Tampilkan postingan dengan label Onis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Onis. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Juli 2010

Resep Si Onis : Epilog Absurd (Part 30)

  No comments    
categories: 
EPILOG ABSURD

Aku mendengar suara klakson berulangkali dari luar kamarku. Cepat-cepat aku berlari menuju balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah limousine barwarna hitam dengan rooftop terbuka berhenti di depan rumahku. Kulihat Tanabe san tengah menyembulkan kepalanya dari rooftop limousine hitam itu. Sebuah karangan bunga mawar merah teracung tinggi di tangan kanannya. Dia tersenyum padaku dengan penuh kebahagiaan.

Aku tak bisa menahan senyum mengembang di wajahku. Rasanya aku adalah perempuan paling bahagia di dunia. Dia datang ke rumahku membuktikan cintanya padaku. Kudengar dia memanggilku dari bawah.

"Fani! Faniii!"

Lama-lama suara beratnya berubah menjadi suara tinggi Mamiku.

"Faniiii! Bangun doong! Udah siang begini! Makanya cepet dong cari kerja lagi. Jangan nganggur melulu. Mami senewen deh bangunin kamu tiap hari kayak gini," kudengar Mamiku ngomel membangunkan aku dari mimpi indahku.

Semprul! Mimpi itu datang lagi. Sudah empat bulan ini mimpi ala film Pretty Woman itu menghampiri tidurku. Sungguh norak. Berarti sudah empat bulan aku menganggur dan tidur sampai siang seperti ini.

"Iyaaa!" teriakku malas dari dalam kamarku.

Tiin! Tiin! Kudengar suara klakson mobil dari luar. Lho? Aku masih mimpi atau sudah bangun sih? Mendadak aku kehilangan orientasi sesaat. Aku berlari ke arah balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah sedan hitam mirip limousine berhenti di depan rumahku. Aku mengusap-usap mataku dengan setengah tidak percaya. Ternyata itu sebuah taksi berargo mahal yang dulu selalu dinaiki Onis. Aku nyengir menyadari kebodohanku. Tentu saja tidak mungkin ada limousine datang ke rumahku. Dan lebih tidak mungkin lagi aku berharap Tanabe san akan muncul dari dalam limousine itu dengan seikat mawar merah ala Richard Gere dalam film Pretty Woman itu. Hahaha...anak bodoh, kutukku pada diri sendiri.

Aku kembali ke dalam kamar sambil tertawa sendiri. Aku tidak peduli siapa yang datang. Paling-paling tamu untuk Mami, pikirku.

"Faniii! Ada tamu niiih!" Mami memanggilku dengan berteriak.

Siapa? Jadi taksi tadi membawa tamu untukku? Aku segera berlari ke bawah masih mengenakan dasterku.

Onis! Onis dengan perutnya yang mulai membesar. Aku tertawa lebar melihatnya. Aku kangen sekali padanya. Dan aku bahagia sekali melihat perut gendutnya itu.

Oh Tuhan, dia tidak menggugurkan kandungannya! Aku sangat bahagia. Aku menghambur ke arahnya untuk memeluknya.

"Oniiis! Gue kangen bangeeet!" kataku sambil berlinangan air mata. Norak banget, deh. Biarin ah, pikirku.

Onis tertawa ngakak melihat reaksiku. Dia membalas pelukanku dengan hangat. Kuajak dia untuk duduk di taman belakang rumahku. Aku ingin mendengar ceritanya. Semuanya. Tentang Misako. Tentang Tommy. Tentang kehamilannya. Tentang Tanabe san kalau bisa. Huhuhu...ngarep!

Panjang dan lama Onis bercerita. Intinya dia memberanikan diri untuk meneruskan kehamilannya. Tommy sudah bisa dipastikan menghilang begitu dia memutuskan untuk tidak menggugurkan janinnya itu. Ayah Onis tidak bereaksi banyak mendapai putrinya hamil tanpa suami. Dia sudah terlalu pikun untuk itu. Dan Dion, adiknya, ternyata bisa mengerti kondisi Onis dan dengan tahu diri mencari kerja sambilan untuk membiayai kuliahnya. Onis dan keluarganya pindah rumah ke rumah yang lebih kecil di pinggiran Depok. Menjauhi segala omongan tetangga yang malas didengarnya. Dan sekarang Onis membuka sebuah toko pakaian anak-anak di dekat rumahnya dari modal tabungannya selama ini. Aku tidak mau bertanya-tanya dari mana hasil tabungannya itu. Aku cukup mengerti akan itu.

Aku menatap Onis dengan kagum. Dia sudah berubah menjadi wanita yang sangat dewasa hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Empat bulan! Kurasa hormon keibuannya membantunya tumbuh dewasa dalam berpikir sekarang. Onis tidak meledak-ledak seperti aku mengenalnya dulu. Dia berbicara dengan tenang sambil sesekali mengelus-elus perutnya yang membuncit itu. Dia masih tetap cantik dan modis seperti biasa.

"Deni gimana?" tanyaku. Mau tidak mau aku jadi teringat dengannya.

"Aku nggak tau, Fan. Kabar terakhir yang aku dengar dia pacaran sama Dian," jawab Onis tidak berminat membahasnya.

"Dian? Jadi mereka akhirnya pacaran? Hahaha...Apa kabar tuh si perempuan sinting itu?" tanyaku pada Onis.

"Dia dapat peringatan keras dari Tanabe san, Fan. Gara-gara ketauan nyebar fitnah ke lo. Trus dia disuruh minta maaf juga ke Fujiyama san. Gak lama abis kejadian itu dia resign. Malu kali!" kata Onis sambil tertawa geli.

Wahahaa...aku tidak bisa memungkiri kalau saat ini aku menjadi manusia jahat yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi bukannya Dian sudah lebih dahulu tertawa menginjak-injak aku? Kurasa balasan setimpal sudah didapatnya.

"Trus, gimana ceritanya waktu lo berhenti kerja, Nis?" tanyaku penasaran.

"Semua orang udah mulai kasak-kusuk dari sebulan yang lalu waktu mereka nyadar gue hamil. Trus Tanabe san manggil gue," jelas Onis dan berhenti sejenak.

Aku menunggu kelanjutan cerita Onis. Tapi tampaknya Onis sengaja menggantung kalimatnya untuk melihat reaksiku mendengar nama Tanabe disebut-sebutnya. Aku membenarkan posisi dudukku dengan gelisah. Onis tertawa melihatku.

