Turis Irit
Fani dan Ogi duduk berdua di depan kursi yang tersedia di depan Takashimaya itu. Siang yang terik di Singapura terpaksa mereka sambut dengan wajah terbuka. Ogi menyesali dirinya yang tidak ingat untuk membawa topi Billabong kebanggaannya itu. Sebuah kamera digital tergenggam di tangannya.
“Ayo, Fan…Foto-foto lagi,” ajaknya pada Fani.
“Ogah ah! Dari tadi foto-foto melulu, kayak turis,” tolak Fani malas sambil berkipas dengan majalah di tangannya.
“Lah, kan emang kita turis. Hahaha…,” canda Ogi.
Mau tidak mau Fani tertawa mendengarnya. Sebelum berangkat tadi mereka memang sempat berniat untuk berfoto di depan semua mall yang ada di sepanjang jalan Orchard yang terkenal itu. Tapi entah mengapa, keinginan itu langsung menguap begitu mereka sampai di sana.
“Banyak banget orang Jakarta ya di sini,” kata Fani ketika mereka sampai di Orchard.
Dari tadi orang lalu lalang dekat mereka semuanya berbicara dengan bahasa Indonesia.
“Gue jadi gak berasa ada di Singapur nih, Gi. Rasanya lagi ada di Blok M. Hahahaa…,” kata Fani lagi.
“Hihihi…iya yah…,” kata Ogi menyetujui.
“Udah ah, gak usah foto-foto. Tengsin. Banyak orang Indonesianya,” kata Fani akhirnya.
“Yaaa…foto doong. Buat kenang-kenangan,” bujuk Ogi kecewa.
Niatnya dalam hati ingin sebanyak mungkin memiliki dokumentasi gambar dengan Fani nyaris pupus.
“Lo aja sini gue fotoin,” kata Fani.
“Berdua dong, gimana sih lo,” Ogi masih berusaha membujuk.
“Ya udah, foto di sini aja,” kata Fani akhirnya sambil duduk di kursi yang sekarang tengah didudukinya itu.
Ogi tidak mau melewatkan kesempatan. Segera diarahkannya kamera ke arah Fani. Beberapa kali diambilnya gambar. Fani malas tersenyum di tengah panas terik itu. Dia hanya memalingkan wajahnya sambil melihat-lihat sekelilingnya.
“Orchard gak menarik nih, Gi,” kata Fani akhirnya.
“Iya yah…Cuma ada mall doang. Apalagi gak punya duit gini,” ujar Ogi sepakat.
“Cari tempat lain yang lebih menarik yok!” ajak Fani kemudian.
Ogi segera membuka peta Singapura yang diambilnya di bandara Changi ketika mereka baru sampai minggu lalu. Rute MRT adalah panduan paling penting baginya. Mau kemanapun yang penting dilalui oleh MRT maka semuanya akan lancar. Transportasi massa satu ini memang sebuah keajaiban indah yang mereka dapatkan di Singapura. Nyaman, bersih, murah dan mencapai banyak tempat. Setelah hampir setahun harus puas dengan angkot-angkot hijau di Bandung yang doyan ngetem itu, Fani, Ogi dan Lana mendapati diri mereka begitu kecanduan untuk naik MRT. Bagi mereka tidak terlalu penting ke mana tujuannya, yang penting bisa berlama-lama di atas MRT itu, itu sudah sebuah rekreasi yang menyenangkan.
“Ke sini aja, yok,” kata Ogi sambil menunjuk ke sebuah lokasi di peta.
“Clarke Quay..Hmm, di pinggir sungai Singapur. Wah, kayanya asyik tuh. Paling nggak mudah-mudahan rada ademan di sana,” kata Fani sambil ikut mengamati peta di tangan Ogi.
“Iya, lagian ini juga tujuan wisata di sini. Mudah-mudahan orang Indonesianya nggak sebanyak di sini. Hehehe…,” Ogi terkekeh sendiri mendengar ucapannya.
Fani hanya meringis sambil mengangguk setuju. Tapi sejurus kemudian dia terdiam seperti teringat sesuatu.
“Yah, Gi…Tapi kita kan janjian sama Lana di sini,” kata Fani teringat akan janjinya dengan Lana.
“Ya, terserah. Mau nungguin dia di sini sampe jam empat? Sekarang baru jam satu lho!” kata Ogi sambil melihat jam tangan di tangan kanannya.
“Iya, ya…Bisa mateng kita nungguin dia di sini. Ya udah, cabut aja deh! Ntar jam tiga-an kita balik lagi ke sini. Atau kalau udah sampe sana, kita coba telpon ke hotel deh, nitip pesen buat dia,” kata Fani akhirnya.
Sepasang remaja itu kemudian berjalan bersama. Sesekali Ogi mengarahkan kameranya ke arah Fani yang tengah berjalan di sampingnya. Fani dengan sebal berusaha menepis kamera itu beberapa kali. Ogi tertawa-tawa melihat temannya itu tidak mau diambil gambar olehnya. Dasar cewek, suka malu-malu kucing, kata Ogi dalam hati.
Tidak lama kemudian mereka sudah duduk di dalam MRT. Tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di tujuan. Benar saja, Clarke Quay lebih bersahabat. Dan Fani harus mengakui, dia jatuh cinta pada pandangan pertama begitu kakinya menginjak pinggiran sungai Singapura itu. Pemandangan indah, gedung-gedung pencakar langit di sekeliling, café-café di sepanjang pinggiran sungai, air sungai yang bersih, kapal-kapal wisata yang menarik. Semuanya begitu menyatu dan mengasyikkan di mata Fani. Untuk sesaat Fani terdiam di pinggir sungai itu. Dia duduk di sebuah kursi batu yang tersedia bagi pengunjung. Matanya menatap kapal wisata merah yang sedang berjalan lambat melewati mereka. Sunglassnya masih terpasang di wajahnya.
