Assalamu'alaikum.
Pa kabaaar? Cuti lama beud, mak? Keenakan ini mah saya. :') Mau ngasih alesan apa lagi deh, kalo ujung-ujungnya sebenernya emang kebawa males aja. Jadi buat yang belum ngalamin fase males ngeblog, kalo berasa rada bosen-bosen dikit, jangan diturutin kayak saya, yah. Begini akibatnya.
Tapi sejujurnya, saya bukan cuma lagi nurutin males nulis aja, kok. *mulai defensif* Tahun 2017 ini anak-anak saya emang mulai banyak butuh perhatian extra. Fadhil, yang gede, misalnya. Dia udah masuk umur ABG sekarang. Lagi judes-judesnya sama emaknya. :( Ditanya sesuatu, jawabnya singkat-singkat aja. Giliran emaknya baper, dia ngeliatin saya aneh. Bhik. Jaman saya segede dia, boro-boro berani ngeliatin orang tua kayak gitu. Jadi sama dia ini saya lagi main layangan, tarik ulur, tarik ulur. Kalo terlalu diperhatiin kayak anak kecil, dia kesel. Kalau dicuekin, saya yang takut dia kebablasan. Butuh seni tersendiri ngadepinnya. Ngik.
Kalau sama Safina, tahun ini juga mulai banyak tantangannya. Mungkin beberapa yang suka ngikutin serial bilingual kids saya di sini udah tahu ya kalau Safina ini berjuang banget untuk menyesuaikan diri di sekolahnya karena masalah bahasa. Dia yang lebih senang berbahasa Inggris sehari-hari, ketika di sekolah semua pelajaran disampaikan dalam bahasa Indonesia, mau gak mau harus kerja lebih keras dibanding teman-temannya. Tapi seperti yang saya ceritakan di sini, itu challenge buat saya sebagai orang tua sebagai konsekuensi menyekolahkan anak bilingual ke sekolah negeri.
Ngemengin soal anak bilingual lagi, apalagi di Bekasi, yang katanya Jakarta aja mesti lewat dua belas gate buat bisa masuk ke sini, orang suka aneh aja ngeliatin saya ngobrol bahasa Inggris sama Safina. Saya kenyang ditatap dengan penuh arti begitu. Seringnya suudzon, ni orang-orang ngecap saya sok bule kali, ya? *baperan* Etapi jujur, deh. Sering ngecap begitu gak, misalnya waktu denger Cinta Laura ngomong di tivi? Duile, ngomong sampe amburadul gitu kecampur-campur. Atau liat video artis sama anak-anaknya di Instagram, ibunya yang artis keukeuh ngomong bahasa Inggris, eh dijawab pake bahasa Indonesia, trus yang nonton langsung ketawa seneng campur ngenyek, "Hahaha! Sok bule, padahal anaknya nggak bisa ngomong Inggris." Mari kita tanyakan pada hati masing-masing, pernahkah kita begitu? Wkwkwkwk, penting.
Dulu sebelum punya anak dan memutuskan untuk membesarkan mereka secara bilingual, saya termasuk orang tukang nge-cap gitu. Setelah ngalamin sendiri, kapok. Ya kan emang udah gitu hukum alamnya, ditampol dulu, baru ngerti.-_- Ada beberapa cap yang pernah saya (mungkin kamu juga) pernah berikan ke mama-mama "sok ng-Inggris" ini. Karena sekarang saya menjadi bagian dari emak anak bilingual, sekalian saya coba jelaskan sedikit ada apa di balik itu semua. Hayah, ribet banget bahasa lo, mak.
Sering diliatin di tempat umum kalau tiba-tiba anak jerit-jerit pakai bahasa Inggris? Sama! Beberapa kali saya nangkep pandangan mata orang berlanjut jadi jelalatan, kayak nyariin bapaknya. Mungkin berharap bapak anak saya orang asing, jadi gak perlu penjelasan lebih lanjut kenapa ni anak bermuka lokal tapi ngemeng londo. Hihihi.
Teman-teman, jaman sekarang udah banyaaaak keluarga murni pribumi yang mengaplikasikan pendidikan bilingual untuk anak-anak mereka. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, tujuan masing-masing keluarga berbeda-beda. Untuk saya pribadi misalnya, tujuan utamanya adalah untuk mempermudah anak-anak saya berkomunikasi dengan sepupu-sepupu mereka yang semuanya tinggal di luar negeri. Mungkin ada orang tua bilingual lain yang punya tujuan lebih besar, seperti ingin mempersiapkan anaknya sejak dini untuk bersekolah di negara tertentu. Ya bebas-bebas aja. Jadi, gak mesti bapak atau ibunya bule dulu atuh, kan?
Cih! Bahasa Inggris lancar, bahasa Indonesia belepotan. Gak cinta negeri sendiri kamoh!
Lalu Hayati nangis. Gak segampang itu menilai nasionalisme seseorang. Lancar tidaknya anak bilingual berbahasa asing (bukan bahasa ibu/asalnya) dipengaruhi oleh banyak hal. Yang paling besar mempengaruhi (ini pengalaman pribadi) adalah kecenderungan anak itu sendiri. Dua anak saya punya kecenderungan berbeda, Fadhil cenderung lebih nyaman berbahasa Indonesia, Safina sebaliknya. Apa Fadhil nasionalis, lalu Safina nggak? More of that, apa saya sebagai ibunya nggak nasionalis? Balik lagi ke point satu, kami punya goal, visi dan misi saat memutuskan untuk ber-bilingual di rumah.
Don't worry, kami masih pasang bendera merah putih tiap tanggal 17 Agustus, kok. Anak-anak hafal lagu kebangsaan, kok. Dan mereka sekolah di sekolah negeri, dan ini juga bukan karena menganggap yang sekolah di sekolah internasional gak nasionalis, ya. Murni masalah biaya ini, mah. Wkwkwkwk. Cetek amat sih, mak ukuran nasionalisme-nya? Ya sama dong ceteknya dengan mengukur nasionalisme keluarga kami dari bahasa sehari-hari yang kami pergunakan, di mana itu adalah hak kami sepenuhnya. Merdeka!
Hehehe. Ini asik banget jadi bahan ngenyek, ya. Semacam, "Ciaaan deh lo, susah-susah nampilin image kebule-bulean, tau-tau anaknya ngejawab pake bahasa Indonesia logat Betawi!" Terus ketawa setan, "MWAHAHAHA!"
Hush! Sini ya, saya kasih tau, setiap anak bilingual, sebelum dia memasuki fase cenderung memilih salah satu bahasa yang nyaman, akan melalui fase "suka-suka gue mau jawab pake bahasa apa". Hahaha, gak ilmiah banget, mak. Ya tapi emang gitu, sik. Anak yang dikenalkan ke lingkungan bilingual sejak bayi, berarti kan mendengar dua bahasa. Jadi wajar banget dia mau pakai bahasa yang mana, karena buat mereka, intinya adalah komunikasi, maksud tersampaikan.
Waktu anak-anak saya masih balita, sering banget kok kejadian kayak gini, dan emang sering ketangkep senyum sinis orang-orang yang gak sengaja denger.
"Safina, finish you meal!" Terus Safina jawab, "Gak mau! Nana mau maen!" Atau, "Fadhil, put on your shoes now." Dijawab, "Bentar dulu napa, Ma?" Napa? Napa? Et, dah! Hahaha, ya maklum pan, bapaknye orang Betawi aslik, kita tinggal di Bekasi, ya kali anak-anak saya gak nyerap sedikit pun logat Betawi. Mau emaknya casciscus setiap hari, kan bapaknya berbahasa Indonesia. There's a reason why it's called BILINGUAL. :D
So, apa punlah, ini bukan buat menampilkan image tertentu atau supaya dilihat orang lain seperti apa. Ini murni soal pilihan masing-masing orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Gak usah ngenyek-ngenyekan. Motherhood udah berat banget sama perang ASI-susu formula, working mom-stay home mom, lahiran normal-cesar. Gak usahlah ditambah sama yang ini. Hihihihi.
Anyway, kalau ada teman-teman sesama penggiat bilingual di rumahnya, boleh dong share pengalamannya. Atau kalau ada yang mau tanya-tanya lebih jauh pengalaman saya mendidik anak bilingual selama 13 tahun terakhir ini, monggo. :*
Sebagai penutup, ini ada "mini essay" yang ditulis Safina kemarin, judulnya Sharing. Yang bikin saya bangga bukan karena dia menuliskannya dalam bahasa Inggris, tapi isi dari tulisannya. Have a nice day. :*
Sok Bule
Sering diliatin di tempat umum kalau tiba-tiba anak jerit-jerit pakai bahasa Inggris? Sama! Beberapa kali saya nangkep pandangan mata orang berlanjut jadi jelalatan, kayak nyariin bapaknya. Mungkin berharap bapak anak saya orang asing, jadi gak perlu penjelasan lebih lanjut kenapa ni anak bermuka lokal tapi ngemeng londo. Hihihi.
Teman-teman, jaman sekarang udah banyaaaak keluarga murni pribumi yang mengaplikasikan pendidikan bilingual untuk anak-anak mereka. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, tujuan masing-masing keluarga berbeda-beda. Untuk saya pribadi misalnya, tujuan utamanya adalah untuk mempermudah anak-anak saya berkomunikasi dengan sepupu-sepupu mereka yang semuanya tinggal di luar negeri. Mungkin ada orang tua bilingual lain yang punya tujuan lebih besar, seperti ingin mempersiapkan anaknya sejak dini untuk bersekolah di negara tertentu. Ya bebas-bebas aja. Jadi, gak mesti bapak atau ibunya bule dulu atuh, kan?
Gak Nasionalis
Cih! Bahasa Inggris lancar, bahasa Indonesia belepotan. Gak cinta negeri sendiri kamoh!
Lalu Hayati nangis. Gak segampang itu menilai nasionalisme seseorang. Lancar tidaknya anak bilingual berbahasa asing (bukan bahasa ibu/asalnya) dipengaruhi oleh banyak hal. Yang paling besar mempengaruhi (ini pengalaman pribadi) adalah kecenderungan anak itu sendiri. Dua anak saya punya kecenderungan berbeda, Fadhil cenderung lebih nyaman berbahasa Indonesia, Safina sebaliknya. Apa Fadhil nasionalis, lalu Safina nggak? More of that, apa saya sebagai ibunya nggak nasionalis? Balik lagi ke point satu, kami punya goal, visi dan misi saat memutuskan untuk ber-bilingual di rumah.
Don't worry, kami masih pasang bendera merah putih tiap tanggal 17 Agustus, kok. Anak-anak hafal lagu kebangsaan, kok. Dan mereka sekolah di sekolah negeri, dan ini juga bukan karena menganggap yang sekolah di sekolah internasional gak nasionalis, ya. Murni masalah biaya ini, mah. Wkwkwkwk. Cetek amat sih, mak ukuran nasionalisme-nya? Ya sama dong ceteknya dengan mengukur nasionalisme keluarga kami dari bahasa sehari-hari yang kami pergunakan, di mana itu adalah hak kami sepenuhnya. Merdeka!
Kocak! Emaknya Sibuk Nginggris, Anaknya Jawab Pake Bahasa Indonesia
Hehehe. Ini asik banget jadi bahan ngenyek, ya. Semacam, "Ciaaan deh lo, susah-susah nampilin image kebule-bulean, tau-tau anaknya ngejawab pake bahasa Indonesia logat Betawi!" Terus ketawa setan, "MWAHAHAHA!"
Hush! Sini ya, saya kasih tau, setiap anak bilingual, sebelum dia memasuki fase cenderung memilih salah satu bahasa yang nyaman, akan melalui fase "suka-suka gue mau jawab pake bahasa apa". Hahaha, gak ilmiah banget, mak. Ya tapi emang gitu, sik. Anak yang dikenalkan ke lingkungan bilingual sejak bayi, berarti kan mendengar dua bahasa. Jadi wajar banget dia mau pakai bahasa yang mana, karena buat mereka, intinya adalah komunikasi, maksud tersampaikan.
Waktu anak-anak saya masih balita, sering banget kok kejadian kayak gini, dan emang sering ketangkep senyum sinis orang-orang yang gak sengaja denger.
"Safina, finish you meal!" Terus Safina jawab, "Gak mau! Nana mau maen!" Atau, "Fadhil, put on your shoes now." Dijawab, "Bentar dulu napa, Ma?" Napa? Napa? Et, dah! Hahaha, ya maklum pan, bapaknye orang Betawi aslik, kita tinggal di Bekasi, ya kali anak-anak saya gak nyerap sedikit pun logat Betawi. Mau emaknya casciscus setiap hari, kan bapaknya berbahasa Indonesia. There's a reason why it's called BILINGUAL. :D
So, apa punlah, ini bukan buat menampilkan image tertentu atau supaya dilihat orang lain seperti apa. Ini murni soal pilihan masing-masing orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Gak usah ngenyek-ngenyekan. Motherhood udah berat banget sama perang ASI-susu formula, working mom-stay home mom, lahiran normal-cesar. Gak usahlah ditambah sama yang ini. Hihihihi.
Anyway, kalau ada teman-teman sesama penggiat bilingual di rumahnya, boleh dong share pengalamannya. Atau kalau ada yang mau tanya-tanya lebih jauh pengalaman saya mendidik anak bilingual selama 13 tahun terakhir ini, monggo. :*
Sebagai penutup, ini ada "mini essay" yang ditulis Safina kemarin, judulnya Sharing. Yang bikin saya bangga bukan karena dia menuliskannya dalam bahasa Inggris, tapi isi dari tulisannya. Have a nice day. :*
SHARINGby Safina (8 years old)"Did you know that sharing is caring? Sharing and caring to poor people is very nice of people and share everytime makes you a good person. Being a good person makes you go to heaven. Share anything that's useful for poor people like a toy house or a chess or even better, a(n) oven for cooking, right?"