"Hahaha...lo masih kepikiran dia, ya?' tanya Onis dengan tatapan penuh selidik.

"Ah, nggak juga sih. Cuma pengen tau aja, gimana reaksinya waktu tau kalo yang hamil itu lo bukan gue," kataku membela diri, berusaha terlihat cool. Padahal dalam hati aku hampir mampus penasaran ingin mendengar kabar tentang dia, si Richard Gere dalam mimpiku itu.

"Dia udah balik ke Jepang, Fan. Tapi dia titip pesan buat lo sebelum dia pergi. Waktu itu dia tanya-tanya dengan detail tentang kejadian e-mail nyasar itu. Gue kasih tau semuanya sama dia. Setelah gue cerita semuanya itu dia kasih peringatan keras ke Dian. Intinya dia nyesel setengah mati karena nggak bisa belain lo waktu itu. Gue juga minta maaf sama dia karena udah bikin kacau hubungan lo sama dia. Tapi dia dengan penuh pengertian bilang lo itu mau menyelamatkan gue. Gue udah tau itu, Fan. Gue tau lo adalah teman terbaik yang pernah gue punya seumur hidup gue," kata Onis memandangku dalam.

Aku masih diam mendengarkan. Aku menunggu pesan apa yang dikatakan Tanabe pada Onis?

"Dia bilang dia mau balik ke Indonesia lagi untuk ketemu sama lo. Bukan sebagai atasan. Ya iyalaaah....Katanya dia mau minta maaf dan memperbaiki semuanya. Itu kalau lo bersedia," kata Onis.

"Oooh...,jadi dia udah di Jepang ya sekarang?" tanyaku kecewa.

Onis tertawa lagi melihatku.

"Minggu depan dia ada di sini. Mau ketemu nggak sama dia?" tanya Onis padaku.

"Ngapain? Kalau dia mau ketemu sama gue, suruh aja dia dateng ke rumah gue! Kenapa gue yang mesti dateng ke dia? Gue kan bukan karyawannya lagi!" jawabku sewot.

"Ya, iyalaah, noon..." kata Onis. "Lo tunggu aja. Dia punya rencana besar buat lo kayaknya," kata Onis penuh rahasia.

"Rencana besar apaan? Jangan ngomong kalo dia mau ngelamar gue ya!" kataku panik.

"Huahahaa...GR banget sih lo, Fan?" Onis tidak bisa menahan tawanya.

Sompret! Aku jadi malu sendiri dengan ucapanku barusan. Tapi sumpah, memang itu yang terbersit di benakku waktu Onis bilang tentang ‘rencana besar' itu tadi.

"Jadi? Apaan dong?" tanyaku lagi dengan bloon.

"Dia udah keluar dari Misako, Fan. Sekarang sedang ngurus ijin berdiri perusahaan punya dia di Jakarta. OK! Segitu aja yang gue tau, tapi gue rasa itu lebih dari cukup buat lo untuk bisa membayangkan rencana besar seperti apa yang dia maksud," kata Onis sambil mengerling padaku.

Aku terdiam beberapa saat mencerna ucapan Onis barusan. Olalaa...dia akan ada di sini lagi untuk selamanya? Dan ada rencana besar untukku, kata Onis? Rencana besar yang belum bisa kubayangkan, tapi sudah terbentuk dalam khayalku dengan indahnya.. Kubiarkan pikiranku melayang sesukanya. Dia akan datang untukku, kataku dengan perasaan sumringah yang luar biasa saat ini. Atau aku hanya merasa GR sendiri? Sebodo! Biarkan aku dengan cengiranku yang tak mau pergi ini. Mohon jangan ganggu aku.

Ini duniaku

Tak perlu kau lihat

Kalau kau tak mau

Apalagi kau nilai

Karena aku tak butuh

Aku hanya ingin hidup damai

Bahagia secara hatiku

Aku tak butuh teman

Jika teman adalah hakimku

Aku tak butuh cinta

Jika cinta adalah belengguku

Aku ingin bahagia dengan caraku

Kau carilah bahagiamu

Aku tak akan mengganggumu


_____________________________________________________________________________________

TAMAT

Resep Si Onis : Bye Misako (Part 29)

  No comments    
categories: 
BYE MISAKO

Pagi ini sangat...sangat...sangat...huaah...tidak bisa digambarkan. Perutku sudah melilit tidak karuan sejak aku berangkat dari rumah. Kucium tangan Mami lebih lama dari biasanya.

"Kenapa sih? Lama amat nyium tangannya? Mami kan baru megang ikan. Gak bau?" tanya Mamiku heran melihat kelakuanku yang tidak seperti biasanya.

Aku meringis mendengar ucapan Mami. Memang tercium bau amis ikan dari tangan Mami, tapi aku tidak peduli. Entah kenapa, sepertinya aku mendapat kekuatan ekstra setelah mencium tangan Mami pagi ini.

Semalam aku tidak berhasil berbicara dengan Tanabe san. Tapi aku mengirim pesan singkat tentang apa yang terjadi. Aku hanya mengatakan ada e-mail yang salah terkirim ke alamat e-mail miliknya dan Dian. Aku tidak mengatakan kalau itu e-mail dari Onis. Aku hanya mengatakan ada kesalahan pengiriman e-mail yang seharusnya bukan ditujukan untuk Dian atau pun dirinya. Aku tidak mau Onis terseret. Aku takut Onis akan dipecat, sedangkan dia pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Kukirim pesan singkat itu ke Tanabe san hanya sekedar untuk berjaga-jaga supaya dia tidak terlalu terkejut kalau hari ini dipanggil menghadap Fujiyama san. Dia tidak membalas pesanku.

Onis tidak masuk hari ini. Perasaanku tidak enak. Aku khawatir sekali dia akan melakukan ‘itu' hari ini. Mudah-mudahan dugaanku salah, doaku dalam hati. Kantor masih sepi. Sengaja aku datang pagi-pagi untuk mempersiapkan mental menghadapi hari ini.

Beberapa teman kantor sudah datang dan melewatiku dengan pandangan aneh. Aku tahu mereka pasti sudah mendengar berita-berita bohong dari Dian tentangku berikut bumbu-bumbu penyedapnya. Aku tidak bisa menyalahkan mereka termakan gosip itu. Bagaimana pun , bukti hitam di atas putih ada di tangan Dian, walau pun ternyata itu bukti yang salah.