Diam-diam Ogi mengambil gambar itu. Fani yang tengah termangu menatap sungai dengan silau sinar matahari dari arah samping wajahnya. Tiba-tiba Ogi seperti lupa untuk menekan tombol saat dilihatnya wajah Fani dalam layar kecil kameranya itu.
Astaga, dia memang cantik, ujar Ogi dalam hati. Sesaat dia seperti terpaku melihat kameranya itu. Fani seperti tersadar dan segera melambaikan tangannya ke arah Ogi tanda ia tidak mau difoto.
“Udah ah! Ngapain sih foto-foto melulu,” katanya pada Ogi.
Sialan! Lewat deh momennya, maki Ogi dalam hati urung mengambil gambar Fani.
“Duduk di sini aja, ya?” kata Fani meminta persetujuan Ogi.
“Mmm…gak mau duduk di café itu?” tanya Ogi sambil menunjuk ke sebuah café mungil dekat mereka.
Ada beberapa kursi dengan tenda berwarna hijau di teras café itu, Persis di samping sungai. Kelihatannya sangat nyaman dan keren. Seperti café-café di Prancis atau Italia di pandangan Ogi.
“Bweeh, mau minum apaan di sana? Kopi harga lima belas dolar?” kata Fani sambil meledek Ogi.
Ogi tertawa mendengar kalimat Fani itu. Dia harus mengakui kalau Fani benar. Saat ini adalah saat prihatin. Mereka belum menerima gaji. Uang yang ada di kantong mereka masih merupakan uang bekal dari orang tua masing-masing. Dan itu harus mereka hemat, paling tidak sampai bulan depan mereka menerima gaji pertama.
“Excuse me! You both look perfect on that spot! Can I take your picture?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mereka dengan sebuah pertanyaan.
Fani dan Ogi serentak menoleh ke arah asal suara itu. Seorang lelaki tua berambut pirang dengan kamera berlensa super besar tengah berdiri di hadapan mereka sambil melemparkan sebuah senyum.
“Mmm..OK…,” kata Ogi tanpa berpikir.
Fani menyikut rusuk Ogi. Dia masih belum yakin dengan maksud pertanyaan bule itu.
“Ahaha…thank you…Don’t worry, I just think you two look like a cute couple on a perfect spot, the river view and the sunlight is just perfect. I’m a professional fotographer. But I won’t sell your picture, I just want to keep it for my private collection, if you don’t mind,” bule itu seperti mengerti dengan keraguan Fani.
“Oh, OK then, but we’re not couple, we’re just friends…,” Fani berusaha menjelaskan status mereka berdua pada lelaki itu.
“Oh, sorry…I thought..well, never mind…,” ucap si bule itu lagi.
Pria tua itu lantas meminta mereka untuk mendekat dan saling melingkarkan tangan di pinggang. Dia meminta Ogi untuk memandang ke arah Fani dan Fani diminta untuk menatap sungai di sampingnya. Laki-laki itu memang benar-benar seorang fotografer dan pengarah gaya profesional sepertinya. Dia tahu sekali bagaimana mengatur pose yang pas untuk mereka berdua.
Ogi menatap Fani dalam jarak hanya lima senti dari wajahnya. Luar biasa rasanya, ujar Ogi dalam hati. Aku benar-benar beruntung bisa melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menatapnya dalam jarak sedekat ini tanpa harus menerima protes darinya, Ogi tak henti-hentinya bersyukur atas rejeki nomplok itu.
“OK! Thank you so much!” ucap si bule itu kemudian sambil mengulurkan tangannya kepada Fani dan Ogi.
Mereka menyambut jabat tangan hangat itu sambil tersenyum. Lelaki itu kemudian berjalan meninggalkan mereka. Seperti teringat sesuatu, tiba-tiba Ogi berlari menyusul lelaki itu.
“Excuse me, can you e-mail me the picture later?” Pintanya pada lelaki itu.
Bergegas Ogi mengambil pulpen dan kertas dari tas kecil yang dibawanya. Dia menuliskan sesuatu di situ dan menyerahkannya pada lelaki bule itu. Si bule menerima kertas itu dan tersenyum kembali pada mereka berdua. Ogi kembali menghampiri Fani.
Fani dan Ogi saling menatap sesaat lalu kemudian tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. Rasanya siang menjelang sore di tepi sungai Singapura itu memang terasa membahagiakan. Entah bagaimana caranya, yang jelas mereka merasakannya.
***
BERSAMBUNG
Image from www.fileguru.com/Free-Disney-Cartoons-Screensaver/screenshot
"Banyak banget orang Jakarta ya" Wakakakaaka.. bener banget tuh, hihihihihiii... Singapura, khususnya Orchard itu udah kayak jalan2 di Jakarta, Surabaya atau Medan (kayaknya masyarakat Indonesia dari 3 kota itu deh yg memonopoli)
BalasHapusAww.... suwit suwiiit... Cinta mulai bersemiiii.... Cupid-nya ternyata sang fotografer ituh!
BalasHapusHohoho.. Ogii.. ke mana ajee.. kok baru ngeh kalo Fani cantikss?!
BalasHapus*toeng*
Windaa.. ditunggu lanjutannyaa ^o^
Ge : hahahahaaa....emang gak berasa di luar negeri kalau ke singapura sama malaysia ya? hihihihi...
BalasHapusIndah : biasanya kalau jauuuh dari keseharian yang sudah biasa dihadapi, baru kita ngeh sama sesuatu yg sebelumnya gak keliatan kan, ndah? tuing!