Jumat, 08 Desember 2017

Comparison is The Killer of Confidence

  5 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Comparison is the thief of joy. 

Kalau boleh agak keras dikit, comparison is the killer of confidence. Oh yes, this is gonna be long. 😅 


Berapa sering kita baca artikel parenting yang mengatakan, jangan membanding-bandingkan anakmu dengan anak orang lain? 

"Si Anu udah bisa baca, kok kamu belum juga?" 
"Sepupumu udah hapal satu juz, kamu baca quran aja masih plintat-plintut." 
"Kamu gak pengen kayak si Onoh, ranking satu terus?" 

Udah tau sih teorinya, jangan banding-bandingin anak dengan anak lain, tapi susah juga gak blingsatan kalau ngeliat anak seumuran anak kita berprestasi, udah bisa ini itu, punya piala selemari. Panas, sis! Panassss. Mikirnya, kurang apa gw jadi ortu? Ngajarin anak full, pake pecut segala. Tapi kok gak bisa kayak anak lain? #pecut 

Lompat ke si anak dulu. Gw sering banget liat, anak2 abege/kuliahan bikin status, "Gue cuma mau bikin orang tua gw bangga." Maaf, gw sedih bacanya. Cita-cita kok cuma mau bikin orang tua bangga? Apa selama ini orang tuanya gak pernah bangga sama dia? Apa dengan melahirkannya aja gak cukup udah jadi anugerah terbesar dari Tuhan? Kenapa harus jadi beban anak untuk membuat orang tuanya bangga? Kenapa anak jadi mengejar prestasi demi membuat bangga orang tuanya? 

Tentu aja gak salah punya keinginan membuat bangga orang tua. Tapi sebagai orang tua, gak perlu nunggu anak berprestasi, menang lomba, ranking satu, hapal seluruh isi kitab suci dulu kan untuk menunjukkan kita bangga sama mereka? 

Gw selalu percaya bahwa ketrampilan perlu diasah, termasuk terampil melihat kelebihan anak. Kadang kita suka lupa anak kita gak pernah berantem atau bikin masalah di sekolah, karena galau nilai-nilainya di sekolah kurang bagus. Kita gagal melihat anak kita selalu jadi yang pertama membagi bekalnya ke teman-temannya, karena mumet mikirin tinggal dia sendiri yang belum bisa baca di kelas. Kita bahkan gagal mengingat kalau setiap malam dia tak pernah lupa mencium kita sebelum tidur, karena siangnya kita nelongso liat lemari tetangga penuh sama piala-piala anaknya.

Sadar atau tidak, walaupun kita berusaha tidak mengatakannya, kekecewaan kita mungkin tercermin di perilaku kita ke mereka. Anak selalu pulang tepat waktu, gak pernah nongkrong dulu, jadi sesuatu yang biasa aja dan gak pernah dihargai. Kita terlalu fokus memikirkan prestasi besar apa yang belum bisa dicapai anak, sehingga yang "kecil" menjadi tidak penting dan kelihatan. Padahal yang "kecil-kecil" itu yang membentuk pribadi mereka. Semakin kita hargai, akan semakin mantap langkahnya dalam menjalani masa2-masa tumbuhnya. Rasa percaya dirinya akan tersusun rapi seperti lego tinggi, dibangun dari paling bawah satu per satu, dengan fondasi lebar dan kuat, yaitu dukungan dan penghargaan org tua atas dirinya.

Orang dewasa, oranh tua, saya juga, kadang suka jago berkilah, kita membandingkan mereka agar mereka termotivasi untuk mau belajar/bekerja lebih keras. There are probably more than a thousand other ways to motivate your children. Silakan cari mana yang sesuai, dan yang penting, yang tidak meninggalkan kerusakan psikis ke anak kita, yang tidak merusak rasa percaya dirinya, yang tidak menimbulkan kekesalan dan kemarahan dalam hatinya.

In the long term, membanding2kan anak kita dengan anak lain, bisa menimbulkan dendam, amarah dan kekecewaan. Sebelum anak2 kita berbalik memusuhi kita karena mereka mulai putus asa tidak berhasil memenuhi standard orang tuanya, mending kita sebagai orang tua yang mulai belajar untuk bisa menghargai anak, mendukung apa yang ingin dilakukannya dan tidak pusing dengan apa yang orang lain punya. 