Sudah jam sembilan pagi. Tanabe san sudah datang dan langsung melewatiku begitu saja tanpa melihat ke arahku. Aku juga tidak berusaha untuk menyapanya seperti biasa. Dian juga sudah datang lima menit sebelum Tanabe san datang. Dia tersenyum lebar padaku dengan muka sinisnya itu. Aku tersenyum balik padanya seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dan dia melengos kesal dan membuang muka melihat aku bisa tersenyum padanya. Mungkin dia berharap aku akan mendelik marah atau berteriak marah padanya. Ah, sekali lagi, dia berharap aku akan bermain seperti orang tidak bersekolah? Dia sungguh salah!

Kriing! Telpon di mejaku berbunyi. Dari Syasya.

"Pagi, Fan...Fujiyama san tunggu kamu di ruangannya ya. Ada Tanabe san juga," kata Syasya dengan nada prihatin.

Entah cerita apa yang sudah didengarnya. Aku tidak mau bertanya-tanya lagi.

Kutarik nafasku dalam-dalam. This is it! Siap tidak siap, aku harus menghadapinya. Aku sudah punya keputusan bulat sejak tadi malam sebelum aku tidur. Dan rasanya keputusan itu semakin mantap terasa dalam hatiku.

"Ohayo gozaimasu, Fujiyama san..Tanabe san..." sapaku sambil masuk ke ruangan Fujiyama san.

Tidak ada Dian. Pertanda bagus, kataku menghibur diri. Degup jantungku terasa kencang. Kutenangkan hatiku. Aku tidak salah...dan tidak ada satu pun yang bersalah di ruangan ini, aku menenangkan diri.

"Haik. Sit down, please..." Fujiyama san mempersilahkan aku duduk di samping Tanabe san.

"So...ada yang bisa menjelaskan apa maksudnya e-mail ini?" tanya Fujiyama san sambil menyerahkan selembar kertas kepada Tanabe san.

Tanabe san tampak membaca sekilas kertas itu dan terdiam sesaat. Dia memandang ke arahku dengan pandangan tidak mengerti. Aku tahu dia tidak akan menyangka kalau e-mail salah kirim yang kumaksud itu berisi tentang rencana aborsi yang mengerikan. Tanabe san menarik nafas sebentar lalu mulai berbicara.

"Saya sudah diberitahu oleh Fani san mengenai hal ini, Fujiyama san. Fani san bilang dia salah kirim e-mail. Seharusnya e-mail itu bukan untuk saya atau Dian san," jelasnya pada Fujiyama san.

Fujiyama san mengangguk-anggukkan kepalanya tanda paham akan penjelasan itu. Tapi tampaknya dia merasa belum puas.

"Fine..But I think I still have to talk to you about your attitude then, Fani san," katanya padaku.

"What's with my attitude?" tanyaku berani.

"Well, saya tahu ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu. Kamu bekerja dengan baik di sini. Tapi saya tidak bisa menutupi kenyataan kalau kita ada di Indonesia. Saya sangat memahami ada nilai-nilai yang kalian junjung tinggi berhubungan dengan masalah aborsi ini. Lain halnya jika kita bukan di Indonesia. Jadi saya hanya ingin menanyakan kepada kamu Fani san, apa yang sebaiknya saya lakukan menghadapi masalah kamu ini?" tanya Fujiyama san padaku.

"Saya rasa tidak ada, Fujiyama san. Kalau menurut anda saya sudah tidak pantas untuk bekerja di sini lagi, silahkan pecat saya. Tapi jangan memecat saya karena alasan yang tidak ada kaitannya dengan performance saya selama ini. Itu sungguh tidak adil untuk saya," kataku berusaha berdiplomasi di hadapan laki-laki Jepang paruh baya ini.

"You're right...Tapi bagaimana tanggapan rekan-rekanmu kalau saya membiarkan kamu tetap bekerja di sini dengan kondisi begitu?" tanyanya padaku.

"Kondisi begitu? Hamil maksud anda?" tanyaku dengan berani.

Fujiyama san mengangguk. Tanabe san yang sejak tadi hanya diam tiba-tiba seperti bergerak terhenyak mendengar aku mengucapkan kata ‘hamil' dengan lantang.

"Apa yang salah dengan kehamilan? Semua perempuan hamil," kataku lagi.

"Tapi umumnya mereka di Indonesia sudah menikah baru hamil. Bagaimana dengan kamu?" tanyanya lagi padaku.

"Saya punya jawaban tepat untuk itu, Fujiyama san. Itu bukan urusan anda," kataku dengan berani. "Saya bisa melihat sekarang bahwa anda seorang pemimpin yang tidak tegas. Kalau anda mau memecat atau memberi sangsi pada saya, seharusnya dari tadi sudah anda lakukan. Tapi anda justru berputar-putar bebicara menunggu saya untuk mengundurkan diri. Kalau itu memang yang anda inginkan, saya mengundurkan diri. I quit! Paling tidak salah satu di antara kita ada yang bisa bersikap tegas!" kataku berani.

Aku berdiri dari tempat dudukku. Kuanggukkan kepala kepada Tanabe san yang tampak terperangah dengan keputusanku. Lalu aku membungkukkan badanku sedikit kepada Fujiyama san dan cepat-cepat aku keluar dari ruangannya. Kembali, untuk ke dua kalinya di Misako aku menahan air mataku agar tidak tumpah di hadapan Tanabe san.

Aku bergegas kembali ke mejaku untuk membenahi barang-barangku. Aku hanya berharap aku sudah mengambil keputusan yang tepat. Aku hanya ingin membantu Onis. Kalau pun pada akhirnya nanti Fujiyama san atau Tanabe san atau Dian atau semua orang di kantor ini menyadari bahwa yang hamil itu adalah Onis dan bukan aku, segalanya sudah terlambat. Atau kalau pun Onis nantinya tetap akan diberhentikan juga dengan alasan attitude-nya itu, dia masih ada kesempatan untuk mencari pekerjaan baru. Toh ini baru pekerjaan pertamaku dan aku masih ada ke dua orang tuaku untuk bergantung sementara ini. Dan jangan lupakan Fia adikku yang karirnya justru lebih baik dari aku. Dia juga masih bisa kujadikan tempat bergantung finansial untuk sementara walaupun nantinya akan kudengar omelan-omelan bawelnya. Sungguh, aku masih jauh lebih beruntung dari pada Onis.

