ABOUT ME

Selasa, 14 Desember 2010

Kicau Caur


Pagi ini gw dapat sebuah pelajaran baru sehubungan kebiasaan gw yang suka ceplas-ceplos gak pake mikir. Duh, untung orangnya gak marah. Hiks...jadi mau malu mambu deh...oaaaa!!

Berawal dari sebuah twit yang nongol di TL gw. Isinya promo sebuah cerita pendek dengan judul Merah. Karena baru semalam gw baca sebuah cerpen dengan judul yang sama dan ditulis oleh temen sendiri, Vira Cla, gw langsung berasumsi itu memang cerpen dia yang dimuat di blog yang dimaksud.

Meluncur, dan benar. Itu memang cerita yang sama seperti yang gw baca semalam. Tapi kok, tapi kok, nama penulisnya beda? Waduh? Nggak tau kenapa yang kepikiran saat itu juga ada yang copas tulisannya Vira nih!

Gw langsung kontak Vira via FB untuk nanya, itu sebenernya cerpen punya siapa. Karena emang plek-plekan asli sama semua. Gak lama kemudian gw liat di TL Vira nanya ke moderatornya blog itu, sambil sedikit marah. Wajar aja, itu cerita punya dia, kok diatasnamakan orang lain. Merasa kesetiakawanan gw terpanggil, gw ikutan nge-reply twit si Vira yang di dalamnya juga ada nama si penulis yang namanya tercantum di blog itu.

Berikut isi kicauan gw:

@veecla @jemarimenari @jejakubikel yap! aku baca di note kamu vir..gila, copas gak pake ampun...ckckckckck

Twitt si penulis itu @jemarimenari. Gak lama kemudian @jemarimenari reply:

Ehbuset apa nih? Momod! RT @fadhilsafina: @veecla jemarimenari @jejakubikel yap! aku baca di note kamu vir..gila, copas gak pake ampun...

Lalu, lalu..si momod @jejakubikel menulis ini:

@jemarimenari @fadhilsafina @veecla @jejakubikel salah Nulis nama penulisnya aja.. :)

Eaaaa!!!! Dong dong tuing gak tuh? Walaupun gw sempet juga teriak ke si momod itu dan bilang:

@jejakubikel @veecla @jemarimenari astagaaa....fataaal...maaf juga ya buat @jemarimenari :)

Kesalahan seperti itu kan emang fatal banget di dunia tulis-menulis. Cuma masalahnya adalah gw langsung nuduh @jemarimenari udah copas tulisannya Vira (@veecla). Bukannya periksa-periksa dulu ada apa gerangan yang terjadi. Hiks! Merasa nggak enak banget sama @jemarimenari, gw merasa harus bikin twitt sendiri untuk minta maaf secara langsung ke orangnya:

@jemarimenari sekali lagi minta maaf karena udah esmosi, soalnya sesek napas aja kalo liat tulisan kita tapi diatasnamakan org lain...piss?

Dan si @jemarimenari yang manis dan lagi cantik juga tidak sombong itu (hahahaha, gw usaha banget nih biar beliau memaafkan gw luar dalam, sumpah nyesel!) pun membalas dengan santainya:

@fadhilsafina iya gpp, santaai hehe. Lain kali ditanya dulu aja, kdg2 ada org yg emosian, bisa ngamuk kalo tembak langsung gitu ((:

Ahak, ahak, ahak...aku tertohok! Eh, harusnya ohok, ohok, ohok. Uaaaa, dia bener banget! Untung ketemunya sama @jemarimenari yang santai, kalau pas yang gw ceplosin plagiat itu orangnya sangar dan pas lagi PMS? Mendingan gw matiin aja deh akun twitter gw. Huhuhuuu, tatuuuut....

Trus gw bilang ke dia:

@jemarimenari iiih bener banget...gw rasa gara2 gw belum mandi nih jadi mikirnya langsung negatif aja.. #carikambingitem hiks

Nyahahahaaa, dan @jemarimenari pun tertawa. Hahahaa, lega hatikuuu...

So, the lesson for today :
1. Jangan twitteran sebelum mandi dan gosok gigi.
2. Liat-liat dulu sebelum berkicau, apalagi nuduh.
3. Minta maaf secara langsung, kalau perlu bikin postingan khusus kayak gini di blog lo biar lo dimaafin dengan sempurna.
4. Minum aer putih yang banyak, biar tengsinnya cepet ilang pas sekalian beser. Sumpah, masih berasa banget nih malunya!

Kalo Indra Herlambang bilang Twitter itu Kicau Kacau, maka yang terjadi sama gw tadi pagi adalah Kicau Caur. Ampuun dijeeeh, gak lagi-lagi dah!

(Image from www.foolzparadize.org)

Sabtu, 13 November 2010

Pengalaman Menulisku: Spongebob Guru Kreatifitasku (#6)


“Are ‘ya ready, kids?”

“Ay ay, captain!”

“I can’t hear you!”

“AY AY, CAPTAIN!”

“Ooo, who lives in the pineapple under the sea?”

“Spongebob Squarepants!”

Sepenggal lirik lagu di atas tentu sudah sangat akrab bagi para anak-anak dan orang tua yang masih memiliki anak usia balita seperti saya. Saya sendiri, walaupun usia sudah tak terbilang imut, sangat menyukai film seri animasi tersebut.

Bercerita tentang sebuah (seorang?) sponge berwarna kuning dan bercelana kotak yang bernama Spongebob Squarepants. Tinggal dalam sebuah nanas di dasar laut. Bekerja sebagai juru masak di restoran milik Tuan Krab dan memiliki sahabat yang ‘lemot’ yaitu seekor bintang laut berwarna pink, Patrick.

Ah, rasanya akan panjang kalau saya ceritakan sejarah hidup Spongebob di sini. Lagipula bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya ingin berbagi sebuah ‘lightning strike’ yang tiba-tiba saja menyambar saya saat saya sedang menemani anak-anak saya menonton film seri tersebut.

Begitu seringnya saya menonton, saya sampai hampir hafal dengan semua kisah dalam tiap episode-nya. Tema yang paling sering diangkat dalam tiap episode film Spongebob itu antara lain adalah kisah Mr. Plankton, saingan bisnis Mr. Krab, yang selalu penasaran ingin mencuri resep rahasia Krabby Patty, menu andalan di restoran tempat Spongebob bekerja.

Di satu episode dikisahkan Mr. Krab memerintahkan Spongebob untuk menjadi mata-mata. Menyelidiki apa rencana terbaru Mr. Plankton untuk merebut resep rahasia miliknya. Maklum, Mr. Krab terkenal sangat paranoid dan juga pelit. Wkwkwkwk…

Lalu di episode lainnya diceritakan bagaimana Mr. Plankton berusaha membujuk Spongebob untuk pindah bekerja di restorannya Chum Bucket agar ia dapat mengorek rahasia Krabby Patty lebih mudah.

Kemudian ada juga satu episode yang menceritakan bagaimana Mr. Plankton yang sudah putus asa masuk menerobos ke dalam restoran Mr. Krab untuk merebut sebuah Krabby Patty. Krabby patty itu akan diteliti di lab miliknya untuk ditemukan apa resep rahasia yang terkandung di dalamnya.

Saya tak habis pikir, bagaimana kreatifnya para penulis kisah Spongebob dan kawan-kawannya ini. Hanya berangkat dari satu ide, bisa bermunculan beragam kisah yang menarik dan juga lucu. Dari sana saya berkesimpulan, ide untuk membuat sebuah cerita tak harus kompleks atau banyak. Yang paling penting adalah bagaimana mengolah sebuah ide sederhana menjadi sebuah cerita menarik yang penuh intrik dan mengundang rasa penasaran.

Saya jadi mencoba mengingat-ingat tahapan-tahapan menulis sebuah cerita yang selama ini saya jalani. Seringkali pada saat saya ingin memulai menulis sebuah kisah, ide adalah yang paling membuat tersendat. Awalnya ide yang saya punya sangat sederhana, lalu langsung saja saya berpikir, “Ah, simple banget sih? Basi…”. Lalu akhirnya saya harus berpikir ulang untuk menulis cerita berdasarkan ide ‘basi’ tersebut tanpa saya mencobanya mengolah terlebih dahulu. Lalu saya lanjutkan dengan mencari-cari lagi sebuah ide baru yang lebih ‘canggih’ menurut pemikiran saya. Ujung-ujungnya jadi ribet sendiri. Soalnya kapasitas otak saya jelas tidak seperti Dan Brown dengan Da Vinci Code-nya itu. Hehehe…ini namanya sotoy! Wkwkwkwk…

Spongebob menyadarkan saya hari ini. Sebuah ide tak harus brillian atau kompleks sehingga terdengar canggih dan bombastis. Pada akhirnya, sekeren apapun ide yang ingin kita tulis, kalau pada saat eksekusi menulis kisahnya tetap melempem, ya percuma saja. Lebih baik mengolah ide sederhana dengan jalan cerita yang dibuat semenarik mungkin. Kreatifitas dalam berpikir ditambah rajin mencari sumber atau bahasa kerennya riset nantinya yang akan membuat ide sederhana itu menjelma menjadi sebuah cerita menarik dan tidak sederhana.

Terima kasih untuk Spongebob. Hari ini saya tahu, ide sesederhana apapun itu bisa saya ‘mainkan’ dengan cerdik untuk menjadi sebuah kisah yang menarik. Dan sedikit tambahan, menurut saya pribadi, kreatifitas bukanlah bakat melainkan ketrampilan yang dapat dilatih. Jadi jangan malas melatih cara berpikir yang ‘out of the box’. Bisa karena biasa. Percaya deh!


image from www.ezthemes.ezthemes.com

Rabu, 10 November 2010

Oh, Om Bama... Aku Padamu Tadi Pagi...

"I'm not a fan, but I have to admit that he is one hell of a public speaker!" (My status on FB this morning)

Indeed, he is! Siapa lagi yang lagi aku bicarakan kalau bukan si Mr. President yang baru saja selesai berkunjung ke Indonesia dengan meninggalkan keruwetan-keruwetan di setelahnya. Tuan Presiden dari Amerika yang hanya hadir kurang dari 24 jam di ibukota tapi sempat bikin semua orang ribet, nggak cuma panitia istana tapi juga semua penduduk Jakarta. Hahahaa... Om Barry emang gak ada duanya, deh! Harus mengakui, kayanya.

Aku ingat pertama kali kenal sosoknya waktu nonton acara Oprah Show sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Saat itu Obama masih menjadi senator di parlemen Amerika. Oprah benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada laki-laki manis berkulit hitam ini. Senyum Jeng Oprah selalu terkembang sepanjang percakapan. Matanya tidak lepas-lepas menatap wajah ramah dan selalu dihiasi senyum itu. Aku sendiri waktu itu sempat merasa, mmm...lumayan muda ya untuk seorang senator. Secara selama ini suka lihat di tivi, senator itu kebanyakan kulit putih dan kepala botak. Wkwkwkwk....

Tapi begitu dia buka mulut dan bersuara, aku langsung seperti terhipnotis. Tidak sedetikpun aku bisa mengalihkan pandangan dan perhatian dari layar kaca waktu itu. Suaranya, intonasinya, gesturnya...semuanya bersatu membentuk sebuah image yang benar-benar membius perhatian. Sumpah, ini mah nggak lebay kayanya! Banyak juga yang mengakui hal ini. Ya kan? Ya kan? :)

Sebenarnya sebulan sebelum aku melihatnya di Oprah Show, aku sempat mendapat telepon dari adikku yang sedang menyelesaikan study-nya di Oklahoma, AS dan bercerita sekilas tentang Obama. Waktu itu adikku bilang, "Ada senator yang lagi naik daun di sini. Namanya Barrack Obama. Banyak yang curiga dia muslim, karena namanya dan latar belakang masa kecilnya yang dulu pernah tinggal di Indonesia." Waw, waw, waktu itu aku hanya bisa terkesima...Seorang senator Amerika pernah tinggal di Indonesia? Keren juga! Walaupun entah di mana ketak kekerenannya itu, tapi saat itu harus aku akui kalau sedikitnya nasionalisme-ku yang nyaris hilang agak terangkat karenanya. Somehow...hehehe...

Back to Oprah Show. Walaupun tak sempat banyak dikisahkan tentang masa kecilnya di Jakarta, namun paling tidak dari sana aku bisa mendapat sedikit pencerahan dari pandangan-pandangannya. Obama bukan sosok yang asal bicara dan tidak ada aksi. Waktu masih menjadi seorang pejabat daerah, ia tidak segan-segan untuk turun langsung melihat keadaan lingkungannya. Bagiku itu sebuah nilai yang positif dan mutlak untuk menjadi seorang pemimpin. Setelah sekian lamanya muak dan makin muak dengan tingkah-tingkah pejabat di sini yang sibuk memperkaya diri sendiri, sosoknya bisa menginspirasi banyak pihak.

Berjalan dengan waktu, akhirnya aku sempat melantik diriku sendiri sebagai salah satu pengagumnya. Buku-buku yang berbicara tentang dirinya aku beli. Termasuk buku yang ditulisnya tentang sang ayah. Sebenarnya untuk sebuah perjalanan hidup, kisah hidupnya tentu tidak terlalu istimewa. Tapi ya itu tadi, sebuah benang tipis bernama Menteng selama 4 tahun, memang bisa menjadi magnet yang kuat untuk menarik rasa ingin tahu kita. Aku bukan hanya tertarik lagi, tapi nempel! Hahahaa...

Ketika putaran PEMILU AS berlangsung, aku adalah salah satu dari sekian juta rakyat Indonesia yang ikut dag dig dug ser menonton dari tivi dan berdoa semoga dia yang maju dan bukan Hillary. Dan ketika akhirnya dia lolos mewakili Demokrat, aku juga termasuk yang bersyukur karenanya. Sekali lagi, entah apa hubungannya dengan diriku dan dengan negara ini. Hanya saja, magnet anak Menteng itu memang begitu kuat menarik perhatianku.

Aku ikut terharu-biru seperti Jeng Oprah yang juga menonton pidato penasbihannya sebagai Presiden saat ia memenangkan PEMILU itu pada akhirnya. Oh, come on..Oprah aja bisa lebay gitu, apalagi gw! Wkwkwkwk...

Namun seiring dengan perjalanan kepresidenannya kemudian, kekaguman itu perlahan surut sedikit demi sedikit. Aku tahu, berharap sesuatu dari terpilihnya dia sebagai Presiden adalah sesuatu yang amat sangat absurd. Hellooo...desye Presiden Amrik bukan Indonesia, gitu! Memang mau mengharapkan apa dari dia? Tapi Mamaku sempat melontarkan sebuah ucapan pengharapan saat ia terpilih waktu itu. "Mudah-mudahan ijin ke Amerika bisa lebih gampang setelah dia terpilih!" Aku mengamininya. Maklum saja, kami masih punya saudara dekat yang tinggal di sana. Beberapa kali Mamaku dan adikku pergi ke sana, memang sulit sekali untuk mendapatkan visa. Berharap agar pintu Amerika bisa terbuka lebih lebar untuk warga Indonesia agar bisa berkunjung ke sana, aku kira tidak terlalu absurd pada akhirnya.