Jadi nanti, ketika anakmu berkata, "I want to make you proud, mom, dad." Katakan kepada mereka, "That's good! But I'm already proud of you, and I will always be. So, it's not something you need to work on, you already make me proud. Let's focus on the bigger thing, what do you want to do? I'll support you, as always."
*catatan hati* *hati yang baper* 😂

Selasa, 14 Maret 2017

Orang Tua Anak Bilingual Sering Kena Cap Ini?

  14 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Pa kabaaar? Cuti lama beud, mak? Keenakan ini mah saya. :') Mau ngasih alesan apa lagi deh, kalo ujung-ujungnya sebenernya emang kebawa males aja. Jadi buat yang belum ngalamin fase males ngeblog, kalo berasa rada bosen-bosen dikit, jangan diturutin kayak saya, yah. Begini akibatnya. 

Tapi sejujurnya, saya bukan cuma lagi nurutin males nulis aja, kok. *mulai defensif* Tahun 2017 ini anak-anak saya emang mulai banyak butuh perhatian extra. Fadhil, yang gede, misalnya. Dia udah masuk umur ABG sekarang. Lagi judes-judesnya sama emaknya. :( Ditanya sesuatu, jawabnya singkat-singkat aja. Giliran emaknya baper, dia ngeliatin saya aneh. Bhik. Jaman saya segede dia, boro-boro berani ngeliatin orang tua kayak gitu. Jadi sama dia ini saya lagi main layangan, tarik ulur, tarik ulur. Kalo terlalu diperhatiin kayak anak kecil, dia kesel. Kalau dicuekin, saya yang takut dia kebablasan. Butuh seni tersendiri ngadepinnya. Ngik.




Kalau sama Safina, tahun ini juga mulai banyak tantangannya. Mungkin beberapa yang suka ngikutin serial bilingual kids saya di sini udah tahu ya kalau Safina ini berjuang banget untuk menyesuaikan diri di sekolahnya karena masalah bahasa. Dia yang lebih senang berbahasa Inggris sehari-hari, ketika di sekolah semua pelajaran disampaikan dalam bahasa Indonesia, mau gak mau harus kerja lebih keras dibanding teman-temannya. Tapi seperti yang saya ceritakan di sini, itu challenge buat saya sebagai orang tua sebagai konsekuensi menyekolahkan anak bilingual ke sekolah negeri. 

Ngemengin soal anak bilingual lagi, apalagi di Bekasi, yang katanya Jakarta aja mesti lewat dua belas gate buat bisa masuk ke sini, orang suka aneh aja ngeliatin saya ngobrol bahasa Inggris sama Safina. Saya kenyang ditatap dengan penuh arti begitu. Seringnya suudzon, ni orang-orang ngecap saya sok bule kali, ya? *baperan* Etapi jujur, deh. Sering ngecap begitu gak, misalnya waktu denger Cinta Laura ngomong di tivi? Duile, ngomong sampe amburadul gitu kecampur-campur. Atau liat video artis sama anak-anaknya di Instagram, ibunya yang artis keukeuh ngomong bahasa Inggris, eh dijawab pake bahasa Indonesia, trus yang nonton langsung ketawa seneng campur ngenyek, "Hahaha! Sok bule, padahal anaknya nggak bisa ngomong Inggris." Mari kita tanyakan pada hati masing-masing, pernahkah kita begitu? Wkwkwkwk, penting.

Dulu sebelum punya anak dan memutuskan untuk membesarkan mereka secara bilingual, saya termasuk orang tukang nge-cap gitu. Setelah ngalamin sendiri, kapok. Ya kan emang udah gitu hukum alamnya, ditampol dulu, baru ngerti.-_- Ada beberapa cap yang pernah saya (mungkin kamu juga) pernah berikan ke mama-mama "sok ng-Inggris" ini. Karena sekarang saya menjadi bagian dari emak anak bilingual, sekalian saya coba jelaskan sedikit ada apa di balik itu semua. Hayah, ribet banget bahasa lo, mak.