Tiba-tiba Tanabe san muncul di hadapanku. Dia kelihatan sangat gundah. Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku tidak bisa mengharapkan pembelaan darinya. Sejujurnya aku justru merasa kasihan padanya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanya menghadapi kejadian ini. Tapi aku menguatkan hatiku. Aku melakukan ini untuk Onis, ucapku dalam hati.

"Fani san...saya tidak menduga akan begini jadinya," ungkapnya penuh nada penyesalan.

"Kenapa?" tanyaku berusaha tegar.

"Saya tidak menyangka ternyata kamu bisa melakukan hal ini. Saya kira saya sudah sangat mengenal kamu. Saya sempat berpikir kalau kamu tidak sama seperti Anis," katanya dengan masygul.

Aku terdiam. Ingin rasanya aku teriak di mukanya : Aku memang tidak seperti Onis! Tapi kubatalkan keinginanku itu. Biar saja, waktu nantinya yang akan memberitahunya. Dan pada saatnya nanti, mungkin dia sudah tidak ada di Indonesia lagi. Bukankah beberapa bulan lagi dia akan kembali ke Jepang? Lagi-lagi aku berpikir alangkah tidak bergunanya semua perasaan ini.

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG

Resep Si Onis : Chaotic (Part 28)

  No comments    
categories: 
CHAOTIC

Aku masih berdiri di dalam ruangan Fujiyama san sambil memegang kertas itu. Aku masih belum bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan semua ini. Terus terang aku pun masih bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa sampai ini semua menimpaku? Dan kenapa harus ada Dian yang terlibat tidak sengaja di dalamnya?

Fujiyama san masih berdiri menunggu penjelasanku. Dian masih duduk dengan tenang menungguku untuk mulai berbicara. Akhirnya Fujiyama san berinisiatif untuk menunda ini semua.

"Saya ada meeting di luar sebentar lagi. Saya akan tunggu Tanabe san kembali dari rapat di Cikarang, lalu kamu dan dia akan saya panggil lagi ke sini," katanya akhirnya.

Aku menarik nafas lega. Paling tidak aku masih punya waktu untuk meluruskan ini semua.

Aku menganggukkan kepala dan membungkukkan badanku sekilas lalu keluar. Kulirik sekilas Dian yang sudah berdiri dan siap-siap untuk keluar ruangan juga.

Begitu sampai di luar Dian menyenggolku dengan sengaja.

"Kelakuan brengsek emang susah buat disembunyiin, Fan. Siapa sangka lo bisa ngirim e-mail kaya gitu ke gue," katanya dengan nada rendah sambil berlalu dari hadapanku.

Aku hanya bisa diam mendengarnya. Sumpah, aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.

Aku segera kembali ke lobi mencari Onis. Kulihat lobi kosong. Pak Ganda tengah duduk di kursiku.

"Onis mana?" tanyaku pada Pak Ganda yang sedang berputar-putar di kursiku..

"Ke toilet katanya, Fan..." jawab Pak Ganda.

Aku segera melangkah cepat ke dalam, mencarinya.

Brak! Brak! Kupukul pintu toilet yang terkunci itu dengan keras.

"Onis! Keluar lo sekarang!" kataku tidak bisa menahan geram.

Pintu terbuka, dan keluarlah Onis dengan wajah sembab. Kelihatannya dia habis menangis. Tapi peduli setan, aku cuma mau minta penjelasannya tentang kertas yang ada di tanganku saat ini.

"Apa ini?" tanyaku mendesis ke wajahnya sambil menunjukkan kertas itu.

Onis tampak kebingungan sambil mengambil kertas itu dan membacanya.

Seketika mukanya berubah menjadi panik.

"Astaga, Fan! Astagaa!!! Sori, Fan! Soriiiii...." katanya memohon-mohon maaf padaku.

"Apaan ini?" tanyaku lebih keras lagi tidak peduli pada permintaan maafnya.

Onis terduduk di kursi di dalam toilet itu dan menangis tanpa suara.

"Maafin gue, Fan! Ah, gila...kemana pikiran gue? Gue mau kirim e-mail itu buat Tommy...Gue kirain gue masih di e-mail gue, Fan. Ternyata masih dalam e-mail lo..." jelasnya dengan suara lemah.

"Bukan itu yang gue tanyain! Gue nggak masalah lo salah make akun gw ngirim e-mail ke siapa-siapa. Itu bisa dijelasin. Tapi isi e-mail ini...isi e-mail ini...Apa-apaan ini?" tanyaku kembali dengan suara meninggi.

Aku benar-benar emosi menghadapinya. Dan dia sekarang menangis lagi tersengguk-sengguk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Kubaca lagi tulisan di kertas itu. Bahasa Inggris ala Onis jelas terbaca.

To : Dian Susanti / Assistant to HRD

Cc : Fumitaka Tanabe / HRD Manager of Misako & Co,. Ltd

From : Fani Ellyana / GA Staff

After a long thought, I will do what you asked me to do. I will get rid of this baby, if it is what you want.

I just need you to come with me when I do this. Will you come with me?

I checked the doctor's address and you're right. He does abortion.

Kugeleng-gelengkan kepala lagi membacanya. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kubaca barusan.

"Jadi lo lagi hamil, Nis?" tanyaku dengan kasihan padanya.

Onis menggangguk lemah sambil masih menghapus air matanya dengan selembar tissue.

"Tommy nyuruh gue gugurin, Fan. Gue sebenernya nggak mau, Fan. Gue nggak mau bikin kesalahan dua kali," katanya.

"Lho? Dua kali?" tanyaku bingung. "Dulu waktu sama Deni katanya lo keguguran?" tanyaku teringat dengan ceritanya.

"Gue bohong, Fan. Gue juga aborsi waktu itu. Gue aborsi tanpa sepengetahuan Deni. Makanya Deni marah banget sama gue waktu itu. Dia bilang dia mau tanggung jawab, tapi kenapa gue malah gugurin janin gue waktu itu. Ahh...semuanya kacau sejak kejadian itu, Fan...Gue nggak sanggup mikirinnya..." kata Onis dengan galau.

Aku terdiam tidak tahu harus berkata apa. Kejadian ini benar-benar tidak disangka-sangka. Dan aku terjerumus ke dalam masalah Onis dengan cara yang tidak kuduga. Saat ini otakku kosong tidak mampu mencari jalan atau celah kecil sekali pun untuk bisa keluar dengan bebas dari dalamnya.