Tapi kemudian, Obama adalah Obama, dan Presiden adalah Presiden. Dengan berbagai kepentingan dan taktik politik yang selalu harus dibawanya kemanapun dan apapaun langkah yang diambilnya. Ditambah aku bukanlah pengamat politik, apalagi sekelas politik Amerika. Sehingga pada akhirnya aku jadi sadar, tidak ada untungnya sedikitpun bagi rakyat Indonesia dia telah terpilih sebagai Presiden Amerika. Dan alangkah naifnya kalau memang kita sempat berharap akan ada perubahan itu untuk kita. Hahaha...siapa elu? Wkwkwkwk....

Jadi tinggallah Obama sebagai laki-laki kulit hitam yang manis dengan cara berbicara yang menarik hati dan pembawaan yang menghanyutkan. Itu saja sosok dia bagiku sekarang. Dinikmati saja sebatas mata memandang dari layar kaca. Sluurp...Wkwkwkwk...

Dan lagi-lagi pagi tadi aku kembali terhanyut mendengar buaian suaranya yang menggelitik dan intonasi suaranya yang tak pernah bisa membuatku bosan mendengarnya. Sepanjang kuliah umum yang diberikannya di UI tadi pagi, setiap kata yang meluncur dari mulutnya, semua kutangkap dan seolah menetap dalam telinga dan kepalaku. Kekuatannya yang satu ini tampaknya makin kuat. Ditambah lagi, entah mengapa aku merasa dia begitu tulus dalam menyampaikan pidatonya. Terutama saat dia berbicara tentang kenangan masa kecilnya di Jakarta. Semua keluar dari dalam hatinya. Ucapan yang keluar tanpa basa-basi dan kebohongan, untukku pribadi.

Dan sekali lagi, pagi tadi, aku kembali jatuh cinta padanya. Hanya kali ini, tidak separah yang pertama. Tak ada harapan-harapan, melainkan 'hanya' nilai-nilai positif yang bisa kuambil. Cara berbicara yang sangat membius perhatian dan gaya bicara yang sangat akrab dan intim. Tidak semua pemimpin dunia memilikinya, bahkan pemimpinku di negeri ini sekalipun. Yes, Mr. Obama...I'm not a fan anymore, but I have to admit that you are one hell of a public speaker! I guess our leaders should learn from you of how to speak through their hearts. Yiuuuk....

Minggu, 07 November 2010

Rubbish is Sampah


Rubbish is sampah. Begitu kira-kira terjemahan literaturnya. Akhir-akhir ini sampah lagi naik daun. Entah bagaimana caranya sampah bisa naik ke daun, yang jelas semua jadi bicara soal sampah atau bicara sampah.

Bicara soal sampah, ada event keren tadi di Istora. Judulnya Festival Green. Di sana terkumpul ide-ide dari seluruh dunia untuk menyelamatkan bumi dengan green campaign-nya. Kewl! Aku sendiri, jujur, masih minim banget berkontribusi dalam menyelamatkan bumi dari efek global warming itu. Hiks. Maaf ya. But for me, diapers are still crutial. Dan kantong plastik masih jadi tempat membuang sampah yang utama. Aku nggak tahu harus ganti kantong plastik pakai apa untuk buang sampah-sampah di rumahku. Kalau langsung dituang ke tempat sampah akan mengundang tikus dan binatang-binatang kotor lainnya. Any ideas, guys?

Tapi kalau pemakaian kertas aku udah mulai mengurangi. Nggak tahu kenapa, setiap mengambil satu helai kertas baru yang kosong yang terbayang ada satu pohon di hutan yang hilang. Kebayang waktu kemarin ngirim naskah ke lomba. 200 halaman kertas HVS dipakai untuk print naskah. Kayaknya penerbit-penerbit sekarang sudah saatnya untuk jangan males baca lewat e-mail deh. Kenapa harus hard copy kalau masih belum yakin juga untuk dicetak? Kalaupun akan dicetak jadi buku, toh prosesnya juga lewat komputer, bukan? Atau mau dong penerbit terima naskah yang di-print di kertas daur ulang. Yang belakangnya sudah terpakai. Bayangin aja, 200 kertas baru. Itu baru aku sendiri. Peserta lomba itu ada sekitar 300 orang. Hitung sendiri berapa lembar kertas baru yang dipakai. Sedangkan nantinya cuma akan ada lima naskah yang gol untuk dibukukan. Kemana sisa naskah yang tidak menang sebanyak 295 copy itu? Itu kertas-kertas...huaaa...ngilu.... :(

Aku bicara begini juga bukan berarti aku aktivis go-green atau semacamnya. Cuma kadang pengen juga bisa bebas dari segala plastik, kertas tissue, diapers secepatnya. Tapi suliiit...Kadang aku mikir, ini bukan salah aku sepenuhnya. Membela diri aja. Kemajuan jaman sudah menciptakan suatu kondisi tertentu yang membuat manusia jadi ketergantungan dengan benda-benda ciptaan pabrik yang tidak bisa di daur ulang. Memangnya jaman dulu aku pake diapers gitu? Nggak! Trus kenapa sekarang anak-anakku harus pakai? Itu dia...Kenapa? Dipakai karena ada. Coba nggak ada, mau makai diapers apa? Pasti tetap pakai popok kain seperti jaman dulu, kan? Jadi, bukan salahku sepenuhnya. Tapi salah si punya pabrik diapers. Hehehehe...Maaf, ini rada cetek emang. I know.. :P

Bicara soal sampah dan bicara sampah. Nah, ini beda! Waduh, sudah berapa minggu terakhir ini banyak banget aku ketemu tulisan-tulisan berisi curhat-curhat sampah di mana-mana. Mungkin ini juga termasuk curhat sampah. Ya, mau gimana? Seperti yang sudah aku bilang tadi, sampah lagi naik daun. Hihihihi...

Mulai dari orang-orang yang bicara nggak pakai hati. Pemimpin yang harusnya bisa menenangkan rakyatnya yang tengah ditimpa musibah dengan entengnya bisa bilang, musibah yang diterima rakyatnya itu resiko mereka sendiri. Dengan kata lain, ya hadapi aja, gak usah cengeng! Dude...Kemana hati lo?

Belum lagi curhat emosi cemburu seorang perempuan publik figur yang diumbar-umbar di ruang publik. Amat sangat tidak pantas, karena yang dia bicarakan adalah kekurangan suaminya sendiri, yang notabene juga publik figur. Duh, kemana mukamu, jeung?

Wah, belum juga dibersihin, sampah-sampah ini sudah bikin repot. Tapi intinya, lebih mudah membersihkan sampah yang sebenarnya dibandingkan membersihkan omongan sampah yang sudah kadung menyakiti hati orang lain. So, watch your tongue. Think before you speak. Put yourself in other's shoes, so you can have a reflection of what they're dealing. Berempati itu memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Hanya tinggal mengikutsertakan hati ke dalamnya, maka ia akan muncul dengan indahnya.
Selamat mengelola sampah anda. :)

(image from www.xdzombiez.edublogs.org)

Selasa, 12 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Ngeblog Ngurangin Goblog-ku (#5)

Hahahahaaa...Maaf, dibuka dengan ngakak. Aku nggak tahan sendiri baca judulnya. Sengaja ditambah dengan 'ku' di akhir kata goblog, karena takut nanti ada blogger yang tersinggung. Wkwkwkwk....

Aku mulai lagi menyakiti otakku dengan flash back kapan pertama kalinya aku berkenalan dengan blog. Ya Tuhan, ini sungguh menyiksa... Sebentar, aku minum teh manis hangat dulu. Glek! Glek! Melihat dari postingan-postingan awal di blog ini, sepertinya memang tahun 2008 aku mulai kenal dengan si blog ini. Sebab blog ini juga blog pertamaku dan sampai saat ini masih kusayang-sayang. Darimana ya dulu tahu ada blog? Hmmm, sepertinya dari adikku juga. Iya, dia memang amat sangat bersahabat sekali dengan teknologi internet. Suatu hari dia bilang sedang blogwalking waktu kami sedang chatting. Blogwalking? Ya ampun, plis dong, apa lagi itu? Mungkin karena dia gemes sendiri dengan ke-goblog-an kakaknya ini, akhirnya dia hanya memberikan sebuah link blog ketrampilan untuk kulihat-lihat. Waaawwww! Dunia langsung terasa terbuka lebar!

Ternyata bisa ya curhat-curhat ala hobi lamaku nulis diary itu di internet? Wah, kereeen! Tidak pake lama, langsung bikin satu blog, dan inilah dia sampai sekarang. Walaupun tampilan awal sungguh menyedihkan, akibat nggak ngerti gimana masukin foto, nggak ngerti gimana mengubah warna huruf dan lain sebagainya. Tetap saja semangat itu berkobar-kobar. Adrenalin terpacu. Keringat menetes. Nafas memburu. Duh, ini lagi ngapain sih? Hahahaaa...pokoknya semangat banget deh waktu bikin blog ini. Girang setengah mati karena menemukan satu tempat buat menyimpan cerita-ceritaku. Khawatir dibaca orang? Jujur, aku malah berharap ada yang baca. Entah kenapa, mungkin karena dulu udah biasa ngibul di diary dan merasakan kepuasan kalau Mamaku percaya dengan tulisanku, maka begitu aku bisa menulis di tempat umum seperti blog ini aku jadi tambah semangat. Semangat buat ngibulin orang. Hihihihi...Nggaklah. Maksudnya aku semangat sekali memikirkan ada yang akan membaca tulisanku secara tidak sengaja kalau dia sedang blogwalking. Waaah, rasanya gimanaaa gitu. Seperti ada sensasi baru yang menggelitik dalam diriku ketika memikirkannya. Hahahh, lebay...

Awal-awal nge-blog memang mengasyikkan. Tenggelam dalam dunia kesendirian. Gimana nggak sendiri? Lah, kayanya ini blog dulu nggak ada yang baca kecuali aku sendiri deh. Wkwkwkwk...Karena aku nggak bisa terlalu lama bersepi-sunyi sendiri, akhirnya aku bosan main-main di blog. Walaupun baca-baca blog orang lain tetap aku lakukan. Aku suka sekali membaca. Selama itu tidak menyinggung SARA, politik dan hukum, mari sini aku baca tulisanmu. Apalagi kalau cerita-cerita fiksi. Wuaah, hobiii! Berhubung harga buku di toko buku mahalnya setengah ampun, baca-baca di blog jadi pilihan alternatif bacaan yang murah meriah dan menyenagkan bagiku.

Banyak membaca karya-karya orang lain ternyata tanpa disadari agak memberi pengaruh juga pada gaya menulisku, walau mungkin sedikit. Maaf, bukan sombong, cuma memang aku merasa ada sedikit progress-lah setelah beberapa lama aku mulai nge-blog. Nge-blog dalam hal ini adalah menulis di blog dan membaca blog orang ya.

Syukurlah, ada yang bisa kupetik dari pengalaman main-main di blog ini. Selain membuat kurang tidur dan pinggang sakit juga akibat kelamaan duduk di depan komputer. Tapi nggak apa-apa kok. Semua bisa diatur.

Besok aku mau cerita tentang beberapa blog yang menginspirasiku ya. Dan mohon maaf, jangan terlalu berharap lebih dengan pilihan-pilihan blog-ku. Blog yang menurut aku inspiratif dan keren, mungkin buat kalian tidak ada apa-apanya. Hahaha, biarin aja! Namanya juga selera. :P

Senin, 11 Oktober 2010

Biar Indie Bukan Berarti Asalan, Kan?

Wow! Baru baca sebuah kabar gembira dan bikin 'iri' lagi. Dua teman blogger minggu lalu sudah menerbitkan bukunya pada sebuah event bertajuk “99 Writers in 9 Days”. Andi Gunawan dengan bukunya yang berjudul 'Kejutan' dan Vira Clasic dengan bukunya 'Lajang Jalang'. Walau terbaca sedikit rasa minder pada salah satu artikel Vira di Kompasiana karena dia menerbitkan buku melalui jalur indie, tak pelak saya harus acungkan jempol buat mereka.

Sebenarnya indie atau tidak, itu hanya masalah jalur saja. Sama seperti kita mengendarai mobil, mau lewat jalur cepat atau jalur lambat, itu pilihan kita. Pilihan yang berdasarkan tujuan dan belokan yang akan kita ambil di depan.

Sebuah pandangan sinis yang mengatakan jaman sekarang gampang sekali menerbitkan buku memang tidak bisa kita biarkan saja seperti angin lalu juga. Cuma sekarang kategori gampang itu dilihat dari sudut mana dulu. Gampang karena tidak melewati proses seleksi dari pihak penerbit, tentu saja. Kalau ada satu langkah sulit yang bisa dihindari untuk mencapai tujuan, kenapa tidak dilakukan? Semua berpulang pada prinsip ekonomi, melakukan sesedikit mungkin usaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Hahahaa...Saya suka sekali prinsip itu. Wkwkwkwk....Tapi coba bayangkan kerja keras yang juga harus dilalui oleh para penulis yang menerbitkan bukunya secara indie. Mulai dari memilah-milah naskah mana yang layak untuk diterbitkan saja dulu. Menilai tulisan sendiri bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab kejujuran pada diri sendiri sering dipertanyakan. APakah kita manusia narsis yang merasa karya kita sudah pantas dan layak, tanpa mau melihat keluar? Hahaha, bagi saya itu saja sudah merupakan sebuah perang bathin yang tak berkesudahan. Jujur pada diri sendiri itu sulit.

Lantas mengedit naskah sendiri. Itu kerepotan lain yang harus dilalui ketika kita memutuskan untuk menerbitkan buku secara mandiri. Ya Tuhan, pekerjaan itu sungguh menyebalkan, walaupun harus saya aku kalau editing adalah satu langkah penting yang tidak bisa dihapus dalam dunia tulis-menulis. Sering sekali kita menemukan kesalahan fatal yang pada awalnya tidak kita sadari. Belum lagi, ketika kita menyadari ternyata tulisan ini masih belum layak setelah dibaca beberapa kali. Belum layak menurut ukuran siapa? Ya tentu saja menurut ukuran kita sendiri. Bukankah kita berperan sebagai editor untuk tulisan kita? Kembali lagi ke langkah awal saat kita memilah-milah naskah, ukuran kelayakan itu sangat bergantung pada kejujuran kita dalam menilai diri sendiri dan tentu saja tak bisa lepas juga dari ilmu kita dalam dunia tulis-menulis. Sekali lagi, proses editing itu sungguh melelahkan. Salut untuk teman-teman yang berprofesi sebagai editor. Bukan gampang juga mengedit naskah yang bukan tulisan kita sendiri bukan? Bottomline, editing itu juga kerja keras yang harus dihadapi.

