-mail salah kirim. Tapi apa aku perlu mengatakan kalau itu e-mail milik Onis? Aku tidak mau menjadi mulut ular menjerumuskan teman sendiri ke dalam kesulitan. Tanpa kuadukan, Onis sudah cukup punya kesulitan saat ini. Kecuali kalau dia mau menjelaskannya sendiri kepada Fujiyama san.
"Jadi gimana dong sekarang? Fujiyama san udah tau soal ini. Dia mau manggil gue sama Tanabe nanti sore atau besok. Gue harus ngomong apa, Nis?" tanyaku bingung.
"Maaf banget ya, Fan...Lo jadi ikut-ikutan terseret ke dalam masalah gue ini. Gue...masih belum tahu harus ngapain sekarang, Fan. Mikirin gue mau aborsi aja pikiran gue udah kacau gini...." katanya dengan tatapan kosong.
Aku kasihan sekali sebenarnya melihat temanku seperti ini. Aku ingin sekali menolongnya, tapi sekarang ini keadaanku juga sedang terjepit. Sepertinya aku harus menyelesaikannya sendiri dengan caraku, pikirku.
"Gue ke depan dulu, ya...And, by the way, gue harap lo mikir-mikir seribu kali sebelum lo aborsi, Nis..." kataku padanya.
Dia diam saja mendengar ucapanku. Aku melangkah keluar toilet. Aku harus menelpon Tanabe san untuk memberitahunya mengenai kesalahpahaman ini.
Kuhubungi handphonenya dari handphoneku. Tidak diangkat. Aku belum pernah menelponnya sejak kami pulang dari Bandung sebulan yang lalu. Dia juga tampak dingin padaku di kantor sejak itu. Dia tidak pernah tersenyum atau menyapaku lagi. Semua urusan kantor yang berhubungan denganku diserahkannya pada Dian.
Kukirim pesan singkat.
Tanabe san, please jawab telpon saya. Ada sesuatu yang penting!
Tidak lama kemudian aku menerima balasan :
Maaf, saya sedang sibuk.
Aku mendecakkan lidah dengan kesal. Bukan saatnya untuk bertingkah seperti anak kecil yang sedang ngambek kayak gini, kataku kesal dalam hati. Aku duduk tidak berdaya di kursiku. Kulihat layar komputer yang masih menampilkan akun e-mail milikku. Aku keluar dari akunku dan masuk ke akun milik Onis. Aku baca beberapa e-mail dari Tommy untuknya. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mudah-mudahan Onis tidak keberatan. Toh dia sudah menceritakan semuanya padaku.
Tiba-tiba Andi muncul dari dalam dengan tergopoh-gopoh. Mukanya terlihat sangat penasaran.
"Fani! Lo tekdung sama Tanabe?" tanyanya dengan suara yang lumayan kencang.
Kupukul kepalanya spontan.
"Suara lo kecilin dikit, bego!" kataku kesal.
"Jadi bener?" tanyanya dengan berbisik.
Aku menggeleng. Dan dia kelihatan bingung sekarang.
"Salah paham, Ndi. Bukan gue yang hamil..." jawabku menggantung.
Dan perlahan tapi pasti wajah Andi berubah menjadi mengerti. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Onis?" .
Aku menggangguk pelan. Rasanya tidak perlu aku tanyakan dari mana Andi mendapatkan berita kalau aku hamil oleh Tanabe san. Sedetik setelah aku keluar dari ruang Fujiyama san tadi aku sudah tahu kalau berita itu akan langsung tersebar ke seluruh kantor. Bisa apa aku? Aku cuma mau pulang ke rumah sekarang.
Sore itu jam empat, dan menjadi satu jam terlama dalam sejarah aku bekerja di Misako menunggu jam lima datang. Onis tetap belum kembali dari toilet sampai aku bersiap pulang. Dan tampaknya Fujiyama san juga belum kembali dari meetingnya di luar kantor. Aku bernafas lega. Paling tidak masih ada waktu untuk menghubungi Tanabe san nanti malam. Mudah-mudahan dia mau menjawab telponku nanti malam.
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Resep Si Onis : Ada Apa dengan Onis ? (Part 27)
ADA APA DENGAN ONIS?
Kembali ke kantor dengan kesibukan yang sama. Tidak terasa sudah setahun aku bekerja di Misako. Onis tidak jadi bertemu denganku di Bandung ketika ada acara gathering itu. Dia cerita padaku kalau Tommy mengajaknya melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Pantas saja hari Seninnya dia bolos.
Aku ceritakan pada Onis tentang Deni dan Dian. Onis hanya tertawa kecil mendengar ceritaku. Dia benar-benar sudah tidak berminat membahas tentang Deni sepertinya.
Ada yang aneh dari Onis beberapa hari ini. Dia kelihatan seperti orang bingung. Sering sekali membuat kesalahan yang tidak perlu. Kemarin dia salah meletakkan surat. Harusnya untuk bagian Steel, ditaruhnya di mailbox milik bagian Textile. Akibatnya, Pak Ganda harus keliling seantero kantor mencari surat yang salah alamat itu. Dua hari yang lalu dia salah menuliskan jadwal pesanan ruang meeting. Akibatnya sudah bisa ditebak, saat tamu yang dimaksud datang, ruang meeting tidak tersedia karena terisi oleh orang lain. Aku dan Onis kena omel sekretaris Kawanishi san.
"Lo lagi kenapa sih, Nis? Gak biasa-biasanya ngaco gini?" tanyaku bingung padanya.
"Mmm? Nggak apa-apa..." jawabnya singkat sambil melihat ke arah komputer.
"Masih lama gak pake komputernya? Gue mau lihat pesanan ruang meeting yang baru," kataku padanya.
"Eh, ya udah...pake aja nih..." katanya seperti tersadar dari lamunannya.
Aku menatapnya dengan bingung. Benar-benar seperti orang linglung si Onis semingguan ini.
Aku duduk di depan komputer dan log out dari akun milik Onis. Kemudian aku log in kembali ke akun milikku. Ada dua buah pesanan ruang meeting. Salah satunya dari Dian, memesan ruang meeting untuk Tanabe san. Kulihat dia memforward e-mail ini untuk Tanabe san juga. Aku segera follow up ke dua pesanan itu.
Onis masih duduk saja di sebelahku diam. Matanya menerawang ke arah luar jendela. Aku malas bertanya-tanya. Sepertinya dia juga tidak mau berbagi padaku tentang apa yang sedang dirasakannya belakangan ini.
Kuperhatikan beberapa hari ini penampilannya juga terlihat agak kacau. Tidak seperti Onis yang biasanya. Dandanannya tidak full seperti biasa, malah kemarin dia datang ke kantor tanpa make-up sama sekali. Benar-benar aneh. Onis yang aku kenal tidak akan keluar rumah tanpa make-up terpasang di wajahnya. Sedangkan rambut yang berantakan saja bisa membuat dia membatalkan janji makan siang, bukan?
Tiba-tiba serombongan tamu datang. Kami sudah biasa menghadapi situasi yang mendadak ramai seperti sekarang ini. Satu menit sebelumnya lobi lengang seperti kuburan, menit berikutnya kami akan pontang-panting bolak-balik mengantar tamu dan surat-surat yang datang bersamaan menyerbu kami.
Kutinggalkan komputer begitu saja. Biar bagaimana, melayani tamu adalah tugas utama kami. Konfirmasi ruang meeting itu bisa menunggu, pikirku. Aku mengantar dua orang tamu Nakanishi san ke ruang meeting lima. Onis mengantar seorang tamu untuk Kobayashi san ke ruang meeting delapan. Tiga orang kurir masih kami biarkan menunggu di lobi.Setelah aku kembali dari mengantarkan tamu-tamu itu aku segera mengangkat telpon untuk menghubungi pantry. Dua tamu plus Nakanishi san, berarti tiga kopi, aku berusaha mengingat-ingat agar tidak salah pesan.
"Fan, sekalian buat ruang delapan, dua ocha!" kata Onis begitu tahu aku sedang menghubungi pantry.
Aku mengangguk. Dia kembali duduk di depan komputer. Aku masih sibuk menerima surat dan paket dari tiga orang kurir tadi. Ternyata salah satu paket itu harus diantar langsung kepada Fujiyama san. Mau tidak mau aku membawanya sendiri ke dalam untuk memberikannya langsung kepada Syasya.
Ffiiuh...Aku berbelok ke arah pantry sebelum kembali ke lobi. Aku mau duduk sebentar di pantry sambil minum teh manis hangat.
"Mbak Fani, kopi buat ruang delapan, ocha buat ruang lima, kan?" tanya Ida saat melihatku masuk ke dalam pantry?
"He? Salaah! Kebaliiik! Udah dianter ya?" tanyaku panik.
Kesalahan kecil seperti ini bisa jadi masalah besar bagi para Jepang-Jepang itu. Aku sudah pernah beberapa kali melakukannya dan kena teguran langsung dari mereka. Menurut mereka sungguh tidak sopan karena tidak mendengarkan apa pesanan minuman mereka.
"Yaah...Udah dianter Yuli...," kata Ida dengan polosnya.
Aduuh...tampaknya aku harus kembali lari-larian mengejar Yuli ke dalam lagi. Aku segera berlari menyusul Yuli. Mudah-mudahan masih sempat.
"Yulii! Ocha buat ruang delapan! Jangan kebalik!" kataku setengah berteriak melihat Yuli sedang berdiri di depan ruang meeting delapan memegang baki penuh dengan minuman.
"Oooh...kebalik ya? Untung aja, belum sempet ditaro, Mbak," kata Yuli.
Aku menghela nafas lega. Selamaaat...
Aku kembali lagi berjalan menuju pantry. Kutelpon Onis dari pantry.
"Nis, gue di pantry. Capek gue bolak-balik. Mau minum teh dulu ah..." kataku padanya.
"OK..." jawabnya singkat.
Setengah jam lebih aku duduk-duduk di pantry. Aku tidak khawatir Onis akan marah padaku. Kami sudah biasa begitu. Kalau dia mendadak sibuk lagi di lobi, dia pasti akan menelponku ke pantry. Tapi kelihatannya Onis memang lagi senang sendiri belakangan ini. Jadi aku juga tidak mau mengganggunya, kecuali kalau urusan pekerjaan.
Kriing! Telpon pantry berbunyi mengejutkan aku yang sedang memejamkan mata sambil bersender di kursi. Yuli mengangkatnya.
"Ya, mbak.." katanya lalu menutup telpon itu.
"Mbak Fani, disuruh ke depan sama mbak Onis," kata Yuli padaku.
"OK," jawabku sambil meregangkan tubuhku dengan malas.
Onis memandangku dengan pandangan khawatir begitu aku sampai di lobi..
"Kenapa?" tanyaku bingung melihat raut wajahnya yang aneh itu.
"Syasya nelpon lo barusan. Lo disuruh ke ruang Fujiyama san sekarang," katanya dengan nada khawatir.
Aku jadi ikut-ikutan bingung sekarang. Ada apa GM memanggilku? Apa aku buat kesalahan? Tapi apa? Mendadak kelakuan jelekku muncul lagi. Ketakutan tanpa alasan yang jelas. Duh, benar-benar mental bawahan, batinku dalam hati mengutuki kelakuanku.
Sampai di dalam aku menghampiri meja Syasya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruang Fujiyama san.
"Ada apa ya, Sya?" tanyaku bingung berusaha mendapat sedikit informasi darinya.
Syasya hanya menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan sekarang.
"Eh, Fan...di dalem ada Dian. Aku nggak tau dia mau ngapain, yang pasti dia bawa-bawa kertas ke dalam tadi. Nggak lama Fujiyama san nyuruh aku manggil kamu," kata Syasya sebelum aku mengetuk pintu ruangan Fujiyama san.
Nahloo? Ada apa lagi ini? Pikiranku tambah kalut. Apa Dian sedang melakukan upaya balas dendam ke aku? Tapi apa yang bisa dia katakan kepada Fujiyama san? Aku pacaran dengan Tanabe san? Apa dengan alasan begitu saja Fujiyama san akan memecatku? Rasanya tidak. Jadi kenapa nih?
"Selamat sore, Fujiyama san," sapaku ketika masuk ke ruangannya.
Dian tampak sedang duduk tenang di depan Fujiyama san. Dia melihatku dengan pandangan sinis dan sedikit senyum tersungging di ujung bibirnya.
"Fani san, silahkan duduk. Saya perlu penjelasan tentang ini," kata Fujiyama san langsung tanpa basa-basi sambil menyerahkan selembar kertas print out sebuah e-mail kepadaku.
Kuambil kertas itu dan segera membacanya. Seketika jantungku seperti berhenti. Tanganku bergetar tidak karuan. Untuk sesaat aku berpikir aku akan pingsan. Tapi ternyata aku cukup bisa menguasai diriku. Dan sekarang satu-satunya yang ingin aku lakukan adalah mencekik leher Onis!
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Kembali ke kantor dengan kesibukan yang sama. Tidak terasa sudah setahun aku bekerja di Misako. Onis tidak jadi bertemu denganku di Bandung ketika ada acara gathering itu. Dia cerita padaku kalau Tommy mengajaknya melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Pantas saja hari Seninnya dia bolos.
Aku ceritakan pada Onis tentang Deni dan Dian. Onis hanya tertawa kecil mendengar ceritaku. Dia benar-benar sudah tidak berminat membahas tentang Deni sepertinya.
Ada yang aneh dari Onis beberapa hari ini. Dia kelihatan seperti orang bingung. Sering sekali membuat kesalahan yang tidak perlu. Kemarin dia salah meletakkan surat. Harusnya untuk bagian Steel, ditaruhnya di mailbox milik bagian Textile. Akibatnya, Pak Ganda harus keliling seantero kantor mencari surat yang salah alamat itu. Dua hari yang lalu dia salah menuliskan jadwal pesanan ruang meeting. Akibatnya sudah bisa ditebak, saat tamu yang dimaksud datang, ruang meeting tidak tersedia karena terisi oleh orang lain. Aku dan Onis kena omel sekretaris Kawanishi san.
"Lo lagi kenapa sih, Nis? Gak biasa-biasanya ngaco gini?" tanyaku bingung padanya.
"Mmm? Nggak apa-apa..." jawabnya singkat sambil melihat ke arah komputer.
"Masih lama gak pake komputernya? Gue mau lihat pesanan ruang meeting yang baru," kataku padanya.
"Eh, ya udah...pake aja nih..." katanya seperti tersadar dari lamunannya.
Aku menatapnya dengan bingung. Benar-benar seperti orang linglung si Onis semingguan ini.
Aku duduk di depan komputer dan log out dari akun milik Onis. Kemudian aku log in kembali ke akun milikku. Ada dua buah pesanan ruang meeting. Salah satunya dari Dian, memesan ruang meeting untuk Tanabe san. Kulihat dia memforward e-mail ini untuk Tanabe san juga. Aku segera follow up ke dua pesanan itu.
Onis masih duduk saja di sebelahku diam. Matanya menerawang ke arah luar jendela. Aku malas bertanya-tanya. Sepertinya dia juga tidak mau berbagi padaku tentang apa yang sedang dirasakannya belakangan ini.
Kuperhatikan beberapa hari ini penampilannya juga terlihat agak kacau. Tidak seperti Onis yang biasanya. Dandanannya tidak full seperti biasa, malah kemarin dia datang ke kantor tanpa make-up sama sekali. Benar-benar aneh. Onis yang aku kenal tidak akan keluar rumah tanpa make-up terpasang di wajahnya. Sedangkan rambut yang berantakan saja bisa membuat dia membatalkan janji makan siang, bukan?
Tiba-tiba serombongan tamu datang. Kami sudah biasa menghadapi situasi yang mendadak ramai seperti sekarang ini. Satu menit sebelumnya lobi lengang seperti kuburan, menit berikutnya kami akan pontang-panting bolak-balik mengantar tamu dan surat-surat yang datang bersamaan menyerbu kami.
Kutinggalkan komputer begitu saja. Biar bagaimana, melayani tamu adalah tugas utama kami. Konfirmasi ruang meeting itu bisa menunggu, pikirku. Aku mengantar dua orang tamu Nakanishi san ke ruang meeting lima. Onis mengantar seorang tamu untuk Kobayashi san ke ruang meeting delapan. Tiga orang kurir masih kami biarkan menunggu di lobi.Setelah aku kembali dari mengantarkan tamu-tamu itu aku segera mengangkat telpon untuk menghubungi pantry. Dua tamu plus Nakanishi san, berarti tiga kopi, aku berusaha mengingat-ingat agar tidak salah pesan.
"Fan, sekalian buat ruang delapan, dua ocha!" kata Onis begitu tahu aku sedang menghubungi pantry.
Aku mengangguk. Dia kembali duduk di depan komputer. Aku masih sibuk menerima surat dan paket dari tiga orang kurir tadi. Ternyata salah satu paket itu harus diantar langsung kepada Fujiyama san. Mau tidak mau aku membawanya sendiri ke dalam untuk memberikannya langsung kepada Syasya.
Ffiiuh...Aku berbelok ke arah pantry sebelum kembali ke lobi. Aku mau duduk sebentar di pantry sambil minum teh manis hangat.
"Mbak Fani, kopi buat ruang delapan, ocha buat ruang lima, kan?" tanya Ida saat melihatku masuk ke dalam pantry?
"He? Salaah! Kebaliiik! Udah dianter ya?" tanyaku panik.
Kesalahan kecil seperti ini bisa jadi masalah besar bagi para Jepang-Jepang itu. Aku sudah pernah beberapa kali melakukannya dan kena teguran langsung dari mereka. Menurut mereka sungguh tidak sopan karena tidak mendengarkan apa pesanan minuman mereka.
"Yaah...Udah dianter Yuli...," kata Ida dengan polosnya.
Aduuh...tampaknya aku harus kembali lari-larian mengejar Yuli ke dalam lagi. Aku segera berlari menyusul Yuli. Mudah-mudahan masih sempat.
"Yulii! Ocha buat ruang delapan! Jangan kebalik!" kataku setengah berteriak melihat Yuli sedang berdiri di depan ruang meeting delapan memegang baki penuh dengan minuman.
"Oooh...kebalik ya? Untung aja, belum sempet ditaro, Mbak," kata Yuli.
Aku menghela nafas lega. Selamaaat...
Aku kembali lagi berjalan menuju pantry. Kutelpon Onis dari pantry.
"Nis, gue di pantry. Capek gue bolak-balik. Mau minum teh dulu ah..." kataku padanya.
"OK..." jawabnya singkat.
Setengah jam lebih aku duduk-duduk di pantry. Aku tidak khawatir Onis akan marah padaku. Kami sudah biasa begitu. Kalau dia mendadak sibuk lagi di lobi, dia pasti akan menelponku ke pantry. Tapi kelihatannya Onis memang lagi senang sendiri belakangan ini. Jadi aku juga tidak mau mengganggunya, kecuali kalau urusan pekerjaan.
Kriing! Telpon pantry berbunyi mengejutkan aku yang sedang memejamkan mata sambil bersender di kursi. Yuli mengangkatnya.
"Ya, mbak.." katanya lalu menutup telpon itu.
"Mbak Fani, disuruh ke depan sama mbak Onis," kata Yuli padaku.
"OK," jawabku sambil meregangkan tubuhku dengan malas.
Onis memandangku dengan pandangan khawatir begitu aku sampai di lobi..
"Kenapa?" tanyaku bingung melihat raut wajahnya yang aneh itu.
"Syasya nelpon lo barusan. Lo disuruh ke ruang Fujiyama san sekarang," katanya dengan nada khawatir.