Aku serba salah. Aku bisa saja mengatakan kalau itu e-mail salah kirim. Tapi apa aku perlu mengatakan kalau itu e-mail milik Onis? Aku tidak mau menjadi mulut ular menjerumuskan teman sendiri ke dalam kesulitan. Tanpa kuadukan, Onis sudah cukup punya kesulitan saat ini. Kecuali kalau dia mau menjelaskannya sendiri kepada Fujiyama san.

"Jadi gimana dong sekarang? Fujiyama san udah tau soal ini. Dia mau manggil gue sama Tanabe nanti sore atau besok. Gue harus ngomong apa, Nis?" tanyaku bingung.

"Maaf banget ya, Fan...Lo jadi ikut-ikutan terseret ke dalam masalah gue ini. Gue...masih belum tahu harus ngapain sekarang, Fan. Mikirin gue mau aborsi aja pikiran gue udah kacau gini...." katanya dengan tatapan kosong.

Aku kasihan sekali sebenarnya melihat temanku seperti ini. Aku ingin sekali menolongnya, tapi sekarang ini keadaanku juga sedang terjepit. Sepertinya aku harus menyelesaikannya sendiri dengan caraku, pikirku.

"Gue ke depan dulu, ya...And, by the way, gue harap lo mikir-mikir seribu kali sebelum lo aborsi, Nis..." kataku padanya.

Dia diam saja mendengar ucapanku. Aku melangkah keluar toilet. Aku harus menelpon Tanabe san untuk memberitahunya mengenai kesalahpahaman ini.

Kuhubungi handphonenya dari handphoneku. Tidak diangkat. Aku belum pernah menelponnya sejak kami pulang dari Bandung sebulan yang lalu. Dia juga tampak dingin padaku di kantor sejak itu. Dia tidak pernah tersenyum atau menyapaku lagi. Semua urusan kantor yang berhubungan denganku diserahkannya pada Dian.

Kukirim pesan singkat.

Tanabe san, please jawab telpon saya. Ada sesuatu yang penting!

Tidak lama kemudian aku menerima balasan :

Maaf, saya sedang sibuk.

Aku mendecakkan lidah dengan kesal. Bukan saatnya untuk bertingkah seperti anak kecil yang sedang ngambek kayak gini, kataku kesal dalam hati. Aku duduk tidak berdaya di kursiku. Kulihat layar komputer yang masih menampilkan akun e-mail milikku. Aku keluar dari akunku dan masuk ke akun milik Onis. Aku baca beberapa e-mail dari Tommy untuknya. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mudah-mudahan Onis tidak keberatan. Toh dia sudah menceritakan semuanya padaku.

Tiba-tiba Andi muncul dari dalam dengan tergopoh-gopoh. Mukanya terlihat sangat penasaran.

"Fani! Lo tekdung sama Tanabe?" tanyanya dengan suara yang lumayan kencang.

Kupukul kepalanya spontan.

"Suara lo kecilin dikit, bego!" kataku kesal.

"Jadi bener?" tanyanya dengan berbisik.

Aku menggeleng. Dan dia kelihatan bingung sekarang.

"Salah paham, Ndi. Bukan gue yang hamil..." jawabku menggantung.

Dan perlahan tapi pasti wajah Andi berubah menjadi mengerti. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Onis?" .

Aku menggangguk pelan. Rasanya tidak perlu aku tanyakan dari mana Andi mendapatkan berita kalau aku hamil oleh Tanabe san. Sedetik setelah aku keluar dari ruang Fujiyama san tadi aku sudah tahu kalau berita itu akan langsung tersebar ke seluruh kantor. Bisa apa aku? Aku cuma mau pulang ke rumah sekarang.

Sore itu jam empat, dan menjadi satu jam terlama dalam sejarah aku bekerja di Misako menunggu jam lima datang. Onis tetap belum kembali dari toilet sampai aku bersiap pulang. Dan tampaknya Fujiyama san juga belum kembali dari meetingnya di luar kantor. Aku bernafas lega. Paling tidak masih ada waktu untuk menghubungi Tanabe san nanti malam. Mudah-mudahan dia mau menjawab telponku nanti malam.

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG

Resep Si Onis : Ada Apa dengan Onis ? (Part 27)

  No comments    
categories: 
ADA APA DENGAN ONIS?

Kembali ke kantor dengan kesibukan yang sama. Tidak terasa sudah setahun aku bekerja di Misako. Onis tidak jadi bertemu denganku di Bandung ketika ada acara gathering itu. Dia cerita padaku kalau Tommy mengajaknya melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Pantas saja hari Seninnya dia bolos.

Aku ceritakan pada Onis tentang Deni dan Dian. Onis hanya tertawa kecil mendengar ceritaku. Dia benar-benar sudah tidak berminat membahas tentang Deni sepertinya.

Ada yang aneh dari Onis beberapa hari ini. Dia kelihatan seperti orang bingung. Sering sekali membuat kesalahan yang tidak perlu. Kemarin dia salah meletakkan surat. Harusnya untuk bagian Steel, ditaruhnya di mailbox milik bagian Textile. Akibatnya, Pak Ganda harus keliling seantero kantor mencari surat yang salah alamat itu. Dua hari yang lalu dia salah menuliskan jadwal pesanan ruang meeting. Akibatnya sudah bisa ditebak, saat tamu yang dimaksud datang, ruang meeting tidak tersedia karena terisi oleh orang lain. Aku dan Onis kena omel sekretaris Kawanishi san.

"Lo lagi kenapa sih, Nis? Gak biasa-biasanya ngaco gini?" tanyaku bingung padanya.

"Mmm? Nggak apa-apa..." jawabnya singkat sambil melihat ke arah komputer.

"Masih lama gak pake komputernya? Gue mau lihat pesanan ruang meeting yang baru," kataku padanya.

"Eh, ya udah...pake aja nih..." katanya seperti tersadar dari lamunannya.

Aku menatapnya dengan bingung. Benar-benar seperti orang linglung si Onis semingguan ini.

Aku duduk di depan komputer dan log out dari akun milik Onis. Kemudian aku log in kembali ke akun milikku. Ada dua buah pesanan ruang meeting. Salah satunya dari Dian, memesan ruang meeting untuk Tanabe san. Kulihat dia memforward e-mail ini untuk Tanabe san juga. Aku segera follow up ke dua pesanan itu.