Selesai proses editing, bukan berarti selesai perjuangan sampai di sana. Setelah naskah terkirim, ternyata hey ternyata, si percetakan cuma mau terima beres termasuk urusan cover design. Oalaaah, apa lagi ini? Beruntung bagi mereka yang memiliki ketrampilan lebih di dunia fotografi atau design grafis. Tapi kalau tidak? Berharap memiliki teman yang berbaik hati bisa membantu bisa jadi satu pilihan. Seperti Andi Gunawan yang memakai cover hasil jepretan si Pungky, sahabatnya, di bukunya itu. Vira Clasic mungkin lebih beruntung dan lebih merasa percaya diri kalau melakukan semuanya sendiri, maka dia pun membuat sendiri cover bukunya dengan ilmu yang dimilikinya. Apapun itu, tetap urusan cover design menjadi kerja tambahan untuk penulis yang ingin menerbitkan bukunya secara indie.

Buku telah terbit? Jangan hore-hore dulu. Ingat, ini self published, tidak ada toko yang mau menjual kalau tidak kita sendiri yang datang menawarkan buku kita ke sana. Kalaupun ada toko buku yang bersedia menampung buku kita, rasanya percuma juga kalau tidak ada usaha marketing, minimal promosi dari mulut ke mulut atau via jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Untuk buku Vira dan Andi yang baru akan cetak kalau sudah ada permintaan alias print on demand, mungkin agak sedikit tenang. Mereka bisa cuap-cuap menjual bukunya melalui media apa saja, termasuk dari mulut ke mulut. Mengumpulkan pesanan sendiri lalu memesan langsung ke penerbit tersebut. Walau begitu, itu bukan perkara mudah.

Lantas kalau sudah begitu, masih bisa bilang menerbitkan buku itu mudah? Saya percaya kesuksesan tidak datang tanpa kerja keras. Menerbitkan buku baik secara indie ataupun melalui mainstream publisher, tetap ada kerja keras yang harus dilakukan tanpa putus asa. Masalah kualitas? Itu lain masalah. Saya tidak berani bicara sampai ke sana, karena saya bukan kritikus sastra.

Anyway, kesuksesan teman kadang bisa membuat kita iri. Saya suka dengan si iri itu. Karena dengan iri saya terpacu untuk berbuat lebih. Iri jangan lantas menjadi dengki sehingga kesinisan yang akan muncul seperti ucapan, "Jaman sekarang mudah banget bikin buku ... gak aneh itu ... di tiap daerah jg banyak .." Hohoho...Coba dialihkan energi sinis itu untuk berbuat yang lebih positif, seperti menghasilkan karya yang nyata seperti dua teman muda kita itu.

Selamat buat Andi Gunawan dan Vira Clasic atas diluncurkannya buku perdana kalian pada acara Indonesia Book Fair 2010 di Istora Senayan (8 Oktober 2010). Kalian adalah sedikit dari banyak anak muda Indonesia yang bicara lewat karya, sehingga segelintir yang hanya bisa berkoar jadi tak terdengar gaungnya.

Minggu, 10 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Modalku Untuk PD Menulis (#4)

Maaf, rada terganggu nih postingan. Yang harusnya tiap hari masukin satu, kemarin jadi absen. Semua gara-gara SAMPAH! Wkwkwkwkwk...sudah..sudah yaa, nggak usah dibahas di sini. Di sini tidak menerima sampah.

Melanjutkan perjalanan menulisku. Ini sedikit curcol (lah, yang kemaren-kemaren emang bukan, ya?). Aku suka iriiii sama penulis-penulis muda seumuranku yang sudah bisa menerbitkan buku. Entah ya, biarpun katanya jaman sekarang nerbitin buku itu gampang, tapi tetap saja ada nilai lebihnya di mataku. Nerbitin buku gampang? Iya, self publish ternyata sudah ada yang gratisan! Wah, berita baru buatku. Setahun yang lalu sempat ngobrol sama beberapa teman yang suka menulis, mereka bilang kalau mau indie harus punya modal minimal 20 juta dan team marketing yang mumpuni. Waaah, begitu beratnyakah? Ah, nggak kuaaat!

Tapi sekarang ternyata lain. Tetap saja, buatku buku adalah buku. Sebuah bukti hasil tulis yang tercetak. Buatku pribadi, walaupun bisa menerbitkan buku sendiri, tetap harus milih-milih tulisan yang dianggap layak untuk dibaca orang lain. Belum lagi mengingat orang lain akan mengeluarkan uang untuk membacanya. Wuaaah, kebayang kan keselnya kalau kita beli buku mahal-mahal, ternyata isinya nggak bangeeet! Hahahaaa...gondok! Mau minta balikin duitnya sama si penulis, apa nggak diketawain? Paling dia cuma bilang : Sori sori sori jek! Wkwkwkwkwk...

Kembali ke rasa iri tadi. Ini adalah aspek penunjang untuk membuat rasa PD kita dalam menulis meningkat lho. Ceile! Teori siapa noh? Teori aku sendirilaaah! Hahahahaa...Setelah beberapa tahun menekuni tulis-menulis di ranah internet ini, aku menemukan ternyata suka saja tidak cukup. Harus ada cemeti yang memecut berlabel IRI. Plis, iri bukan dengki, lho! Iri itu ingin menjadi seperti (teori siapa lagi ini? ya masih teorikulaaah!). Kalau dengki itu cenderung jahat dan ingin orang yang didengkiin (kembali bahasa yang aneh) untuk jatuh atau celaka. Wadaww, aku belum sampai ke taraf itu sih jahatnya. Mudah-mudahan nggak pernah sampai ke sana. Amiiin....

Jadi tersebutlah seorang penulis novel. Kategori tulisannya aku masukin ke chicklit, karena menurutku tulisannya memang chicklit banget, walaupun beberapa resensi mengatakan dia adalah seorang sastrawati. Dia seumuran denganku. Dengan pengalaman yang nggak jauh-jauh beda denganku. Novelnya aku beli beberapa kali, berharap dapat sebuah kemajuan dari tulisan-tulisannya. Ukuran kemajuannya siapa yang bikin? Ya aku doong, kan aku yang baca. Wkwkwkwk...Tapi ternyata eh ternyata, kok dia ini kayak keasyikan narsis sendiri, kisah hidupnya dibuat novel dengan diganti nama tokohnya aja? Aaaah, aku jadi iriiii. Kalau cuma begitu aku juga bisa kayanya. Hahahaaa...sotoy!

Berbekal rasa jumawa itu, aku coba mulai-mulai menulis fiksi berdasarkan pengalaman pribadi. Eh, eh, eh...tidak mudah! Tidak sama sekali! Walaupun iya, awal, klimaks dan ending cerita sudah tahu. Karakter tokoh sudah jelas terbentuk dalam benak. Konflik sudah ada, tinggal dituliskan sedramatis mungkin. Tetap semuanya butuh proses. Nggak bisa ujug-ujug jadi novel kayak yang dia tulis. Hohohhooo...sotoy sih lo! Wkwkwkwk...

Akhirnya nggak jadi jumawa. Malah manggut-manggut paham. Ya ya ya, ternyata menerbitkan buku itu tidak mudah. Bahkan secara indie sekalipun. Tanggungjawab moral terhadap kepuasan bathin sendiri, itulah yang berbicara paling banyak. Sadar dong ah, siapa kamu? Baru nulis iseng-iseng aja selama tiga tahun, udah mikir mau bikin buku? Ehm, saya emak-emak sih, tapi cita-cita setinggi langit emang. Wkwkwkwk...boleh dong?

Kembali lagi ke tahap awal. Iri aja dulu. Sambil mengamati, belajar, banyak membaca. Pokoknya usaha terus. Ah, masa sih suatu saat nggak kesampaian itu cita-cita setinggi langit itu? Jangankan langit, bulan aja orang udah bisa sampai ke sana. Ya toh? Toh ya....

Intinya, jangan putus asalah. Wuahh, bukan aku banget kalau itu sih. Hihihihi...Oh, satu lagi modal tambahan untuk PD menulis ternyata NGGAK TAU MALU! Wkwkwkwk, teori siapa itu? Silahkan jawab sendiri...Aku jawab juga deh : ya teori akulaaah! Hahahahaa...Maksudnya nggak tahu malu itu bukan nggak tahu diri ya. Maksudnya jangan malu-malu menunjukkan hasil karya, dan jangan juga takut-takut kalau kena kritik pedas. Tulisan kalau nggak ada yang baca, ya bukan tulisan dong namanya. Cuma sekumpulan huruf terangkai menjadi kata dan kalimat yang teronggok di atas kertas atau dalam file komputer, bukan? Jadi, silahkan aja nggak tahu malu, publish tulisanmu di mana-mana. Resiko kena ejek dan hina pasti ada. Salah sendiri nggak tahu malu! Hahahaha...Nggak apa-apa...Bahkan katanya temanku, si Stephen Kings itu baru bisa menerbitkan bukunya setelah berpuluh-puluh naskah ditolak oleh penerbit. Sementara itu dia tetap menulis 1500 kata per hari. Luar biasa! Stephen Kings lho, weitjee...Keren deh lo! :)

Jadi hari ini membahas tentang seputar modal PD untuk menulisku dulu ya! Inga-inga :
*SUKA
*IRI
*NGGAK TAU MALU

Sip? Sip dong deh! :)

Peringatan keras : teori yang ada dalam tulisan ini belum terbukti keabsahannya. Apabila ada yang mengaplikasikannya dan ternyata gagal, saya tidak bertanggungjawab! Wkwkwkwk....

Sabtu, 09 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Chatting Is Also Writing (#3)

Melanjutkan kisah si orang tak terkenal ini. Coba-coba merangkai memori masa lalu tentang kejadian-kejadian dalam hidupku yang berhubungan dengan kesenangan menulisku. Mudah-mudahan otakku nggak nge-hang, soalnya flash back itu memang menyakitkan otak. Wkwkwkwk...males mikir.

Sepertinya setelah aku lulus kuliah dan mulai bekerja aku mulai bersahabat lagi dengan hobi lamaku itu. Bekerja sebagai resepsionis sebuah perusahaan asing ternyata banyak memberi waktu luang (terkadang). Ditambah lagi, kantorku sungguh sangat dermawan memberikan akses internet untuk resepsionisnya yang kurang kerjaan ini. Keberadaan komputer itu sebenarnya untuk menambah tugasku di front desk, karena aku kebanyakan bengong kayanya. Jadilah kami, aku dan rekanku, diberi tugas tambahan untuk membantu bagian finance menghitung beberapa pengeluaran operasional staff di kantor.

Norak dapet komputer lengkap dengan koneksi internet yang super duper cepat, siapa yang nggak girang mendadak? Wihhiii...hobi chatting makin menggila. YM terpasang setiap saat. Sayang waktu itu belum kenal sama Facebook atau Friendster. Kalau nggak bisa kebayang bagaimana kerja sudah mengganggu kegiatan berselancar di internet. Wkwkwkwkwk...

Saking asyiknya surfing-surfing internet saat kerja, aku lupa kalau kemampuan teknologiku menyedihkan. Suka asal klak-klik sana-sini kalau lihat yang menarik. Ada yang nawarin bisnis anu berpenghasilan besar menakjubkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, langsung aja klik. Ada gosip seputar artis yang judulnya 'ngajak' banget buat dibaca, langsung klik. Sampai akhirnya aku nggak tau kenapa, pop-up bermunculan tanpa ijin. Dan komputer nge-hang gak tau sebabnya. Panic attack! Kenapa nih kompie gue? Wkwkwkwkwk....

Akhirnya panggil teknisi IT di kantor, dan jederrrr...koneksi internet ke komputer ekeh diputus lho bo! Tegaaaa.....huhuhuhuuuuaaaa....Apa salahkuu? Aku kan cuma cari hiburan dan informasi dari aset yang tersedia di kantor? Masalah waktu, yang penting kan kerjaan beres? Ya kan? Ya nggak sih? Wkwkwkwkwk....

Gara-gara nggak ada lagi internet di kantor, akhirnya pulang kerja dibela-belain mampir ke warnet dulu untuk ngecek e-mail. Niatnya sih cuma ngecek e-mail aja, siapa tau ada tawaran kerja yang lebih baik, apa daya godaan untuk chatting lebih besar. Hahahaha....

Ngomong-ngomong chatting, kayanya udah berita basi ya kalau aku ketemu sama suamiku di chatroom? Wkwkwkwkwk....sudahlah, nggak usah dibahas. Kita kenalan dari chatting aja pokoknya. Bagiku sendiri, chatting is also writing. Nggak jarang hasil chattingan dengan teman-temanku aku save ke dalam file Word karena ada banyak informasi yang berguna di sana. Lagian, kalau dibaca-baca lagi, suka jadi ketawa-ketawa sendiri. Lumayan buat refresh mood. Itu masih aku lakukan sampai sekarang lho. Makanya folderku yang judulnya Mama di komputer rumah penuh sama file yang nama-namanya :
ceting sama si anu (tanggal)
ceting sama orang gila (tanggal)
nyesel gw ceting sama si onyon gila ini (tanggal)
sekilas ceting sama pervert (tanggal--->>kalau ini mah gak sengaja ketemu di chatroom global, wkwkwkwk....
dan file ceting-ceting lainnya.

Kesimpulan sementara : chatting adalah kegiatan menulis juga. Masih belum menjawab pertanyaan awal juga? Sabar aja deh. Ntar juga sampai di sana, kalo gak banjir, mogok atau macet. Hahahaaa....

Jumat, 08 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Perkenalan Dengan Internet (#2)

Mari kita lanjutkan kisah perjalanan menulis si orang tidak terkenal ini. Hahahahaa...

Sampai di mana ya kemaren? Oh, iya..aku memanipulasi diary-ku biar Mamaku nggak ribet lagi sama temen-temen cowokku ya? Wkwkwkwk....

Itu masa di SMA. Beranjak pindah ke Bandung untuk kuliah, makin nggak punya waktu buat nulis, bahkan untuk diary sekalipun. Terlalu senang karena akhirnya bisa keluar dari rumah dan kuliah di kota idaman. Wuaaah, keasyikan gaul sama teman-teman. Lama juga aku nggak nulis-nulis. Apalagi jaman itu (sekitar tahun 1995-2000) internet belum begitu booming kayak sekarang. Udah ada sih, tapi aku juga terlalu sibuk main sehingga ke warnet itu cuma kalau ada tugas kuliah yang perlu di-print.

