Tampilkan postingan dengan label bilingual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bilingual. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Maret 2017

Orang Tua Anak Bilingual Sering Kena Cap Ini?

  14 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Pa kabaaar? Cuti lama beud, mak? Keenakan ini mah saya. :') Mau ngasih alesan apa lagi deh, kalo ujung-ujungnya sebenernya emang kebawa males aja. Jadi buat yang belum ngalamin fase males ngeblog, kalo berasa rada bosen-bosen dikit, jangan diturutin kayak saya, yah. Begini akibatnya. 

Tapi sejujurnya, saya bukan cuma lagi nurutin males nulis aja, kok. *mulai defensif* Tahun 2017 ini anak-anak saya emang mulai banyak butuh perhatian extra. Fadhil, yang gede, misalnya. Dia udah masuk umur ABG sekarang. Lagi judes-judesnya sama emaknya. :( Ditanya sesuatu, jawabnya singkat-singkat aja. Giliran emaknya baper, dia ngeliatin saya aneh. Bhik. Jaman saya segede dia, boro-boro berani ngeliatin orang tua kayak gitu. Jadi sama dia ini saya lagi main layangan, tarik ulur, tarik ulur. Kalo terlalu diperhatiin kayak anak kecil, dia kesel. Kalau dicuekin, saya yang takut dia kebablasan. Butuh seni tersendiri ngadepinnya. Ngik.




Kalau sama Safina, tahun ini juga mulai banyak tantangannya. Mungkin beberapa yang suka ngikutin serial bilingual kids saya di sini udah tahu ya kalau Safina ini berjuang banget untuk menyesuaikan diri di sekolahnya karena masalah bahasa. Dia yang lebih senang berbahasa Inggris sehari-hari, ketika di sekolah semua pelajaran disampaikan dalam bahasa Indonesia, mau gak mau harus kerja lebih keras dibanding teman-temannya. Tapi seperti yang saya ceritakan di sini, itu challenge buat saya sebagai orang tua sebagai konsekuensi menyekolahkan anak bilingual ke sekolah negeri. 

Ngemengin soal anak bilingual lagi, apalagi di Bekasi, yang katanya Jakarta aja mesti lewat dua belas gate buat bisa masuk ke sini, orang suka aneh aja ngeliatin saya ngobrol bahasa Inggris sama Safina. Saya kenyang ditatap dengan penuh arti begitu. Seringnya suudzon, ni orang-orang ngecap saya sok bule kali, ya? *baperan* Etapi jujur, deh. Sering ngecap begitu gak, misalnya waktu denger Cinta Laura ngomong di tivi? Duile, ngomong sampe amburadul gitu kecampur-campur. Atau liat video artis sama anak-anaknya di Instagram, ibunya yang artis keukeuh ngomong bahasa Inggris, eh dijawab pake bahasa Indonesia, trus yang nonton langsung ketawa seneng campur ngenyek, "Hahaha! Sok bule, padahal anaknya nggak bisa ngomong Inggris." Mari kita tanyakan pada hati masing-masing, pernahkah kita begitu? Wkwkwkwk, penting.

Dulu sebelum punya anak dan memutuskan untuk membesarkan mereka secara bilingual, saya termasuk orang tukang nge-cap gitu. Setelah ngalamin sendiri, kapok. Ya kan emang udah gitu hukum alamnya, ditampol dulu, baru ngerti.-_- Ada beberapa cap yang pernah saya (mungkin kamu juga) pernah berikan ke mama-mama "sok ng-Inggris" ini. Karena sekarang saya menjadi bagian dari emak anak bilingual, sekalian saya coba jelaskan sedikit ada apa di balik itu semua. Hayah, ribet banget bahasa lo, mak.


Sok Bule

Sering diliatin di tempat umum kalau tiba-tiba anak jerit-jerit pakai bahasa Inggris? Sama! Beberapa kali saya nangkep pandangan mata orang berlanjut jadi jelalatan, kayak nyariin bapaknya. Mungkin berharap bapak anak saya orang asing, jadi gak perlu penjelasan lebih lanjut kenapa ni anak bermuka lokal tapi ngemeng londo. Hihihi.
Teman-teman, jaman sekarang udah banyaaaak keluarga murni pribumi yang mengaplikasikan pendidikan bilingual untuk anak-anak mereka. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, tujuan masing-masing keluarga berbeda-beda. Untuk saya pribadi misalnya, tujuan utamanya adalah untuk mempermudah anak-anak saya berkomunikasi dengan sepupu-sepupu mereka yang semuanya tinggal di luar negeri. Mungkin ada orang tua bilingual lain yang punya tujuan lebih besar, seperti ingin mempersiapkan anaknya sejak dini untuk bersekolah di negara tertentu. Ya bebas-bebas aja. Jadi, gak mesti bapak atau ibunya bule dulu atuh, kan?

Gak Nasionalis

Cih! Bahasa Inggris lancar, bahasa Indonesia belepotan. Gak cinta negeri sendiri kamoh!
Lalu Hayati nangis. Gak segampang itu menilai nasionalisme seseorang. Lancar tidaknya anak bilingual berbahasa asing (bukan bahasa ibu/asalnya) dipengaruhi oleh banyak hal. Yang paling besar mempengaruhi (ini pengalaman pribadi) adalah kecenderungan anak itu sendiri. Dua anak saya punya kecenderungan berbeda, Fadhil cenderung lebih nyaman berbahasa Indonesia, Safina sebaliknya. Apa Fadhil nasionalis, lalu Safina nggak? More of that, apa saya sebagai ibunya nggak nasionalis? Balik lagi ke point satu, kami punya goal, visi dan misi saat memutuskan untuk ber-bilingual di rumah.
Don't worry, kami masih pasang bendera merah putih tiap tanggal 17 Agustus, kok. Anak-anak hafal lagu kebangsaan, kok. Dan mereka sekolah di sekolah negeri, dan ini juga bukan karena menganggap yang sekolah di sekolah internasional gak nasionalis, ya. Murni masalah biaya ini, mah. Wkwkwkwk. Cetek amat sih, mak ukuran nasionalisme-nya? Ya sama dong ceteknya dengan mengukur nasionalisme keluarga kami dari bahasa sehari-hari yang kami pergunakan, di mana itu adalah hak kami sepenuhnya. Merdeka!


Kocak! Emaknya Sibuk Nginggris, Anaknya Jawab Pake Bahasa Indonesia

Hehehe. Ini asik banget jadi bahan ngenyek, ya. Semacam, "Ciaaan deh lo, susah-susah nampilin image kebule-bulean, tau-tau anaknya ngejawab pake bahasa Indonesia logat Betawi!" Terus ketawa setan, "MWAHAHAHA!"
Hush! Sini ya, saya kasih tau, setiap anak bilingual, sebelum dia memasuki fase cenderung memilih salah satu bahasa yang nyaman, akan melalui fase "suka-suka gue mau jawab pake bahasa apa". Hahaha, gak ilmiah banget, mak. Ya tapi emang gitu, sik. Anak yang dikenalkan ke lingkungan bilingual sejak bayi, berarti kan mendengar dua bahasa. Jadi wajar banget dia mau pakai bahasa yang mana, karena buat mereka, intinya adalah komunikasi, maksud tersampaikan.
Waktu anak-anak saya masih balita, sering banget kok kejadian kayak gini, dan emang sering ketangkep senyum sinis orang-orang yang gak sengaja denger.
"Safina, finish you meal!" Terus Safina jawab, "Gak mau! Nana mau maen!" Atau, "Fadhil, put on your shoes now." Dijawab, "Bentar dulu napa, Ma?" Napa? Napa? Et, dah! Hahaha, ya maklum pan, bapaknye orang Betawi aslik, kita tinggal di Bekasi, ya kali anak-anak saya gak nyerap sedikit pun logat Betawi. Mau emaknya casciscus setiap hari, kan bapaknya berbahasa Indonesia. There's a reason why it's called BILINGUAL. :D 

So, apa punlah, ini bukan buat menampilkan image tertentu atau supaya dilihat orang lain seperti apa. Ini murni soal pilihan masing-masing orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Gak usah ngenyek-ngenyekan. Motherhood udah berat banget sama perang ASI-susu formula, working mom-stay home mom, lahiran normal-cesar. Gak usahlah ditambah sama yang ini. Hihihihi.

Anyway, kalau ada teman-teman sesama penggiat bilingual di rumahnya, boleh dong share pengalamannya. Atau kalau ada yang mau tanya-tanya lebih jauh pengalaman saya mendidik anak bilingual selama 13 tahun terakhir ini, monggo. :* 

Sebagai penutup, ini ada "mini essay" yang ditulis Safina kemarin, judulnya Sharing. Yang bikin saya bangga bukan karena dia menuliskannya dalam bahasa Inggris, tapi isi dari tulisannya. Have a nice day. :*

SHARING
by Safina (8 years old)

"Did you know that sharing is caring? Sharing and caring to poor people is very nice of people and share everytime  makes you a good person. Being a good person makes you go to heaven. Share anything that's useful for poor people like a toy house or a chess or even better, a(n) oven for cooking, right?"

Selasa, 29 Maret 2016

Curhat Emak Anak Bilingual di Sekolah Negeri

  23 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Disclosure: Ini postingan curhat, nggak dibayar, apalagi disponsorin. Nulisnya aja males-malesan, karena gak ada bayarannya. (Ini disclosure macam apa?)

Masih ngikutin tulisan saya tentang membesarkan anak bilingual, gak? Ini ada cerita baru tentang Safina yang masih kelas 1 SD tiap menghadapi UTS dan UAS di sekolahnya yang bukan sekolah internasional alias sekolah negeri. 

Membesarkan anak bilingual merupakan tantangan, terutama kalau kita hidup di negara yang tidak bilingual. Apa tujuan saya membesarkan anak-anak saya dalam lingkungan dua bahasa (Indonesia dan Inggris)? Saya udah pernah cerita di sini. Tantangan kemudian berkembang ketika saya yang "sok-sok" membesarkan anak bilingual ternyata nggak mampu memasukkan anak-anak saya ke sekolah swasta apalagi sekolah internasional. Tapi apa gara-gara itu, saya nggak boleh membesarkan anak-anak saya untuk punya kemampuan berbahasa lebih dari satu bahasa? Buktinya sampai saat ini, dari rumah pun anak-anak saya terkondisi berkomunikasi dalam dua bahasa. Semua bisa diusahakan.


Yang jadi "masalah" adalah ketika mereka mau mengerjakan soal ujian tengah semester atau akhir semester, terutama buat Safina yang lebih aktif berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Kalau baca-baca artikel tentang anak bilingual, tiap anak memang punya kecenderungan lebih suka berkomunikasi dalam bahasa tertentu. Fadhil, abangnya, sekarang ini lebih nyaman untuk ngomong dalam bahasa Indonesia. Kemampuan bahasa Inggrisnya lebih pasif ketimbang Safina. Sedangkan Safina, praktis, kalau dia di rumah, dia sendiri yang memilih untuk berkomunikasi sepanjang hari dalam bahasa Inggris. Bahkan dengan abangnya yang selalu menanggapi dengan bahasa Indonesia. Begitu UTS dan UAS di sekolah yang menggunakan komunikasi sepenuhnya dalam bahasa Indonesia, Safina ternyata harus mengeluarkan usaha dua kali lebih besar ketimbang teman-temannya.

Sebagai orang tua, saya nggak pernah memberi target harus nilai bagus buat anak-anak saya. Yang paling penting buat saya adalah mereka berangkat ke sekolah dengan hati senang setiap hari. Masalahnya, walaupun guru-guru di sekolah sudah saya beritahu kondisi Safina yang agak tertinggal dalam berbahasa Indonesia dibanding teman-teman seusianya, saya nggak bisa berharap banyak para guru bisa memberikan perhatian khusus hanya untuk dia. Ada banyak murid lain yang juga butuh perhatian, dan namanya sekolah, perhatian guru tentu saja umumnya kolektif, alias semua kalau bisa disamaratakan saja. 


Saya harus maklum dengan kondisi di sekolah, maka artinya adalah saya harus ekstra kerja keras untuk membantu mereka dalam urusan tugas sekolah. Kenyinyiran muncul, "Lagian anak bilingual disekolahin ke sekolah negeri." Saya langsung gagal paham. Apa nggak boleh mereka yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah internasional membesarkan anak-anak mereka secara bilingual? Sedangkan untuk urusan itu orang tuanya mampu, hanya finansial aja yang tidak mendukung. Bukankah kita harus berjuang dengan apa yang kita miliki? Hayati sedih, bang. :(

Homeschooling juga sebenarnya masuk dalam wacana waktu anak-anak sudah masuk usia sekolah. Tapi sekali lagi, pertimbangan lain membuat kami memutuskan untuk tetap memasukkan mereka ke sekolah umum. Emaknya gak sanggup ngajarin sendiri. Wkwkwk. Tapi saya sadar sepenuhnya, tanggung jawab pendidikan anak kita ada di tangan kita sebagai orang tuanya. Gak masalah sekolahnya di mana, yang penting fondasi kuatnya sudah terbangun di rumah. Etsseddap. Lagian, coba itu yang mandang miring sekolah negeri, cek matanya, kenapa miring? Nnggg ....


Jadi sekarang ini, solusi paling sesuai sama kondisi anak-anak saya yang "sok bule" (baca: bilingual) tapi sekolah di sekolah negeri, tiap hari latihan dikte dan menulis. Ngobrol atau conversation tetap dalam bahasa Inggris, tapi untuk pembahasan seputar pelajaran di sekolah, sebisa mungkin pakai bahasa Indonesia. Tapi kejadiannya sama Safina justru seringnya semua pelajaran di sekolah dia minta ditranslate ke bahasa Inggris. Bisa ngebayang pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) diterjemahin ke Inggris? Aku mumet. -_- Tapi begitulah, cinta seorang ibu. #toyor

Udahlah, Inti postingan ini cuma curhat doang. Soalnya katanya blogger jaman sekarang udah jarang curhat, kebanyakan nerima job review. Bhihihik. Nih atuhlah, saya curhat. Mana pundaknya? Mau elap ingus. 

Selasa, 26 Januari 2016

Absurd Conversation with My Daughter (Part 2)

  46 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Sebelumnya, baca dulu bagian pertama di sini, yook! Ini masih kelanjutan kumpulan obrolan "ajaib" saya dengan Safina setahun yang lalu. Sebenarnya percakapan-percakapan aneh kami udah terjadi sejak ni anak bisa ngomong. Tapi sementara waktu, energi saya baru bisa ngumpulin mulai dari tahun lalu dulu. Gak kuat nyekrol temlen, kakaaak! :(

Safina 2 tahun dan 7 tahun

Suatu sore, waktu itu kami belum punya ART kayak sekarang. Setelan emak jelas banget kucay kayak abis kecebur empang lele. Nggak tau kenapa, tumben si Nana merhatiin penampilan saya. Mungkin saking ancurnya, sampe matanya terganggu kali, yak? Pokoknya sore itu saya emang lagi komplit banget dah, keringetan, bau, pake celana piama dan kaos sobek, rambut diuntel-untel. Hahaha ... parah beut jadi perempuan. :v TIba-tiba si Nana ngomong gini, masaaa ....
"Mom, if you want to be a super mom, you need to dress up."
"What's wrong with my outfit?"
"You need to dress up like a princess."
Bah! Mamak kau ini tak payahlah disebut-sebut jadi super mom. Yang penting dompet ada isinya terus, cukuplah itu. Hahaha. *cium ketek* Besides, princess doesn't do dirty dishes and scrubbing toilet.