Onis masih duduk saja di sebelahku diam. Matanya menerawang ke arah luar jendela. Aku malas bertanya-tanya. Sepertinya dia juga tidak mau berbagi padaku tentang apa yang sedang dirasakannya belakangan ini.

Kuperhatikan beberapa hari ini penampilannya juga terlihat agak kacau. Tidak seperti Onis yang biasanya. Dandanannya tidak full seperti biasa, malah kemarin dia datang ke kantor tanpa make-up sama sekali. Benar-benar aneh. Onis yang aku kenal tidak akan keluar rumah tanpa make-up terpasang di wajahnya. Sedangkan rambut yang berantakan saja bisa membuat dia membatalkan janji makan siang, bukan?

Tiba-tiba serombongan tamu datang. Kami sudah biasa menghadapi situasi yang mendadak ramai seperti sekarang ini. Satu menit sebelumnya lobi lengang seperti kuburan, menit berikutnya kami akan pontang-panting bolak-balik mengantar tamu dan surat-surat yang datang bersamaan menyerbu kami.

Kutinggalkan komputer begitu saja. Biar bagaimana, melayani tamu adalah tugas utama kami. Konfirmasi ruang meeting itu bisa menunggu, pikirku. Aku mengantar dua orang tamu Nakanishi san ke ruang meeting lima. Onis mengantar seorang tamu untuk Kobayashi san ke ruang meeting delapan. Tiga orang kurir masih kami biarkan menunggu di lobi.Setelah aku kembali dari mengantarkan tamu-tamu itu aku segera mengangkat telpon untuk menghubungi pantry. Dua tamu plus Nakanishi san, berarti tiga kopi, aku berusaha mengingat-ingat agar tidak salah pesan.

"Fan, sekalian buat ruang delapan, dua ocha!" kata Onis begitu tahu aku sedang menghubungi pantry.

Aku mengangguk. Dia kembali duduk di depan komputer. Aku masih sibuk menerima surat dan paket dari tiga orang kurir tadi. Ternyata salah satu paket itu harus diantar langsung kepada Fujiyama san. Mau tidak mau aku membawanya sendiri ke dalam untuk memberikannya langsung kepada Syasya.

Ffiiuh...Aku berbelok ke arah pantry sebelum kembali ke lobi. Aku mau duduk sebentar di pantry sambil minum teh manis hangat.

"Mbak Fani, kopi buat ruang delapan, ocha buat ruang lima, kan?" tanya Ida saat melihatku masuk ke dalam pantry?

"He? Salaah! Kebaliiik! Udah dianter ya?" tanyaku panik.

Kesalahan kecil seperti ini bisa jadi masalah besar bagi para Jepang-Jepang itu. Aku sudah pernah beberapa kali melakukannya dan kena teguran langsung dari mereka. Menurut mereka sungguh tidak sopan karena tidak mendengarkan apa pesanan minuman mereka.

"Yaah...Udah dianter Yuli...," kata Ida dengan polosnya.

Aduuh...tampaknya aku harus kembali lari-larian mengejar Yuli ke dalam lagi. Aku segera berlari menyusul Yuli. Mudah-mudahan masih sempat.

"Yulii! Ocha buat ruang delapan! Jangan kebalik!" kataku setengah berteriak melihat Yuli sedang berdiri di depan ruang meeting delapan memegang baki penuh dengan minuman.

"Oooh...kebalik ya? Untung aja, belum sempet ditaro, Mbak," kata Yuli.

Aku menghela nafas lega. Selamaaat...

Aku kembali lagi berjalan menuju pantry. Kutelpon Onis dari pantry.

"Nis, gue di pantry. Capek gue bolak-balik. Mau minum teh dulu ah..." kataku padanya.

"OK..." jawabnya singkat.

Setengah jam lebih aku duduk-duduk di pantry. Aku tidak khawatir Onis akan marah padaku. Kami sudah biasa begitu. Kalau dia mendadak sibuk lagi di lobi, dia pasti akan menelponku ke pantry. Tapi kelihatannya Onis memang lagi senang sendiri belakangan ini. Jadi aku juga tidak mau mengganggunya, kecuali kalau urusan pekerjaan.

Kriing! Telpon pantry berbunyi mengejutkan aku yang sedang memejamkan mata sambil bersender di kursi. Yuli mengangkatnya.

"Ya, mbak.." katanya lalu menutup telpon itu.

"Mbak Fani, disuruh ke depan sama mbak Onis," kata Yuli padaku.

"OK," jawabku sambil meregangkan tubuhku dengan malas.

Onis memandangku dengan pandangan khawatir begitu aku sampai di lobi..

"Kenapa?" tanyaku bingung melihat raut wajahnya yang aneh itu.

"Syasya nelpon lo barusan. Lo disuruh ke ruang Fujiyama san sekarang," katanya dengan nada khawatir.

Aku jadi ikut-ikutan bingung sekarang. Ada apa GM memanggilku? Apa aku buat kesalahan? Tapi apa? Mendadak kelakuan jelekku muncul lagi. Ketakutan tanpa alasan yang jelas. Duh, benar-benar mental bawahan, batinku dalam hati mengutuki kelakuanku.

Sampai di dalam aku menghampiri meja Syasya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruang Fujiyama san.

"Ada apa ya, Sya?" tanyaku bingung berusaha mendapat sedikit informasi darinya.

Syasya hanya menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan sekarang.

"Eh, Fan...di dalem ada Dian. Aku nggak tau dia mau ngapain, yang pasti dia bawa-bawa kertas ke dalam tadi. Nggak lama Fujiyama san nyuruh aku manggil kamu," kata Syasya sebelum aku mengetuk pintu ruangan Fujiyama san.

Nahloo? Ada apa lagi ini? Pikiranku tambah kalut. Apa Dian sedang melakukan upaya balas dendam ke aku? Tapi apa yang bisa dia katakan kepada Fujiyama san? Aku pacaran dengan Tanabe san? Apa dengan alasan begitu saja Fujiyama san akan memecatku? Rasanya tidak. Jadi kenapa nih?

"Selamat sore, Fujiyama san," sapaku ketika masuk ke ruangannya.

Dian tampak sedang duduk tenang di depan Fujiyama san. Dia melihatku dengan pandangan sinis dan sedikit senyum tersungging di ujung bibirnya.