Ngomong-ngomong soal internet, aku juga punya cerita lucu nih. Hihihihi...*lah, ketawa duluan?*

Ceritanya adik perempuanku sudah ada di Amerika untuk kuliah dan dia udah akrab banget sama yang namanya internet. Trus dia bilang mau kirim e-mail aja, karena lebih cepat dan gampang dibanding kirim surat lewat pos. Dia minta supaya aku bikin e-mail. E-mail? What the heck is that? Pikirku waktu itu. Akhirnya dengan sedikit sotoy dan membawa bekal gengsi yang agak banyak, aku ke warnet yang agak jauh dari kampus. Tujuannya supaya kalau sampai malu-maluin, aku nggak perlu balik lagi ke warnet itu. Hahahaha....

Aku pergi berdua dengan sahabatku. Sama-sama buta soal internet dan sama-sama sotoy tapi sama-sama penasaran dan jangan lupa, sama-sama gengsian. Sampai di sana kami menyusun kata demikian rupa agar tidak terdengar terlalu bloon untuk minta tolong sama si mas-mas penjaga warnet.

"Mas, kita mau bikin e-mail, bisa bantuin nggak?"
"Oh, bisa. Mau pakai apa? Hotmail apa Yahoo?"
"Apa aja deh, yang paling bagus dan murah aja"
Dari sana kebodohan sudah terlihat. Paling murah? Wuakakakaaak...sudahlah. Mari kita teruskan.
"Sama aja kok, mbak. Nggak ada yang lebih mahal atau lebih murah. Kan daftarnya gratis."
"Ooo, ya udah. Tolong dong"
"Pake Yahoo aja ya?"
"OK"
"Isi aja dulu formulirnya. Data-datanya juga"
Beberapa menit kemudian...
"Mas, ID-nya apa ya?"
"Ya, terserah mbak. Mau pake nama sendiri atau nama samaran juga boleh."
"Oh, gitu..."
Semenit kemudian...
"Mas, passwordnya apa ya?"
"Lho, ya terserah Mbak juga. Jangan sampai orang lain tau password e-mail Mbak, nanti ada yang masuk kan gawat!"
"Iya ya..." (dengan nada sok ngerti dan manggut-manggut).
Beberapa menit kemudian...
"Mas, udah nih Mas. Trus gimana lagi?"
"Ya, udah selesai. Sekarang Mbak bisa kirim e-mail ke teman-teman Mbak."
"Lho, alamat e-mailnya mana? Kok nggak dikasih tau?"
Dueng! Aku sih udah lupa (ingin melupakan, tepatnya) gimana tampang si mas-mas penjaga warnet itu. Untung udah lupa. Kalau nggak, entah bagaimana aku bisa melanjutkan hidup setelah kejadian itu. Sungguh lebay...

Seminggu kemudian, setelah tanya-tanya tanpa gengsi sama adikku di Amerika tentang e-mail yang membingungkan itu, akhirnya kuputuskan untuk tidak akan kembali ke warnet itu lagi untuk selamanya. Mualuuuuu!!!! Wkwkwkwk....

Wedeh, perkenalan dengan internet itu memang akhirnya membuka cakrawala banget ya. Dari nggak minat duduk lama-lama depan komputer sampai akhirnya rela ngutang buat bayar warnet. Hahahaa....

Chatting adalah spesialisasiku. Entah kenapa, kalau udah dapet temen ngobrol di chatroom, teman-teman baruku itu suka lama-lama ngalor ngidul sama aku. Katanya aku kocak. Hahahahaa, belum ketemu langsung aja. Pasti tambah ngakak liat tampangku. Kekekekek....
Intinya, untung ada internet. Gitu aja dulu kesimpulannya sementara ini. Masih belum menjawab pertanyaan juga kenapa aku menulis tentang perjalanan menulisku, ya? Ntar aja ya? Udah kepanjangan juga ini.

Kamis, 07 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Sebuah Awal Yang Tidak Baik (#1)

Hari ini tiba-tiba terlintas untuk menulis tentang perjalanan menulisku. Duh, sok banget yeee? Hehehehe...Bukaaan, bukan karena merasa udah gimana trus aku merasa wajib membuat sebuah memoar diri layaknya tante Titik Puspa dan mbak KD itu. Itu kan buat para fans mereka. Lah, kalau aku? Fans gak punya, artis juga bukan, suami juga bukan seleb, kayaknya tetep yang namanya popularitas itu adalah sesuatu yang hanya bisa kupandang-pandang aja dari jauh. Jadi kenapa dong, neng pake acara mau nulis tentang perjalanan menulis segala? Wkwkwkwk....Gini ya...jreeeng (makasih buat yang udah genjrengin gitarnya, efek dramatis mulai terasa nih).

Aku mulai menulis puisi itu kalau nggak salah waktu masih SD. Masih inget banget Tanteku yang pemain teater itu pernah membawa aku ke komunitasnya dan memperkenalkan aku ke sutradaranya. Entah apa hubungannya, yang pasti Tanteku bilang, aku berbakat dan dia memperlihatkan beberapa puisiku ke om sutradara itu. Waktu itu aku juga nggak ngerti apa hubungannya puisiku dengan dunia seni peran yang digelutinya. Yah, namanya anak masih umur 8 tahun.

Bertahun-tahun kemudian, saat aku duduk di bangku SMA, guru Bahasa Indonesia-ku memberi tugas membuat sebuah cerpen. Entah kenapa, aku merasa mendapat sebuah kado istimewa dan bukannya tugas yang nyebelin saat itu. Jarang sekali Ibu Guruku itu memberi tugas bebas seperti itu. Tapi karena memang sebelumnya belum pernah membuat satu cerpen-pun seumur hidup, tugas itu juga berakhir dengan nilai biasa-biasa aja. Jujur aku harus mengakui kalau hobiku menulis puisi saat aku kecil memang mengendor begitu aku beranjak ABG. Maklum deh, keasyikan main dan kebanyakan tugas sekolah. Walaupun begitu aku selalu sempatkan untuk menulis diary setiap hari.

Ngomong-ngomong tentang diary, aku punya kisah lucu yang kayaknya ternyata adalah awal dari ketertarikanku akan dunia fiksi (dalam tulisan). Mamaku itu orangnya mau tauuu aja. Aku nggak berani bilang kalau beliau itu curigaan, takut kualat. Lagian aku kan sekarang udah jadi seorang Ibu juga, jadi sedikitnya juga udah mulai bisa merasakan bagaimana was-wasnya menjaga anak, terutama anak gadis. Jadi si Mama itu tahu kalau aku suka nulis diary. Suatu saat kalau dilihatnya ada anak laki-laki yang mulai sering datang ke rumah, Mama akan mencari tahu tentang hubunganku dengannya. Awalnya memang lewat wawancara langsung denganku. Tapi nggak mungkinlah aku ceritain semuanya. Hahaha...tipikal ABG lah. Jadi sepertinya Mama masih belum puas, dan pada akhirnya sering sekali aku menemukan diary-ku sudah berpindah tempat. Terakhir kusimpan di laci meja belajar, tahu-tahu besoknya pulang sekolah aku menemukannya di dalam lemari. Wkwkwkwk...Sebel? Iyaaalaaah! Banget! Tapi mau marah sama Mamaku juga nggak berani. Kejadian itu berulang beberapa kali. Padahal aku sudah siasati dengan mengganti diary yang memakai gembok kecil (tau kan? pasti pada punya juga deh! hehehehe). Aku kasih tau aja ya sekarang, gembok diary itu adalah gembok yang paling gampang untuk dicongkel tanpa merusaknya. Hahahaa...Bagaimana aku bisa tahu kalau Mamaku sudah mencongkel-congkel gembok diaryku? Soalnya Mamaku itu kalau habis baca diaryku dan menemukan sesuatu yang kurang sreg di hatinya, pasti langsung ngomong sama aku. Dooh, tau darimana lagi kalau bukan dari baca diaryku? Wkwkwkwk...

Dua buah diary tebal sudah penuh dengan tulisan-tulisan keluh-kesah dan cinta-cinta monyet jaman sekolahku. Sampai akhirnya aku betul-betul punya pacar. Wah, bisa kacau kalau si Mama sampai tahu segala sesuatu tentang pacaranku sama dia. Kan aku maluuu!! Nggak tahu kenapa, aku nggak tahan aja membayangkan Mamaku membaca kalimat begini :
"Malam ini aku kangen banget sama kamu. Padahal tadi kita kan abis makan bareng di Mall, ya sayang?" Wuakakakakaaak...Belum lagi, bisa pergi ke Mall sepulang dari sekolah itu kan hasil dari berbohong ke Mama bilang ada tugas kelompok. Waduh, bisa kena omeeel!!!
Dan akhirnya aku menemukan sebuah solusi yang menurutku brilian (untuk ukuran otakku). Diary-ku berubah menjadi ajang menulis fiksi. Apa yang kutulis bukanlah kejadian yang sesungguhnya, melainkan kejadian atau sesuatu hal yang Mamaku ingin baca. "Horee, ulangan kimia dapet 90!" atau "Capek banget sekolah, tugas menumpuk. Harus cari-cari bahan di perpus sampe siang. Jadi pulang telat terus deh!". Dan sejak saat itu aku tidak pernah menggembok diaryku lagi. Kutaruh dengan indahnya di atas meja belajar. Aku justru berharap Mamaku akan membacanya. Wkwkwkwk..bandel yah?

Tapi itu dulu koook! Sekarang udah nggak lagi. Udah nggak separah dulu, maksudnya. Hahahaha....Kesimpulannya (sementara): kurasa momen itu adalah momen pertemuanku dengan dunia fiksi yang saat ini sedang aku jatuhi cinta (bahasa yang aneh) setengah mati. Kemampuanku memanipulasi pembaca melalui kata-kata dan khayalanku terasah sejak saat itu. Wkwwkwkwkwk...Kesimpulan asal, biarin deh!

Lah? Kok udah panjang aja? Padahal tadi niatnya mau bikin postingan ini jadi satu artikel aja. Dan lagi, belum menjawab pertanyaan awal, kenapa aku harus menulis tentang perjalanan menulisku. Ya sudah, bersambung aja ya. Wkwwkwkwk...

Berhubung tulisan ini berbau-bau pengakuan dosa, makanya aku posting di sini, Cil. Soalnya di sini sepi. Hihihihi....

Minggu, 12 September 2010

Aku Benar-benar Minta Maaf... :(

Lebaran tahun ini memang dahsyat untukku....Ehm, ralat...Ramadhan kali ini memang dahsyat untukku. Banyak cobaan, banyak ujian. Bikin sadar kalau Tuhan memang beneran sayang sama aku. Duh, makasih ya Allah, masih nyempetin nyolek aku di antara kesibukanMu di atas sana. Aku jadi merasa diperhatikan. :)

Dari sekian banyak cobaan, cobaan hati adalah yang paling berat buatku. Menahan untuk tidak marah, tidak iri, tidak dengki, tidak usil, tidak reseh, tidak sombong, tidak sabar, tidak ikhlas...huaaaa....Mudah-mudahan aku lulus menghadapinya.

Suka takut jadi orang munafik. Ketawa melihat orang sombong, padahal ternyata diri sendiri sombong. Geli melihat orang pamer, padahal nggak sadar suka pamer juga. Iri melihat keberhasilan orang dan mencibir, sewot dengan kesalahan kecil yang sepele dan lain-lain. Wuaaawww....nggak gampang jadi orang baik di mata Tuhan ternyata. Tapi nggak boleh menyerah. Tuhan Maha Baik, Dia pasti sabar menunggu hambaNya untuk berubah menjadi lebih baik, asal kita jangan berhenti mencoba. Yakiiin!

Selamat hari raya, ya. Maafkan kalau aku pernah bikin kesal kamu semua. Walaupun aku bisa bilang itu nggak sengaja, tetap saja itu jadi dosaku karena sudah buat kamu jengkel sama tingkahku.

Maaf terbesar untuk Mama dan Papaku. Maaf, belum juga bisa meringankan beban kalian.

Untuk suamiku. Maaf, belum juga bisa menjadi istri yang baik dan penurut untukmu.

Untuk anak-anakku. Maaf, belum juga bisa menjadi ibu yang penyabar dan lemah lembut untuk kalian.

Untuk saudara-saudaraku. Maaf, belum juga sempat mendatangi tempat kalian untuk bersilaturahmi karena alasan sibuk, sibuk dan sibuk nggak jelas.

Untuk teman-temanku. Maaf, belum juga bisa menahan diri untuk tidak tertawa di atas penderitaan kalian, dengan alibi cuma bercanda.

Maafkan akuuuu!!! Huhuhuhuuuu....

Senin, 06 September 2010

Berbeda Untuk Bersama (Dalam Pernikahan)


Berapa banyak dari anda yang sering kesal setiap hari menemukan tube pasta gigi anda peyot-peyot tak beraturan karena pasangan anda yang memakainya terakhir memencet tube itu dari arah tengah, sedangkan anda terbiasa memencetnya dari ujung tube agar terjaga bentuknya? Menyebalkan ya saat bagi anda itu adalah sesuatu yang mengganggu. Berapa banyak dari anda yang sering jengkel karena pasangan anda ternyata suka sekali menunda-nunda suatu urusan sampai ke menit-menit terakhir, sedangkan anda adalah orang yang sangat ingin semua urusan beres secepatnya? Heran, kenapa dulu waktu memutuskan menikah hal-hal sepele yang mengganggu macam ini tidak pernah terpikir untuk diselesaikan, ya? Ah, namanya juga cinta. Tai kucing aja bisa jadi rasa coklat kata Jamal Mirdad. Heheheee...

Saya termasuk salah satu yang 'kecele' setelah menikah dengan suami saya. Hidup bersama untuk awalnya menjadi seperti sebuah kejutan listrik kecil-kecilan setiap harinya. Eh, nggak nyangka ternyata dia kalau tidur nggak bisa diem. Eh, nggak pernah tahu kalau dia merokok ternyata harus minum air putih dulu. Eh, kok baru ketahuan ya kalau dia mau jalan itu ribetnya setengah ampun? Dan banyak eh-eh lainnya lagi.

Kalau sudah begitu apa lantas langsung mencari penyelesaian ekstrem seperti berpisah? Lah, kok jadinya 'lebay' banget ya? Saya pribadi mencoba untuk membicarakannya dengan pasangan saya pada awalnya. Walaupun saya sadar sekali kalau sebuah kebiasaan itu sulit sekali untuk diubah apalagi dihilangkan. Paling tidak kita harus kompromikan, karena salah satu sudah merasa terganggu. Setelah duduk bersama, ternyata dia juga punya komplain yang sama dengan saya. Ada beberapa kebiasaan saya yang ternyata juga mengganggu untuknya.