Sok Bule

Sering diliatin di tempat umum kalau tiba-tiba anak jerit-jerit pakai bahasa Inggris? Sama! Beberapa kali saya nangkep pandangan mata orang berlanjut jadi jelalatan, kayak nyariin bapaknya. Mungkin berharap bapak anak saya orang asing, jadi gak perlu penjelasan lebih lanjut kenapa ni anak bermuka lokal tapi ngemeng londo. Hihihi.
Teman-teman, jaman sekarang udah banyaaaak keluarga murni pribumi yang mengaplikasikan pendidikan bilingual untuk anak-anak mereka. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, tujuan masing-masing keluarga berbeda-beda. Untuk saya pribadi misalnya, tujuan utamanya adalah untuk mempermudah anak-anak saya berkomunikasi dengan sepupu-sepupu mereka yang semuanya tinggal di luar negeri. Mungkin ada orang tua bilingual lain yang punya tujuan lebih besar, seperti ingin mempersiapkan anaknya sejak dini untuk bersekolah di negara tertentu. Ya bebas-bebas aja. Jadi, gak mesti bapak atau ibunya bule dulu atuh, kan?

Gak Nasionalis

Cih! Bahasa Inggris lancar, bahasa Indonesia belepotan. Gak cinta negeri sendiri kamoh!
Lalu Hayati nangis. Gak segampang itu menilai nasionalisme seseorang. Lancar tidaknya anak bilingual berbahasa asing (bukan bahasa ibu/asalnya) dipengaruhi oleh banyak hal. Yang paling besar mempengaruhi (ini pengalaman pribadi) adalah kecenderungan anak itu sendiri. Dua anak saya punya kecenderungan berbeda, Fadhil cenderung lebih nyaman berbahasa Indonesia, Safina sebaliknya. Apa Fadhil nasionalis, lalu Safina nggak? More of that, apa saya sebagai ibunya nggak nasionalis? Balik lagi ke point satu, kami punya goal, visi dan misi saat memutuskan untuk ber-bilingual di rumah.
Don't worry, kami masih pasang bendera merah putih tiap tanggal 17 Agustus, kok. Anak-anak hafal lagu kebangsaan, kok. Dan mereka sekolah di sekolah negeri, dan ini juga bukan karena menganggap yang sekolah di sekolah internasional gak nasionalis, ya. Murni masalah biaya ini, mah. Wkwkwkwk. Cetek amat sih, mak ukuran nasionalisme-nya? Ya sama dong ceteknya dengan mengukur nasionalisme keluarga kami dari bahasa sehari-hari yang kami pergunakan, di mana itu adalah hak kami sepenuhnya. Merdeka!


Kocak! Emaknya Sibuk Nginggris, Anaknya Jawab Pake Bahasa Indonesia

Hehehe. Ini asik banget jadi bahan ngenyek, ya. Semacam, "Ciaaan deh lo, susah-susah nampilin image kebule-bulean, tau-tau anaknya ngejawab pake bahasa Indonesia logat Betawi!" Terus ketawa setan, "MWAHAHAHA!"
Hush! Sini ya, saya kasih tau, setiap anak bilingual, sebelum dia memasuki fase cenderung memilih salah satu bahasa yang nyaman, akan melalui fase "suka-suka gue mau jawab pake bahasa apa". Hahaha, gak ilmiah banget, mak. Ya tapi emang gitu, sik. Anak yang dikenalkan ke lingkungan bilingual sejak bayi, berarti kan mendengar dua bahasa. Jadi wajar banget dia mau pakai bahasa yang mana, karena buat mereka, intinya adalah komunikasi, maksud tersampaikan.
Waktu anak-anak saya masih balita, sering banget kok kejadian kayak gini, dan emang sering ketangkep senyum sinis orang-orang yang gak sengaja denger.
"Safina, finish you meal!" Terus Safina jawab, "Gak mau! Nana mau maen!" Atau, "Fadhil, put on your shoes now." Dijawab, "Bentar dulu napa, Ma?" Napa? Napa? Et, dah! Hahaha, ya maklum pan, bapaknye orang Betawi aslik, kita tinggal di Bekasi, ya kali anak-anak saya gak nyerap sedikit pun logat Betawi. Mau emaknya casciscus setiap hari, kan bapaknya berbahasa Indonesia. There's a reason why it's called BILINGUAL. :D 

So, apa punlah, ini bukan buat menampilkan image tertentu atau supaya dilihat orang lain seperti apa. Ini murni soal pilihan masing-masing orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Gak usah ngenyek-ngenyekan. Motherhood udah berat banget sama perang ASI-susu formula, working mom-stay home mom, lahiran normal-cesar. Gak usahlah ditambah sama yang ini. Hihihihi.