"Fani san, silahkan duduk. Saya perlu penjelasan tentang ini," kata Fujiyama san langsung tanpa basa-basi sambil menyerahkan selembar kertas print out sebuah e-mail kepadaku.

Kuambil kertas itu dan segera membacanya. Seketika jantungku seperti berhenti. Tanganku bergetar tidak karuan. Untuk sesaat aku berpikir aku akan pingsan. Tapi ternyata aku cukup bisa menguasai diriku. Dan sekarang satu-satunya yang ingin aku lakukan adalah mencekik leher Onis!

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG

Resep Si Onis : Caught In The Act (Part 26)

  No comments    
categories: 
CAUGHT IN THE ACT

Gathering yang katanya akan berkesan itu ternyata tidak seindah yang direncanakan. Bagaimana mau berkesan kalau sebagian staff pribumi justru memilih untuk tidur lebih cepat karena berharap besok pagi bisa mengejar belanja baju di Factory Oultlet yang tersebar seantero Bandung sebelum pulang lagi ke Jakarta. Sedangkan para Jepang, tidak sampai dua jam check-in mereka sudah menghilang dengan sopir masing-masing, rendezvous entah ke mana. Ada yang pergi karaoke, ada yang pergi golf, ada yang check-in ke hotel lain yang lebih berkelas. Berkesan untuk siapa?

Siang tadi aku dan Tanabe san berpisah di Warung Lela. Aku berkeras tidak mau ikut dengannya. Kutelpon Pak Bambang untuk menjemput bosnya itu. Tanabe san diam saja tidak bereaksi. Aku tidak bisa membaca apa yang dirasakannya sampai saat ini, setelah ucapanku yang mungkin mengecewakannya itu. Aku belum mau memikirkannya.

Malam ini aku dan Andi memutuskan untuk berenang di kolam air hangat di hotel. Mumpung gratisan. Sedang asyik ngobrol sambil menikmati hangatnya air kolam, tiba-tiba handphoneku yang kuletakkan di meja berbunyi. Aku segera naik dan melihat nomor Deni di handphoneku. Mau apa lagi sih ni orang, pikirku dalam hati.

"Hai, Fan. Lagi di Bandung kan? Bisa ketemuan, nggak ?" suara Deni terdengar dari seberang sana.

My God, apa dia sedang mencari-cari Onis? Aku benar-benar kelimpungan mau menjawab apa.

"Fan ? Dengar, nggak ? Aku lagi di Bandung juga, nih," suara Deni terdengar lagi.

Mampus aku ! Aku mau bilang apa sama dia kalau dia tanya Onis ada di mana ?

"Aduh, Den, sori ya, acara kita padat banget. Kayanya gue nggak akan bisa keluar malam ini. Kenapa lo nggak telepon Onis aja langsung ? Lagian emangnya lo tau gue nginep di mana?" tanyaku khawatir. Nggak mungkin Onis yang kasih tahu dia.

"He he he...gue telpon ke kantor tadi pagi. Untung hari Sabtu, bapak-bapak yang jaga mailroom di kantor lo masuk, ya ? Itu lho, pak Ganda. Dia yang kasih tahu hotel tempat kalian menginap," jawab Deni santai.

Thank's banget, nih, pak Ganda, ujarku mangkel dalam hati. Sebenarnya kasihan juga beliau, sudah nggak bisa ikut jalan-jalan, harus masuk kerja, masih kena sumpah serapahku pula. Salahku juga tidak meninggalkan pesan apa-apa ke pak Ganda. Tapi siapa yang sangka kalau orang ini akan melakukan hal sampai sejauh ini demi menyelidiki pacarnya ?

"Yah, terserah, deh !" akhirnya aku cuma bisa pasrah. Sori, Nis, kalau sampai aku keceplosan jangan salahin aku, ya ? Aku benar-benar tidak prepare untuk menutupi aksinya sampai sejauh ini. Whatever happen, happenlah !

"Gue ke meja lo ya sekarang ? "

Aku seperti tersambar petir mendengar ucapannya. Dan sekilas dari seberang kolam aku melihat seorang pria melambaikan tangannya kepadaku sambil satu tangannya masih memegang handphone. Lututku lemas seketika. Aku terduduk di kursi sambil tetap menempelkan telepon di telingaku. Andi terheran-heran melihatku. Duh, kenapa aku nggak sadar ya kalau laki-laki itu adalah Deni? Cahaya di sekeliling kolam renang ini memang temaram sekali. Lagipula aku tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar kolam renang. Aku dan Andi sedang asyik berendam sambil ngobrol dan memejamkan mata di pinggiran kolam renang dari tadi.

"Fan, kenapa lo ? Telpon dari sia..." pertanyaan Andi menggantung sampai di situ, karena dia juga sedang terheran-heran melihat Deni sedang berjalan menuju ke arahku.

"Oh, my God !" Kudengar Andi berujar pelan sambil segera naik dari kolam dan menyambar handuknya. "Cabuut ! Good luck, girl!" bisik Andi dan segera meninggalkanku dengan tidak bertanggung jawab. Kuya!

"Hai, Den !" sapa Andi sambil berlalu dari situ.

"Hai, Ndi...lho, kok udahan?" tanya Deni pada Andi.

"Udah ah, udah kelamaan...Ntar gue mateng lagi. Hehehe..." jawab Andi asal sambil berlalu.

Deni melihat ke arahku yang masih berdiri di samping meja.

"Sori, Fan. Gue ngagetin lo kaya gini. Gue kesini sebenernya bukan mau gangguin lo," kata Deni sambil duduk di kursi tempat aku taruh handukku.

Aku rikuh juga ngobrol sama cowok masih pakai baju renang begini. Heleeep!!! Tapi Deny sepertinya mengerti dan mengulurkan handukku ke arahku. Cepat aku sambar handuk itu dan seketika menyesali kenapa aku bawa handuk kecil banget!

"Trus lo mau ngapain ke sini?" tanyaku agak ketus. Aku benar-benar tidak suka kecolongan seperti ini. Dan aku benar-benar dibuat malu karena ketahuan berbohong tadi. Apa dia mau aku cerita Onis ada di mana? Sejujurnya aku memang tidak tahu ada di hotel mana Onis saat ini, jadi rasanya percuma dia datang padaku untuk mencari tahu. Tapi mungkin dia beranggapan lain.