Alhamdulillah, pada akhirnya, setelah pernikahan berjalan memasuki hitungan tahun, beberapa kebiasaan dia yang mengganggu saya sudah mulai berkurang. Dan saya pun berusaha untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi kebiasaan 'terburu-buru' saya yang ternyata agak mengganggu dia. Hehehehe...

Dari sana saya belajar sesuatu tentang perbedaan dan cinta. Ternyata menyikapi sebuah perbedaan itu kuncinya hanya satu : Cinta bo! Tidak seharusnya sebuah perbedaan menjadi sebuah awal perpecahan. Semua bisa dihadapi dengan baik dan toleransi yang tinggi jika ada kasih sayang dalam menyelesaikannya.

Lantas kalau ternyata perbedaan itu masih tetap membawa perpecahan juga bagaimana dong, ya? Ahahaaa, buat saya sih sederhana saja. Kembalikan ke cinta lagi. Benarkah kita cinta? Cinta kadang suka 'nyaru' dari kasihan atau tidak enak. Tidak usah menutup mata. Banyak sekali pernikahan yang terjadi atas dasar kasihan atau tidak enak. Kasihan, dia sudah begitu banyak berkorban selama pacaran. Tidak enak, undangan sudah keburu disebar. Walaaah, jangan ya... Terlalu banyak yang dipertaruhkan dalam sebuah pernikahan. Banyak sekali pihak yang tersakiti kalau pada akhirnya akan berujung pada perpisahan.

Berani memutuskan menikah, berarti berani berkorban demi cinta. Harus bisa menyamakan persepsi untuk masa depan berdua, plus anak nantinya. Tidak mungkin rasanya menemukan dua persepsi yang sama persis ada dalam dua kepala yang berbeda. Cara berpikir masing-masing kita pasti berbeda. Menemukan titik tengah di antara dua persepsi itu adalah sebuah kompromi yang harus selalu kita hadapi dalam pernikahan. Saya pribadi, pada akhirnya, berusaha menikmati proses kompromi tiada henti itu. Hidup tidak hidup kalau tidak ada perbedaan. Bayangkan kalau kita semua sama dalam berpikir, alangkah membosankannya. Belum lagi kalau ternyata kita sama-sama menemukan dead-end untuk sebuah masalah, susah kan kalau tidak ada pemikiran yang berbeda?

Apapun itu, kembalikan perbedaan kita dengan orang-orang yang kita cintai pada titik awalnya, yakni cinta. Insya Allah, cinta adalah sebuah harapan untuk kebaikan, maka cinta pula yang nantinya akan menjadikan perbedaan itu sebuah ruang untuk selalu bersama menghadapi kehidupan.

***

sumber gambar dari http://media.bigoo.ws/content/image/cartoon/cartoon_76.gif




Minggu, 01 Agustus 2010

Sejuta Topan Badai Keong Racun Spammer Plagiator!!!


Wedeh!
Hahahahaa...Apaan sih ini? Mulai dengan 'wedeh'. Wkwkwkwk...
Maklum, lagi ke'panas'an abis main-main di 'rumah tetangga'. Rameeee rumpiannya. Mau mulai dari mana? Tukang spam bergerilya gak kenal waktu dan sopan santun? Plagiator yang gak kapok-kapok kayak maling jemuran kambuhan? Atau keong racun yang racunnya udah nyebar ke mana-mana? Hahahahaa....Pantes aja gue kegerahan di sana. Ampyuuun! >.<

Ngadem lagi, balik lagi ke sini. Dikau emang oase di padang pasir, Cil! ("Cuih," kata si Ketjil. "Sekarang aja lo inget gue lagi!") Wkwkwkwkwk...Ya maap! Sensian lu ah! Serius, Cil! Di sana sumpek banget. Kayak tinggal di perumahan padat penduduk. Boro-boro bisa ngumpet meditasi di kamar sendirian. Lah, kamarnya aja gak punya pintu. Siapa aja bisa masuk. Makanya banyak banget tamu tak diundang tiba-tiba dateng gak kenal waktu. Nawar-nawarin ini-itu, padahal gue gak butuh. Wahahahaaa...Sengaja didiemin dulu, maksudnya biar dia ngerti aja kalo gue gak minat. Eh, keukeuh jumeukeuh nawarin. Gue tolak secara halus, kasian juga soalnya, namanya juga orang usaha. Eh, makin keukeuh jumeukeuh! Wah, darting. Ngajak ribut? Sabar...sabaaar...Akhirnya gue ajak barteran, sini deh barang lo gue beli, tapi lo beli juga ya barang gue. Eh, dia malah ngeloyor. Wakakakakaaak...Kok gak keukeuh jumeukeuh lagi? Gue kirain, syukur deh dia udah kapok nawar-nawarin barangnya. Eh, nongol lagi dong! Kalo lo jadi gue, emosi gak? Hahahahaaa.....Gak usah dijawab.

Belom lagi itu tukang nyontek kambuhan. Ketahuan nyontek sekali, langsung diapus tulisannya. Menghilangkan jejak. Ketahuan dua kali, gitu lagi. Ketahuan tiga kali, minta maaf sambil (tetep) ngapus tulisan yang hasil contekan tea! Ketahuan lagi dong! Astaga! Gue screenshot sekalian tuh buat bukti, sebelum dia ngapus lagi. Dodol! Tapi sempet ada yang nanya, emang buat apaan sih pake di-screenshot segala? Hahahaha...Buat apa kek! Terserah gue deh. Mau gue pake jadi screensaver di kompie gue sekalian. Biar gue inget, jangan jadi maling karya orang lain. Memalukan! Sungguh terlaluh! (Bang Haji Rhoma's style).

Heuddeuh! Jadi bisa maklum kan sekarang kalo gue balik lagi di mari, Cil? Maklumin aje yeee...Hihihihihi....

Oh iya, satu lagi yang belum gue ceritain ya? Keong Racun! Wkwkwkwkwk...Fenomenal banget tuh Keong. Wuahahahaaaa....Gue pribadi sih suka-suka aja liat dua cewek manis joget-joget nyanyi lagu Keong Racun di youtube itu. Centil tapi asyik. Tapi tetep aja ada yang sinis. "Gak penting!" katanya. Wuakakakaaak, gak penting tapi komennya di semua tulisan yang ngebahas tentang tuh keong bertaburan di mana-mana. Kalo emang gak penting, ya jangan baca sekalian. Toh dari judul juga udah jelas, Keong Racun, Fenomena Keong Racun Mengguncang Indonesia, atau Keong Racun Sarapan Sehat Masa Kini. Hiyahahahaaaa...

Ah, sudahlah. Mulai konsen lagi. Itu lomba-lomba jadwalnya makin neror gue tiap hari. Huaaaaa...Belum ada satupun tulisan yang jadi. Hiks!

(image from http://rlv.zcache.com/angry_face_sticker-p217187033122846650qjcl_400.jpg)

Minggu, 25 Juli 2010

Work Hard Before Play Hard?


Lana memutuskan untuk lembur masuk kerja hari Senin besok. Tidak ada lagi semangat yang tersisa untuk pergi ke Sentosa Island bersama dua sahabatnya, Fani dan Ogi. Alex sudah menceritakan padanya kalau dia harus hadir di acara gathering kampusnya Senin sore. Dengan berat hati dia membatalkan untuk ikut ke Sentosa bersama mereka bertiga. Lana diam saja berusaha terlihat tenang.

Sama sekali tidak dibahasnya tentang percakapan yang didengarnya antara Alex dan Sally. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya berdenyut. Apalagi membawanya ke permukaan menjadi sebuah percakapan dengan Alex. Biar saja, pikirnya. Baginya tak ada yang harus diklarifikasi. Toh Alex bukan pacarnya. Belum. Tak ada yang perlu dijelaskan tentang status mereka masing-masing saat ini.

Lana memang sedang berupaya untuk menipu hatinya saat ini. Mungkin dengan masuk kerja hari Senin nanti, dia akan cepat melupakan resah dalam hatinya itu. Itu harapan Lana.

Fani sendiri protes keras ketika Lana membatalkan pergi ke Sentosa.

“Kenapa?” tanyanya tak mengerti.

“Males ah, kalo cuma bertiga. Ntar gue ganggu lo berdua,” kata Lana ogah-ogahan.

“Yeee, gak gitu juga kali! Emangnya selama gue pacaran sama Ogi, pernah gitu lo gue cuekin?” Lana tetap protes.

“Ya, nggak sih. Cuma maksud gue, ini kesempatan lo buat berdua aja sama dia. Pergi aja. Biarin deh gue kerja. Lumayan lemburannya lebih gede kalo kerja di hari off, kan?” jelas Lana lagi, berusaha meyakinkan Fani.

“Emang mau masuk jam berapa? Kalo lo masuk pagi, gue tungguin deh sampai jam empat, biar bisa bareng,” Fani masih tetap bersikeras mengajak Lana pergi.

“Masuk siang. Pulang jam dua belas malam,” kata Lana singkat.

Fani terdiam sebentar. Dipandangnya Lana. Dua hari ini mukanya kusut sekali. Tidak ceria seperti biasanya. Tadinya Fani berpikir dia sedang datang bulan. Tapi sepertinya tidak terlalu begitu juga biasanya kalau dia datang bulan. Tapi Lana kenapa? Tanyanya dalam hati.

Tidak biasa-biasanya juga Lana diam, memendam sendiri kalau dia sedang punya masalah. Dia selalu cerita kepada Fani, apapun masalahnya. Apapun itu, Fani yakin sekali kalau Lana sedang menyembunyikan sesuatu.

Cara berbicaranya pada Alex juga jadi berubah, dalam penglihatan Fani. Dia jadi lebih kaku dan seperti menjaga jarak dengan Alex. Jangan-jangan ini memang ada hubungannya dengan Alex? Lana berusaha menelusuri masalah Lana.

Siang itu mereka akan masuk kerja. Lana meninggalkan Fani di lokernya tanpa mengatakan apa-apa lagi setelah percakapan itu. Fani hanya memandangnya melangkah ke luar ruang ganti.

“Lan! Atau kita mundurin aja acaranya ya?” Fani berteriak dengan sisa-sisa usahanya untuk membujuk Lana.

“Jangaan! Susah lagi nemuin jadwal yang cocok. Udah pergi aja!” kata Lana sambil menutup pintu.

Fani diam lagi. Kali ini dia sudah bisa melihat sedikit alasan Lana kenapa dia ikut membatalkan pergi. Bukankah kemarin Alex juga bilang dia tidak bisa ikut? Ada acara kampus katanya. Pantas. Mungkin dia kecewa karena Alex tidak ikut. Akhirnya Fani menghela nafas lega setelah menemukan sendiri kesimpulannya.

Fani keluar dari ruang ganti wanita dan berjalan santai menuju lift khusus karyawan. Alex tampak berjalan menuju ruang ganti pria sambil membuka dasinya. Dia tersenyum melihat Fani.

“Hai. Lana mana?” tanyanya seperti biasa.

Selalu, setiap dia bertemu Fani, yang ditanya olehnya lebih dahulu adalah Lana.

Fani menunjuk ke atas, mengisyaratkan Lana sudah menuju pos kerjanya di Reception lantai satu hotel itu. Alex menganggukkan kepalanya.

“Alex! Kamu emang betul nggak bisa ikut hari Senin?” tanya Fani akhirnya.

Alex berhenti di depan pintu. Dia mengangkat bahunya dengan ekspresi sebal lalu menggeleng lemah.

“Tidak bisa. Maaf, ya! Sebab dosenku juga hadir. Aku harus ada di sana,” jelas Alex padanya.

“OK…Saya cuma kasihan sama Lana. Dia yang ingin sekali ke sana. Tapi dia malah akhirnya memutuskan untuk lembur di hari liburnya. Katanya dia tidak mau pergi kalau cuma bertiga,” kata Fani lagi.

“Dia mau masuk kerja?” tanya Alex sedikit terkejut.

Fani menganggukkan kepalanya.

“Ya sudah. Biar saya jemput dia pulang kerja hari Senin itu. Saya akan langsung ke hotel setelah acara sekolah saya selesai,” ujarnya seperti pada dirinya sendiri.

Fani kembali menganggukkan kepalanya. Semangatnya untuk pergi ke Sentosa Island hanya tinggal lima puluh persen saja. Kalau saja Ogi bukan pacarnya, mungkin dia juga akan membatalkan untuk pergi. Fani tidak ingin melewatkan juga keinginannya untuk jalan bersama Ogi selama satu hari penuh. Walaupun akan lebih menyenangkan kalau ada Lana dan Alex bersama mereka.

Sudahlah. Kapan-kapan bisa direncanakan lagi, harapnya sendiri. Tanpa disadarinya dia sudah sampai ke dapur restoran yang ditujunya.

Tampak Uncle Stephen sedang berteriak-teriak menyuruh para chef trainee itu untuk bergerak lebih cepat. Suasana dalam dapur memang selalu panas. Panas karena hawa api untuk memasak dan juga panas oleh hawa emosi para awaknya. Di mana-mana sama saja. Fani ingat dapur tempat prakteknya di kampus. Pak Dadang, dosen yang mengajar bagian Kitchen juga selalu berteriak-teriak dan memukul keras-keras apapun yang ada di dekatnya. Kalau kebetulan di dekatnya ada panci stock yang besarnya hampir sebesar tubuhnya itu, maka dia akan memukul panci itu dengan sekeras-kerasnya.

Fani melihat suasana di dalam dapur sekilas. Untung aku bukan praktek di sana, pikirnya lega. Fani bersyukur dia bekerja di bagian depan restoran. Di mana segalanya tampak rapi, bersih, penuh tata tertib, damai dan sedikit romantis dengan alunan musik klasik yang lembut serta dinginnya penyejuk ruangan yang disetel dengan maksimal. Para tamu itu tidak tahu bagaimana kacau-balaunya di belakang sana menyiapkan hidangan untuk mereka di restoran yang elegan ini, kata Fani sambil mengambil cloth putih untuk mengeringkan goblet yang sudah selesai dicuci oleh para busboy di belakang.

Keindahan dalam restoran itu hanya sebatas permukaan saja. Sebatas yang perlu ditampilkan di mata para tamu yang mereka layani. Padahal untuk menghadirkan keindahan itu, banyak sekali keributan dan kekacauan serta kepanikan yang harus terjadi di belakang. Para chef itu pontang-panting menyiapkan pesanan mereka. Panik jika sampai pesanan itu terlambat hadir ke meja tamu. Belum lagi kalau ada kekacauan seperti sup tumpah atau salah memberi garnish dan sebagainya. Semua harus dilakukan dengan benar dan cepat. Tidak heran Uncle Stephen tampak jauh lebih tua dari usianya. Pekerjaannya sungguh berat. Lagi-lagi Fani asyik sendiri dengan pikirannya.

“Fani! Move!” sebuah suara keras mengejutkannya.