Aku jadi ikut-ikutan bingung sekarang. Ada apa GM memanggilku? Apa aku buat kesalahan? Tapi apa? Mendadak kelakuan jelekku muncul lagi. Ketakutan tanpa alasan yang jelas. Duh, benar-benar mental bawahan, batinku dalam hati mengutuki kelakuanku.
Sampai di dalam aku menghampiri meja Syasya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruang Fujiyama san.
"Ada apa ya, Sya?" tanyaku bingung berusaha mendapat sedikit informasi darinya.
Syasya hanya menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan sekarang.
"Eh, Fan...di dalem ada Dian. Aku nggak tau dia mau ngapain, yang pasti dia bawa-bawa kertas ke dalam tadi. Nggak lama Fujiyama san nyuruh aku manggil kamu," kata Syasya sebelum aku mengetuk pintu ruangan Fujiyama san.
Nahloo? Ada apa lagi ini? Pikiranku tambah kalut. Apa Dian sedang melakukan upaya balas dendam ke aku? Tapi apa yang bisa dia katakan kepada Fujiyama san? Aku pacaran dengan Tanabe san? Apa dengan alasan begitu saja Fujiyama san akan memecatku? Rasanya tidak. Jadi kenapa nih?
"Selamat sore, Fujiyama san," sapaku ketika masuk ke ruangannya.
Dian tampak sedang duduk tenang di depan Fujiyama san. Dia melihatku dengan pandangan sinis dan sedikit senyum tersungging di ujung bibirnya.
"Fani san, silahkan duduk. Saya perlu penjelasan tentang ini," kata Fujiyama san langsung tanpa basa-basi sambil menyerahkan selembar kertas print out sebuah e-mail kepadaku.
Kuambil kertas itu dan segera membacanya. Seketika jantungku seperti berhenti. Tanganku bergetar tidak karuan. Untuk sesaat aku berpikir aku akan pingsan. Tapi ternyata aku cukup bisa menguasai diriku. Dan sekarang satu-satunya yang ingin aku lakukan adalah mencekik leher Onis!
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Resep Si Onis : Caught In The Act (Part 26)
CAUGHT IN THE ACT
Gathering yang katanya akan berkesan itu ternyata tidak seindah yang direncanakan. Bagaimana mau berkesan kalau sebagian staff pribumi justru memilih untuk tidur lebih cepat karena berharap besok pagi bisa mengejar belanja baju di Factory Oultlet yang tersebar seantero Bandung sebelum pulang lagi ke Jakarta. Sedangkan para Jepang, tidak sampai dua jam check-in mereka sudah menghilang dengan sopir masing-masing, rendezvous entah ke mana. Ada yang pergi karaoke, ada yang pergi golf, ada yang check-in ke hotel lain yang lebih berkelas. Berkesan untuk siapa?
Siang tadi aku dan Tanabe san berpisah di Warung Lela. Aku berkeras tidak mau ikut dengannya. Kutelpon Pak Bambang untuk menjemput bosnya itu. Tanabe san diam saja tidak bereaksi. Aku tidak bisa membaca apa yang dirasakannya sampai saat ini, setelah ucapanku yang mungkin mengecewakannya itu. Aku belum mau memikirkannya.
Malam ini aku dan Andi memutuskan untuk berenang di kolam air hangat di hotel. Mumpung gratisan. Sedang asyik ngobrol sambil menikmati hangatnya air kolam, tiba-tiba handphoneku yang kuletakkan di meja berbunyi. Aku segera naik dan melihat nomor Deni di handphoneku. Mau apa lagi sih ni orang, pikirku dalam hati.
"Hai, Fan. Lagi di Bandung kan? Bisa ketemuan, nggak ?" suara Deni terdengar dari seberang sana.
My God, apa dia sedang mencari-cari Onis? Aku benar-benar kelimpungan mau menjawab apa.
"Fan ? Dengar, nggak ? Aku lagi di Bandung juga, nih," suara Deni terdengar lagi.
Mampus aku ! Aku mau bilang apa sama dia kalau dia tanya Onis ada di mana ?
"Aduh, Den, sori ya, acara kita padat banget. Kayanya gue nggak akan bisa keluar malam ini. Kenapa lo nggak telepon Onis aja langsung ? Lagian emangnya lo tau gue nginep di mana?" tanyaku khawatir. Nggak mungkin Onis yang kasih tahu dia.
"He he he...gue telpon ke kantor tadi pagi. Untung hari Sabtu, bapak-bapak yang jaga mailroom di kantor lo masuk, ya ? Itu lho, pak Ganda. Dia yang kasih tahu hotel tempat kalian menginap," jawab Deni santai.
Thank's banget, nih, pak Ganda, ujarku mangkel dalam hati. Sebenarnya kasihan juga beliau, sudah nggak bisa ikut jalan-jalan, harus masuk kerja, masih kena sumpah serapahku pula. Salahku juga tidak meninggalkan pesan apa-apa ke pak Ganda. Tapi siapa yang sangka kalau orang ini akan melakukan hal sampai sejauh ini demi menyelidiki pacarnya ?
"Yah, terserah, deh !" akhirnya aku cuma bisa pasrah. Sori, Nis, kalau sampai aku keceplosan jangan salahin aku, ya ? Aku benar-benar tidak prepare untuk menutupi aksinya sampai sejauh ini. Whatever happen, happenlah !
"Gue ke meja lo ya sekarang ? "
Aku seperti tersambar petir mendengar ucapannya. Dan sekilas dari seberang kolam aku melihat seorang pria melambaikan tangannya kepadaku sambil satu tangannya masih memegang handphone. Lututku lemas seketika. Aku terduduk di kursi sambil tetap menempelkan telepon di telingaku. Andi terheran-heran melihatku. Duh, kenapa aku nggak sadar ya kalau laki-laki itu adalah Deni? Cahaya di sekeliling kolam renang ini memang temaram sekali. Lagipula aku tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar kolam renang. Aku dan Andi sedang asyik berendam sambil ngobrol dan memejamkan mata di pinggiran kolam renang dari tadi.
"Fan, kenapa lo ? Telpon dari sia..." pertanyaan Andi menggantung sampai di situ, karena dia juga sedang terheran-heran melihat Deni sedang berjalan menuju ke arahku.
"Oh, my God !" Kudengar Andi berujar pelan sambil segera naik dari kolam dan menyambar handuknya. "Cabuut ! Good luck, girl!" bisik Andi dan segera meninggalkanku dengan tidak bertanggung jawab. Kuya!
"Hai, Den !" sapa Andi sambil berlalu dari situ.
"Hai, Ndi...lho, kok udahan?" tanya Deni pada Andi.
"Udah ah, udah kelamaan...Ntar gue mateng lagi. Hehehe..." jawab Andi asal sambil berlalu.
Deni melihat ke arahku yang masih berdiri di samping meja.
"Sori, Fan. Gue ngagetin lo kaya gini. Gue kesini sebenernya bukan mau gangguin lo," kata Deni sambil duduk di kursi tempat aku taruh handukku.
Aku rikuh juga ngobrol sama cowok masih pakai baju renang begini. Heleeep!!! Tapi Deny sepertinya mengerti dan mengulurkan handukku ke arahku. Cepat aku sambar handuk itu dan seketika menyesali kenapa aku bawa handuk kecil banget!
"Trus lo mau ngapain ke sini?" tanyaku agak ketus. Aku benar-benar tidak suka kecolongan seperti ini. Dan aku benar-benar dibuat malu karena ketahuan berbohong tadi. Apa dia mau aku cerita Onis ada di mana? Sejujurnya aku memang tidak tahu ada di hotel mana Onis saat ini, jadi rasanya percuma dia datang padaku untuk mencari tahu. Tapi mungkin dia beranggapan lain.
"Gue udah tau Anis di mana, Fan. Gue udah tau dia sama cowok bule di sini. Gue mau selesaikan aja urusan gue sama Anis, tapi nanti kalau udah pulang dari Bandung. Gue udah capek ngadepin kelakuannya dia. Gue tau kelakuannya di kantor selama ini, gue nggak bego, Fan. Kalau gue diem selama ini, itu karena gue gak mau kehilangan dia. Gue masih sayang banget sama dia. Tapi dia kayanya udah gak peduli lagi sama gue. Mungkin buat dia bantuan dari gue kurang, makanya dia harus cari dengan cara kayak gitu. Kalau emang Anis mau udahan sama gue, kayaknya gue emang nggak bisa maksain..." jelasnya padaku.
"Ya, bagus dong kalo gitu...Soalnya Onis bilang, lo tuh suka maksain mau lo ke dia, karena lo udah banyak bantu keluarganya. Intinya lo itu egois dan posesif, kata Onis lho..." kataku berani.
Deni tampak menghela nafas mendengar ucapan pedasku barusan. Dia tidak menampik dan tidak juga mengiyakan. Dia cuma mengangguk-anggukkan kepalanya sesaat.
"Mungkin emang gue gitu ya, Fan. Setelah beberapa hari ini gue mulai sadar kalau Anis itu udah bener-bener gak ada rasa lagi sama gue. Tiap hari gue berantem melulu sama dia. Sekarang ini gue cuma kasihan sama bokap dan adeknya. Tapi sebelum dia berangkat ke Bandung kemaren gue berantem besar sama dia, dan dia bilang kalau dia udah gak butuh bantuan dari gue lagi. Dia bilang dia sanggup biayain keluarganya dan nyekolahin Dion, adeknya. Gini-gini, harga diri gue terhina juga Fan denger ucapannya itu. Ya udah. Kalau emang harus begini, gue gak bisa ngapa-ngapain lagi," katanya panjang.
"Trus...? Lo ngapain di sini?" tanyaku bingung.
"Gue ada janji sama temen gue tadi. Baru kenal sih tadi di Dago. Katanya dia nginep di sini juga..." katanya.
"Oooh..." aku manggut-manggut. Kirain mau cari ribut lo, kataku dalam hati dengan lega.
"Hai, Den..." sapa sebuah suara yang sangat kukenal dari balik punggung Deni.
"Oh, hai...Fan, kenalin nih, temen baru yang gue ceritain tadi," kata Deni memperkenalkan aku dengan ‘teman barunya' itu.
Dian? Dian temen barunya Deni? Oalaah...kenapa nyangkutnya sama dia siiih? Aku masih duduk di tempatku tidak bereaksi. Aku masih takjub dengan kenyataan kalau Deni mampir ke hotel ini karena ingin bertemu dengan Dian, Singa kantor itu. Duh, Den...masa hampir lepas dari mulut macan, sekarang kamu malah mau masuk mulut singa sih, batinku dalam hati.
"Lho? Udah pada kenal, ya?" tanya Deni bingung melihat aku dan Dian saling menatap lama.
"Kamu udah kenal sama resepsionis kantor aku ini, Den?" tanya Dian dengan menekankan kata ‘resepsionis' dalam ucapannya itu.
"Oh, udah...Lho, jadi kamu juga kerja di Misako?" tanya Deni seperti orang tolol.
"Iya. Aku belum sempat cerita ya tadi kalau aku ke sini sama rombongan kantor. Aku atasannya dia..." kata Dian sambil menunjukku dengan hidungnya.
Congkak! Kataku mangkel dalam hati.
Deni manggut-manggut mendengar penjelasan Dian. Aku segera berbenah bersiap pergi dari hadapan mereka. Aku malas meladeni kelakuan tengilnya si Dian malam ini. Moodku sudah cukup hancur sejak siang tadi di Warung Lela. Kejadian ini sudah benar-benar merenggut kebahagiaanku untuk bisa kembali ke kota yang sangat aku sayangi ini. Brengsek!
"Gue ke kamar ya..." kataku entah pada siapa sambil berlalu dari hadapan mereka.
Baru lima langkah aku menjauh aku dengar Dian mengatakan sesuatu kepada Deni.
"Kok bisa kenal sama cewek kayak gitu, Den?"
"Kenapa emangnya Fani? Dia baik kok. Aku udah lama kenal sama dia..." masih kudengar suara Deni menjawab.
Langkahku terhenti mendengar perkataan Dian. Cewek kayak gitu? Cewek kayak gitu itu apa maksudnya? Aku berbalik dan berjalan kembali ke arah mereka berdua.
"Maksud lo apa?" tanyaku pada Dian dengan emosi.
Rasanya memang kepergianku ke Bandung ini akan menjadi sebuah cerita menyebalkan. Jauh dari yang kuharapkan. Udah tanggung, kataku dalam hati. Kalau mau ribut, ribut sekalian di sini.
"Lho? Denger ya? Gak maksud apa-apa sih, cuma heran aja, lo sama temen lo itu cepet banget ya dapet cowok di mana-mana. Hebat!" katanya sinis padaku.
Oh, you're so...so...Uugh, untuk sesaat aku kehilangan kata-kata karena begitu marah mendengar ucapannya. Tapi otakku bekerja cepat. Sinisme harus dilawan dengan ketenangan dan kekejaman yang dingin, kataku dalam hati. Aku tidak mau terpancing untuk ribut seperti orang tidak bersekolah. Cuih, jangan ngarep lo, umpatku padanya dalam hati.
Aku menyeringai penuh arti padanya. Deni masih berdiri di antara kami dengan bingung.
"Gue juga heran, sekalinya lo dapet kenalan, kok malah dapetnya pacarnya Onis ya? Dunia emang sempit atau pilihan lo yang terbatas?" kataku pedas dan berbalik pergi.
Aku tidak melihat lagi ke arah mereka. Aku melangkah tenang walaupun dalam hati aku khawatir juga kalau dia akan menyusulku dan mendorongku ke kolam renang dari arah belakang. Ternyata tidak ada reaksi apa-apa dari Dian. Kurasa dia tengah shock mendengar ucapanku barusan. Syukurin lo! Aku tertawa dalam hati sambil mencari-cari Andi karena tidak sabar untuk menceritakan ini padanya. Dia pasti bakal pingsan histeris mendengar kejadian ini. Hahaa....
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Gathering yang katanya akan berkesan itu ternyata tidak seindah yang direncanakan. Bagaimana mau berkesan kalau sebagian staff pribumi justru memilih untuk tidur lebih cepat karena berharap besok pagi bisa mengejar belanja baju di Factory Oultlet yang tersebar seantero Bandung sebelum pulang lagi ke Jakarta. Sedangkan para Jepang, tidak sampai dua jam check-in mereka sudah menghilang dengan sopir masing-masing, rendezvous entah ke mana. Ada yang pergi karaoke, ada yang pergi golf, ada yang check-in ke hotel lain yang lebih berkelas. Berkesan untuk siapa?
Siang tadi aku dan Tanabe san berpisah di Warung Lela. Aku berkeras tidak mau ikut dengannya. Kutelpon Pak Bambang untuk menjemput bosnya itu. Tanabe san diam saja tidak bereaksi. Aku tidak bisa membaca apa yang dirasakannya sampai saat ini, setelah ucapanku yang mungkin mengecewakannya itu. Aku belum mau memikirkannya.
Malam ini aku dan Andi memutuskan untuk berenang di kolam air hangat di hotel. Mumpung gratisan. Sedang asyik ngobrol sambil menikmati hangatnya air kolam, tiba-tiba handphoneku yang kuletakkan di meja berbunyi. Aku segera naik dan melihat nomor Deni di handphoneku. Mau apa lagi sih ni orang, pikirku dalam hati.
"Hai, Fan. Lagi di Bandung kan? Bisa ketemuan, nggak ?" suara Deni terdengar dari seberang sana.
My God, apa dia sedang mencari-cari Onis? Aku benar-benar kelimpungan mau menjawab apa.
"Fan ? Dengar, nggak ? Aku lagi di Bandung juga, nih," suara Deni terdengar lagi.
Mampus aku ! Aku mau bilang apa sama dia kalau dia tanya Onis ada di mana ?
"Aduh, Den, sori ya, acara kita padat banget. Kayanya gue nggak akan bisa keluar malam ini. Kenapa lo nggak telepon Onis aja langsung ? Lagian emangnya lo tau gue nginep di mana?" tanyaku khawatir. Nggak mungkin Onis yang kasih tahu dia.
"He he he...gue telpon ke kantor tadi pagi. Untung hari Sabtu, bapak-bapak yang jaga mailroom di kantor lo masuk, ya ? Itu lho, pak Ganda. Dia yang kasih tahu hotel tempat kalian menginap," jawab Deni santai.
Thank's banget, nih, pak Ganda, ujarku mangkel dalam hati. Sebenarnya kasihan juga beliau, sudah nggak bisa ikut jalan-jalan, harus masuk kerja, masih kena sumpah serapahku pula. Salahku juga tidak meninggalkan pesan apa-apa ke pak Ganda. Tapi siapa yang sangka kalau orang ini akan melakukan hal sampai sejauh ini demi menyelidiki pacarnya ?
"Yah, terserah, deh !" akhirnya aku cuma bisa pasrah. Sori, Nis, kalau sampai aku keceplosan jangan salahin aku, ya ? Aku benar-benar tidak prepare untuk menutupi aksinya sampai sejauh ini. Whatever happen, happenlah !
"Gue ke meja lo ya sekarang ? "
Aku seperti tersambar petir mendengar ucapannya. Dan sekilas dari seberang kolam aku melihat seorang pria melambaikan tangannya kepadaku sambil satu tangannya masih memegang handphone. Lututku lemas seketika. Aku terduduk di kursi sambil tetap menempelkan telepon di telingaku. Andi terheran-heran melihatku. Duh, kenapa aku nggak sadar ya kalau laki-laki itu adalah Deni? Cahaya di sekeliling kolam renang ini memang temaram sekali. Lagipula aku tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar kolam renang. Aku dan Andi sedang asyik berendam sambil ngobrol dan memejamkan mata di pinggiran kolam renang dari tadi.
"Fan, kenapa lo ? Telpon dari sia..." pertanyaan Andi menggantung sampai di situ, karena dia juga sedang terheran-heran melihat Deni sedang berjalan menuju ke arahku.
"Oh, my God !" Kudengar Andi berujar pelan sambil segera naik dari kolam dan menyambar handuknya. "Cabuut ! Good luck, girl!" bisik Andi dan segera meninggalkanku dengan tidak bertanggung jawab. Kuya!
"Hai, Den !" sapa Andi sambil berlalu dari situ.
"Hai, Ndi...lho, kok udahan?" tanya Deni pada Andi.
"Udah ah, udah kelamaan...Ntar gue mateng lagi. Hehehe..." jawab Andi asal sambil berlalu.
Deni melihat ke arahku yang masih berdiri di samping meja.
"Sori, Fan. Gue ngagetin lo kaya gini. Gue kesini sebenernya bukan mau gangguin lo," kata Deni sambil duduk di kursi tempat aku taruh handukku.
Aku rikuh juga ngobrol sama cowok masih pakai baju renang begini. Heleeep!!! Tapi Deny sepertinya mengerti dan mengulurkan handukku ke arahku. Cepat aku sambar handuk itu dan seketika menyesali kenapa aku bawa handuk kecil banget!
"Trus lo mau ngapain ke sini?" tanyaku agak ketus. Aku benar-benar tidak suka kecolongan seperti ini. Dan aku benar-benar dibuat malu karena ketahuan berbohong tadi. Apa dia mau aku cerita Onis ada di mana? Sejujurnya aku memang tidak tahu ada di hotel mana Onis saat ini, jadi rasanya percuma dia datang padaku untuk mencari tahu. Tapi mungkin dia beranggapan lain.
"Gue udah tau Anis di mana, Fan. Gue udah tau dia sama cowok bule di sini. Gue mau selesaikan aja urusan gue sama Anis, tapi nanti kalau udah pulang dari Bandung. Gue udah capek ngadepin kelakuannya dia. Gue tau kelakuannya di kantor selama ini, gue nggak bego, Fan. Kalau gue diem selama ini, itu karena gue gak mau kehilangan dia. Gue masih sayang banget sama dia. Tapi dia kayanya udah gak peduli lagi sama gue. Mungkin buat dia bantuan dari gue kurang, makanya dia harus cari dengan cara kayak gitu. Kalau emang Anis mau udahan sama gue, kayaknya gue emang nggak bisa maksain..." jelasnya padaku.
