Lana memutuskan untuk lembur masuk kerja hari Senin besok. Tidak ada lagi semangat yang tersisa untuk pergi ke Sentosa Island bersama dua sahabatnya, Fani dan Ogi. Alex sudah menceritakan padanya kalau dia harus hadir di acara gathering kampusnya Senin sore. Dengan berat hati dia membatalkan untuk ikut ke Sentosa bersama mereka bertiga. Lana diam saja berusaha terlihat tenang.
Sama sekali tidak dibahasnya tentang percakapan yang didengarnya antara Alex dan Sally. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya berdenyut. Apalagi membawanya ke permukaan menjadi sebuah percakapan dengan Alex. Biar saja, pikirnya. Baginya tak ada yang harus diklarifikasi. Toh Alex bukan pacarnya. Belum. Tak ada yang perlu dijelaskan tentang status mereka masing-masing saat ini.
Lana memang sedang berupaya untuk menipu hatinya saat ini. Mungkin dengan masuk kerja hari Senin nanti, dia akan cepat melupakan resah dalam hatinya itu. Itu harapan Lana.
Fani sendiri protes keras ketika Lana membatalkan pergi ke Sentosa.
“Kenapa?” tanyanya tak mengerti.
“Males ah, kalo cuma bertiga. Ntar gue ganggu lo berdua,” kata Lana ogah-ogahan.
“Yeee, gak gitu juga kali! Emangnya selama gue pacaran sama Ogi, pernah gitu lo gue cuekin?” Lana tetap protes.
“Ya, nggak sih. Cuma maksud gue, ini kesempatan lo buat berdua aja sama dia. Pergi aja. Biarin deh gue kerja. Lumayan lemburannya lebih gede kalo kerja di hari off, kan?” jelas Lana lagi, berusaha meyakinkan Fani.
“Emang mau masuk jam berapa? Kalo lo masuk pagi, gue tungguin deh sampai jam empat, biar bisa bareng,” Fani masih tetap bersikeras mengajak Lana pergi.
“Masuk siang. Pulang jam dua belas malam,” kata Lana singkat.
Fani terdiam sebentar. Dipandangnya Lana. Dua hari ini mukanya kusut sekali. Tidak ceria seperti biasanya. Tadinya Fani berpikir dia sedang datang bulan. Tapi sepertinya tidak terlalu begitu juga biasanya kalau dia datang bulan. Tapi Lana kenapa? Tanyanya dalam hati.
Tidak biasa-biasanya juga Lana diam, memendam sendiri kalau dia sedang punya masalah. Dia selalu cerita kepada Fani, apapun masalahnya. Apapun itu, Fani yakin sekali kalau Lana sedang menyembunyikan sesuatu.
Cara berbicaranya pada Alex juga jadi berubah, dalam penglihatan Fani. Dia jadi lebih kaku dan seperti menjaga jarak dengan Alex. Jangan-jangan ini memang ada hubungannya dengan Alex? Lana berusaha menelusuri masalah Lana.
Siang itu mereka akan masuk kerja. Lana meninggalkan Fani di lokernya tanpa mengatakan apa-apa lagi setelah percakapan itu. Fani hanya memandangnya melangkah ke luar ruang ganti.
“Lan! Atau kita mundurin aja acaranya ya?” Fani berteriak dengan sisa-sisa usahanya untuk membujuk Lana.
“Jangaan! Susah lagi nemuin jadwal yang cocok. Udah pergi aja!” kata Lana sambil menutup pintu.
Fani diam lagi. Kali ini dia sudah bisa melihat sedikit alasan Lana kenapa dia ikut membatalkan pergi. Bukankah kemarin Alex juga bilang dia tidak bisa ikut? Ada acara kampus katanya. Pantas. Mungkin dia kecewa karena Alex tidak ikut. Akhirnya Fani menghela nafas lega setelah menemukan sendiri kesimpulannya.
Fani keluar dari ruang ganti wanita dan berjalan santai menuju lift khusus karyawan. Alex tampak berjalan menuju ruang ganti pria sambil membuka dasinya. Dia tersenyum melihat Fani.
“Hai. Lana mana?” tanyanya seperti biasa.
Selalu, setiap dia bertemu Fani, yang ditanya olehnya lebih dahulu adalah Lana.
Fani menunjuk ke atas, mengisyaratkan Lana sudah menuju pos kerjanya di Reception lantai satu hotel itu. Alex menganggukkan kepalanya.
“Alex! Kamu emang betul nggak bisa ikut hari Senin?” tanya Fani akhirnya.
Alex berhenti di depan pintu. Dia mengangkat bahunya dengan ekspresi sebal lalu menggeleng lemah.