Reflek Fani meloncat ke arah samping. Sebuah trolley besar berisi piring dan mangkok berjumlah ratusan sedang di dorong oleh seorang waiter dengan susah payah. Waiter itu menghentikan trolley tepat di samping Fani. Lantas dia tersenyum dan menyerahkan selembar kertas. Inventory. Begitu yang tertulis di kertas itu.

Fani melenguh pelan. Uuuh, kenapa selalu aku yang kebagian tugas menyebalkan ini? Ratapnya dalam hati. Apa karena statusku cuma trainee? Tega banget sih! Fani cemberut mengambil kertas itu lalu mulai menurunkan piring-piring keramik yang berat itu sedikit demi sedikit. Menghitungnya satu demi satu. Menyesuaikan jumlahnya dengan data di kertas itu. Lalu menuliskannya kembali di kolom yang baru. Sungguh memuakkan. Tiba-tiba dia hanya ingin saat itu dia dan Ogi sudah sampai di pinggir pantai memandang pulau Batam dari Sentosa.
***
BERSAMBUNG
image from http://www.blackwolf-images.com/images/dis/sw_animals.jpg

Minggu, 18 Juli 2010

G, Konflik dan (Tetep) Cemburu Dibahas...Hahahaaa....

Hahahahaaaai...
itu si G emang jaiiil banget! Entah jail atau emang dia pinter baca pikiran dan perasaan orang lewat tulisan. Selalu telak nebak apa yang gw coba sampaikan secara tersirat dalam tulisan-tulisan gw. Bahkan kadang yang spooky-nya lagi, dia bisa nebak pesan lain yang justru tadinya gk kepikiran sama gw dan tring, malah dia yang berhasil nemuin. Wkwkwkwkwk...dukun lo ya? Hahahaaaa....
Puisi Hello Jealousy itu bener-bener gambaran suasana hati gw waktu gw bikin itu. Waktu itu G cuma ketawa-ketawa ngakak aja bacanya. Tapi pas dia baca cerpen tentang cemburu gw, dia bisa langsung menilai itu bener-bener datang dari dalam hati! Shit! Jadi mau malu gw ketauan. Wkwkwkwkwk....
Padahal gw gak bilang apa-apa sama dia soal cemburu-cemburuan itu. Lagian gk pengen juga diumbar-umbar. Tapi kayanya gelora cemburu di hati gw kebaca sama dia lewat cerpen gw. Hahahaaa...you're good, G! Damn good! Wkwkwkwkwk....
Ngomong-ngomong soal cemburu...Delapan tahun menikah plus dua tahun pacaran, baru kali ini lho gw ngerasain. Makanya gw jadi jungkir balik gk karuan gini. Gak ngerti mesti gimana. Gak ngerti mesti bereaksi seperti apa. Dan gak ngerti mesti ngomong apa? Walaaah...gak enak bener dah!
Menyebalkan banget kena perasaan yang satu ini. Mudah-mudahan bisa cepet ilang. Abis perasaan gw kok kayanya itu rasa merusak hati banget ya? Susah ngelupainnya, walaupun alhamdulillah gw masih bisa menemukan sisi lucu dari kejadian itu. Teteeeup, cemburu ya cemburu. Jeles ya jeles aja. Wkwkwkwkwk...Mumeeet!
Gak penting ya gw ceritain apa yang gw cemburuin. Biarlah gw yang tau dan nelen getirnya sendiri. Hkkk, jleb! Cuma ngerasain cemburu itu bener-bener pengalaman baru buat gw. Wkwkwkwkwk...Gilaaa, sepuluh tahun lho berhubungan, kok ya baru pertama kalinya ngerasain cemburu? Kemana aja, mbakyuuu??? Hahahahaaa....
Apa mungkin karena gw ini termasuk pribadi yang terlalu cuek ya? Maca ciii? (Sumpah gw eneg banget nulis kata 'maca cii' ini..hueek!). Apa itu artinya gw bukan pribadi yang romantis picis kacang buncis engklek, ya? Waduh, susah dong! Katanya mau ikutan lomba penulisan novel romansa di Gagas Media. Lha, yang nulis gk romantis gini. Huahahahaa...capcay deee....
Back to G again, katanya kadang perlu ngerasain konflik itu sendiri untuk bahan tulisan kita. Huaaaa...tapi gw gk pengen ngerasain yang kayak gini lagi! Benar-benar menyebalpun! Emang terasa sih sebenernya kekuatan aura cerita gw dengan mengalami sendiri cerita yang gw tulis. Beda kalau itu cerita dari hasil mengkhayal. Tapi, tetep gak mauuuu lagiii!!!
Sampai saat ini pun sebenernya gw masih sebel sama si cemburu itu. Bukan sebel sama pemicunya. Masalahnya sendiri udah kelar dari kapan tau! Wkwkwkwk...cuma cemburunya itu masih suka ilang nimbul gitu. Gimana sih caranya nenggelemin dia sampe modar sekalian? Hueee...
Jealousy...bete deh looo!!!
G, silahkan ngakak yang kenceng, biar Mamimu bingung sekalian. Hahahahaa....

Jumat, 16 Juli 2010

Hello, Jealousy...

Hello, jealousy...
What are you really?
I've tasted you once...
It was kinda sweet...
But you didn't go at all..
You stay still instead...
Then the sweetness becomes bitterness...

Hello, jealousy...
Won't you please just go?
Let love takes your place...
Like you took its place before...
So sweetness will come once again...

Hello, jealousy...
How to deal with you?
You come and go as you wish...
Can you at least tell me...?
Tell me why you are here...

Hello, jealousy...
Can you tell my love one...?
That you're already here...
In my heart...
So he can help me to let you go...
Becoz I've tasted you...
And that's enough...

Bye, jealousy...
Let love take the way...
Come again some other time...
Only next time...
Please visit him, instead of me...
Hahaaa...

Kamis, 15 Juli 2010

Sayembara Cerpen dan Cerber Femina

Ayooo...Siapa mau ikutaaan? Terus terang gw tertarik sih. Bukan sama hadiahnya, walaupun iyess saya butuh duit. Hahahaa...
Tapi mau ngukur aja, bisakah? Dan kalau ini gw anggap tantangan, berarti harus gw sambut. Sebab, gw gak bisa nyuekin tantangan.
Gimana, ma prens? Kalian pasti lagi mikir-mikir...hmmm, ikut gak yaaa?
Ayyolaaah...kata seseorang dulu kala...you've got nothing to loose...Hahahahaa...
Cekidot di sini, okeh! ^^b

Selasa, 13 Juli 2010

Resep Si Onis : Epilog Absurd (Part 30)

EPILOG ABSURD

Aku mendengar suara klakson berulangkali dari luar kamarku. Cepat-cepat aku berlari menuju balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah limousine barwarna hitam dengan rooftop terbuka berhenti di depan rumahku. Kulihat Tanabe san tengah menyembulkan kepalanya dari rooftop limousine hitam itu. Sebuah karangan bunga mawar merah teracung tinggi di tangan kanannya. Dia tersenyum padaku dengan penuh kebahagiaan.

Aku tak bisa menahan senyum mengembang di wajahku. Rasanya aku adalah perempuan paling bahagia di dunia. Dia datang ke rumahku membuktikan cintanya padaku. Kudengar dia memanggilku dari bawah.

"Fani! Faniii!"

Lama-lama suara beratnya berubah menjadi suara tinggi Mamiku.

"Faniiii! Bangun doong! Udah siang begini! Makanya cepet dong cari kerja lagi. Jangan nganggur melulu. Mami senewen deh bangunin kamu tiap hari kayak gini," kudengar Mamiku ngomel membangunkan aku dari mimpi indahku.

Semprul! Mimpi itu datang lagi. Sudah empat bulan ini mimpi ala film Pretty Woman itu menghampiri tidurku. Sungguh norak. Berarti sudah empat bulan aku menganggur dan tidur sampai siang seperti ini.

"Iyaaa!" teriakku malas dari dalam kamarku.

Tiin! Tiin! Kudengar suara klakson mobil dari luar. Lho? Aku masih mimpi atau sudah bangun sih? Mendadak aku kehilangan orientasi sesaat. Aku berlari ke arah balkon dan melongokkan wajahku ke bawah. Sebuah sedan hitam mirip limousine berhenti di depan rumahku. Aku mengusap-usap mataku dengan setengah tidak percaya. Ternyata itu sebuah taksi berargo mahal yang dulu selalu dinaiki Onis. Aku nyengir menyadari kebodohanku. Tentu saja tidak mungkin ada limousine datang ke rumahku. Dan lebih tidak mungkin lagi aku berharap Tanabe san akan muncul dari dalam limousine itu dengan seikat mawar merah ala Richard Gere dalam film Pretty Woman itu. Hahaha...anak bodoh, kutukku pada diri sendiri.

Aku kembali ke dalam kamar sambil tertawa sendiri. Aku tidak peduli siapa yang datang. Paling-paling tamu untuk Mami, pikirku.

"Faniii! Ada tamu niiih!" Mami memanggilku dengan berteriak.

Siapa? Jadi taksi tadi membawa tamu untukku? Aku segera berlari ke bawah masih mengenakan dasterku.

Onis! Onis dengan perutnya yang mulai membesar. Aku tertawa lebar melihatnya. Aku kangen sekali padanya. Dan aku bahagia sekali melihat perut gendutnya itu.

Oh Tuhan, dia tidak menggugurkan kandungannya! Aku sangat bahagia. Aku menghambur ke arahnya untuk memeluknya.

"Oniiis! Gue kangen bangeeet!" kataku sambil berlinangan air mata. Norak banget, deh. Biarin ah, pikirku.

Onis tertawa ngakak melihat reaksiku. Dia membalas pelukanku dengan hangat. Kuajak dia untuk duduk di taman belakang rumahku. Aku ingin mendengar ceritanya. Semuanya. Tentang Misako. Tentang Tommy. Tentang kehamilannya. Tentang Tanabe san kalau bisa. Huhuhu...ngarep!

Panjang dan lama Onis bercerita. Intinya dia memberanikan diri untuk meneruskan kehamilannya. Tommy sudah bisa dipastikan menghilang begitu dia memutuskan untuk tidak menggugurkan janinnya itu. Ayah Onis tidak bereaksi banyak mendapai putrinya hamil tanpa suami. Dia sudah terlalu pikun untuk itu. Dan Dion, adiknya, ternyata bisa mengerti kondisi Onis dan dengan tahu diri mencari kerja sambilan untuk membiayai kuliahnya. Onis dan keluarganya pindah rumah ke rumah yang lebih kecil di pinggiran Depok. Menjauhi segala omongan tetangga yang malas didengarnya. Dan sekarang Onis membuka sebuah toko pakaian anak-anak di dekat rumahnya dari modal tabungannya selama ini. Aku tidak mau bertanya-tanya dari mana hasil tabungannya itu. Aku cukup mengerti akan itu.

Aku menatap Onis dengan kagum. Dia sudah berubah menjadi wanita yang sangat dewasa hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Empat bulan! Kurasa hormon keibuannya membantunya tumbuh dewasa dalam berpikir sekarang. Onis tidak meledak-ledak seperti aku mengenalnya dulu. Dia berbicara dengan tenang sambil sesekali mengelus-elus perutnya yang membuncit itu. Dia masih tetap cantik dan modis seperti biasa.

"Deni gimana?" tanyaku. Mau tidak mau aku jadi teringat dengannya.

"Aku nggak tau, Fan. Kabar terakhir yang aku dengar dia pacaran sama Dian," jawab Onis tidak berminat membahasnya.

"Dian? Jadi mereka akhirnya pacaran? Hahaha...Apa kabar tuh si perempuan sinting itu?" tanyaku pada Onis.

"Dia dapat peringatan keras dari Tanabe san, Fan. Gara-gara ketauan nyebar fitnah ke lo. Trus dia disuruh minta maaf juga ke Fujiyama san. Gak lama abis kejadian itu dia resign. Malu kali!" kata Onis sambil tertawa geli.

Wahahaa...aku tidak bisa memungkiri kalau saat ini aku menjadi manusia jahat yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi bukannya Dian sudah lebih dahulu tertawa menginjak-injak aku? Kurasa balasan setimpal sudah didapatnya.

"Trus, gimana ceritanya waktu lo berhenti kerja, Nis?" tanyaku penasaran.

"Semua orang udah mulai kasak-kusuk dari sebulan yang lalu waktu mereka nyadar gue hamil. Trus Tanabe san manggil gue," jelas Onis dan berhenti sejenak.

Aku menunggu kelanjutan cerita Onis. Tapi tampaknya Onis sengaja menggantung kalimatnya untuk melihat reaksiku mendengar nama Tanabe disebut-sebutnya. Aku membenarkan posisi dudukku dengan gelisah. Onis tertawa melihatku.

"Hahaha...lo masih kepikiran dia, ya?' tanya Onis dengan tatapan penuh selidik.

"Ah, nggak juga sih. Cuma pengen tau aja, gimana reaksinya waktu tau kalo yang hamil itu lo bukan gue," kataku membela diri, berusaha terlihat cool. Padahal dalam hati aku hampir mampus penasaran ingin mendengar kabar tentang dia, si Richard Gere dalam mimpiku itu.

"Dia udah balik ke Jepang, Fan. Tapi dia titip pesan buat lo sebelum dia pergi. Waktu itu dia tanya-tanya dengan detail tentang kejadian e-mail nyasar itu. Gue kasih tau semuanya sama dia. Setelah gue cerita semuanya itu dia kasih peringatan keras ke Dian. Intinya dia nyesel setengah mati karena nggak bisa belain lo waktu itu. Gue juga minta maaf sama dia karena udah bikin kacau hubungan lo sama dia. Tapi dia dengan penuh pengertian bilang lo itu mau menyelamatkan gue. Gue udah tau itu, Fan. Gue tau lo adalah teman terbaik yang pernah gue punya seumur hidup gue," kata Onis memandangku dalam.

Aku masih diam mendengarkan. Aku menunggu pesan apa yang dikatakan Tanabe pada Onis?

"Dia bilang dia mau balik ke Indonesia lagi untuk ketemu sama lo. Bukan sebagai atasan. Ya iyalaaah....Katanya dia mau minta maaf dan memperbaiki semuanya. Itu kalau lo bersedia," kata Onis.

"Oooh...,jadi dia udah di Jepang ya sekarang?" tanyaku kecewa.

Onis tertawa lagi melihatku.

"Minggu depan dia ada di sini. Mau ketemu nggak sama dia?" tanya Onis padaku.

"Ngapain? Kalau dia mau ketemu sama gue, suruh aja dia dateng ke rumah gue! Kenapa gue yang mesti dateng ke dia? Gue kan bukan karyawannya lagi!" jawabku sewot.

"Ya, iyalaah, noon..." kata Onis. "Lo tunggu aja. Dia punya rencana besar buat lo kayaknya," kata Onis penuh rahasia.

"Rencana besar apaan? Jangan ngomong kalo dia mau ngelamar gue ya!" kataku panik.

"Huahahaa...GR banget sih lo, Fan?" Onis tidak bisa menahan tawanya.

Sompret! Aku jadi malu sendiri dengan ucapanku barusan. Tapi sumpah, memang itu yang terbersit di benakku waktu Onis bilang tentang ‘rencana besar' itu tadi.

"Jadi? Apaan dong?" tanyaku lagi dengan bloon.

"Dia udah keluar dari Misako, Fan. Sekarang sedang ngurus ijin berdiri perusahaan punya dia di Jakarta. OK! Segitu aja yang gue tau, tapi gue rasa itu lebih dari cukup buat lo untuk bisa membayangkan rencana besar seperti apa yang dia maksud," kata Onis sambil mengerling padaku.

Aku terdiam beberapa saat mencerna ucapan Onis barusan. Olalaa...dia akan ada di sini lagi untuk selamanya? Dan ada rencana besar untukku, kata Onis? Rencana besar yang belum bisa kubayangkan, tapi sudah terbentuk dalam khayalku dengan indahnya.. Kubiarkan pikiranku melayang sesukanya. Dia akan datang untukku, kataku dengan perasaan sumringah yang luar biasa saat ini. Atau aku hanya merasa GR sendiri? Sebodo! Biarkan aku dengan cengiranku yang tak mau pergi ini. Mohon jangan ganggu aku.

Ini duniaku

Tak perlu kau lihat

Kalau kau tak mau

Apalagi kau nilai

Karena aku tak butuh

Aku hanya ingin hidup damai

Bahagia secara hatiku

Aku tak butuh teman

Jika teman adalah hakimku

Aku tak butuh cinta

Jika cinta adalah belengguku

Aku ingin bahagia dengan caraku

Kau carilah bahagiamu

Aku tak akan mengganggumu


_____________________________________________________________________________________

TAMAT

Resep Si Onis : Bye Misako (Part 29)

BYE MISAKO

Pagi ini sangat...sangat...sangat...huaah...tidak bisa digambarkan. Perutku sudah melilit tidak karuan sejak aku berangkat dari rumah. Kucium tangan Mami lebih lama dari biasanya.

"Kenapa sih? Lama amat nyium tangannya? Mami kan baru megang ikan. Gak bau?" tanya Mamiku heran melihat kelakuanku yang tidak seperti biasanya.

Aku meringis mendengar ucapan Mami. Memang tercium bau amis ikan dari tangan Mami, tapi aku tidak peduli. Entah kenapa, sepertinya aku mendapat kekuatan ekstra setelah mencium tangan Mami pagi ini.

Semalam aku tidak berhasil berbicara dengan Tanabe san. Tapi aku mengirim pesan singkat tentang apa yang terjadi. Aku hanya mengatakan ada e-mail yang salah terkirim ke alamat e-mail miliknya dan Dian. Aku tidak mengatakan kalau itu e-mail dari Onis. Aku hanya mengatakan ada kesalahan pengiriman e-mail yang seharusnya bukan ditujukan untuk Dian atau pun dirinya. Aku tidak mau Onis terseret. Aku takut Onis akan dipecat, sedangkan dia pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Kukirim pesan singkat itu ke Tanabe san hanya sekedar untuk berjaga-jaga supaya dia tidak terlalu terkejut kalau hari ini dipanggil menghadap Fujiyama san. Dia tidak membalas pesanku.

Onis tidak masuk hari ini. Perasaanku tidak enak. Aku khawatir sekali dia akan melakukan ‘itu' hari ini. Mudah-mudahan dugaanku salah, doaku dalam hati. Kantor masih sepi. Sengaja aku datang pagi-pagi untuk mempersiapkan mental menghadapi hari ini.

Beberapa teman kantor sudah datang dan melewatiku dengan pandangan aneh. Aku tahu mereka pasti sudah mendengar berita-berita bohong dari Dian tentangku berikut bumbu-bumbu penyedapnya. Aku tidak bisa menyalahkan mereka termakan gosip itu. Bagaimana pun , bukti hitam di atas putih ada di tangan Dian, walau pun ternyata itu bukti yang salah.

Sudah jam sembilan pagi. Tanabe san sudah datang dan langsung melewatiku begitu saja tanpa melihat ke arahku. Aku juga tidak berusaha untuk menyapanya seperti biasa. Dian juga sudah datang lima menit sebelum Tanabe san datang. Dia tersenyum lebar padaku dengan muka sinisnya itu. Aku tersenyum balik padanya seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dan dia melengos kesal dan membuang muka melihat aku bisa tersenyum padanya. Mungkin dia berharap aku akan mendelik marah atau berteriak marah padanya. Ah, sekali lagi, dia berharap aku akan bermain seperti orang tidak bersekolah? Dia sungguh salah!

Kriing! Telpon di mejaku berbunyi. Dari Syasya.

"Pagi, Fan...Fujiyama san tunggu kamu di ruangannya ya. Ada Tanabe san juga," kata Syasya dengan nada prihatin.

Entah cerita apa yang sudah didengarnya. Aku tidak mau bertanya-tanya lagi.

Kutarik nafasku dalam-dalam. This is it! Siap tidak siap, aku harus menghadapinya. Aku sudah punya keputusan bulat sejak tadi malam sebelum aku tidur. Dan rasanya keputusan itu semakin mantap terasa dalam hatiku.

"Ohayo gozaimasu, Fujiyama san..Tanabe san..." sapaku sambil masuk ke ruangan Fujiyama san.

Tidak ada Dian. Pertanda bagus, kataku menghibur diri. Degup jantungku terasa kencang. Kutenangkan hatiku. Aku tidak salah...dan tidak ada satu pun yang bersalah di ruangan ini, aku menenangkan diri.

"Haik. Sit down, please..." Fujiyama san mempersilahkan aku duduk di samping Tanabe san.

"So...ada yang bisa menjelaskan apa maksudnya e-mail ini?" tanya Fujiyama san sambil menyerahkan selembar kertas kepada Tanabe san.

Tanabe san tampak membaca sekilas kertas itu dan terdiam sesaat. Dia memandang ke arahku dengan pandangan tidak mengerti. Aku tahu dia tidak akan menyangka kalau e-mail salah kirim yang kumaksud itu berisi tentang rencana aborsi yang mengerikan. Tanabe san menarik nafas sebentar lalu mulai berbicara.

"Saya sudah diberitahu oleh Fani san mengenai hal ini, Fujiyama san. Fani san bilang dia salah kirim e-mail. Seharusnya e-mail itu bukan untuk saya atau Dian san," jelasnya pada Fujiyama san.

Fujiyama san mengangguk-anggukkan kepalanya tanda paham akan penjelasan itu. Tapi tampaknya dia merasa belum puas.

"Fine..But I think I still have to talk to you about your attitude then, Fani san," katanya padaku.

"What's with my attitude?" tanyaku berani.

"Well, saya tahu ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu. Kamu bekerja dengan baik di sini. Tapi saya tidak bisa menutupi kenyataan kalau kita ada di Indonesia. Saya sangat memahami ada nilai-nilai yang kalian junjung tinggi berhubungan dengan masalah aborsi ini. Lain halnya jika kita bukan di Indonesia. Jadi saya hanya ingin menanyakan kepada kamu Fani san, apa yang sebaiknya saya lakukan menghadapi masalah kamu ini?" tanya Fujiyama san padaku.

"Saya rasa tidak ada, Fujiyama san. Kalau menurut anda saya sudah tidak pantas untuk bekerja di sini lagi, silahkan pecat saya. Tapi jangan memecat saya karena alasan yang tidak ada kaitannya dengan performance saya selama ini. Itu sungguh tidak adil untuk saya," kataku berusaha berdiplomasi di hadapan laki-laki Jepang paruh baya ini.

"You're right...Tapi bagaimana tanggapan rekan-rekanmu kalau saya membiarkan kamu tetap bekerja di sini dengan kondisi begitu?" tanyanya padaku.

"Kondisi begitu? Hamil maksud anda?" tanyaku dengan berani.

Fujiyama san mengangguk. Tanabe san yang sejak tadi hanya diam tiba-tiba seperti bergerak terhenyak mendengar aku mengucapkan kata ‘hamil' dengan lantang.

"Apa yang salah dengan kehamilan? Semua perempuan hamil," kataku lagi.

"Tapi umumnya mereka di Indonesia sudah menikah baru hamil. Bagaimana dengan kamu?" tanyanya lagi padaku.

"Saya punya jawaban tepat untuk itu, Fujiyama san. Itu bukan urusan anda," kataku dengan berani. "Saya bisa melihat sekarang bahwa anda seorang pemimpin yang tidak tegas. Kalau anda mau memecat atau memberi sangsi pada saya, seharusnya dari tadi sudah anda lakukan. Tapi anda justru berputar-putar bebicara menunggu saya untuk mengundurkan diri. Kalau itu memang yang anda inginkan, saya mengundurkan diri. I quit! Paling tidak salah satu di antara kita ada yang bisa bersikap tegas!" kataku berani.

Aku berdiri dari tempat dudukku. Kuanggukkan kepala kepada Tanabe san yang tampak terperangah dengan keputusanku. Lalu aku membungkukkan badanku sedikit kepada Fujiyama san dan cepat-cepat aku keluar dari ruangannya. Kembali, untuk ke dua kalinya di Misako aku menahan air mataku agar tidak tumpah di hadapan Tanabe san.

Aku bergegas kembali ke mejaku untuk membenahi barang-barangku. Aku hanya berharap aku sudah mengambil keputusan yang tepat. Aku hanya ingin membantu Onis. Kalau pun pada akhirnya nanti Fujiyama san atau Tanabe san atau Dian atau semua orang di kantor ini menyadari bahwa yang hamil itu adalah Onis dan bukan aku, segalanya sudah terlambat. Atau kalau pun Onis nantinya tetap akan diberhentikan juga dengan alasan attitude-nya itu, dia masih ada kesempatan untuk mencari pekerjaan baru. Toh ini baru pekerjaan pertamaku dan aku masih ada ke dua orang tuaku untuk bergantung sementara ini. Dan jangan lupakan Fia adikku yang karirnya justru lebih baik dari aku. Dia juga masih bisa kujadikan tempat bergantung finansial untuk sementara walaupun nantinya akan kudengar omelan-omelan bawelnya. Sungguh, aku masih jauh lebih beruntung dari pada Onis.

Tiba-tiba Tanabe san muncul di hadapanku. Dia kelihatan sangat gundah. Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku tidak bisa mengharapkan pembelaan darinya. Sejujurnya aku justru merasa kasihan padanya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanya menghadapi kejadian ini. Tapi aku menguatkan hatiku. Aku melakukan ini untuk Onis, ucapku dalam hati.

"Fani san...saya tidak menduga akan begini jadinya," ungkapnya penuh nada penyesalan.

"Kenapa?" tanyaku berusaha tegar.

"Saya tidak menyangka ternyata kamu bisa melakukan hal ini. Saya kira saya sudah sangat mengenal kamu. Saya sempat berpikir kalau kamu tidak sama seperti Anis," katanya dengan masygul.

Aku terdiam. Ingin rasanya aku teriak di mukanya : Aku memang tidak seperti Onis! Tapi kubatalkan keinginanku itu. Biar saja, waktu nantinya yang akan memberitahunya. Dan pada saatnya nanti, mungkin dia sudah tidak ada di Indonesia lagi. Bukankah beberapa bulan lagi dia akan kembali ke Jepang? Lagi-lagi aku berpikir alangkah tidak bergunanya semua perasaan ini.

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG

Resep Si Onis : Chaotic (Part 28)

CHAOTIC

Aku masih berdiri di dalam ruangan Fujiyama san sambil memegang kertas itu. Aku masih belum bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan semua ini. Terus terang aku pun masih bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa sampai ini semua menimpaku? Dan kenapa harus ada Dian yang terlibat tidak sengaja di dalamnya?

Fujiyama san masih berdiri menunggu penjelasanku. Dian masih duduk dengan tenang menungguku untuk mulai berbicara. Akhirnya Fujiyama san berinisiatif untuk menunda ini semua.

"Saya ada meeting di luar sebentar lagi. Saya akan tunggu Tanabe san kembali dari rapat di Cikarang, lalu kamu dan dia akan saya panggil lagi ke sini," katanya akhirnya.

Aku menarik nafas lega. Paling tidak aku masih punya waktu untuk meluruskan ini semua.

Aku menganggukkan kepala dan membungkukkan badanku sekilas lalu keluar. Kulirik sekilas Dian yang sudah berdiri dan siap-siap untuk keluar ruangan juga.

Begitu sampai di luar Dian menyenggolku dengan sengaja.

"Kelakuan brengsek emang susah buat disembunyiin, Fan. Siapa sangka lo bisa ngirim e-mail kaya gitu ke gue," katanya dengan nada rendah sambil berlalu dari hadapanku.

Aku hanya bisa diam mendengarnya. Sumpah, aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.

Aku segera kembali ke lobi mencari Onis. Kulihat lobi kosong. Pak Ganda tengah duduk di kursiku.

"Onis mana?" tanyaku pada Pak Ganda yang sedang berputar-putar di kursiku..

"Ke toilet katanya, Fan..." jawab Pak Ganda.

Aku segera melangkah cepat ke dalam, mencarinya.

Brak! Brak! Kupukul pintu toilet yang terkunci itu dengan keras.

"Onis! Keluar lo sekarang!" kataku tidak bisa menahan geram.

Pintu terbuka, dan keluarlah Onis dengan wajah sembab. Kelihatannya dia habis menangis. Tapi peduli setan, aku cuma mau minta penjelasannya tentang kertas yang ada di tanganku saat ini.

"Apa ini?" tanyaku mendesis ke wajahnya sambil menunjukkan kertas itu.

Onis tampak kebingungan sambil mengambil kertas itu dan membacanya.

Seketika mukanya berubah menjadi panik.

"Astaga, Fan! Astagaa!!! Sori, Fan! Soriiiii...." katanya memohon-mohon maaf padaku.

"Apaan ini?" tanyaku lebih keras lagi tidak peduli pada permintaan maafnya.

Onis terduduk di kursi di dalam toilet itu dan menangis tanpa suara.

"Maafin gue, Fan! Ah, gila...kemana pikiran gue? Gue mau kirim e-mail itu buat Tommy...Gue kirain gue masih di e-mail gue, Fan. Ternyata masih dalam e-mail lo..." jelasnya dengan suara lemah.

"Bukan itu yang gue tanyain! Gue nggak masalah lo salah make akun gw ngirim e-mail ke siapa-siapa. Itu bisa dijelasin. Tapi isi e-mail ini...isi e-mail ini...Apa-apaan ini?" tanyaku kembali dengan suara meninggi.