Anyway, kalau ada teman-teman sesama penggiat bilingual di rumahnya, boleh dong share pengalamannya. Atau kalau ada yang mau tanya-tanya lebih jauh pengalaman saya mendidik anak bilingual selama 13 tahun terakhir ini, monggo. :* 

Sebagai penutup, ini ada "mini essay" yang ditulis Safina kemarin, judulnya Sharing. Yang bikin saya bangga bukan karena dia menuliskannya dalam bahasa Inggris, tapi isi dari tulisannya. Have a nice day. :*

SHARING
by Safina (8 years old)

"Did you know that sharing is caring? Sharing and caring to poor people is very nice of people and share everytime  makes you a good person. Being a good person makes you go to heaven. Share anything that's useful for poor people like a toy house or a chess or even better, a(n) oven for cooking, right?"

Selasa, 14 Februari 2017

Live di Facebook atau Instagram?

  8 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum!


UPDATE! 
Mulai 20 Maret 2017, Live Instagram sudah bisa di-save. Jadi beberapa poin di bawah mungkin ada yang sudah tidak berlaku lagi. ;)


Masya Allah, Subhanallaah! Si emak emang sesuatu, sebulan lebih gak nongol di mari. Hahaha. Maklum ya, seus, orderan lettering numpuk. Berfaedah. :*

Selain sibuk bikin pesenan lettering, sebulan kemaren lagi keasikan maen-maen Live di Instagram. You know khaan, live di Facebook udah melanda sejak beberapa bulan sebelumnya. Kemudian, IG tiada mau kalah, kemudian ikutan kasih fasilitas Live. Dan apalah saya ini, emak haus darah publisitas secara langsung dan tanpa basa-basi. Live adalah solusi!


So, sebulan kemaren, saya memuaskan gairah Live saya, baik di Faceboook dan IG. Siapa yang mau nonton, mak? Huahaha. Ya, tapi kita kan PD aja. Paling sial kalau lagi Live itu emang gak ada yang nonton. Tapi selalu ada hikmah di balik itu, yakni .... bisa ngaca di kamera, ngecek jerawat. Karena rajin Live di kedua tempat itu, akhirnya saya menemukan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing Live. Dan tentu saja, seperti biasa, saya harus mengabarkannya kepada dunia. Kalian semua harus tahu, agar tak ada konstitusi konspirasi konstipasi di antara kita.  (Batalin aja kalimat terakhir itu).

Live di Facebook

- Kelebihan

Video hasil live, bisa disimpan dalam postingan di status kamu. Saya senang dengan pilihan ini, karena mostly live video saya berupa demo atau tutorial. Sayang kalau gak tersimpan. Biasanya, hasil live di Facebook selalu saya download, kemudian dipadatkan jadi video semenit, untuk dipost ke IG.  Atau langsung saya setor ke Youtube. Mayan, dapat post di beberapa lokasi dengan satu video.

Live di Facebook termasuk aman, karena kamu bisa pilih audience, tergantung settingan postingan kamu. Kalau mau live ditonton berdua aja juga bisa. Tinggal atur di privacy setting. Kalau kamu punya fanpage, live dari fanpage kamu juga bisa, kok. Saya udah beberapa kali melakukannya.

Kualitas gambar saat Live sebenernya termasuk lebih baik daripada di IG, namun entah mengapa, begitu selesai live di Facebook dan video di-post, kualitasnya langsung njapruk (jadi jelek banget). Tolong dibantu yang ngerti. -_-

Ini salah satu hasil Live di FB yang langsung saya post ke Youtube.


- Kekurangan

Kalau kamu Live di Facebook sambil pasang musik yang dikenali oleh search engine (maksudnya lagu-lagu komersil dan terkenal), maka kamu akan dijegal (((DIJEGAL))) oleh FB saat mau post video hasil Live itu dengan pertanyaan, "Apakah Anda memiliki hak atas lagu/musik yang ada dalam video ini?" Tapi don wori bebeb, itu bisa diakali dengan menjawab beberapa pertanyaan rempong lanjutan dari FB yang menjelaskan kalau cuplikan musik yang kita pakai itu hanya sebagai ilustrasi. Kira-kira demikian.