“Tidak bisa. Maaf, ya! Sebab dosenku juga hadir. Aku harus ada di sana,” jelas Alex padanya.
“OK…Saya cuma kasihan sama Lana. Dia yang ingin sekali ke sana. Tapi dia malah akhirnya memutuskan untuk lembur di hari liburnya. Katanya dia tidak mau pergi kalau cuma bertiga,” kata Fani lagi.
“Dia mau masuk kerja?” tanya Alex sedikit terkejut.
Fani menganggukkan kepalanya.
“Ya sudah. Biar saya jemput dia pulang kerja hari Senin itu. Saya akan langsung ke hotel setelah acara sekolah saya selesai,” ujarnya seperti pada dirinya sendiri.
Fani kembali menganggukkan kepalanya. Semangatnya untuk pergi ke Sentosa Island hanya tinggal lima puluh persen saja. Kalau saja Ogi bukan pacarnya, mungkin dia juga akan membatalkan untuk pergi. Fani tidak ingin melewatkan juga keinginannya untuk jalan bersama Ogi selama satu hari penuh. Walaupun akan lebih menyenangkan kalau ada Lana dan Alex bersama mereka.
Sudahlah. Kapan-kapan bisa direncanakan lagi, harapnya sendiri. Tanpa disadarinya dia sudah sampai ke dapur restoran yang ditujunya.
Tampak Uncle Stephen sedang berteriak-teriak menyuruh para chef trainee itu untuk bergerak lebih cepat. Suasana dalam dapur memang selalu panas. Panas karena hawa api untuk memasak dan juga panas oleh hawa emosi para awaknya. Di mana-mana sama saja. Fani ingat dapur tempat prakteknya di kampus. Pak Dadang, dosen yang mengajar bagian Kitchen juga selalu berteriak-teriak dan memukul keras-keras apapun yang ada di dekatnya. Kalau kebetulan di dekatnya ada panci stock yang besarnya hampir sebesar tubuhnya itu, maka dia akan memukul panci itu dengan sekeras-kerasnya.
Fani melihat suasana di dalam dapur sekilas. Untung aku bukan praktek di sana, pikirnya lega. Fani bersyukur dia bekerja di bagian depan restoran. Di mana segalanya tampak rapi, bersih, penuh tata tertib, damai dan sedikit romantis dengan alunan musik klasik yang lembut serta dinginnya penyejuk ruangan yang disetel dengan maksimal. Para tamu itu tidak tahu bagaimana kacau-balaunya di belakang sana menyiapkan hidangan untuk mereka di restoran yang elegan ini, kata Fani sambil mengambil cloth putih untuk mengeringkan goblet yang sudah selesai dicuci oleh para busboy di belakang.
Keindahan dalam restoran itu hanya sebatas permukaan saja. Sebatas yang perlu ditampilkan di mata para tamu yang mereka layani. Padahal untuk menghadirkan keindahan itu, banyak sekali keributan dan kekacauan serta kepanikan yang harus terjadi di belakang. Para chef itu pontang-panting menyiapkan pesanan mereka. Panik jika sampai pesanan itu terlambat hadir ke meja tamu. Belum lagi kalau ada kekacauan seperti sup tumpah atau salah memberi garnish dan sebagainya. Semua harus dilakukan dengan benar dan cepat. Tidak heran Uncle Stephen tampak jauh lebih tua dari usianya. Pekerjaannya sungguh berat. Lagi-lagi Fani asyik sendiri dengan pikirannya.
“Fani! Move!” sebuah suara keras mengejutkannya.
Reflek Fani meloncat ke arah samping. Sebuah trolley besar berisi piring dan mangkok berjumlah ratusan sedang di dorong oleh seorang waiter dengan susah payah. Waiter itu menghentikan trolley tepat di samping Fani. Lantas dia tersenyum dan menyerahkan selembar kertas. Inventory. Begitu yang tertulis di kertas itu.
Fani melenguh pelan. Uuuh, kenapa selalu aku yang kebagian tugas menyebalkan ini? Ratapnya dalam hati. Apa karena statusku cuma trainee? Tega banget sih! Fani cemberut mengambil kertas itu lalu mulai menurunkan piring-piring keramik yang berat itu sedikit demi sedikit. Menghitungnya satu demi satu. Menyesuaikan jumlahnya dengan data di kertas itu. Lalu menuliskannya kembali di kolom yang baru. Sungguh memuakkan. Tiba-tiba dia hanya ingin saat itu dia dan Ogi sudah sampai di pinggir pantai memandang pulau Batam dari Sentosa.
***
BERSAMBUNG
image from http://www.blackwolf-images.com/images/dis/sw_animals.jpg