Assalamu'alaikum.
So, it turns out that today is Hari Guru Nasional. Tanggal berapa ini? Mamak kliyengan, hilang orientasi gara-gara si mbak mudik udah seminggu. (Kebiasaan curhat, gagal fokus). Ah, yes, 25 November, ya.
Ngomongin sosok guru, mereka sebenarnya ada di mana-mana di sekitar kita. Mulai dari sekolah, kampus, rumah, tempat kerja, pasar, restoran, mall, sampai social media. Sebagai blogger terkenal (pemalas dan banyak gaya), tentunya dalam blogging ada juga sosok guru yang jadi panutan saya. Guru yang secara langsung atau tidak, sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, sudah menambah ilmu ngeblog saya. Keberadaan mereka bisa dekat, bisa juga jauh. Beberapa saya mengenalnya secara pribadi, beberapa saya hanya bisa mengagumi dari layar laptop, membaca tips-tips ngeblog yang mereka bagi di internet. Entah apalah jadinya Emak Gaoel kalau nggak ada guru-guru ngeblog ini. #ngaca #pencetinjerawat
Saya adalah tipe blogger sotoy ketika awal memulai kegiatan blogging saya. Walaupun sotoynya masih berlanjut sampai sekarang, tapi alhamdulillaah, ilmu bloggingnya dikit-dikit nambah. Karena saya rajin belajar? Pasti, dong! #dikemplang. Dari mana saya dapat bahan pelajaran ngeblog-nya? Ya, dari guru-guru ngeblog saya. Siapa mereka? Banyaaaak dan panjaaang! Dan nggak mungkin lupa. Sampai kapan pun. Kecuali kena amnesia, which is, naudzubillah minzalik. >.<
Ge Siahaya adalah yang pertama kali mengenalkan saya dengan dunia blogging. Melalui akunnya di Kompasiana, saya membaca-baca tulisannya dan ikut-ikutan nyemplung di sana. Kompasiana bisa dibilang taman bermain dan taman kanak-kanak saya ketika memulai perjalanan ngeblog saya. Kalau sekarang ternyata saya nggak aktif lagi di Kompasiana, itu karena beberapa kendala teknis yang tak kunjung memberi kepuasan ketimbang di blog pribadi dan juga karena saya sudah tidak punya waktu lebih untuk mengurus lebih dari satu blog. Saya melupakan Kompasiana? Nggak, dong! Sahabat dan "saudara" saya temukan di sana. Walaupun sudah tidak aktif lagi di Kompasiana, saya nggak akan pernah lupa kalau dulu di sana, saya belajar membangun image saya sebagai seorang penulis fiksi dan blogger.
Di semua novel saya, selalu tercantum nama Kompasiana sebagai salah satu tempat pertama saya belajar menulis dan ngeblog. Cek aja sendiri kalau nggak percaya. (Modus, biar ada yang beli novel gue). By the way, novel-novel saya udah ditarik dari toko buku, karena udah lama (bilang aja, nggak laku!). Jadi kalau mau beli, bisa pesan langsung ke saya, ya. Wkwkwkwk. Ini apah? Lospokus kok gak pake takeran?
Penting ingat sejarah, Bung Karno juga bilang begitu. Jangan lupa dari mana kita berasal. Wajar kok kalau dalam perjalanan waktu, kita nggak akan selamanya di sana. Wajar kalau dalam proses belajar, kita menemukan ketidakcocokan dan memutuskan untuk mencari jalan lain. Tapi jejak sejarah masa lalu akan selalu mencatat kalau kita pernah belajar di satu tempat. Kalau pun nggak ada yang ingat, naluri kita sendiri nggak akan mungkin bisa berkelit. Mau menghapusnya dari ingatan orang lain mungkin bisa, tapi apa bisa menghapusnya dari ingatan sendiri? Saya nih contohnya, sekarang ini jujur males banget mampir ke Kompasiana karena udah didominasi sama orang-orang nyinyir politik dan isu agama. Tapi nggak bisa mungkir, kalau dulu pertama kali ngeblog, saya memang di sana. Mau mungkir gimana? Saksinya banyak. Hahahaha.