Suatu hari dalam perjalanan pulang sekolah, di dalam mobil ....
Nana: I got a star because I know soldier.
Me: What is a soldier?
Nana: People fight each other over a flag. The winner can get a flag.
Mendadak saya jadi mellow. Duh nak, seandainya perang cuma buat rebutan bendera doang, nggak perlu ada banyak orang mati terbunuh. *terbaper*

Salah satu percakapan yang suka bikin saya deg-degan adalah kalau Safina udah mulai masuk topik seputar Tuhan, bayi dan anatomi manusia. Kaadang, udah deg-degan keringet dingin takut nggak bisa jawab, ternyata dia punya kesimpulan sendiri. Hahaha.
Nana: "Mom, Allah is watching us, right?"
Me: "Yes!"
Nana: "Why?"
Me: "Because Allah loves us."
Nana: "And because Allah is protecting us from zombie, right?"
Errr.... Nak, kamu kebanyakan maen Minecraft kayaknya. *sita tab*

Anak saya dua-duanya nih, sejak dua tahun lalu emang keranjingan banget main Minecraft. Suatu sore, Nana ngeliatin rumahnya di game yang nggak menarik itu (buat saya).
"Mom, look at my house! The wall is made of diamond, the floor is made of emerald and I have a roof top." She shows me her minecraft house.
"Wow, that's awesome!"
"Are you jealous?"
Dih! Ini nyebelin banget. Saya udah muji setulus hati, dikira jeleus. Mentang-mentang rumah emak berantakan dan nggak ada berliannyaaa. :'(

Main Minecraft ini kadang juga bikin ribet saya yang nggak ikutan maen. Ini contohnya,
"Mom, which way should I take? Left or right?"
"Up to you."
"OK, I think I'll go right, because it's right."
Seconds later...
"Oh no, it's the wrong way! Right is not right! How come?"
Nah! Pabaliut sendiri, kaan? 

Kadang, cukup satu kalimat aja dari Safina bisa bikin hati saya ketujes jleb.
"You're very nice today, mom."
Maksudnyaa??? Mama biasanya enggak nice gitu?

Lain cerita, suatu hari kita kena macet lama banget waktu mau ke rumah Kakeknya di Ciledug. Safina tiba-tiba nyeletuk, "How's your butt, fellow?"
Numb, sistah! Wakakakakak! Nanyain apa kabar pantat masing-masing. 

Bersambung, yaa! Masih ngumpulin yang lainnya. Thank you! :*


Jumat, 01 Januari 2016

Absurd Conversation with My Daughter (Part 1)

  40 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Buat teman-teman yang temenan sama saya di Facebook mungkin sering banget baca status percakapan saya dengan Safina sejak beberapa tahun yang lalu. Waktu punya anak perempuan, saya nggak nyangka sama sekali bakal dikasih bocah yang kritis dan "ajaib" banget cara mikirnya kayak si Nana ini. Cara berpikirnya yang "out of the box" udah keliatan dari sejak dia mulai bisa bicara umur 2,5 tahun. Kadang heran, dapet turunan dari mana sih, emaknya kalem dan anggun begini, kok anak ceweknya malah begini? *duduk anggun di singgasana ratu* 



Yang bikin gemes banget itu, Nana kalau sama orang lain pencitraan banget kalemnya. Pemaluuu banget! Cuma sama saya aja di rumah (dan kadang sama Abang dan Papanya) dia berani ngomong dan mengungkapkan pendapatnya dengan lantang. Nggak jarang, dia ekspresif banget kalau lagi emosi. Tapi ya itu, di rumah doang. Makanya saya mulai bikinin home video di Youtube. Tujuannya, selain supaya dia bisa latihan pede ngomong, juga sebagai barbuk kalo saya nggak ngada-ngada di status. Wakakakak, penting! Percakapan yang saya rekam di status semuanya fresh dan langsung saya posting setelah terjadi. Kadang bikin kaget, tapi seringnya mah bikin saya manyun mingkem sambil ngemut pete rebus. -_- 

Mulai bulan ini saya coba kumpulin sedikit-sedikit percakapan antara saya dan Safina selama tahun 2015 kemarin, ya. Siapa tau, ada pakar anak yang bisa bantu saya, gimana biar gak kalah mulu ngemeng sama bocah. Kredibillitas saya sebagai Emak Gaoel sungguh dipertaruhkan inih! Hadah ....

Januari 2015


Kita awali waktu malam tahun baru 2015 yang lalu, Fadhil sama Safina menjelang tidur, kedengeran mereka ngobrol. Biasanya kalau mereka ngobrol, saya belagak cuek, padahal kuping berdiri, pengen tau apaan yang diomongin. Waktu itu Fadhil masih umur 11 tahun dan Safina 6 tahun.

Fadhil: "Nana resolusinya apa?"
Nana: "Apa?" (tahun lalu dia masih mau bicara pakai bahasa Indonesia sama Abangnya).
Fadhil: "Resolusi! Mau ngapain tahun 2015?"
Nana: "Oooh! Mau naik sepeda!" 

Kagak nahan banget liat mukenye si Nana pas bilang, "Ooooh!". Sotoy beud da, ah! Hahaha! Bocah jaman sekarang ternyata ngobrolinnya resolusi kalau pas tahun baru. Okesip.
Beberapa hari kemudian, kami lagi on the way pulang dari rumah Jidah (Nenek). Mobil kami papasan dengan ambulance yang bawa jenazah dan iring-iringannya. Seperti biasa, Nana kalau liat sesuatu yang lain dikit, pertanyaan demi pertanyaan langsung muncrat aja, gak berenti-berenti. Dan seringnya lagi (SELALU) percakapan jadi ke mana-mana, belok jauh banget dari inti percakapan. Untuk urusan yang satu ini, like mother like daughter emang. Ini bukti obrolan serius soal kematian bisa belok jadi ngomongin kambing.

Nana: "Is it dead people inside the car?"
Saya: "Yes, someone died."
Nana: "Where do they go?"
Saya: "Graveyard."
Nana: "No! Dead people go to the hospital." (Ni anak, kalau sotoy suka nyolotan emang)
Saya: "No, they will be buried in the graveyard." (Berusaha sabar seperti ibu peri)
Nana: "Oh, just like the sheep I killed?"
Saya: "What? You killed a sheep? When? Where?" (Mulai mikir, jangan-jangan imaginary friend si Nana ini seekor kambing, terus mereka berantem, terus dia "bunuh" temen kambingnya. Sigh)
Nana: "Yesterday, in Minecraft."
Saya: "Why did you kill it?"
Nana: "Because I took all the wool and he doesn't have wool anymore. So I killed him." (Kalem)
Saya: (OMG) "Next time don't kill the sheep, OK? The wool will grow again soon."
Nana: "Really?"
Saya: "Yes!"
Nana: "It's gonna take forever to grow, mom."

Jadi menurut ngana kalau bulunya lama numbuhnya, bunuh aja gitu? Errrgh, ini percakapan berlanjut terus sampai rumah dan saya rasanya cuapeeek bangeeeeet waktu itu.

Nggak cuma Safina doang yang suka bikin saya keselek. Fadhil, biar anaknya kalem dan pendiam, kadang kalau nyeletuk suka bikin ngakak juga. Waktu itu udah adzan Magrib, dan saya nyuruh dia buat sholat.

Saya: "Udah adzan, sholat yok, Dhil!"
Fadhil: "Yakin udah adzan? Fadhil mau nunggu adzan sekali lagi biar yakin."
Saya: "Adzan sekali lagi ya udah Isya' kali, Baang!"

Hadeeuuh!


Pernah juga saya dibikin melow sama celetukan Safina. Gara-gara lagi nonton film Frozen di TV dan Elsa lagi mau nyanyi lagu Let It Go. Dengan penuh semangat karaoke, saya ngajak Nana buat nyanyi bareng, dong! 

Saya: "I like this song! Let's sing together!"
Nana: "No, mom. Let her sing alone." (ekspresi datar)

Jahat. *baper*

Topik percakapan yang suka bikin saya deg-degan biasanya nggak jauh-jauh dari kematian dan kehamilan. Sekitar pertengahan Januari 2015, Safina menggambar sesuatu dan ngasih liat ke saya.

Nana: "Look, this is my dad's." (Katanya sambil nunjukin gambar kuburan)
Saya: "But your dad is still alive."
Nana: "That's OK, Mom. He can always come back to life."
Saya: "Ummm, actually no. When people die, they don't come back to life."
Nana: "You mean, like ... forever?" (Mukanya bengong)
Saya: "Yes."
Nana: "Like grandma? Where do they go?"
Saya: "Some go to heaven, some will go to ...."
Nana: "Hell?"
Saya: "Yeah, but that's Allah's business. We never know where people go after they die. All I know, if you are good, you will go to heaven." (Mendadak Hayati lelah, bang, membahas tentang kematian ke anak umur 6 tahun)
Nana: "Do they have toys in heaven?"
Saya: "Plenty!"
Nana: "Food? Castle? Ipad? Fruit tea? Alfamart?"

Lanjut ngakak. ALFAMART harus ada di surga, pokoknya! Penting buat Safina. :v

Akhir bulan Januari 2015, Safina pernah nanya sesuatu yang sampe sekarang belum saya jawab, "Mom, why are you wearing bra?" Hahahaha. 

Dan bulan Januari 2015 kemarin ditutup dengan pernyataan epic seputar favorit subject-nya: BUTT. Dia lagi main sambil duduk di lantai dan ngomong, "Mom, I have a cold butt," sambil ngelus-ngelus pantatnya. 


BERSAMBUNG



Kamis, 24 Desember 2015

Masalah Yang Muncul Saat Anak Bilingual Belajar Membaca

  32 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Di balik waw wew wow teman-teman saya melihat Safina yang cas cis cus ngomong bahasa Inggris, sesungguhnya dia sedang menghadapi tantangan di fase usianya sekarang ini.

Membaca dan memahami apa yang dibaca masih merupakan kendala buat dia baik di sekolah dan di rumah. Saya sudah paham kalau masalah ini akan datang cepat atau lambat. Ini adalah salah satu problem umum untuk anak-anak yang dibesarkan dalam dua bahasa (bilingual). Apalagi untuk anak-anak Muslim yang juga harus mengenal huruf arab. Tambah banyak bentuk simbol huruf yang harus dihafal dan dipahami pengucapannya. 


Masalahnya adalah, bicara dan membaca tentu berbeda cara untuk mempelajarinya. Membaca dan menulis mengharuskan Safina untuk tekun mengamati bentuk huruf, menghafal bunyi atau pelafalannya dan bagaimana menyambungnya menjadi kata. Belum lagi memahami arti katanya. Mumet pasti buat anak seumur dia. Dan saya adalah Mama Anti Bikin Depresi Anak, karena mama yang depresi tidak baik untuk kesehatan seluruh anggota keluarga. Hihihi. Saya nggak mau mentang-mentang Safina udah mulai terampil komunikasi dalam dua bahasa, terus membaca dan menulisnya juga harus dua bahasa sekaligus. Dan semua harus dikejar barengan. Whew! Kasian anak guwweeh. 

Masalah yang Dihadapi Safina dan Solusi Ala Emak Gaoel

1. Tertukar bunyi/lafal huruf antara pelafalan dalam bahasa Indonesia dengan Inggris. 

Misalnya, huruf A pada bahasa Indonesia dilafalkan "a", sedangkan pada bahasa Inggris dilafalkan "e". Perlu beberapa waktu untuk Safina memahami kalau bunyi satu huruf bisa berbeda dalam bahasa lain. Ini perlu latihan konstan, tapi jangan dipaksakan. Gimana caranya konstan tapi nggak maksa?
Kalau saya biasanya menyempatkan belajar pelafalan huruf bahasa Indonesia saat sedang belajar pelajaran sekolah. Jadi di pikiran dia akan berasumsi kalau yang sedang dia lafalkan adalah bunyi dalam bahasa Indonesia, karena sekolahnya selalu memakai bahasa Indonesia. Sedangkan untuk menghafal bunyi huruf dalam bahasa Inggris, biasanya saya selipkan saat membaca buku cerita atau membaca tulisan yang ada di dalam game yang sedang dimainkannya. Karena selama ini, saat di rumah dan bermain bersama saya atau tidak, dia selalu memakai bahasa Inggris aktif. Sehingga asumsinya terbentuk untuk melafalkan dalam bahasa Inggris. Ini saya lakukan dengan disiplin, tapi tidak dengan frekwensi tinggi. Artinya, cukup dua sampai lima menit dalam sehari, asalkan terus-menerus.


2.  Cenderung tahu arti kata dalam salah satu bahasa.

Untuk kasus Safina, dia lebih cenderung tahu arti kata dalam bahasa Inggris ketimbang dalam bahasa Indonesia. Untuk mengimbanginya, saya selalu berupaya untuk menjelaskan setidaknya satu kata per hari dalam dua bahasa. Misal, dia sedang sering mendengar kata "villager" dari game yang sering dimainkannya. Saya jelaskan kalau dalam bahasa Indonesia, "villager" berarti "orang desa". Dan biasanya pertanyaan berlanjut, "What's 'desa'?" Dari sana percakapan akan berkembang, dan kalau dia masih melontarkan pertanyaan lanjutan, artinya dia akan belajar lebih dari satu kata hari itu. Tapi kalau tidak, ya udah. Saya hanya melanjutkan dengan mencontohkan tulisan satu kata tersebut.
Untungnya, Safina di rumah adalah anak yang aktif sekali bertanya dan diskusi dengan saya. Heu euh, kalau di luar rumah dia pemalu banget. Gemes sebenernya, tapi balik lagi, saya nggak mau maksa anak. Paling saya coba cari solusi-solusi kreatif ala-ala saya aja untuk menyiasatinya. Salah satunya dengan membuat home video kayak gini untuk memancingnya agar lebih percaya diri berbicara.



3. Lama memahami rangkaian kata dalam kalimat.

Iya jelas aja. Untuk menghafal kata aja udah harus berjuang, ditambah lagi harus mengerti makna dalam beberapa kata di satu kalimat. Belum lagi kalau kalimatnya panjang. Yang suka bikin saya rada stress dikit itu kalau udah baca soal pertanyaan esai di sekolahnya. Untuk anak kelas 1 SD, pertanyaan sudah banyak yang berbentuk seperti soal cerita. Minimal ada tiga sampai lima kalimat panjang sebelum pertanyaan dilontarkan. Bujubuneng!
Kasian sebenernya sama anak-anak ini, makanya Safina nggak terlalu saya push untuk dapat nilai bagus di sekolah. Bukan saya cuek dengan pendidikannya. Tapi buat saya, lebih baik dia menikmati proses belajarnya ketimbang tertekan untuk bisa dapat nilai tinggi di sekolah. Hey, buat yang anak-anaknya pinter di sekolah, no offense, ya. Tiap anak berbeda. Maybe my kid just needs different way of learning. Balik lagi, itu tanggung jawab saya untuk menemukan cara yang paling efektif untuk dia. Cara saya belum tentu manjur untuk anak lain.



4. Dikte menjadi "siksaan" sekaligus "permainan" yang mengasikkan.

Gimana itu, deh? Waktu awal mulai sekolah beberapa bulan yang lalu, Safina sempat mengeluh sama saya soal dia nggak suka kalau gurunya menyuruh mereka sekelas menulis dengan cara dikte. Buat anak-anak yang sudah lancar membaca tentu saja itu tugas yang mudah, tapi buat Safina lain hal. Dia berjuang keras untuk bisa menulis kata per kata yang diucapkan gurunya. Sering saya temui kesalahan eja di buku tulisnya. Sekali lagi, saya paham perjuangannya. Dalam hati cuma bisa mendoakan dan mencari jalan keluar.
Akhirnya saya menemukan solusi asik untuk menghadapi masalah ini. Tiap hari, minimal satu kata dalam bahasa Indonesia dan Inggris akan saya diktekan huruf per huruf untuk dituliskan oleh Safina. Jika itu kata dalam bahasa Indonesia, saya lafalkan ejaan dalam lafal abjad Indonesia. Kalau kata tersebut dalam bahasa Inggris, saya lafalkan dalam lafal abjad Inggris. Nggak banyak-banyak, satu kata aja masing-masing. Kadang dalam seminggu satu kata itu diulang terus. Seenggaknya, perlahan tapi pasti, dia mengingat susunan abjad untuk kata tersebut.


Beberapa solusi di atas sudah ada beberapa yang memperlihatkan hasil. Sekarang Safina lebih lancar saat mengerjakan PR-nya dari sekolah. Walaupun masih harus saya bantu sesekali. Dan sejak minggu lalu, Safina punya diary yang ditulisnya setiap hari, dalam bahasa Inggris. Buat saya, ini kemajuan yang luar biasa. Mungkin banyak anak di luar sana yang sudah lancar membaca sejak balita. Tapi saya berusaha untuk tidak terintimidasi dan sebisa mungkin membangun kondisi yang tidak menekan Safina juga, supaya proses belajarnya tetap menyenangkan.

Sebenarnya masih ada beberapa masalah seputar proses belajar membaca Safina, sih. Tapi saya lupa. Hahaha Ntar deh, kalau inget lagi, saya bikin sambungannya. Intinya, nggak ada masalah yang tidak dilengkapi dengan solusi. Jadi orang tua kreatif itu bukan pilihan lagi untuk jaman sekarang, melainkan kewajiban. Semoga ke depannya dia akan memetik buah dari kegigihannya memakai dua bahasa sekaligus sejak kecil. Ibaratnya, Safina sedang menanam benih saat ini Dia lagi bersusah payah menjaga benihnya agar tumbuh dengan rutin menyiram dan memberi pupuk. Suatu saat kelak, dia sendiri yang akan memetik hasilnya. Semoga.  

Hi, my daughter's name is Safina. She's seven years old and still learning how to read, in Indonesian and English. 
She's struggling, and I'm proud of her! ^_^ 


Baca artikel saya yang lainnya seputar anak bilingual di SINI

Minggu, 01 November 2015

Belajar Membaca untuk Bilingual Kid

  41 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Saya sebenarnya bukan tipe emak yang dikit-dikit cemas, dikit-dikit takut, dikit-dikit khawatir. Ya, maksudnya, ngapain dikit-dikit? Banyak-banyak aja sekalian. Ngahaha! Nggak, deng! Asli, saya mah orangnya selow banget. Sesuai dengan motto saya, "Biar selow, asal nggak melow." Motto macam apa ituh? Halah, pokonya gini, untuk urusan anak, apalagi seputar perkembangan kemampuannya, saya nggak panikan orangnya. Karena sadar, tiap anak pasti beda-beda cara menyerap dan mempraktekkan informasi yang dia dapat.


Begitu juga waktu saya menghadapi perkembangan kemampuan belajar anak-anak saya (Fadhil dan Safina). Mungkin beberapa teman sudah tahu kalau saya dan suami menerapkan sistem bilingual dalam berkomunikasi dengan anak-anak kami. Waktu anak pertama, Fadhil, saya agak terlambat menerapkan sistem bilingual ini, karena masih setengah hati menjalankannya. Jadi, ketika dia harus mulai belajar membaca, cara berkomunikasinya belum full dua bahasa (Indonesia dan Inggris), sehingga dia bisa fokus belajar membaca dan menulis dalam ejaan bahasa Indonesia.

Berbeda kejadiannya dengan Safina yang tahun ini sudah masuk Sekolah Dasar. Sejak umur 2 tahun anak ini sudah kelihatan kecenderungannya berkomunikasi lebih ke bahasa Inggris ketimbang berbahasa Indonesia. Secara verbal, dia lebih menguasai bahasa Inggris. Sehingga ketika beberapa bulan sebelum masuk SD dan guru di TK mulai mengajarkan baca tulis dalam ejaan bahasa Indonesia, bisa dibilang, pencapaian Safina agak di bawah teman-teman seusianya. Saya mah nggak galau, karena saya paham kondisinya. 

Anak bilingual menyerap informasi berupa kosa kata lebih banyak ketimbang anak satu bahasa. Untuk satu makna kata, ada dua kata yang dia pahami. Jadi saya pun nggak menuntut Safina untuk bisa memiliki kecepatan belajar membaca dan menulis seperti teman-teman lainnya yang tidak menerapkan bilingual. 

Ketika masuk SD, Safina baru mampu mengeja dua suku kata sederhana, seperti ba-be, ka-ki, la-ma, ba-ju, to-pi. Yang membuat saya agak kaget adalah, buku-buku paket pelajaran kelas 1 SD ternyata sudah berisi cerita dalam kalimat-kalimat panjang dan kompleks. Saya amati teman-teman sekelas Safina, sebagian besar sudah mampu membaca buku-buku paketnya dengan lancar, walaupun mungkin belum memahami arti dari kalimat panjang yang mereka baca. Pendek kata, Safina "kelihatannya" tertinggal dibanding teman-teman seusianya. Saya galau? Nggak! Hahaha! 

Melihat itu, saya memulai strategi baru. Pelajaran membaca dalam bahasa Inggris akan saya tunda sampai Safina lancar membaca ejaan dalam bahasa Indonesia. Sebelum masuk SD, Safina sudah bisa melafalkan alphabet dalam ejaan bahasa Indonesia dan Inggris. Sehingga dia sudah mampu membedakan bunyi huruf A dalam Indonesia dan Inggris, misalnya. Hal ini mempermudah saya saat mengajarnya membaca. 

Beberapa hal yang saya lakukan saat mengajar Safina membaca:

1. Pengenalan alphabet

Ini pelajaran paling dasar, sehingga menurut pandangan saya pribadi, sebaiknya sejak awal dikenalkan keduanya, baik dalam ejaan Indonesia mau pun Inggris. Hal ini akan berguna saat kita mulai mengajarkan membaca dan menulis dalam bahasa Inggris nantinya. Misalnya, penyebutan huruf A dalam bahasa Inggris berbunyi seperti huruf E dalam bahasa Indonesia. Alhamdulillaah, karena sejak awal mengenal huruf Safina sudah tahu kalau huruf A berbeda bunyi untuk Indonesia dan Inggris, jadi memudahkan saya kalau membantunya mengeja kata. Kalau dia minta tolong untuk mengeja kata dalam bahasa Inggris, saya akan mengejanya dalam ejaan Inggris. Begitu juga sebaliknya. Secara tidak langsung dia sudah berlatih mengeja dalam dua bahasa. 

2. Pilih prioritas 

Berhubung Safina sekolah di sekolah dasar negeri, mau tidak mau saya harus "change gear". Yang tadinya prioritas saya adalah melancarkan bahasa Inggrisnya, sekarang harus diubah dulu sementara, karena semua pelajaran di sekolahnya disampaikan dalam bahasa Indonesia. Artinya, kemampuan membaca dan menulisnya diprioritaskan untuk bisa dalam bahasa Indonesia terlebih dulu. Lebih bagus lagi kalau bisa keduanya bersamaan, tapi saya nggak mau maksa anaknya. Lah, dia juga kan harus mulai belajar baca Al Qur'an (huruf arab)? Saya nggak mau anaknya ntar merasa belajar jadi kegiatan yang menyiksa. 

3. Fokus di prioritas, jangan tinggalkan yang bukan prioritas

Selama beberapa bulan ini, sejak Safina masuk SD, saya mulai fokus mengajarnya membaca dalam ejaan Indonesia. Namun bukan berarti saya meninggalkan begitu saja bahasa Inggrisnya. Persentase dan bentuknya aja yang saya bedakan. Untuk belajar Indonesia 70% dan berupa belajar konvensional (latihan membaca, menulis, dikte dan lain-lain), sedangkan untuk Inggris sekitar 30% dan bentuknya tidak konvensional (listening lewat nonton film/video, speaking lewat membuat home video, menebak tulisan lewat kegiatan membaca buku cerita sebelum tidur/bed time story). 

4. Permainan Berkirim Surat


Safina lagi suka banget menulis note atau catatan kecil yang ditujukan untuk siapa saja. Kadang dia ingin menulis memo untuk teman sekelasnya. Kadang dia ingin menulis surat untuk sepupunya. Kadang dia kepengen curhat atau komplen sama emaknya. Hhhh .... Beberapa kali temannya merayakan ulang tahun, Safina selalu menulis kartu ucapan untuk mereka. Kadang dia ingin menulis dalam bahasa Inggris, kadang Indonesia. Terserah dia aja, deh. Hihihihi. Yang jelas, kalau dia nulis surat komplen buat emaknya, selalu dalam bahasa Inggris. Dan yang bikin kocak, kata per kata dia tanya ejaannya. Kan ketauaaan, dek kamu mau komplen apaan sama mama! Bleh! Tapi kegiatan ini jadi latihan juga buat Safina. Karena sering melakukannya, beberapa ejaan kata yang sering digunakan dengan sendirinya dia jadi hafal. 

5. Tebak huruf dalam dua bahasa

Untuk melancarkan hafalan ejaan huruf dalam kedua bahasa, biasanya saya suka iseng nanya, "Dek, huruf A dalam bahasa Inggris apa?" Atau saya balik, "What's B in bahasa Indonesia?" Trust me, it helps a lot! Try it, just for fun. 

6. Chatting via smartphone



Kadang Safina suka minta ikutan mainin henpon saya (gara-gara ngeliat emaknya nggak lepas-lepas megang HP kali). Dia suka nanya saya lagi chat sama siapa kalau dia lihat saya sibuk di Whats App. Hihihi. Jadi kadang suka saya ajak sekalian aja chat sama Papanya yang lagi di kantor, atau dengan sepupu-sepupunya di Singapura. Kalau lagi pengen pakai bahasa Indonesia, saya ajarkan ejaan dalam bahasa Indonesia, begitu juga kalau dia mau pakai bahasa Inggris, pelafalan huruf akan saya lafalkan dalam ejaan Inggris.


Itu tadi beberapa contoh kegiatan yang saya lakukan untuk mengajarkan Safina membaca dan menulis. Tujuannya, agar kemampuannya membaca dan menulis berimbang untuk dua bahasa. Seperti yang sudah saya katakan di beberapa artikel seputar bilingual kid, jangan berharap hasil instan, selalu konsisten dan jangan disamakan kemampuan anak sendiri dengan anak lain. Beberapa cara yang saya pakai mungkin aplikatif untuk teman-teman, tapi mungkin ada yang tidak sesuai, karena pengaruh faktor lainnya. Silakan kreatif aja mencari cara yang paling cocok buat anak-anak kita. OK, sip. Semoga bermanfaat. ^_^

Baca ini juga ya, supaya lengkap:









Kamis, 16 April 2015

Melatih Anak PD dan Terampil Berbicara dengan Membuat Home Video

  13 comments    
categories: , ,
Assalamu'alaikum.

Saya orangnya emang gemesin. Maksudnya, suka gemes sama orang. Eh Itu gemesan, ya? Beda tipislah, ya. Pokoknya, saya suka gemeeesss, terutama kalau sama anak-anak, nih. Apalagi anak sendiri. Apalagi kalau anaknya betingkah nyebelin. Wakakakak.

Salah satu yang suka bikin saya gemes sama anak-anak saya adalah mereka ini "jago kandang" banget. Di rumah aja, berani banget berdebat sama emaknya. Giliran di luar rumah, ketemu orang lain, mulut susah banget kebuka. Kadang cuma ditanya pertanyaan sederhana kayak, "Apa kabar?" mereka malah nunduk malu-malu dan gak jawab, coba! Hiiih, gemeeessss! Dulu saya sempet jadi ibu yang modelnya: kalo gak ada yang liat, pelototin bocah sambil ngasih kode, "Jawab dong kalo orang nanya!" dengan pandangan penuh ancaman dan tangan siap nyubit. (Mak, lo ibu kandung apa ibu boleh nemu di kandang monster, sih?). Huhuhuhu, iya. Saya mah jujur, pernah sempet jadi ibu yang model begitu. Da' saya mah apa atuh, hanya seorang mamah cantik seksi semlohay bersinar di bawah mentari pagi yang dulu demen amat sama yang namanya pencitraan demi mendapat predikat Super Mom. Panjang yeee. :P



Alhamdulillaah, sekarang udah tobat. Dulu khilaf. Hahahaha. Capek ternyata ngejar predikat Super Mom itu. Apalagi kalau membanding-bandingkan diri sama ibu-ibu yang penyabar, rajin bangun pagi dan rajin mandi. Duh, rasanya saya ini apalah. -_- *nyium ketek sendiri*

Tapi kan, tetep aja kepercayaan diri anak itu perlu ditumbuhkan. Alhamdulillaah, kalau di sekolah dan sama teman-teman seusia mereka, anak-anak saya lancar berkomunikasi. Tapi kalau lingkungan sudah bercampur, mereka bawaannya mau sembunyi aja di bawah ketiak saya. Entah, mereka ngeh atau nggak kalau emaknya jarang mandi. 

Akhirnya mikir gimana cara yang enak supaya mereka bisa latihan PD ngomong sama siapa aja. Yang paling pertama saya tanamkan adalah: Nggak salah kok mengeluarkan pendapat atau bertanya kalau tidak mengerti. Ini aja sebenarnya udah susah banget, karena bawaan lingkungan juga kali, ya? Turun-temurun kayanya kita dibangun dalam suasana kelas dan keluarga yang (konon) katanya demokratis, tapi nyatanya mau nanya atau berpendapat aja suka takut duluan. Ini harus dihentikan sekarang juga.

Langkah selanjutnya adalah mencari media untuk latihan PD bicara dan latihan ketrampilan mengolah kata dan kalimat supaya dimengerti oleh lawan bicara. Saya berusaha menyesuaikan dengan minat anak-anak aja. Si Fadhil yang doyannya main game online dan nonton tutorial game di Youtube saya fasilitasi dengan webcam dan headset. Saya minta dia untuk menyelesaikan satu project untuk membuat tutorial game dengan wajahnya masuk ke dalam frame dan suaranya sendiri yang menjelaskan tutorial. Walaupun videonya belum jadi sampai sekarang (karena terpotong persiapan UN yang sebentar lagi), tapi proses belajarnya sudah berjalan. Dia belajar sendiri lho nyari tahu gimana caranya merekam game dan dia dalam satu frame yang sama dan merekam suaranya. Ya, anak-anak saya memang paham banget kalau emak sama bapaknya gaptek. Huahahaha.



Buat Safina, karena dia masih unyil, agak mudah mengarahkan dan diajak/dbujuk. Saya ajak dia untuk membuat home video ala video-video tutorial mainan dan prakarya di Youtube. Awalnya, dia ogah banget karena tahu kalau emaknya bakalan posting videonya di internet dan akan banyak teman mamanya yang nonton. Tapi justru karena dia tahu itu, saya ajak dia. Kalau dia mau, berarti dia sadar kalau dirinya nggak cuma ngomong berdua mamanya di depan kamera, tapi juga akan dilihat oleh orang lain. Semoga pelan-pelan keberaniannya muncul dan berlanjut ke tahap selanjutnya, yaitu berani bicara langsung dengan siapa saja. 

Berhubung anak-anak ini bilingual dan lebih nyaman bicara bahasa Inggris di rumah dengan saya, Safina dan saya pun merekam home video ini dalam bahasa Inggris. Kalau nanti shooting sama bapaknya, ya pakai bahasa Indonesia. Kegiatan ini sekalian buat memperlancar ketrampilannya komunikasi secara lancar (tek-tok) sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dan ini dia hasilnya. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat.



Jumat, 27 Februari 2015

Lingkungan Bilingual Sejak Bayi

  40 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Setelah sharing tentang raising bilingual kid di sini dan sini, banyak teman yang nanya-nanya seputar gimana sih ngajarin anak bilingual di rumah? Apa orang tuanya harus jago banget ngomong bahasa asing? Apa semua anak bakalan bisa dapat hasil yang serupa?




Baeklah, mari kita kupas dari kecemete emak-emak yang sudah menjalankan program bilingual di rumah selama hampir 10 tahun terakhir ini. Sebelum ada yang nyinyir ini anu itu ono segala rupa, tentu saja ini cuma sharing pengalaman aja. Bukan terus ini bisa jadi bahan acuan, apalagi pegangan kayak artikel-artikel parenting dari pakar tumbuh kembang anak, yaa. Walaupun saya menjalankan program bilingual di rumah juga hasil dari kepo baca banyak artikel parenting. Tapi aplikasinya menyesuaikan sama kondisi dan kemampuan saya dan anak.

First of all, ini yang paling penting sebelum set-up bilingual environment untuk anak di rumah: tujuannya apa? Saya pribadi, punya beberapa goal dengan menjalankan program bilingual di rumah. Pertama, memudahkan komunikasi anak-anak saya yang tinggal di Indonesia dengan para sepupunya yang sebagian besar tinggal di luar negeri. Kasihan, kalau udah gede-gede nanti, harusnya bisa seru-seruan bareng, tapi terkendala bahasa. Kedua, dengan memilih bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di rumah, saya berharap anak-anak kelak mendapat beberapa kemudahan dalam mengakses pendidikan yang tidak terbatas lokasi dan bahasa. Mereka akan punya lebih banyak pilihan nantinya. Sebab gak sedikit saya dengar, "Pengen kuliah di luar negeri, tapi bahasa Inggrisku jeblok." Duh, sayang banget. Padahal, kalau dibiasakan berbahasa Inggris sejak kecil, halangan bahasa bisa dilewati, jadi bisa fokus ke masalah lain. Biaya misalnya. Wkwkwkwk. Gue banget. Yang penting niat, biar pun budgetnya belum ada juga. :')

Terus hal penting lainnya adalah: jangan berharap hasil instan. Nggak ada yang namanya anak langsung bisa cas cis cus (baik itu pakai bahasa ibu atau bahasa asing). Semua berproses dan hasilnya tergantung disiplin dan konsistensi. Jadi, kalau ngobrol cuma sekali seminggu pakai bahasa Inggris dan sisanya pakai bahasa Indonesia, ya pasti bahasa Indonesianya lebih bagus. Begitu juga kebalikannya. 

Yang ketiga, mulailah sejak dini. Nah, ini kadang masih ada pro-kontra di kalangan orang tua dan pakar. Katanya, kalau masih kecil jangan bilingual dulu, sebaiknya bahasa ibu dikuasai dulu supaya nanti gak bingung anaknya. Saya mau jelasin panjang-panjang juga gak PD kaena bukan pakar anak. Tapi yang terjadi sama anak-anak saya alhamdulillah, nggak ngalamin yang namanya delay speech atau terlambat bicara. Padahal memakai dua bahasa di rumah kami lakukan sejak mereka lahir. Memang ada beberapa masalah kecil, seperti kosa kata yang lebih terbatas dibanding anak-anak seusia mereka, tapi bisa diakalin dengan cara lain, kok. 


Ngomong soal aplikasi bilingual ke anak bayi, jangan ngebayangin kayak apaan ya bahasa asing (Inggris) yang saya pakai ke mereka. Waduh, saya juga gak jago-jago amat ngemeng wasweswos. Bukan apa-apa, mulut suka pegel. Btw, sebelum lebih jauh bahas ini, saya mau garis bawahi satu hal: bahasa ibu dan bahasa kedua di keluarga kami berimbang, karena kami bagi tugas. Jadi jangan nganggep kita keluarga song nginggris, trus gak cinta bahasa Indonesia, ya. Balik lagi ke tujuan awal, soalnya. Masing-masing keluarga punya tujuan berbeda dalam mendidik anak-anaknya. 

Kalau bahasa Indonesia, karena kita tinggal di Bekasi, otomatis lingkungan sudah mendukung. Keluar rumah, orang-orang bicara pakai bahasa Indonesia. Ke rumah nenek/kakek, mereka juga komunikasi pakai bahasa Indonesia. Di sekolah, guru dan teman-teman pun biasanya berbahasa Indonesia. Makanya saya lebih concern untuk menumbuhkan percaya diri anak-anak dalam berbahasa Inggris. 


Ini beberapa kata bahasa Inggris yang konsisten saya ucapkan ke anak-anak waktu mereka masih bayi. Mereka nggak bisa mengucapkannya, tapi saya yakin banget mereka mendengar dan mengingat. Makanya, tiap hari saya ngemeng aja sama mereka. 

1. Sapaan sehari-hari: Good morning, good night, how are you, hello.
2. Ungkapan sayang dan pujian: I love you, good job, excellent.
3. Ungkapan sopan-santun: thank you, excuse me, please.
4. Ungkapan penyemangat: let's go, you can do it.

Selama hampir dua tahun, kata-kata tersebut yang selalu saya ucapkan ke anak-anak setiap hari. Komunikasi masih satu arah, soalnya mereka juga baru bisa ngomong, "Baaa ... baaa ... baaa ...," terus pup. -_-

Ngajarin nama binatang, warna dan nama-nama benda sekitar gak? Waduh, itu mah kalo inget aja. Hahahaha. Ntar-ntar aja deh. Kadang kalo lagi inget dan gak males, suka juga ngenalin beberapa nama binatang, warna dan angka. Tapi gak tiap hari.

Anak-anak saya mulai lancar bicara sekitar usia 15 bulan. Dua tahun baru lancar banget. Dan mereka langsung bisa memakai ungkapan-ungkapan di atas dengan benar, yang selama ini hanya mereka dengar lewat saya sejak bayi. 

Apa hasilnya akan sama untuk semua anak? Mak, dua anak saya aja beda-beda. Si sulung sekarang lebih pasif berbahasa Inggris. Secara tulisan dia mengerti, tapi nggak terlalu minat untuk bicara bahasa asing. Dia lebih memilih komunikasi pakai bahasa Indonesia dengan kami. Nggak ada paksaan. Yang kecil, cewek, entah ngikut bawel emaknya atau emang udah bawaan orok, sejak bisa ngomong, cascescos banget pakai bahasa Inggris gak bisa berenti. -_- Si kecil ini keliatannya emang lebih verbal anaknya. Sampai pas umur baru 5 tahun, dia udah bisa ngarang cerita dalam bahasa Inggris. Sekarang hobinya, ngoceh ngasih tutorial main Minecraft. Pemahamannya dalam bahasa Indonesia gimana? Alhamdulillaah, baik-baik sajaa. Kan sekolahnya pakai bahasa Indonesia dan kalau ngomong sama bapake juga pake bahasa Indonesia. Sebisa mungkin berimbanglah. 


Nggak takut nanti anaknya suka nyampur-nyampur kata kalo ngomong? Macam Agnez mo atau Cinta Laura gitu? Hehehe. FYI, mencampur dua bahasa dalam satu kalimat itu bukan gaya-gayaan, bukan trend, dan bukan keren juga. Dan itu juga bukan cuma Agnez mo dan Cinta Laura doang yang begitu. Itu adalah masalah semua anak yang tumbuh dalam lingkungan bilingual. Gimana cara ngatasinnya? Kalau saya di rumah, karena anak-anak udah mulai gede, sudah bisa koreksi kalau mereka mulai campur-campur ngomong. Biasanya penyebabnya itu ya tadi, kosa katanya yang masih kurang. 

Intinya, saya lebih bersedia mendampingi dan membantu menyelesaikan "masalah-masalah" kecil mereka karena memakai dua bahasa, demi kebaikan mereka di masa depan. Ini saya ambil dari sebuah web tumbuh kembang anak:

Anak-anak yang mempelajari dua atau lebih bahasa kemungkinan memerlukan waktu lebih lama untuk mulai bisa bicara dan mengembangkan kemampuan bahasa yang menyeluruh. Tapi hasil akhirnya adalah mereka mengerti kebudayaannya sendiri, meningkatkan rasa percaya diri, rasa komunikasi yang lebih besar, dan bisa jadi mempunyai kemampuan berpikir yang lebih kompleks (Rosenberg, 2002)

Lebih awal anak belajar kedua bahasa, lebih mudah baginya untuk mempelajari masing-masing bahasa dan mendapatkan aksen yang alami. Semakin besar usia anak, semakin sulit baginya untuk menguasai bahasa tersebut dengan lancar.

Dari pada tiba-tiba mengajarkan dan berusaha membuat anak berbicara bahasa lain, lebih baik pelan-pelan memperkenalkan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan mencampurkannya dalam aktivitas harian.

Jadi, silakan setting goal keluarga masing-masing, sesuaikan dengan cara didik masing-masing dan konsisten. Semoga bermanfaat. :D

Rabu, 07 Januari 2015

Liburan Irit Emak Gaoel

  37 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Baru juga tiga hari sekolah masuk lagi, manyunnya udah dua meter. Hahaha. Padahal, konon kabarnya, para mama-mama mudah dan cantik jelita malah lagi bersukaria menjelang anak masuk sekolah. Soalnya berarti bisa punya waktu bebas dari pagi sampe siang, ya. Tapi saya tintaaa! "Apa, kamu tinta?" Iya, Tinta Laura! #krik. Asli euy, mulai biasain gak tidur lagi pagi-pagi itu suseeeh. Bhik, jangan hakimi akuh. Saya kan udah pernah ngaku di sini kalo saya emang bukan morning person. Tapi demi apa pun semua kebaikan bangun pagi, saya berusaha keras kok supaya bangun pagi terus. Cuma kan, kalo lagi liburan, ya kasih kelonggaranlah dikiitlaah. Akibatnya, pas anak mulai masuk sekolah, kelojotan lagi nahan mata biar gak balik merem. Yah, demikianlah pengantar singkat dari postingan ini. 

"Haai, mamaku ngajak main kerudungan pas liburan kemareen ..." *kasian bener kamu, dek* :))))
So .... (Baru mau mulai masuk topik, yang paragraf di atas sebenernya gak usah dibaca aja tadi. Wakakakkkk!). Selama liburan ke mana aja? Cieee, cieee, yang liburan ke luar negeri, cieee. #sirikdetected. Kita dong, di rumah sajah. Etapi pasti banyak juga kan yang liburan sama anak-anak gak ke mana-mana? Ya, kan? Ya, kan? #caritemen. 

Trus, kalo gak ke mana-mana, ngapain aja di rumah, mak? Maen games mulu yak bocah? Wkwkwkwk, enak emang sih kalo ngasih games atau gadget ke anak, kita bisa bebas ngerjain yang lain. Ya tapi, lama-lama eneg juga ngeliat bocah anteng sampe kita dicuekin gitu, gara-gara tab. Makanya, biar pun libur gak ke mana-mana, alias lagi kere, kreatifitas jangan sampe kere. 

Nemenin papa maen musik, tapi gak mau lepas tab dari tangan.

Mungkin postingan ini rada telat nongol, ya. Secara liburannya udah kelar, kok malah baru tayang? Ya, anggep aja ini bakal jadi catatan untuk liburan selanjutnya. Siapa tau liburan semester depan kamu yang kere. #eh #maap #becanda. Coba dipilih-pilih mau ngapain nih kalo liburannya ngirit kayak saya kemaren.

1. Ke rumah neneeeek.
Pilihan paling aman sentosa damai dan menyenangkan adalah bawa anak-anak ke rumah neneknya. Tapi dasar anak jaman sekarang, ke rumah mama saya, mereka mastiin dulu satu hal. "Wifi di rumah Jidah nyala, kan?" Errr, iyeee. Nyala! Sehari sebelum ke sana, saya sampe telpon papa saya dulu buat mastiin wifi-nya nyala. Wkwkwkwk.
Enaknya ke rumah nenek/orang tua kita, makan terjamin. Hihihihi. Padahal saya bawa makanan juga dari rumah, tapi orang tua saya pasti juga rempong sendiri nyediain cemilan buat cucu-cucunya.
Yang kocak waktu saya lagi di rumah mama, saya ambil kesempatan dalam kesempitan. Pas mereka lagi main di bawah sama Atuk dan Jidahnya, saya molor di lantai atas. Pas udah sore, kok perasaan gak sedep, nih. Bangun-bangun rumah sepii. Saya buru-buru turun ke bawah. Gak ada orang, doong! Terus pintu semuanya dikunci. Kuncinya dibawa! Ternyata akoh ditinggal sama mama papa aku dan anak-anakkuu! Mereka jalan-jalan ke emol. Eaaa, tegaa! T_T. Begitchulah.

2. Main di luar.
Paling gampang bawa mereka main ke taman deket rumah, ya. Tapi apa aja, deh. Kandang kambing kalo deket juga, bawa aja ke sana. ya kapan lagi, gituu. Kalo saya kemaren pas nemu lapangan parkir luas dan lagi sepi di dekat rumah papa mertua. Lapangan parkirnya juga bersih, dan banyak bunga kamboja berguguran. Ditambah lagi cuaca beberapa hari kemaren kan mendung-mendung mesra, jadi serasa ada di Jepang pas musim gugur gitu, deh. Safina seneng banget main di sana, walaupun cuma sebentar. Hihihihi.


Lari-larian di lapangan parkir gereja deket rumah kakek.

3. Main kertas alias ancurin aja rumahnya sekalian, biar ramai, biar gaduh sampai mengaduh!
Ini kegiatan andalan saya dari dulu. Ketersediaan kertas, gunting dan lem lebih terjamin di rumah saya ketimbang sembako. -_-! Jadi anak-anak emang suka larinya ke maen kertas kalo udah bosen. Paling saya kasih tau aja mau bikin apa hari ini. Kemarin sebelum liburan dimulai saya udah browsing cara bikin prakarya dari piring kertas, jadi gak terlalu bingung lagi mau bikin apa. Lumayan, Safina hepi. Walaupun abis itu, mama cantik harus ndlosor-ndlosor nyapuin sampah. Resiko.
Kalo anak udah rada gedean kayak Fadhil emang udah mulai susah diajak main prakarya anak TK gini. Dia paling gambar atau bikin sesuatu sendiri, atau ... ya kembali ke leptop. :p



4. Berenang.
Berenang sebenernya kegiatan mihil buat saya kalo keseringan. Soalnya anak-anak kalo diajak berenang, jajannya banyak banget. Hhhh .... Tapi saya sudah bisa mensiasatinya. Caranya, cari tempat berenang dalam komplek perumahan, harga tiketnya gak terlalu mahal. Hahaha. Dan karena lagi musim liburan, kebanyakan orang pergi berenang ke waterpark atau taman bermain kayak Ancol, gitu. Jadi kolam renang komplek relatif sepi. Satu lagi, kebetulan di komplek rumah orang tua saya, berenang boleh gratis, cuma nunjukin KTP aja. Itu juga kenapa sampe sekarang KTP saya belum ganti-ganti. Sayang kan, buat berenang gratis. 


5. Main masak-masakan atau bikin play dough sendiri (intinya sama dengan nomor 3, ngancurin rumah sampe gaduh dan mengaduh ... ah, cudahlah).
Alhamdulillaah, kemarin mama si Ubii share cara bikin play dough sendiri di rumah. Bahannya simpel banget dan gampaaang. Jadi saya dan anak-anak iseng-iseng ngulenin adonan tepung, kasih pewarna, dan jadi deh paly dough aman buatan sendiri. Resepnya cuma tepung, garam, air, minyak dan pewarna makanan. Takarannya? Kira-kira aja sendiri. Hahaha. Saya pake perasaan aja waktu bikin. Emang untuk beberapa hal, lebih baik kita menggunakan perasaan. #apadeh


6. Makan di luar, sekali-sekaliiii banget!
Berhubung liburannya lumayan lama, gak mungkin juga biarin bocah ngedekem di rumah. Kasian. Mau dibawa ke mal, gak shopping juga sedih aja, sih. Window shopping itu terapi buat para mama, tapi siksaan buat anak-anak. Jangan ya, kasian kalo pulang empty handed. Mending gak usah diajak liat-liat. Hiks. 
Jadi kalo saya, ngajak anak-anak ke mal atau pertokoan gitu, sejak awal udah bilang, mau pergi makan. Udah. Jadi tidak ada ekspektasi berlebih kalau ntar pulang bakal bawa mainan baru. Yang penting kenyaang, masih bisa makan enak, bareng-bareng sekeluarga. Terus di mobil langsung deh berorasi betapa menyenangkannya makan bersama kayak gitu. Kita semua harus bersyukur masih bisa makan bareng di tempat bagus dan enak. Bla bla bla. Biasanya pas di bagian ini, anak-anak saya udah asik sama tab-nya di mobil atau duduk bengong gara-gara udah kenyang atau kebelet pup. 



7. Screening channel tivi bareng.
Jujur, saya jarang banget nemenin anak-anak nonton tivi. Soalnya kesempatan saya buat bebersih rumah ya salah satunya pas mereka nonton tivi. Paling saya mastiin aja tontonannya udah aman. Tapi selama liburan ini, saya mulai ambil alih kekuasaan atas remote tivi, dan mulai ngajak anak-anak nonton bareng channel televisi selain channel film kartun kesukaan mereka. Beberapa channel berita, pengetahuan, science, travel sampai yang berbahasa mandarin. Pokoknya semua channel saya liatin sama mereka, sambil sesekali ngasih tau mana yang belum boleh ditonton sama mereka. Asik juga ngulik-ngulik channel tivi gini. Saya sendiri malah baru tau beberapa channel bagus yang selama ini dianggurin aja kayak The Indonesian Channel.

Gimana? Seru gak liburan saya? (NGGAAAAAK!)  


Thank you for reading this blog! ^_^