"Ya, bagus dong kalo gitu...Soalnya Onis bilang, lo tuh suka maksain mau lo ke dia, karena lo udah banyak bantu keluarganya. Intinya lo itu egois dan posesif, kata Onis lho..." kataku berani.
Deni tampak menghela nafas mendengar ucapan pedasku barusan. Dia tidak menampik dan tidak juga mengiyakan. Dia cuma mengangguk-anggukkan kepalanya sesaat.
"Mungkin emang gue gitu ya, Fan. Setelah beberapa hari ini gue mulai sadar kalau Anis itu udah bener-bener gak ada rasa lagi sama gue. Tiap hari gue berantem melulu sama dia. Sekarang ini gue cuma kasihan sama bokap dan adeknya. Tapi sebelum dia berangkat ke Bandung kemaren gue berantem besar sama dia, dan dia bilang kalau dia udah gak butuh bantuan dari gue lagi. Dia bilang dia sanggup biayain keluarganya dan nyekolahin Dion, adeknya. Gini-gini, harga diri gue terhina juga Fan denger ucapannya itu. Ya udah. Kalau emang harus begini, gue gak bisa ngapa-ngapain lagi," katanya panjang.
"Trus...? Lo ngapain di sini?" tanyaku bingung.
"Gue ada janji sama temen gue tadi. Baru kenal sih tadi di Dago. Katanya dia nginep di sini juga..." katanya.
"Oooh..." aku manggut-manggut. Kirain mau cari ribut lo, kataku dalam hati dengan lega.
"Hai, Den..." sapa sebuah suara yang sangat kukenal dari balik punggung Deni.
"Oh, hai...Fan, kenalin nih, temen baru yang gue ceritain tadi," kata Deni memperkenalkan aku dengan ‘teman barunya' itu.
Dian? Dian temen barunya Deni? Oalaah...kenapa nyangkutnya sama dia siiih? Aku masih duduk di tempatku tidak bereaksi. Aku masih takjub dengan kenyataan kalau Deni mampir ke hotel ini karena ingin bertemu dengan Dian, Singa kantor itu. Duh, Den...masa hampir lepas dari mulut macan, sekarang kamu malah mau masuk mulut singa sih, batinku dalam hati.
"Lho? Udah pada kenal, ya?" tanya Deni bingung melihat aku dan Dian saling menatap lama.
"Kamu udah kenal sama resepsionis kantor aku ini, Den?" tanya Dian dengan menekankan kata ‘resepsionis' dalam ucapannya itu.
"Oh, udah...Lho, jadi kamu juga kerja di Misako?" tanya Deni seperti orang tolol.
"Iya. Aku belum sempat cerita ya tadi kalau aku ke sini sama rombongan kantor. Aku atasannya dia..." kata Dian sambil menunjukku dengan hidungnya.
Congkak! Kataku mangkel dalam hati.
Deni manggut-manggut mendengar penjelasan Dian. Aku segera berbenah bersiap pergi dari hadapan mereka. Aku malas meladeni kelakuan tengilnya si Dian malam ini. Moodku sudah cukup hancur sejak siang tadi di Warung Lela. Kejadian ini sudah benar-benar merenggut kebahagiaanku untuk bisa kembali ke kota yang sangat aku sayangi ini. Brengsek!
"Gue ke kamar ya..." kataku entah pada siapa sambil berlalu dari hadapan mereka.
Baru lima langkah aku menjauh aku dengar Dian mengatakan sesuatu kepada Deni.
"Kok bisa kenal sama cewek kayak gitu, Den?"
"Kenapa emangnya Fani? Dia baik kok. Aku udah lama kenal sama dia..." masih kudengar suara Deni menjawab.
Langkahku terhenti mendengar perkataan Dian. Cewek kayak gitu? Cewek kayak gitu itu apa maksudnya? Aku berbalik dan berjalan kembali ke arah mereka berdua.
"Maksud lo apa?" tanyaku pada Dian dengan emosi.
Rasanya memang kepergianku ke Bandung ini akan menjadi sebuah cerita menyebalkan. Jauh dari yang kuharapkan. Udah tanggung, kataku dalam hati. Kalau mau ribut, ribut sekalian di sini.
"Lho? Denger ya? Gak maksud apa-apa sih, cuma heran aja, lo sama temen lo itu cepet banget ya dapet cowok di mana-mana. Hebat!" katanya sinis padaku.
Oh, you're so...so...Uugh, untuk sesaat aku kehilangan kata-kata karena begitu marah mendengar ucapannya. Tapi otakku bekerja cepat. Sinisme harus dilawan dengan ketenangan dan kekejaman yang dingin, kataku dalam hati. Aku tidak mau terpancing untuk ribut seperti orang tidak bersekolah. Cuih, jangan ngarep lo, umpatku padanya dalam hati.
Aku menyeringai penuh arti padanya. Deni masih berdiri di antara kami dengan bingung.
"Gue juga heran, sekalinya lo dapet kenalan, kok malah dapetnya pacarnya Onis ya? Dunia emang sempit atau pilihan lo yang terbatas?" kataku pedas dan berbalik pergi.
Aku tidak melihat lagi ke arah mereka. Aku melangkah tenang walaupun dalam hati aku khawatir juga kalau dia akan menyusulku dan mendorongku ke kolam renang dari arah belakang. Ternyata tidak ada reaksi apa-apa dari Dian. Kurasa dia tengah shock mendengar ucapanku barusan. Syukurin lo! Aku tertawa dalam hati sambil mencari-cari Andi karena tidak sabar untuk menceritakan ini padanya. Dia pasti bakal pingsan histeris mendengar kejadian ini. Hahaa....
_____________________________________________________________________________________
BERSAMBUNG
Senin, 12 Juli 2010
Homesick
Satu bulan. Empat minggu sudah mereka tinggal di Singapura lengkap dengan asam manis pahit dan getir dunia bekerja di hotel yang nyata. Fani, Lana dan Ogi mulai goyah. Rindu akan rumah dan suasana kampus melanda mereka dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan segala kemudahan dan kemolekan Singapura tidak mampu menggantikan rindu itu.
Seharian Fani hanya duduk di depan jendela ruang tamu di apartemen itu. Dari pagi dia tidak beranjak dari sofa coklat kumal itu. Ogi baru bangun dan keluar kamar ketika dilihatnya Fani yang sedang duduk termangu sendirian di sana. Seluruh penghuni apartemen itu kebetulan sedang masuk pagi. Lana sendiri bahkan belum pulang sejak semalam karena harus lembur karena ada rombongan yang akan masuk siang ini.
“Kenapa, Fan?” tanya Ogi.
Fani terhenyak sedikit karena terkejut lamunannya terputus. Kemudian dia menghela nafas berat dan kembali memandang keluar jendela.
“Pengen pulang…,” ujar Fani lirih.
Ogi menatap punggung Fani dengan simpati. Dia pun merasakan hal yang sama beberapa hari ini. Dihampirinya Fani dan duduk di sebelahnya.
Tangannya mengelus-elus punggung Fani dengan perlahan. Fani bergeming. Somehow, dia merasa membutuhkan kehadiran sebuah bentuk simpati dari seseorang saat ini.
“Sama, Fan…Gue juga kangen rumah, kangen Bandung, kangen kampus. Tapi sabar aja deh…Tinggal lima bulan lagi, kok…” ucap Ogi yang terdengar tidak yakin di telinga Fani.
Fani menatap Ogi dengan malas dan sebal.
“Lima bulan itu lama, Ogii!” katanya dengan gemas.
“Ya, gue juga tau, Fanii! Gue kan cuma mau menghibur doang. Lah, gue juga kan lagi kangen rumah, sama kayak lo…,” jawab Ogi membela diri sambil meringis. Dibalikkannya badan duduk menghadap ke ruang tamu. Setengah mati dia menahan diri untuk tidak merokok dalam apartemen itu karena Stephen jelas-jelas melarang keras semua penghuni apartemen itu untuk merokok di dalam. Padahal suasana kayak gini paling pas sambil merokok, batinnya dalam hati.
Fani ikut membalikkan badannya di sebelah Ogi. Terlihat sekali kalau dia sedang suntuk. Belum mandi dan rambut masih awut-awutan. Walau begitu Fani tidak pernah pusing memikirkan penampilannya selama dia tinggal di apartemen itu. Namanya tinggal satu rumah, pasti jelek-jeleknya semua penghuni akan terlihat walaupun berusaha disembunyikan sedemikian rupa.
“Ini namanya homesick kali ya, Gi?” tanya Fani seperti pada dirinya sendiri.
Ogi hanya menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan Fani. Tiba-tiba Ogi tersentak ketika dirasakannya kepala Fani sudah menyender di bahu kanannya. Ogi tidak berani bergerak sama sekali. Tubuhnya serta-merta kaku dan membeku tidak menyangka kalau Fani bisa dan mau melakukannya.
“Gue inget adek gw, Mami, Papi…gue juga kangen sama kamar kost gue…Lima bulan itu lama banget, Gi…,” Fani kembali berujar seperti pada dirinya sendiri.
Ogi tetap diam membeku.
“Kemaren gue kena omel Mr. Kim, FB Manager itu,” kata Fani lagi. “Gue salah posting menu dalam order machine. Satu botol champagne gue posting satu gelas. Gue baru sadar waktu tamunya udah pergi. Mr. Kim ngomel-ngomel, bilang gak mungkin dia minta ganti sama gue. ‘Mana punya duit trainee macam kamu!,’ gitu katanya. Gue gak boleh megang orderan tamu lagi. Gue bener-bener kayak orang bego diomelin dan dipermalukan di depan orang-orang, Gi…,” kata Fani panjang lebar. Fani menyeka air mata yang sudah jatuh ke pipinya itu.
Ogi tersentak menyadari Fani ternyata menangis. Reflek digerakkan tangannya ke arah pipi Fani, bermaksud hendak menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh itu.
“Fan…,” ujar Ogi sambil menatap wajah Fani dalam-dalam. Tangannya masih memegang pipi Fani dengan lembut.
“Sabar, Fan…Jangan nyerah gitu…Lo bukan orang bego, semua tau itu. Jangan sampai kesalahan sepele meruntuhkan kepercayaan diri lo. Gue juga sering buat salah. Namanya lagi belajar, wajar aja kita salah. Emang rasanya gak enak banget diomelin, apalagi di depan orang banyak. Tapi telan aja, Fan…Toh, kita gak akan selamanya ada di sini. Anggap angin lalu, Fan. Ada gue di sini…Cerita sama gue, Fan. Gue akan dengerin selama yang lo mau. Gue gak akan kemana-mana. Jangan takut dan jangan menyerah…,” ucap Ogi panjang lebar berusaha menghibur Fani.
Fani menatap balik ke dalam mata Ogi. Air matanya justru makin deras berjatuhan ke pipinya setelah mendengar ucapan Ogi itu. Spontan dijatuhkannya kepalanya ke dada Ogi dan menumpahkan segala kekesalan di hatinya. Ogi kembali diam tertegun tak berani bereaksi. Untuk beberapa detik dia hanya bisa diam.
Fani masih menangis sesenggukan di dada Ogi. Akhirnya Ogi tak bisa menahan diri dan hatinya lagi. Direngkuhnya tubuh Fani ke dalam pelukannya. Seolah ingin memindahkan sebagian kekuatannya untuk Fani. Diusapnya rambut Fani dengan lembut. Tanpa sadar dia mengecup kepala Fani dengan penuh perasaan sayang.
Fani mengangkat kepalanya perlahan. Dia tidak yakin akan apa yang barusan terjadi. Sepertinya Ogi mencium atas keningnya dengan sangat perlahan. Dan Fani tiba-tiba merasa heran karena mendadak segala persoalan yang dihadapinya menjadi terasa begitu kecil dan ringan. Untuk sesaat mereka saling menatap satu sama lain. Tak ada suara, tak ada ucapan, tak ada gerakan. Hanya tatapan.
Wajah mereka hanya berjarak satu jengkal. Tangan Ogi masih memeluk kedua pundak Fani. Antara sadar dan tidak, seperti ada magnet berbeda kutub yang saling tarik-menarik antara mereka. Wajah mereka kian mendekat. Hdiung mereka sudah saling bersentuhan dan…
“Hey! At least do it somewhere else!” sebuah suara mengejutkan mereka.
Sally Wu baru masuk ke dalam apartemen dan mendapatkan mereka berdua tengah dalam posisi hampir berciuman. Kelihatan sekali kalau dia tidak suka melihatnya. Sally masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dengan keras.
Fani segera membenahi duduknya. Ogi pun cepat-cepat melepaskan pelukannya di pundak Fani. Tiba-tiba saja mereka menjadi salah tingkah menyadari apa yang hampir saja terjadi.
Apaan sih barusan? Ucap Fani dalam hati tak habis pikir. Did we just almost kiss? Tanyanya lagi dengan heran. Why? Ya, kenapa? Apa itu artinya aku suka pada Ogi? Tanya Fani makin gencar dalam hatinya. Tapi mengapa aku tidak merasakan degup jantung yang berdebar seperti yang aku baca di majalah-majalah itu? Kenapa aku tidak merasa salah tingkah dengan kedekatannya denganku tadi? Kenapa aku bisa membiarkannya memelukku dengan penuh perasaan seperti itu? Kenapa aku merasa sangat nyaman dalam pelukannya? Kenapa dia melakukannya? Apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku? Dan berpuluh pertanyaan berloncatan dalam kepalanya saat ini.
Baru di sadarinya sekarang, jantungnya mulai berdebar-debar ketika dia berusaha menatap Ogi kembali. Ogi tidak berani melihat ke arahnya. Dia hanya mengusap-usao wajahnya lalu berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Sebelum dia masuk ke dalam kamar, Ogi berbalik hendak mengatakan sesuatu padanya.
“Maaf ya, Fan…aku lancang. Aku…aku cuma nggak mau kamu terus-menerus sedih seperti tadi…,” ucapnya pelan.
Fani berusaha mempercayai pendengarannya. Apa Ogi baru saja mengganti caranya menyebut dirinya sendiri dari ’gue’ menjadi ‘aku dan menyebut dirinya dari ‘lo’ menjadi ‘kamu’? Apa artinya semua ini? Fani tidak mampu menemukan jawaban selain perasaan melayang yang tiba-tiba hinggap dalam hatinya.
***
BERSAMBUNG
Image from http://www.0303.info/disneyimg/SnowWhite/Snow-White-Prince.jpg
Maaf, Aku Mandeg Di Sini...Wkwkwkwk...
Pernah mikir untuk ngelanjutin kisah Onis dan Fani di sini, karena sepinya. Gw kirain kalau sepi ide akan lebih lancar mengalir. Baca deh di sini. Ternyata eh ternyata...gw salah besar! Wkwkwkwk...
Gw gak bisa menampik kenyataan bahwa ternyata gw adalah jenis manusia yang baru bergerak kalau dipecut. Huahahahaa...Jadi inget waktu jaman masih sekolah. Dikasih tugas sama guru jauh-jauh hari sebelumnya, baru dikerjain sehari sebelumnya. Bener-bener mepet deadline. Ngerjainnya bukan karena pengen nilai bagus, melainkan cuma demi memenuhi deadline dari guru. Hahahahaa...jangan sampe anak gw tau kebiasaan jelek gw ini. Gawatz!
Yang namanya kebiasaan itu memang sulit buat dihilangkan, apalagi kebiasaan jelek. Herannya kalau kebiasaan bagus justru gampang banget ninggalinnya. Contoh nih, gw bisa dengan gampangnya ninggalin kebiasaan nulis gw hanya karena alasan 'malas'. Dan kalau udah berhenti, mau mulai lagi susaaah banget! Believe me, I've tried this once dan gw kapok. Hahahahaa...
Gak mau lagi deh ninggalin kebiasaan bagus yang susah payah dipertahankan. Mau mulai biasa lagi itu susahnya setengah ampun setengah mati setengah idup.
Back to Onis. Sama aja kejadiannya. Gw coba posting ceritanya di sini. Berharap hanya teman-teman dekat aja yang bisa baca dan menanggapi, supaya gak bias dan terpengaruh sama keinginan pembaca yang rame di rumah tetangga sana. Tapi ternyata apa? Ide gw gak nongol selancar kalau dibawelin sama yang nunggu kelanjutan cerita gw. Walaaah, beneran...emang gw perlu dipecut nih!
Gapapa deh, gw cuma mau ambil positifnya aja. Mudah-mudahan dengan begini, gw makin keranjingan nulis. Sempet ketemu sama temen-temen sesama blogger. Dia bilang komentar dan tanggapan pembaca itu indikator. Indikator dari apa? Banyak hal. Popularitas (tidak bisa ditampik), isi cerita, progress dalam cara menulis...semuanya bisa dibaca dari komentar dan tanggapan yang beragam itu. Gak jarang juga gw dapet kritik. So far, it's fun...soooo....Maaf ya, Cil...sekali lagi gw jadi pembelot. Tapi kali ini gw akan mendahulukan dikau di atas yang lainnya. Cerita Fani bakal gw posting di sini lebih dulu, baru di sana. Ai lop yu pul, Cil! ^_^
Gw gak bisa menampik kenyataan bahwa ternyata gw adalah jenis manusia yang baru bergerak kalau dipecut. Huahahahaa...Jadi inget waktu jaman masih sekolah. Dikasih tugas sama guru jauh-jauh hari sebelumnya, baru dikerjain sehari sebelumnya. Bener-bener mepet deadline. Ngerjainnya bukan karena pengen nilai bagus, melainkan cuma demi memenuhi deadline dari guru. Hahahahaa...jangan sampe anak gw tau kebiasaan jelek gw ini. Gawatz!
Yang namanya kebiasaan itu memang sulit buat dihilangkan, apalagi kebiasaan jelek. Herannya kalau kebiasaan bagus justru gampang banget ninggalinnya. Contoh nih, gw bisa dengan gampangnya ninggalin kebiasaan nulis gw hanya karena alasan 'malas'. Dan kalau udah berhenti, mau mulai lagi susaaah banget! Believe me, I've tried this once dan gw kapok. Hahahahaa...
Gak mau lagi deh ninggalin kebiasaan bagus yang susah payah dipertahankan. Mau mulai biasa lagi itu susahnya setengah ampun setengah mati setengah idup.
Back to Onis. Sama aja kejadiannya. Gw coba posting ceritanya di sini. Berharap hanya teman-teman dekat aja yang bisa baca dan menanggapi, supaya gak bias dan terpengaruh sama keinginan pembaca yang rame di rumah tetangga sana. Tapi ternyata apa? Ide gw gak nongol selancar kalau dibawelin sama yang nunggu kelanjutan cerita gw. Walaaah, beneran...emang gw perlu dipecut nih!
Gapapa deh, gw cuma mau ambil positifnya aja. Mudah-mudahan dengan begini, gw makin keranjingan nulis. Sempet ketemu sama temen-temen sesama blogger. Dia bilang komentar dan tanggapan pembaca itu indikator. Indikator dari apa? Banyak hal. Popularitas (tidak bisa ditampik), isi cerita, progress dalam cara menulis...semuanya bisa dibaca dari komentar dan tanggapan yang beragam itu. Gak jarang juga gw dapet kritik. So far, it's fun...soooo....Maaf ya, Cil...sekali lagi gw jadi pembelot. Tapi kali ini gw akan mendahulukan dikau di atas yang lainnya. Cerita Fani bakal gw posting di sini lebih dulu, baru di sana. Ai lop yu pul, Cil! ^_^
Lana Dan Alex...Cuit Cuiiit!
“Alex ngajak gue jalan besok, Fan…” bisik Lana kepada Fani di koridor hotel itu.
Fani baru mengantarkan pesanan makanan untuk sebuah kamar ketika berpapasan dengan Lana yang tengah mengantarkan sebuah pesan untuk kamar yang lain di lantai itu juga.
“What? Alamaaak…Hahahaa…” Fani tertawa setelah bisa berekspresi dengan kata-kata melayu itu.
“Dodol! Malah ngetawain…Gimana nih?” tanya Lana dongkol.
“Diajak kemana?” tanya Fani kemudian.
“Gak ngerti juga sih gue, Fan. Dia coba ngomong pake bahasa Melayu gitu ke gue. Katanya ‘nak tengok wayang?’, gitu,” jelas Lana sambil kebingungan.
“Huahahaaa…lo gak tau maksudnya?” tanya Fani geli.
“Nggak…Gue bingung aja, dia ngajakin gue nonton wayang gitu? Emang di Singapur ada wayang? Trus apa menariknya nonton wayang?” Lana makin kebingungan.
‘Huahahaaa…Lana, Lana…Wayang itu movie, begooo…Maksudnya dia ngajakin lo nonton bioskop neng!” Fani menjelaskan sambil tertawa terbahak-bahak.
“Sompret! Kok lo jadi jago gini sih ngomong Melayu?” mau tidak mau Lana tersipu menyadari kebodohannya.
“Huehehee…Banyak gaul sama uncle-uncle busboy di kitchen. Hahahaa….,” kata Fani lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju lift. Fani dengan seragam Room Service berwarna birunya itu dan Lana dengan seragam petugas Front Desk berwarna coklat muda. Keduanya tampak cantik sekali. Beberapa tamu yang berpapasan dengan mereka menoleh untuk menatap mereka berdua lebih lama. Seorang petugas Housekeeping melirik ke arah mereka berdua sambil mendorong troli besar berisi peralatan kamar dan supply amenities untuk kamar mandi. Dia sampai tidak sadar trolinya sudah melenceng arah sampai hampir menabrak tembok di sampingnya.
Ting! Lift terbuka. Alex dengan seragam Room Service yang serupa dengan yang dipakai Fani ada di dalamnya. Tiba-tiba wajahnya berubah cerah begitu melihat ada Lana di depannya. Lana mendadak salah tingkah tidak karuan. Fani cengengesan sambil bergegas menarik tangan Lana untuk masuk ke dalam lift bersamanya.
“Hai, Alex!” sapanya pada Alex.
“Oh, hai, Fani! Kamu sudah antar pesanan tujuh satu enam itu kan?” tanyanya pada Fani.
“Done!” ujar Fani dengan ceria.
Lana masih diam saja salah tingkah tak berdaya. Lana berdiri di pojok lift kecil itu. Fani dan Alex berdiri berdampingan di depannya. Sesekali Alex melirik-lirik kea rah Lana sambil tersenyum simpul.
“Fani, can you ask something to your friend?” tanya Alex pada Fani sambil mengerlingkan matanya.
“Mmm…sure. Mau tanya apa? Sama siapa?” tanya Fani pura-pura bingung. Senyumnya juga terpasang lebar di mulutnya.
“Teman kamu yang ada di belakang itu. Please ask her, would she come with me ‘tengok wayang’ tomorrow,” kata Alex dengan nada menggoda.
“Hahaha…she would if she could understand what ‘tengok wayang’ means!” jawab Fani hampir tidak bisa menahan tawanya.
Lana segera mencubit pinggang Fani dari belakang dengan gemas. Fani menoleh ke arahnya sambil cengar-cengir kesakitan.
“Oh, my God! So that’s why you haven’t said anything, Lana?” kali ini Alex membalikkan badannya dan bertanya dengan serius kepada Lana.
“Ah..uh..uh..yeeah, something like that,” jawab Lana tergagap malu.
Alex benar-benar tidak bisa menahan tawanya. Fani merasa di atas angin melihat Alex tertawa lepas, dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Lana manyuuun.
“OK! Saya akan tanya dalam bahasa Indonesia supaya kamu mengerti. Lana, apakah kamu mau pergi…mmm…,” Alex ragu meneruskan kalimatnya. Diliriknya Fani untuk mendapat bantuan.
“Nonton bioskop sama saya,” ujar Fani mengajarkan, masih dengan tertawa-tawa.
“Oh, OK! Lana, apakah kamu mau pergi nonton bioskop sama saya?” tanya Alex dengan serius kepada Lana.
Lana makin salah tingkah. Cowok edan, masa ngajak nge-date di depan temen gue gini sih? Mana minta diajarin ngomong lagi! Maki Lana dalam hatinya.
Akhirnya Lana hanya mengangguk pelan sambil menunduk malu. Fani geli sekali melihat gaya sahabatnya itu. Lana benar-benar mati kutu. Jangan-jangan dia suka sama Alex, pikir Fani kemudian.
Ting! Pintu lift terbuka di lantai tiga. Alex berpamitan cepat, karena dia harus turun di lantai itu.
“Sompret!” maki Lana pada Fani begitu pintu lift tertutup kembali.
“Huahahaaa…sorry, Lan! Abis kocak banget sih tuh cowok. Jarang-jarang lho ada cowok yang punya selera hunor tinggi kayak gitu,” kata Fani masih melanjutkan niatnya untuk menggoda Lana.
Lana senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata Fani. Alex memang humoris. Beberapa minggu tinggal satu apartemen dengannya, Alex adalah pribadi yang paling ramah selain Uncle Stephen yang sudah agak berumur itu.
“Lo suka ya sama Alex?” tembak Fani telak.
Seketika muka Lana memerah. Sepintas dia hampir menggelengkan kepalanya. Namun kemudian yang terjadi justru bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang tidak bisa ditahannya.
“Hehehe…keliatan banget emangnya ya?” tanya Lana pasrah.
Ah, sahabat harus tahu segalanya bukan? Pikir Lana dalam hati. Sama sekali dia tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun pada Fani, sahabatnya.
“Keliatan sih nggak…Cuma jelas aja dari salting lo itu! Ih, norak banget deh lo, Lan! Kayak belum pernah ngadepin cowok aja,” kata Fani dengan geli.
“Sialan! Kan beda ngadepin cowok yang bikin lo eneg, sama ngadepin cowok yang lo suka,” kata Lana membela diri.
“Astaga! Beneran suka, atau jangan-jangan malah udah mulai jatuh cinta nih?” tanya Fani penasaran.
“Weeeh, jatuh cinta belum kaleee! Baru suka aja. Ganteng, putih, baek, lucu…huaaa…Help me!!!” kata Lana sambil menarik-narik baju Fani berlagak seperti seorang anak kecil yang tengah merengek pada ibunya.
“Anak gila! Selamat berkencan besok yaaa! Gue masuk malem bareng Ogi. Huh!” kata Fani sambil melangkah keluar lift, karena lift itu sudah terbuka di lantai satu.
“Dadaaah!” Lana melambaikan tangannya dari dalam lift sebelum pintu lift itu tertutup kembali. Lana langsung menuju basement untuk berganti seragam karena sudah waktunya ia pulang sore itu.
Fani melangkahkan kakinya dengan santai sambil memikirkan Lana, sahabatnya itu. Kelihatan sekali kalau Lana sedang berbunga-bunga hatinya. Benar kata Lana tadi, dia memang belum pernah menghadapi laki-laki yang menarik hatinya. Walaupun banyak sekali laki-laki yang suka padanya di kampus, tapi Lana tidak pernah salah tingkah seperti ini. Lucu juga bagaimana jatuh cinta itu bisa membuat seseorang justru tampak konyol di hadapan orang yang disukainya. Fani asyik berfikir tentang itu, jatuh cinta, rasa suka, salah tingkah, berdebar-debar. Huuff, gimana ya rasanya? Tanya Fani dalam hati dengan penasaran.
Fani belum pernah merasakan itu semua. Dulu waktu SMA dia berpikir dia pernah jatuh cinta kepada seorang kakak kelasnya. Tapi kemudian Fani cukup cerdas untuk menyadari kalau yang dirasanya waktu itu adalah perasaan kagum dan ingin menjadi seperti dia. Bagaimana tidak, sang kakak kelas itu adalah ketua OSIS di sekolah, murid teladan satu kotamadya, pemegang nilai tertinggi di sekolah dan segudang prestasi lainnya. Fani selalu tak bisa menahan diri untuk tidak menatap kagum padanya setiap sang idola lewat di depannya. Saat teman-temannya menyadari itu, mereka ramai menggoda Fani hingga Fani hampir percaya kalau dia sudah jatuh cinta pada kakak kelasnya itu.
Tidak perlu waktu lama bagi Fani untuk menyadari kalau dia bukan sedang jatuh cinta, melainkan sedang mengagumi. Rindu. Satu kata itu yang menyadarkan Fani. Tidak ada sedikitpun rasa rindu ingin bertemu dengannya saat Fani di rumah. Padahal menurut teman-temannya yang sudah berpacaran, rindu itu…uuugh, nyebelin-nyebelin enak gimanaa gitu! Fani justru sering merasa tertantang untuk bisa menjadi seperti dia, berprestasi. Maka sampailah Fani pada kesimpulan akhir kalau dia bukan sedang jatuh cinta. Dan kesimpulan itu akhirnya gagal memecahkan rekor belum pernah jatuh cinta pada laki-laki yang selama ini disandangnya dengan bangga.
***
BERSAMBUNG
Image from http://img.dailymail.co.uk/i/pix/2008/03_04/BambiDM_468x451.jpg
Kamis, 01 Juli 2010
Turis Irit
Fani dan Ogi duduk berdua di depan kursi yang tersedia di depan Takashimaya itu. Siang yang terik di Singapura terpaksa mereka sambut dengan wajah terbuka. Ogi menyesali dirinya yang tidak ingat untuk membawa topi Billabong kebanggaannya itu. Sebuah kamera digital tergenggam di tangannya.
“Ayo, Fan…Foto-foto lagi,” ajaknya pada Fani.
“Ogah ah! Dari tadi foto-foto melulu, kayak turis,” tolak Fani malas sambil berkipas dengan majalah di tangannya.
“Lah, kan emang kita turis. Hahaha…,” canda Ogi.
Mau tidak mau Fani tertawa mendengarnya. Sebelum berangkat tadi mereka memang sempat berniat untuk berfoto di depan semua mall yang ada di sepanjang jalan Orchard yang terkenal itu. Tapi entah mengapa, keinginan itu langsung menguap begitu mereka sampai di sana.
“Banyak banget orang Jakarta ya di sini,” kata Fani ketika mereka sampai di Orchard.
Dari tadi orang lalu lalang dekat mereka semuanya berbicara dengan bahasa Indonesia.
“Gue jadi gak berasa ada di Singapur nih, Gi. Rasanya lagi ada di Blok M. Hahahaa…,” kata Fani lagi.
“Hihihi…iya yah…,” kata Ogi menyetujui.
“Udah ah, gak usah foto-foto. Tengsin. Banyak orang Indonesianya,” kata Fani akhirnya.
“Yaaa…foto doong. Buat kenang-kenangan,” bujuk Ogi kecewa.
Niatnya dalam hati ingin sebanyak mungkin memiliki dokumentasi gambar dengan Fani nyaris pupus.
“Lo aja sini gue fotoin,” kata Fani.
“Berdua dong, gimana sih lo,” Ogi masih berusaha membujuk.
“Ya udah, foto di sini aja,” kata Fani akhirnya sambil duduk di kursi yang sekarang tengah didudukinya itu.
Ogi tidak mau melewatkan kesempatan. Segera diarahkannya kamera ke arah Fani. Beberapa kali diambilnya gambar. Fani malas tersenyum di tengah panas terik itu. Dia hanya memalingkan wajahnya sambil melihat-lihat sekelilingnya.
“Orchard gak menarik nih, Gi,” kata Fani akhirnya.
“Iya yah…Cuma ada mall doang. Apalagi gak punya duit gini,” ujar Ogi sepakat.
“Cari tempat lain yang lebih menarik yok!” ajak Fani kemudian.
Ogi segera membuka peta Singapura yang diambilnya di bandara Changi ketika mereka baru sampai minggu lalu. Rute MRT adalah panduan paling penting baginya. Mau kemanapun yang penting dilalui oleh MRT maka semuanya akan lancar. Transportasi massa satu ini memang sebuah keajaiban indah yang mereka dapatkan di Singapura. Nyaman, bersih, murah dan mencapai banyak tempat. Setelah hampir setahun harus puas dengan angkot-angkot hijau di Bandung yang doyan ngetem itu, Fani, Ogi dan Lana mendapati diri mereka begitu kecanduan untuk naik MRT. Bagi mereka tidak terlalu penting ke mana tujuannya, yang penting bisa berlama-lama di atas MRT itu, itu sudah sebuah rekreasi yang menyenangkan.
“Ke sini aja, yok,” kata Ogi sambil menunjuk ke sebuah lokasi di peta.
“Clarke Quay..Hmm, di pinggir sungai Singapur. Wah, kayanya asyik tuh. Paling nggak mudah-mudahan rada ademan di sana,” kata Fani sambil ikut mengamati peta di tangan Ogi.
“Iya, lagian ini juga tujuan wisata di sini. Mudah-mudahan orang Indonesianya nggak sebanyak di sini. Hehehe…,” Ogi terkekeh sendiri mendengar ucapannya.
Fani hanya meringis sambil mengangguk setuju. Tapi sejurus kemudian dia terdiam seperti teringat sesuatu.
“Yah, Gi…Tapi kita kan janjian sama Lana di sini,” kata Fani teringat akan janjinya dengan Lana.
“Ya, terserah. Mau nungguin dia di sini sampe jam empat? Sekarang baru jam satu lho!” kata Ogi sambil melihat jam tangan di tangan kanannya.
“Iya, ya…Bisa mateng kita nungguin dia di sini. Ya udah, cabut aja deh! Ntar jam tiga-an kita balik lagi ke sini. Atau kalau udah sampe sana, kita coba telpon ke hotel deh, nitip pesen buat dia,” kata Fani akhirnya.
Sepasang remaja itu kemudian berjalan bersama. Sesekali Ogi mengarahkan kameranya ke arah Fani yang tengah berjalan di sampingnya. Fani dengan sebal berusaha menepis kamera itu beberapa kali. Ogi tertawa-tawa melihat temannya itu tidak mau diambil gambar olehnya. Dasar cewek, suka malu-malu kucing, kata Ogi dalam hati.
Tidak lama kemudian mereka sudah duduk di dalam MRT. Tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di tujuan. Benar saja, Clarke Quay lebih bersahabat. Dan Fani harus mengakui, dia jatuh cinta pada pandangan pertama begitu kakinya menginjak pinggiran sungai Singapura itu. Pemandangan indah, gedung-gedung pencakar langit di sekeliling, café-café di sepanjang pinggiran sungai, air sungai yang bersih, kapal-kapal wisata yang menarik. Semuanya begitu menyatu dan mengasyikkan di mata Fani. Untuk sesaat Fani terdiam di pinggir sungai itu. Dia duduk di sebuah kursi batu yang tersedia bagi pengunjung. Matanya menatap kapal wisata merah yang sedang berjalan lambat melewati mereka. Sunglassnya masih terpasang di wajahnya.
Diam-diam Ogi mengambil gambar itu. Fani yang tengah termangu menatap sungai dengan silau sinar matahari dari arah samping wajahnya. Tiba-tiba Ogi seperti lupa untuk menekan tombol saat dilihatnya wajah Fani dalam layar kecil kameranya itu.
Astaga, dia memang cantik, ujar Ogi dalam hati. Sesaat dia seperti terpaku melihat kameranya itu. Fani seperti tersadar dan segera melambaikan tangannya ke arah Ogi tanda ia tidak mau difoto.
“Udah ah! Ngapain sih foto-foto melulu,” katanya pada Ogi.
Sialan! Lewat deh momennya, maki Ogi dalam hati urung mengambil gambar Fani.
“Duduk di sini aja, ya?” kata Fani meminta persetujuan Ogi.
“Mmm…gak mau duduk di café itu?” tanya Ogi sambil menunjuk ke sebuah café mungil dekat mereka.
Ada beberapa kursi dengan tenda berwarna hijau di teras café itu, Persis di samping sungai. Kelihatannya sangat nyaman dan keren. Seperti café-café di Prancis atau Italia di pandangan Ogi.
“Bweeh, mau minum apaan di sana? Kopi harga lima belas dolar?” kata Fani sambil meledek Ogi.
Ogi tertawa mendengar kalimat Fani itu. Dia harus mengakui kalau Fani benar. Saat ini adalah saat prihatin. Mereka belum menerima gaji. Uang yang ada di kantong mereka masih merupakan uang bekal dari orang tua masing-masing. Dan itu harus mereka hemat, paling tidak sampai bulan depan mereka menerima gaji pertama.
“Excuse me! You both look perfect on that spot! Can I take your picture?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mereka dengan sebuah pertanyaan.
Fani dan Ogi serentak menoleh ke arah asal suara itu. Seorang lelaki tua berambut pirang dengan kamera berlensa super besar tengah berdiri di hadapan mereka sambil melemparkan sebuah senyum.
“Mmm..OK…,” kata Ogi tanpa berpikir.
Fani menyikut rusuk Ogi. Dia masih belum yakin dengan maksud pertanyaan bule itu.
“Ahaha…thank you…Don’t worry, I just think you two look like a cute couple on a perfect spot, the river view and the sunlight is just perfect. I’m a professional fotographer. But I won’t sell your picture, I just want to keep it for my private collection, if you don’t mind,” bule itu seperti mengerti dengan keraguan Fani.
“Oh, OK then, but we’re not couple, we’re just friends…,” Fani berusaha menjelaskan status mereka berdua pada lelaki itu.
“Oh, sorry…I thought..well, never mind…,” ucap si bule itu lagi.
Pria tua itu lantas meminta mereka untuk mendekat dan saling melingkarkan tangan di pinggang. Dia meminta Ogi untuk memandang ke arah Fani dan Fani diminta untuk menatap sungai di sampingnya. Laki-laki itu memang benar-benar seorang fotografer dan pengarah gaya profesional sepertinya. Dia tahu sekali bagaimana mengatur pose yang pas untuk mereka berdua.
Ogi menatap Fani dalam jarak hanya lima senti dari wajahnya. Luar biasa rasanya, ujar Ogi dalam hati. Aku benar-benar beruntung bisa melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menatapnya dalam jarak sedekat ini tanpa harus menerima protes darinya, Ogi tak henti-hentinya bersyukur atas rejeki nomplok itu.
“OK! Thank you so much!” ucap si bule itu kemudian sambil mengulurkan tangannya kepada Fani dan Ogi.
Mereka menyambut jabat tangan hangat itu sambil tersenyum. Lelaki itu kemudian berjalan meninggalkan mereka. Seperti teringat sesuatu, tiba-tiba Ogi berlari menyusul lelaki itu.
“Excuse me, can you e-mail me the picture later?” Pintanya pada lelaki itu.
Bergegas Ogi mengambil pulpen dan kertas dari tas kecil yang dibawanya. Dia menuliskan sesuatu di situ dan menyerahkannya pada lelaki bule itu. Si bule menerima kertas itu dan tersenyum kembali pada mereka berdua. Ogi kembali menghampiri Fani.
Fani dan Ogi saling menatap sesaat lalu kemudian tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. Rasanya siang menjelang sore di tepi sungai Singapura itu memang terasa membahagiakan. Entah bagaimana caranya, yang jelas mereka merasakannya.
***
BERSAMBUNG
Image from www.fileguru.com/Free-Disney-Cartoons-Screensaver/screenshot