For some weird reasons yang masih misterius, Live di FB lebih sulit menjaring audience ketimbang di IG. Kalau dari analitoy (analisa sotoy) saya sih, mungkin nih, ya, mungkiin karena tampilan live di FB itu sama persis seperti postingan video biasa sehingga terkesan berat buat di-klik. Hari gini orang mikir-mikir mau klik video, sayang-sayang kuota data. Hahahaha. Apalagi cuma gue gini yang Live? Cih! Beda sama tampilan di IG yang cuma bentuk lingkaran doang, terkesan ringan, dan orang gampang aja gitu nge-klik ngintip sebentar, abis itu kabur lagi. Padahal kan kena data juga, ya? Embuh.

Live di Instagram

- Kelebihan

Cepet banget building audience-nya! Dibanding Live di FB, di IG dalam hitungan menit bisa terjaring (((TERJARING))) lebih dari 10 pemirsa. Ini ukuran saya, ya. Jangan sama-samain saya dengan Dian Sastro, please,. Aku ra sudi. (Mbak Dian apalagi!). Apa mungkin ini karena tampilannya terkesan ringan ya, cuma lingkaran kecil di pojok atas sebagai notifikasi kalau kita sedang Live. Itu ngundang banget buat di-klik.

 Dapet audience segini udah anugerah banget buat akuh. :D 

- Kekurangan

Video hasil Live-nya langsung ilaaang begitu Live session ended! Huhuhuhu. Aku sediih. Padahal kalau bisa tersimpan otomatis di galeri atau dikasih opsilah buat save atau nggak, akan lebih baik lagi (buat saya). Sebagai seorang hoarder, video pun pengennya ditumpuk di galeri. -_-

Kualitas gambar pada video tergantung banget sama koneksi kamu, kalau koneksi lagi lambat, gambar bisa jadi blur banget emang, dan suara terputus-putus. Jadi pastikan koneksimu lancar kalau mau live.

TIPS LIVE ALA EMAK GAOEL

*Lakukan kalau ingin ngehits*

- Sekali lagi, ya, kecuali kamu Dian Sastro atau Kang Emil, yang sekali pasang Live yang nonton langsung ribuan, manfaatkan kegunaan deskripsi pada judul Live karena akan membantu calon penontonmu untuk memutuskan mau nonton atau nggak. Kan ada di bagian atas tuh sebelum kita Live, semacam judul. Kasih judul yang "provokatif" biar banyak yang nongtong. Hahaha. Nggaklah, kalo saya mah kasih deskripsi singkat standard aja, supaya pada tau saya lagi Live apaan. Misalnya, "Demo Lettering Qur'an". Jadi yang minat bisa langsung tau, yang gak minat bisa langsung skip.

- Kalau mau simpen video Live, maka lakukan Live di FB. Kalau mau rame-ramean mending Live di IG, tapi risikonya video gak tersimpan. Langsung hilang tanpa bekas.

- Siapkan topik yang mau diomongin. Kalau kamu mau ngobrol sama followers, dandan dikitlah karena kan pake kamera depan. Oh iya, soal kamera depan ini, jangan nyinyir tidak berfaedah kalo lihat yang Live minum atau makan pake tangan kiri, atau salaman pake tangan kiri. Kemungkinan besar itu pake kamera selfie, kakaaak. Kebalik itu, kebaliik.

- Kalau Live-nya model demo/tutorial menggambar atau lettering kayak saya biasanya, disarankan pakai kamera belakang aja, ya. Emang jadi rada susah buat baca komentar yang masuk. Tapi kualitas gambarnya lebih bagus, sih. Kayanya. Hihihi.

- Live sambil nyetir, yay or nay? Nah, sempet panas nih kemaren, banyak yang komentarin Mbak Disas Live sambil nyetir di IG. Kok gak aman banget, sih! Buat apaan, sih? Segitu pentingnya, ya? Dan de el el de es be ge demikian. Kalo saya pribadi, yaa, kebetulan cuma sekali nyobain Live sambil nyetir mobil, karena mau ngecek koneksi stabil atau nggak kalau di jalan. Itu kan sebenernya sama aja lagi ngobrol waktu lagi nyetir. Selama kamera sudah aman terpasang di dashboard, tombol Live sudah dijalankan sebelum mulai nyetir, dan jangan sibuk baca komen orang pas nyetir. Insya Allah sih, aman. Tapi saya mah males Live lagi nyetir. Bukan apa-apa, muke gue gak enak bener kalo nyetir, tegang campur nyolot. Gak sedep dipandang. Hahaha.

Jadi, kamu pilih Live di FB apa di IG? Kalau ada yang mau nambahin, monggo lho. Terima kasiiih. :*