"Gue udah tau Anis di mana, Fan. Gue udah tau dia sama cowok bule di sini. Gue mau selesaikan aja urusan gue sama Anis, tapi nanti kalau udah pulang dari Bandung. Gue udah capek ngadepin kelakuannya dia. Gue tau kelakuannya di kantor selama ini, gue nggak bego, Fan. Kalau gue diem selama ini, itu karena gue gak mau kehilangan dia. Gue masih sayang banget sama dia. Tapi dia kayanya udah gak peduli lagi sama gue. Mungkin buat dia bantuan dari gue kurang, makanya dia harus cari dengan cara kayak gitu. Kalau emang Anis mau udahan sama gue, kayaknya gue emang nggak bisa maksain..." jelasnya padaku.

"Ya, bagus dong kalo gitu...Soalnya Onis bilang, lo tuh suka maksain mau lo ke dia, karena lo udah banyak bantu keluarganya. Intinya lo itu egois dan posesif, kata Onis lho..." kataku berani.

Deni tampak menghela nafas mendengar ucapan pedasku barusan. Dia tidak menampik dan tidak juga mengiyakan. Dia cuma mengangguk-anggukkan kepalanya sesaat.

"Mungkin emang gue gitu ya, Fan. Setelah beberapa hari ini gue mulai sadar kalau Anis itu udah bener-bener gak ada rasa lagi sama gue. Tiap hari gue berantem melulu sama dia. Sekarang ini gue cuma kasihan sama bokap dan adeknya. Tapi sebelum dia berangkat ke Bandung kemaren gue berantem besar sama dia, dan dia bilang kalau dia udah gak butuh bantuan dari gue lagi. Dia bilang dia sanggup biayain keluarganya dan nyekolahin Dion, adeknya. Gini-gini, harga diri gue terhina juga Fan denger ucapannya itu. Ya udah. Kalau emang harus begini, gue gak bisa ngapa-ngapain lagi," katanya panjang.

"Trus...? Lo ngapain di sini?" tanyaku bingung.

"Gue ada janji sama temen gue tadi. Baru kenal sih tadi di Dago. Katanya dia nginep di sini juga..." katanya.

"Oooh..." aku manggut-manggut. Kirain mau cari ribut lo, kataku dalam hati dengan lega.

"Hai, Den..." sapa sebuah suara yang sangat kukenal dari balik punggung Deni.

"Oh, hai...Fan, kenalin nih, temen baru yang gue ceritain tadi," kata Deni memperkenalkan aku dengan ‘teman barunya' itu.

Dian? Dian temen barunya Deni? Oalaah...kenapa nyangkutnya sama dia siiih? Aku masih duduk di tempatku tidak bereaksi. Aku masih takjub dengan kenyataan kalau Deni mampir ke hotel ini karena ingin bertemu dengan Dian, Singa kantor itu. Duh, Den...masa hampir lepas dari mulut macan, sekarang kamu malah mau masuk mulut singa sih, batinku dalam hati.

"Lho? Udah pada kenal, ya?" tanya Deni bingung melihat aku dan Dian saling menatap lama.

"Kamu udah kenal sama resepsionis kantor aku ini, Den?" tanya Dian dengan menekankan kata ‘resepsionis' dalam ucapannya itu.

"Oh, udah...Lho, jadi kamu juga kerja di Misako?" tanya Deni seperti orang tolol.

"Iya. Aku belum sempat cerita ya tadi kalau aku ke sini sama rombongan kantor. Aku atasannya dia..." kata Dian sambil menunjukku dengan hidungnya.

Congkak! Kataku mangkel dalam hati.

Deni manggut-manggut mendengar penjelasan Dian. Aku segera berbenah bersiap pergi dari hadapan mereka. Aku malas meladeni kelakuan tengilnya si Dian malam ini. Moodku sudah cukup hancur sejak siang tadi di Warung Lela. Kejadian ini sudah benar-benar merenggut kebahagiaanku untuk bisa kembali ke kota yang sangat aku sayangi ini. Brengsek!

"Gue ke kamar ya..." kataku entah pada siapa sambil berlalu dari hadapan mereka.

Baru lima langkah aku menjauh aku dengar Dian mengatakan sesuatu kepada Deni.

"Kok bisa kenal sama cewek kayak gitu, Den?"

"Kenapa emangnya Fani? Dia baik kok. Aku udah lama kenal sama dia..." masih kudengar suara Deni menjawab.

Langkahku terhenti mendengar perkataan Dian. Cewek kayak gitu? Cewek kayak gitu itu apa maksudnya? Aku berbalik dan berjalan kembali ke arah mereka berdua.

"Maksud lo apa?" tanyaku pada Dian dengan emosi.

Rasanya memang kepergianku ke Bandung ini akan menjadi sebuah cerita menyebalkan. Jauh dari yang kuharapkan. Udah tanggung, kataku dalam hati. Kalau mau ribut, ribut sekalian di sini.

"Lho? Denger ya? Gak maksud apa-apa sih, cuma heran aja, lo sama temen lo itu cepet banget ya dapet cowok di mana-mana. Hebat!" katanya sinis padaku.

Oh, you're so...so...Uugh, untuk sesaat aku kehilangan kata-kata karena begitu marah mendengar ucapannya. Tapi otakku bekerja cepat. Sinisme harus dilawan dengan ketenangan dan kekejaman yang dingin, kataku dalam hati. Aku tidak mau terpancing untuk ribut seperti orang tidak bersekolah. Cuih, jangan ngarep lo, umpatku padanya dalam hati.

Aku menyeringai penuh arti padanya. Deni masih berdiri di antara kami dengan bingung.

"Gue juga heran, sekalinya lo dapet kenalan, kok malah dapetnya pacarnya Onis ya? Dunia emang sempit atau pilihan lo yang terbatas?" kataku pedas dan berbalik pergi.

Aku tidak melihat lagi ke arah mereka. Aku melangkah tenang walaupun dalam hati aku khawatir juga kalau dia akan menyusulku dan mendorongku ke kolam renang dari arah belakang. Ternyata tidak ada reaksi apa-apa dari Dian. Kurasa dia tengah shock mendengar ucapanku barusan. Syukurin lo! Aku tertawa dalam hati sambil mencari-cari Andi karena tidak sabar untuk menceritakan ini padanya. Dia pasti bakal pingsan histeris mendengar kejadian ini. Hahaa....

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG