Pagi itu Nila bangun dengan sebuah ide cemerlang. Dia sudah lelah berharap dan diperlakukan seperti ini sejak anak lelaki mereka, Daffa, lahir tiga tahun yang lalu. Ini harus berakhir, tekadnya. Sejak Daffa lahir, Danu, suaminya, mulai berubah. Perlahan tapi pasti perhatian Danu pada dirinya mulai berkurang. Dia lebih sibuk bekerja di kantornya. Danu seperti tenggelam dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Setiap kali Nila mengeluhkan perhatian Danu yang berkurang pada dirinya, Danu selalu beralasan bahwa dia melakukannya karena kebutuhan mereka semakin besar sejak Daffa hadir di tengah-tengah mereka. Danu berkata seharusnya Nila jangan cengeng dan manja, justru dia harusnya mendukung Danu dengan tidak mengeluh.
Tapi bukan hanya itu masalahnya. Nila merasa ketertarikan Danu pada dirinya tidak sebesar saat mereka masih berpacaran dan baru menikah empat tahun yang lalu. Danu sudah tidak pernah lagi mencium dirinya di teras rumah setiap akan berangkat bekerja. Dia tidak pernah lagi menggandeng tangannya jika sedang berjalan bersama di mal. Tidak pernah lagi mengirim sms-sms mesra dan menggoda seperti dulu.
Nila rindu pada masa-masa indah itu. Dia ingin selalu dimanjakan oleh Danu. Dia ingin Danu merasa selalu beruntung memiliki dirinya seperti yang dulu selalu diucapkan dan ditunjukkan Danu pada dirinya.
Danu menemukan bungkusan cantik di depan pintu rumahnya pagi tadi saat dia hendak berangkat kerja. Dia membaca nama Nila tertera di atasnya.
“La! Ada bingkisan buat kamu, nih! Tapi nggak tahu dari siapa. Nggak ada nama pengirimnya. Siapa yang taruh di depan pintu, ya?”
“Bingkisan apa?” Nila balik bertanya sama herannya.
“Entah. Buka saja. Mungkin ada surat di dalamnya.” Nila membuka bungkusan itu dengan penasaran. Dia menemukan sebuah gelang kristal merah berkilauan di dalamnya lengkap dengan sepucuk surat menyertai.
Nila terpekik senang, “Ya ampun, mas Danu! Terima kasih, ya! Tahu dari mana aku sudah lama ingin gelang ini? Kamu perhatian sekali sama aku.”
“Kok aku? Bukan aku yang kirim, kok.”
“Lho? Kalau bukan kamu, terus siapa, dong?” tanya Nila sambil membuka surat di dalamnya.
‘Mudah-mudahan Mbak Nila senang dengan gelang ini. Your secret admirer’. Nila tersenyum membaca kalimat di surat itu. Penggemar rahasiaku, katanya dalam hati dengan sumringah. Danu penasaran dan merebut surat itu dari tangannya.
“Siapa ini?” tanya Danu dengan nada ketus.
“Mana aku tahu, namanya juga secret admirer, penggemar rahasia, berarti dia nggak mau aku tahu siapa dia,” jawab Nila dengan senyum menggoda.
“Kenapa kamu senyum-senyum senang begitu? Kamu punya selingkuhan, ya?” tuduh Danu melihat Nila sepertinya senang sekali mengetahui kalau ada seseorang yang mengaguminya saat ini.
“Lho, kok kamu malah nuduh aku begitu? Demi Tuhan, aku nggak punya selingkuhan dan nggak pernah berpikir untuk selingkuh, Mas. Yang membuat aku senyum-senyum senang itu dari tadi ya karena aku terharu sekali mas Danu sampai begitu repotnya merencanakan kejutan ini buat aku. Ternyata mas Danu perhatian sama aku, buktinya mas Danu ingat kalau aku pernah bilang aku suka sekali gelang ini waktu kita ke mal tiga bulan yang lalu. Soalnya waktu itu mas kelihatannya acuh nggak acuh sama aku. Terima kasih ya, sayang,” Nila mencium pipi suaminya dengan mesra. Lalu dia berlalu menuju dapur.
Danu tercenung. Dia terdiam untuk sesaat. Sebuah ingatan melintas di kepalanya. Nila memang pernah menunjukkan gelang itu padanya, dan rasanya itu sudah lama sekali terjadi. Dia tidak akan ingat kalau Nila tidak mengatakannya barusan. Lalu dia berkata, “Aku berani sumpah, La, bukan aku yang mengirim gelang itu untuk kamu. Aku benar-benar penasaran siapa yang mengirimnya untuk kamu dan apa maksudnya? Apa dia nggak tahu kalau kamu itu istriku?” kata Danu sambil menyusul Nila ke dapur.
Sekarang giliran Nila yang terdiam, “Maksudmu bukan kamu yang mengirim gelang itu?” suara Nila terdengar kecewa.
“Bukan. Kamu kelihatannya nggak penasaran siapa yang mengirimnya? Kenapa?” tanya Danu seperti menuntut penjelasan darinya.
“Kalau bukan kamu yang mengirimnya, aku nggak mau tahu siapa yang melakukannya. Karena aku cuma mau suamiku sendiri yang tahu apa yang kuinginkan selama ini. Aku tidak perduli orang lain memberikan perhatiannya padaku, tapi suamiku sendiri ternyata tidak. Bukankah itu menyedihkan sekali?”
Danu duduk termenung dalam kantornya siang itu. Penjelasan dari penemuannya semalam sudah diperolehnya. Dan dia merasa sangat bersalah sekarang. Danu sebenarnya tahu tentang keberadaan bungkusan itu dari semalam. Dia menemukannya dengan tidak sengaja di kolong tempat tidurnya saat dia hendak mengambil pulpennya yang terjatuh. Saat itu Nila sudah tertidur sehingga Danu mengurungkan niatnya untuk menanyakan bungkusan apa itu. Dia berniat untuk menanyakannya keesokan paginya. Sebelum sempat menanyakannya, dia sudah menemukan bungkusan itu di pintu rumahnya pagi tadi.
Danu akhirnya menyadari ternyata Nila sendiri yang meletakkan bungkusan itu di depan pintu pagi tadi. Ternyata Nila yang mengirimkan bungkusan itu untuk dirinya sendiri. Saat Nila mengatakan kalau dia tidak perduli siapa pengirim gelang itu dan justru membalikkan kenyataan bahwa dirinya tidak memperhatikan istrinya, Danu segera menyadari apa yang tengah terjadi pada istrinya. Alasan Nila di balik perbuatannya itu sangat menyentuh perasaan Danu. Nila ternyata sangat merindukan perhatiannya selama ini. Danu baru menyadari selama ini mereka sangat kurang berbicara dari hati ke hati. Kesibukannya di kantor dan kelelahannya sepulang kerja membuat dia lupa bahwa Nila adalah seorang wanita biasa yang ingin diperhatikan dan terkadang dimanja oleh orang yang dicintainya.
Dia sedikit menyesali kenapa Nila sampai harus mengambil langkah itu untuk memenangkan perhatiannya kembali. Tapi Danu segera menyadarinya, dia sudah tidak pernah meluangkan waktunya lagi untuk bermesraan dengan Nila. Pikirannya selalu dipenuhi dengan masalah pekerjaan. Kalau pun Nila berusaha untuk bermanja-manja dengannya, Danu selalu tidak bisa memusatkan perhatiannya kepada Nila.
Danu memencet nomor di telepon mejanya. Dia akan menyuruh Ratih, sekretarisnya, untuk memesan bunga dan mengirimkannya ke rumah lengkap dengan pesan penuh cinta untuk istrinya tersayang, Nila.
Malam itu Danu pulang kerja disambut dengan senyum paling manis yang menghiasi bibir istrinya. Dia tidak akan menanyakan apa-apa lagi tentang gelang itu, karena dia tidak perduli. Dia juga tidak mau mempermalukan istrinya dengan menunjukkan kalau dirinya mengetahui ‘rahasia penggemar rahasia’ istrinya itu, kecuali kalau Nila sendiri yang membahasnya. Yang dia perdulikan saat ini adalah dia tidak ingin kehilangan Nila untuk yang kedua kalinya. Bagaimana jika ternyata suatu saat nanti benar-benar ada seseorang yang menjadi penggemar rahasia Nila. Danu akan memastikan bahwa istrinya akan selalu tetap memilih dirinya karena dia adalah suami terbaik untuk Nila.