Nggak lama setelah mulai independent (tsah) di Blog Emak Gaoel, mulai deh saya kenalan sama beberapa komunitas yang jadi tempat belajar ngeblog selanjutnya. Mira Sahid, Cerita Eka, Carolina Ratri dan Indah Julianti adalah empat orang blogger panutan saya, sampai sekarang. Dari mereka saya belajar banyak, bukan hanya sekedar blogging, tapi belajar jadi blogger eleykhan (elegan, cuy!), yang nggak mudah terpancing emosi, bijaksana main di social media, tebar manfaat dan aura positif. Berat banget ngurang-ngurangin nyinyir di blog emang, lewat mereka saya belajar. Santai aja, cyin.
Apalagi sejak ditarik masuk ke Kumpulan Emak-emak Blogger (gue dimasukin ya, Mir, bukan daftar. Fakta penting. Huahaha), makin banyak guru ngeblog nggak resmi saya. Ngintipin gimana cara dandanin blog sendiri, gimana nulis yang baik, gimana cara foto-foto biar agak keren dikit, gimana supaya bisa menang lomba blog. You name it, palugada! Komplit! Sebenarnya banyak komunitas blogger besar lainnya sebelum KEB. Tapi kemunculan KEB waktu itu menggebrak. Sampai perkembangannya sekarang ini, hampir di tiap komunitas blogger baru, isinya hampir semuanya pasti ada member-member KEB (yang perempuannya, ya). Ke komunitas ini, lah elu lagi? Ke komunitas ono, yah dia lagi? Wkwkwkwk.
Selain itu, ada social media experts di luar negeri yang jadi guru saya juga. Dianya sih nggak tau saya jadi muridnya, saya ngaku-ngakuin aja. Saya suka belajar seputar blogging yang simple lewat artikel-artikel yang dibagi sama
Kim Garst dan
Melissa Griffin di blog mereka. Kenapa? Karena gratis. Prinsip saya, selama ada yang gratis, kenapa harus bayar? Hihihihi. Ciee, iya deh, yang bayar pasti ilmunya lebih keren. Iyaa, iyaa. Bhik. Yang penting prakteknya, kaan. Banyak tips-tips dari mereka yang saya praktekkan, lalu saya bagikan lagi di blog saya setelah saya aplikasikan, seperti di
sini. Bukan saya copas, terjemah, trus posting, ya kakaak. Tapi udah saya coba praktekkan. Besides, ilmu apa sih di dunia ini yang baru? There's nothing new under the sun.
Masih banyak guru ngeblog saya. Anazkia, Encik Amir (Denaihati) dan beberapa teman blogger di Malaysia; mereka juga menjadi guru yang membuka mata saya akan betapa luasnya dunia blogging ini. Membuka mata saya, bahwa semangat berbagi jangan sampai padam jika menghadapi tantangan.
Pak Yan, my 6th grade teacher
Saya suka ingat sama satu sosok guru yang mengajar saya di kelas 6 SD. Nama beliau Pak Yan. Pak Yan adalah sosok guru yang ditakuti. Baru lihat badannya yang gempal di ujung sekolah, perut udah melilit. Mau papasan, keringet dingin. Yang bikin makin stress, Pak Yan adalah wali kelas saya dan mengajar mata pelajaran matematika! Komplit! Karena terkenal galak, anak paling bangor di kelas pun patuh banget sama beliau. Pak Yan nggak main tangan, walau kadang suka kebagian jari digepruk penggaris papan tulis kalau nggak bisa jawab pertanyaan. Yang bikin takut kita waktu itu adalah kumisnya yang kayak Pak Raden (may he RIP) dan suaranya yang menggelegar.
Karena semua takut sama beliau, tiap mau pelajaran matematika, nggak ada yang berani bersuara. Sehari sebelumnya, anak paling males di kelas pun bakalan belajar dulu semaleman. Dan anak yang paling males berdo'a pun bakalan sholat semalam suntuk, minta sama Allah supaya besoknya nggak kebagian dipanggil ke depan kelas untuk ngerjain soal. Wkwkwkwk. You know, one of those days.
Begitu nilai kelulusan SD keluar, hampir semua murid di kelas kami mendapat nilai matematika sebagai nilai tertinggi. Wahahaha, kalau inget masa-masa itu, rasanya lucu aja sekarang, kok bisa denger suara Pak Yan batuk aja bisa langsung kebelet pipis. Hihihihi.
Beliau adalah guru inspirasi saya. Tampang boleh galak, tapi ngajar harus dipahami sama semua murid.
Untuk semua guru di seluruh Indonesia, keep inspiring!
Selamat Hari Guru Nasional