Aku benar-benar emosi menghadapinya. Dan dia sekarang menangis lagi tersengguk-sengguk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Kubaca lagi tulisan di kertas itu. Bahasa Inggris ala Onis jelas terbaca.

To : Dian Susanti / Assistant to HRD

Cc : Fumitaka Tanabe / HRD Manager of Misako & Co,. Ltd

From : Fani Ellyana / GA Staff

After a long thought, I will do what you asked me to do. I will get rid of this baby, if it is what you want.

I just need you to come with me when I do this. Will you come with me?

I checked the doctor's address and you're right. He does abortion.

Kugeleng-gelengkan kepala lagi membacanya. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kubaca barusan.

"Jadi lo lagi hamil, Nis?" tanyaku dengan kasihan padanya.

Onis menggangguk lemah sambil masih menghapus air matanya dengan selembar tissue.

"Tommy nyuruh gue gugurin, Fan. Gue sebenernya nggak mau, Fan. Gue nggak mau bikin kesalahan dua kali," katanya.

"Lho? Dua kali?" tanyaku bingung. "Dulu waktu sama Deni katanya lo keguguran?" tanyaku teringat dengan ceritanya.

"Gue bohong, Fan. Gue juga aborsi waktu itu. Gue aborsi tanpa sepengetahuan Deni. Makanya Deni marah banget sama gue waktu itu. Dia bilang dia mau tanggung jawab, tapi kenapa gue malah gugurin janin gue waktu itu. Ahh...semuanya kacau sejak kejadian itu, Fan...Gue nggak sanggup mikirinnya..." kata Onis dengan galau.

Aku terdiam tidak tahu harus berkata apa. Kejadian ini benar-benar tidak disangka-sangka. Dan aku terjerumus ke dalam masalah Onis dengan cara yang tidak kuduga. Saat ini otakku kosong tidak mampu mencari jalan atau celah kecil sekali pun untuk bisa keluar dengan bebas dari dalamnya.

Aku serba salah. Aku bisa saja mengatakan kalau itu e-mail salah kirim. Tapi apa aku perlu mengatakan kalau itu e-mail milik Onis? Aku tidak mau menjadi mulut ular menjerumuskan teman sendiri ke dalam kesulitan. Tanpa kuadukan, Onis sudah cukup punya kesulitan saat ini. Kecuali kalau dia mau menjelaskannya sendiri kepada Fujiyama san.

"Jadi gimana dong sekarang? Fujiyama san udah tau soal ini. Dia mau manggil gue sama Tanabe nanti sore atau besok. Gue harus ngomong apa, Nis?" tanyaku bingung.

"Maaf banget ya, Fan...Lo jadi ikut-ikutan terseret ke dalam masalah gue ini. Gue...masih belum tahu harus ngapain sekarang, Fan. Mikirin gue mau aborsi aja pikiran gue udah kacau gini...." katanya dengan tatapan kosong.

Aku kasihan sekali sebenarnya melihat temanku seperti ini. Aku ingin sekali menolongnya, tapi sekarang ini keadaanku juga sedang terjepit. Sepertinya aku harus menyelesaikannya sendiri dengan caraku, pikirku.

"Gue ke depan dulu, ya...And, by the way, gue harap lo mikir-mikir seribu kali sebelum lo aborsi, Nis..." kataku padanya.

Dia diam saja mendengar ucapanku. Aku melangkah keluar toilet. Aku harus menelpon Tanabe san untuk memberitahunya mengenai kesalahpahaman ini.

Kuhubungi handphonenya dari handphoneku. Tidak diangkat. Aku belum pernah menelponnya sejak kami pulang dari Bandung sebulan yang lalu. Dia juga tampak dingin padaku di kantor sejak itu. Dia tidak pernah tersenyum atau menyapaku lagi. Semua urusan kantor yang berhubungan denganku diserahkannya pada Dian.

Kukirim pesan singkat.

Tanabe san, please jawab telpon saya. Ada sesuatu yang penting!

Tidak lama kemudian aku menerima balasan :

Maaf, saya sedang sibuk.

Aku mendecakkan lidah dengan kesal. Bukan saatnya untuk bertingkah seperti anak kecil yang sedang ngambek kayak gini, kataku kesal dalam hati. Aku duduk tidak berdaya di kursiku. Kulihat layar komputer yang masih menampilkan akun e-mail milikku. Aku keluar dari akunku dan masuk ke akun milik Onis. Aku baca beberapa e-mail dari Tommy untuknya. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mudah-mudahan Onis tidak keberatan. Toh dia sudah menceritakan semuanya padaku.

Tiba-tiba Andi muncul dari dalam dengan tergopoh-gopoh. Mukanya terlihat sangat penasaran.

"Fani! Lo tekdung sama Tanabe?" tanyanya dengan suara yang lumayan kencang.

Kupukul kepalanya spontan.

"Suara lo kecilin dikit, bego!" kataku kesal.

"Jadi bener?" tanyanya dengan berbisik.

Aku menggeleng. Dan dia kelihatan bingung sekarang.

"Salah paham, Ndi. Bukan gue yang hamil..." jawabku menggantung.

Dan perlahan tapi pasti wajah Andi berubah menjadi mengerti. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Onis?" .

Aku menggangguk pelan. Rasanya tidak perlu aku tanyakan dari mana Andi mendapatkan berita kalau aku hamil oleh Tanabe san. Sedetik setelah aku keluar dari ruang Fujiyama san tadi aku sudah tahu kalau berita itu akan langsung tersebar ke seluruh kantor. Bisa apa aku? Aku cuma mau pulang ke rumah sekarang.

Sore itu jam empat, dan menjadi satu jam terlama dalam sejarah aku bekerja di Misako menunggu jam lima datang. Onis tetap belum kembali dari toilet sampai aku bersiap pulang. Dan tampaknya Fujiyama san juga belum kembali dari meetingnya di luar kantor. Aku bernafas lega. Paling tidak masih ada waktu untuk menghubungi Tanabe san nanti malam. Mudah-mudahan dia mau menjawab telponku nanti malam.

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG

Resep Si Onis : Ada Apa dengan Onis ? (Part 27)

ADA APA DENGAN ONIS?

Kembali ke kantor dengan kesibukan yang sama. Tidak terasa sudah setahun aku bekerja di Misako. Onis tidak jadi bertemu denganku di Bandung ketika ada acara gathering itu. Dia cerita padaku kalau Tommy mengajaknya melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Pantas saja hari Seninnya dia bolos.

Aku ceritakan pada Onis tentang Deni dan Dian. Onis hanya tertawa kecil mendengar ceritaku. Dia benar-benar sudah tidak berminat membahas tentang Deni sepertinya.

Ada yang aneh dari Onis beberapa hari ini. Dia kelihatan seperti orang bingung. Sering sekali membuat kesalahan yang tidak perlu. Kemarin dia salah meletakkan surat. Harusnya untuk bagian Steel, ditaruhnya di mailbox milik bagian Textile. Akibatnya, Pak Ganda harus keliling seantero kantor mencari surat yang salah alamat itu. Dua hari yang lalu dia salah menuliskan jadwal pesanan ruang meeting. Akibatnya sudah bisa ditebak, saat tamu yang dimaksud datang, ruang meeting tidak tersedia karena terisi oleh orang lain. Aku dan Onis kena omel sekretaris Kawanishi san.

"Lo lagi kenapa sih, Nis? Gak biasa-biasanya ngaco gini?" tanyaku bingung padanya.

"Mmm? Nggak apa-apa..." jawabnya singkat sambil melihat ke arah komputer.

"Masih lama gak pake komputernya? Gue mau lihat pesanan ruang meeting yang baru," kataku padanya.

"Eh, ya udah...pake aja nih..." katanya seperti tersadar dari lamunannya.

Aku menatapnya dengan bingung. Benar-benar seperti orang linglung si Onis semingguan ini.

Aku duduk di depan komputer dan log out dari akun milik Onis. Kemudian aku log in kembali ke akun milikku. Ada dua buah pesanan ruang meeting. Salah satunya dari Dian, memesan ruang meeting untuk Tanabe san. Kulihat dia memforward e-mail ini untuk Tanabe san juga. Aku segera follow up ke dua pesanan itu.

Onis masih duduk saja di sebelahku diam. Matanya menerawang ke arah luar jendela. Aku malas bertanya-tanya. Sepertinya dia juga tidak mau berbagi padaku tentang apa yang sedang dirasakannya belakangan ini.

Kuperhatikan beberapa hari ini penampilannya juga terlihat agak kacau. Tidak seperti Onis yang biasanya. Dandanannya tidak full seperti biasa, malah kemarin dia datang ke kantor tanpa make-up sama sekali. Benar-benar aneh. Onis yang aku kenal tidak akan keluar rumah tanpa make-up terpasang di wajahnya. Sedangkan rambut yang berantakan saja bisa membuat dia membatalkan janji makan siang, bukan?

Tiba-tiba serombongan tamu datang. Kami sudah biasa menghadapi situasi yang mendadak ramai seperti sekarang ini. Satu menit sebelumnya lobi lengang seperti kuburan, menit berikutnya kami akan pontang-panting bolak-balik mengantar tamu dan surat-surat yang datang bersamaan menyerbu kami.

Kutinggalkan komputer begitu saja. Biar bagaimana, melayani tamu adalah tugas utama kami. Konfirmasi ruang meeting itu bisa menunggu, pikirku. Aku mengantar dua orang tamu Nakanishi san ke ruang meeting lima. Onis mengantar seorang tamu untuk Kobayashi san ke ruang meeting delapan. Tiga orang kurir masih kami biarkan menunggu di lobi.Setelah aku kembali dari mengantarkan tamu-tamu itu aku segera mengangkat telpon untuk menghubungi pantry. Dua tamu plus Nakanishi san, berarti tiga kopi, aku berusaha mengingat-ingat agar tidak salah pesan.

"Fan, sekalian buat ruang delapan, dua ocha!" kata Onis begitu tahu aku sedang menghubungi pantry.

Aku mengangguk. Dia kembali duduk di depan komputer. Aku masih sibuk menerima surat dan paket dari tiga orang kurir tadi. Ternyata salah satu paket itu harus diantar langsung kepada Fujiyama san. Mau tidak mau aku membawanya sendiri ke dalam untuk memberikannya langsung kepada Syasya.

Ffiiuh...Aku berbelok ke arah pantry sebelum kembali ke lobi. Aku mau duduk sebentar di pantry sambil minum teh manis hangat.

"Mbak Fani, kopi buat ruang delapan, ocha buat ruang lima, kan?" tanya Ida saat melihatku masuk ke dalam pantry?

"He? Salaah! Kebaliiik! Udah dianter ya?" tanyaku panik.

Kesalahan kecil seperti ini bisa jadi masalah besar bagi para Jepang-Jepang itu. Aku sudah pernah beberapa kali melakukannya dan kena teguran langsung dari mereka. Menurut mereka sungguh tidak sopan karena tidak mendengarkan apa pesanan minuman mereka.

"Yaah...Udah dianter Yuli...," kata Ida dengan polosnya.

Aduuh...tampaknya aku harus kembali lari-larian mengejar Yuli ke dalam lagi. Aku segera berlari menyusul Yuli. Mudah-mudahan masih sempat.

"Yulii! Ocha buat ruang delapan! Jangan kebalik!" kataku setengah berteriak melihat Yuli sedang berdiri di depan ruang meeting delapan memegang baki penuh dengan minuman.

"Oooh...kebalik ya? Untung aja, belum sempet ditaro, Mbak," kata Yuli.

Aku menghela nafas lega. Selamaaat...

Aku kembali lagi berjalan menuju pantry. Kutelpon Onis dari pantry.

"Nis, gue di pantry. Capek gue bolak-balik. Mau minum teh dulu ah..." kataku padanya.

"OK..." jawabnya singkat.

Setengah jam lebih aku duduk-duduk di pantry. Aku tidak khawatir Onis akan marah padaku. Kami sudah biasa begitu. Kalau dia mendadak sibuk lagi di lobi, dia pasti akan menelponku ke pantry. Tapi kelihatannya Onis memang lagi senang sendiri belakangan ini. Jadi aku juga tidak mau mengganggunya, kecuali kalau urusan pekerjaan.

Kriing! Telpon pantry berbunyi mengejutkan aku yang sedang memejamkan mata sambil bersender di kursi. Yuli mengangkatnya.

"Ya, mbak.." katanya lalu menutup telpon itu.

"Mbak Fani, disuruh ke depan sama mbak Onis," kata Yuli padaku.

"OK," jawabku sambil meregangkan tubuhku dengan malas.

Onis memandangku dengan pandangan khawatir begitu aku sampai di lobi..

"Kenapa?" tanyaku bingung melihat raut wajahnya yang aneh itu.

"Syasya nelpon lo barusan. Lo disuruh ke ruang Fujiyama san sekarang," katanya dengan nada khawatir.

Aku jadi ikut-ikutan bingung sekarang. Ada apa GM memanggilku? Apa aku buat kesalahan? Tapi apa? Mendadak kelakuan jelekku muncul lagi. Ketakutan tanpa alasan yang jelas. Duh, benar-benar mental bawahan, batinku dalam hati mengutuki kelakuanku.

Sampai di dalam aku menghampiri meja Syasya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruang Fujiyama san.

"Ada apa ya, Sya?" tanyaku bingung berusaha mendapat sedikit informasi darinya.

Syasya hanya menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan sekarang.

"Eh, Fan...di dalem ada Dian. Aku nggak tau dia mau ngapain, yang pasti dia bawa-bawa kertas ke dalam tadi. Nggak lama Fujiyama san nyuruh aku manggil kamu," kata Syasya sebelum aku mengetuk pintu ruangan Fujiyama san.

Nahloo? Ada apa lagi ini? Pikiranku tambah kalut. Apa Dian sedang melakukan upaya balas dendam ke aku? Tapi apa yang bisa dia katakan kepada Fujiyama san? Aku pacaran dengan Tanabe san? Apa dengan alasan begitu saja Fujiyama san akan memecatku? Rasanya tidak. Jadi kenapa nih?

"Selamat sore, Fujiyama san," sapaku ketika masuk ke ruangannya.

Dian tampak sedang duduk tenang di depan Fujiyama san. Dia melihatku dengan pandangan sinis dan sedikit senyum tersungging di ujung bibirnya.

"Fani san, silahkan duduk. Saya perlu penjelasan tentang ini," kata Fujiyama san langsung tanpa basa-basi sambil menyerahkan selembar kertas print out sebuah e-mail kepadaku.

Kuambil kertas itu dan segera membacanya. Seketika jantungku seperti berhenti. Tanganku bergetar tidak karuan. Untuk sesaat aku berpikir aku akan pingsan. Tapi ternyata aku cukup bisa menguasai diriku. Dan sekarang satu-satunya yang ingin aku lakukan adalah mencekik leher Onis!

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG