Jumat, 17 Juni 2011

Don't Judge A Guy From His Name

  9 comments    
categories: 
Sambil nunggu gw nerusin January 50K, baca-baca cerpen lama gw ini ya. Base on true story! Beneran! Sumpah! Asli! Nggak palsu! Berani jamin! Kualitas eksport! Sudahlah... Selamat membaca! :D

Kalo menurut lo cowok ini ganteng, belum tentu namanya 'seganteng' wajahnya...itu berlaku kebalikannya...wkwkwkwk


Sudah lebih tiga bulan aku lulus kuliah. Berharap bisa langsung mendapat pekerjaan begitu aku lulus kuliah ternyata hanya angan-angan belaka. Buktinya, tiga bulan lebih aku jadi pengangguran! Aku nyaris frustasi dengan keadaanku itu. Setiap bangun pagi aku mendapati diriku tidak punya tujuan yang harus kutempuh. Makan hanya mengandalkan yang ada di rumah tanpa ada daya financial dari dompetku untuk jajan sendiri. Mau minta sama Mama malu hati rasanya.

Satu-satunya alasan yang bisa membuatku berani untuk meminta uang ke Mama adalah untuk keperluanku ke warnet. Tentu saja Mama akan langsung memberi uang karena alasanku adalah untuk mencari-cari lowongan kerja di internet. Setiap hari selama dua jam sehari kuhabiskan di warnet untuk berselancar di situs-situs lowongan kerja. Inbox e-mailku penuh dengan lowongan pekerjaan untuk semua lulusan dan untuk semua posisi yang diinginkan. Aku tidak mau pilih-pilih. “Baru lulus aja kok belagu,” pikirku dalam hati.


Sebenarnya kalau mau sedikit sombong aku ini lulusan S1. Bisa saja aku hanya memilih lowongan kerja yang diperuntukkan untuk lulusan S1 sesuai dengan ijazahku. Tapi lihat saja kenyataannya. Sudah obral banting harga dengan tetap ikut memasukkan lamaran untuk lulusan SMA saja aku masih menganggur sampai sekarang. Apalagi kalau aku membatasi lamaranku hanya untuk lulusan S1. Ah, belum waktunya untuk sombong, bukan? Mungkin nanti, kalau pengalaman sudah banyak. Yang penting sekarang KERJA! Apa pun itu.

“Minta duit, Ma!” kataku sambil menghabiskan nasi goreng sarapanku pagi itu.

“Lhoo? Kemaren kan Mama udah kasih dua puluh ribu?” kata Mama heran.

“Ya ampun, Mamaaa..tega banget sih! Dua puluh ribu itu buat dua jam di warnet plus teh botol dua biji langsung abis, Maaa!” kataku setengah tak percaya Mama bisa mengira kalau uang dua puluh ribu yang diberikannya padaku kemarin masih bersisa.

“Makanya cepetan dapet kerja, biar nggak minta-minta duit melulu sama Mama,” kata Mama sambil bersungut-sungut membuka dompetnya.

Siapa juga mau, kale! Masalahnya yang ngasih kerjaan itu kan belum ada juga. Aku ikut bersungut-sungut, tapi dalam hati saja. Takut Mama batal kasih uang soalnya. Sebagai gantinya aku tersenyum manis pada Mama dengan harapan hari ini mau memberi lebih dari dua puluh ribu supaya aku bisa lebih lama di warnet untuk melakukan hobi baruku seminggu ini. Chatting.

Wajar saja rasanya aku tiba-tiba menemukan hobi baruku itu. Browsing internet hanya dari satu situs lowongan kerja ke situs lowongan kerja yang lain itu sungguh membosankan. Kirim-kirim e-mail lamaran kerja yang belum juga berbalas satupun hanya bisa kulakukan dalam waktu setengah jam berturut-turut. Lebih dari itu aku mati gaya. Hiburan apa yang bisa kudapat untuk mengobati jenuhku kalau bukan chatting? Meninggalkan warnet dengan begitu cepat rasanya aku merasa rugi juga. Waktu dua jam harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Lagipula siapa tahu sambil aku chatting lamaranku ada yang dibalas oleh salah satu perusahaan-perusahaan itu. Ini ngarep sih! Banget!

“Nih! Tigapuluh ribu untuk dua hari,” kata Mama kejam sambil mengulurkan selembar dua puluh ribuan dan selembar sepuluh ribuan yang sudah lecek.

“Mamaaa! Tega banget sih?” kataku merajuk berusaha membujuk.

Udah deh, nggak usah bawel. Atau mau Mama ambil lagi sepuluh ribunya?” kata Mama lagi lebih kejam dengan nada mengancam.

“Oh, tidak! Tidak!” kataku cepat sambil buru-buru memasukkan dua lembar uang itu ke dalam dompetku.

“Aku pergi ya, Ma! Assalamu’alaikum! Doain dapet kerja ya!” kataku sambil berlari keluar rumah.

Sepedaku sudah menanti dengan manis di garasi rumah. Jaket dan topi sudah terpasang dengan manis menutupi rambutku. Jangan lupa kacamata hitam. Boleh pengangguran, tapi gaya harus tetap dijaga. Ya tho?

Sampai di warnet langgananku di ujung kompleks rumah aku langsung menuju komputer kesukaanku yang berada di pojok ruangan. Aku suka sekali duduk di sana karena tepat berada di bawah penyejuk ruangan. Penyejuk ruangan itu sendiri sepertinya sudah harus diperbaiki sejak lama karena dinginnya benar-benar terasa sayup-sayup sampai di ubun-ubunku. Apalagi kalau aku duduk jauh dari penyejuk ruangan itu, pasti tidak terasa sama sekali. Tidak apa-apa sedikit ketetesan air bocorannya, yang penting aku tidak kegerahan di dalam warnet itu.

Aku mulai ritual harianku dengan memeriksa e-mail yang masuk hari ini. Tidak ada yang baru, sudah kuduga. Lalu aku mulai membuka-buka lowongan baru yang muncul hari ini. Copy paste CV dan surat lamaranku ke badan e-mail lalu kirim. Hari ini cukup sepuluh e-mail saja dulu. Aku bosan.

Aku mulai membuka chatroom yang biasa kumasuki. Kutelusuri nama orang-orang yang sedang online di sana. Entah dengan orang lain, tapi aku punya kebiasaan yang tidak biasa dalam memilih teman untuk chatting. Nama adalah faktor penentu. Jangan harap aku akan mau chatting dengan seseorang yang bernama ‘Laki-lakiganteng’ atau ‘Butuhhiburan’ atau nama-nama aneh lainnya. Hih! Nggak bakalan aku gubris ajakan chatting dari mereka. Biasanya nama-nama yang kuladeni sapaannya selalu nama-nama laki-laki yang mendekati nama-nama selebriti ganteng yang aku tahu.

Seperti hari ini, ada nama Krisna di chatroom yang aku masuki. Pikiranku langsung terbayang seorang artis terkenal dengan nama yang mirip dengan nama itu. Ah, kalau begitu coba kusapa lebih dahulu, ujarku dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.

“Halo! ASL pls!”

Semenit kemudian, “Kamu duluan.”

Enak aja! Kataku dalam hati. Nama boleh keren, tapi kalau sombong, nggak usah ya! Aku diamkan saja permintaannya untuk mengetahui info basic-ku itu. Age, Sex dan Location untuk ASL. Aku tidak mau sembarangan memberikan data-dataku walaupun itu standard saja.

Tidak lama dia menyapaku lagi. “Aku 21/m/jkt, kamu?”

Aku tersenyum menang. Dia menyerah lebih dahulu. Sengaja aku diamkan beberapa menit baru aku membalasnya.

“20/f/jkt” Tulisku singkat.

Begitu saja awalnya. Pembicaraanpun mengalir lancar. Ternyata Krisna orang yang menyenangkan diajak chatting. Dia sopan dan dari kata-kata bahasa Inggris yang sering dipakainya sepertinya dia pintar.

Tidak terasa satu jam aku habiskan sendiri untuk chatting dengannya. Aku terkejut melihat jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Pantas saja perutku mulai bergerak-gerak mencurigakan dan mengeluarkan suara-suara anehnya. Aku lapar.

“Udah dulu ya, Kris. Aku laper!” Tulisku menyudahi pembicaraan kami.

“Boleh minta nomor HP?” tanyanya.

Aku diam sejenak menimbang-nimbang. Kasih atau nggak ya? Sebenarnya aku penasaran sekali ingin mendengar suaranya. Kalau dari tulisan-tulisannya sepertinya dia laki-laki baik dan ganteng. Belum-belum aku sudah menggambarkan bentuk profil Krisna dalam pikiranku.

“Ini nomorku 081514578xx. Kalau kamu mau miscall aja.” Krisna sepertinya mengerti dengan keragu-raguanku karena lama menjawab pertanyaannya itu.

“OK,” jawabku singkat.

Cepat kilat aku simpan nomor handphone milik Krisna ke dalam handphone-ku. Nanti akan kupikir-pikir lagi apa aku perlu memberi tahu nomor handphone-ku atau tidak. Sekarang waktunya pulang.

Dalam perjalanan pulang aku tidak bisa melawan rasa penasaranku. Rasanya ingin sekali menelepon nomor yang diberi Krisna kepadaku tadi. Entah kenapa, pembicaraan kami tadi begitu berkesan untukku.

Dia bercerita kalau dirinya punya usaha warnet. Pantas saja dia bisa leluasa chatting. Kukira dia pengangguran seperti aku. Dia juga bilang kalau dia baru saja lulus dari kuliahnya di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta dan dengan bangga memiliki gelar Sarjana Hukum di belakang namanya. Paling tidak dia orang yang berpendidikan, pikirku dalam hati.
Tapi selain itu aku tidak punya informasi apa-apa tentang Krisna. Duh, bagaimana ini ya? Rasa penasaranku makin besar. Tapi untuk menghubunginya aku takut kalau ternyata dia berbohong dan bukan orang baik-baik.

Sudah sering aku mendengar cerita-cerita penipu-penipu berkeliaran di internet mencari perempuan-perempuan lugu untuk ditipu dan dimanfaatkan. Aku tidak mau terjebak. Aku bergidik membayangkan kalau-kalau Krisna adalah salah satu dari penipu-penipu itu.

Tapi rasanya nggak mungkin, deh! Sebuah suara lain yang mendukungku untuk meneleponnya menampik prasangkaku. Kelihatan kok kalau seseorang itu tulus atau bohong. Krisna itu tadi sepertinya memang seperti dia apa adanya. Tidak ada yang ditutup-tutupi atau dibuat-buat. Aku tahu, ini memang argumen yang lemah sekali. Aku terlalu mengikuti rasa penasaranku saja.

Aku masih sibuk menimbang-nimbang sampai di depan rumahku. Ah, mungkin sebaiknya aku makan dulu agar bisa berpikir dengan jernih. Perutku sudah menjerit-jerit sejak tadi. Kuputuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Lalu sholat Dzuhur. Dan mungkin kalau tidak mengantuk baru aku bisa memutuskan apakah aku harus meneleponnya atau tidak.
Apa daya, makan siang yang dimasak Mama hari ini sedap sekali. Rendang ayam dan gulai daun singkong. Nyam! Aku tambah dua kali. Dan hasilnya mataku berat sekali sesudahnya. Rasanya tidur siang mungkin tidak mengapa. Ups, belum sholat Dzuhur!

Aku pun sholat Szuhur sebelum pergi tidur mengikuti kantukku. Mataku sudah setengah terpejam saat televisi di kamarku menampilkan sebuah acara. Krisna Mukti yang tampil sebagai pembawa acaranya. Melihat namanya tertulis di layar televisi tiba-tiba saja kantukku hilang.

Wah, ini pertanda dari Tuhan kalau aku harus meneleponnya. Ya, ya, aku tahu ini amat sangat terdengar berlebihan alias lebay. Habis mau bagaimana lagi? Sejak tadi memang aku ingin sekali meneleponnya. Atau miscall aja deh!
Kuambil handphone biruku lalu dial nomor dengan nama Krisna yang baru beberapa jam yang lalu kusimpan di sana.
Tuuut! Tuuut! Dua nada panjang terdengar sebelum sebuah suara menjawab di seberang telepon.

“Assalamu’alaikum!” Sebuah suara berat menyapa.

Aku gugup. Cepat-cepat kumatikan handphone-ku. Duh, kenapa jadi deg-degan begini sih? Aku bingung sendiri. Suara itu..aduuuh, dari suaranya saja aku sudah bisa membayangkan wajahnya yang gagah seperti yang baru kulihat di televisi tadi. Walalupun aku bukan penggemar Krisna Mukti, paling tidak bayanganku tidak jauh-jauh dari wajah ganteng artis-artis yang sering kulihat di televisi.

Aku senyum-senyum sendiri setelah kuputuskan hubungan di handphone-ku barusan. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi.
“Krisna” Namanya muncul di layar handphone-ku.

Mama! Dia menelepon balik! Bagaimana ini? Bagaimana Ini? Aku panik dan bingung. Kujawab atau tidak ya? Aduh, Bagaimana dong? Kubiarkan handphone-ku berdering lebih lama sambil masih berpikir.  Sampai akhirnya handphone-ku diam tak berbunyi lagi. Dia menyerah. Ya sudahlah.

Semenit kemudian sebuah SMS masuk.

“Halo, Dinda! Kenapa nggak diangkat? Malu ya?” Dari Krisna.

Hey, kenapa dia yakin sekali kalau itu aku yang meneleponnya tadi? Ih, GR! Aku setengah dongkol karena tuduhannya benar dan telak. Cepat kuketik SMS balasan sambil menahan senyum-senyum yang anehnya sejak tadi memang tidak mau pergi dari bibirku. Terus terang aku memang merasa aneh sejak selesai chatting dengan si Krisna ini.

“Maaf, ini siapa, ya?” Tulisku. Lalu kutekan tombol send. Beres, kataku sambil terkikik dalam hati.

“Lho? Kan kamu yang nelpon aku tadi? Ini bukan Dinda, ya? Maaf kalau begitu.” Satu menit saja menunggu balasannya.

Aku tertawa geli. Rasanya dia memang orang baik. Lebih baik kutelepon saja dia sekarang.

Pembicaraan perdana dengan Krisna di telepon berlangsung singkat. Hanya lima menit saja. Tapi lima menit itu akhirnya membuat aku tidak bisa tidur malam harinya. Suaranya…aduuuh! Empuk-empuk gimanaaaa geto!

Akhirnya setiap hari kami saling menelepon. Kadang Krisna yang menghubungiku. Kadang aku yang menghubunginya dari telepon rumahku. Bukan apa-apa, jatah uang ke warnet saja aku masih minta Mama, darimana aku mau dapat uang ekstra untuk beli pulsa? Maka sebuah kebiasaan baru mulai kujalani. Menelepon Krisna diam-diam saat semua penghuni rumah sudah terlelap. Tentu saja aku harus berbicara dengan suara sepelan mungkin agar Mama, Papa dan adikku Dini tidak mendengarnya.

Tepat dua minggu setelah kami saling mengenal melalui telepon, dia mulai berani bertanya-tanya dimana rumahku. Walaupun tidak secara gamblang aku katakan padanya, namun dengan jujur aku berikan gambaran daerah tempat tinggal kami. Aku tidak punya niat sama sekali untuk membohonginya. Karena dia pun sepertinya memang berbicara jujur tentang dirinya selama ini.

Aku tahu aku memang belum mengenalnya. Wajahnya saja aku belum tahu sama sekali. Hanya saja semakin hari aku semakin sok tahu membuat sosoknya dalam pikiranku. Pasti ganteng kayak artis sinetron, kataku yakin dalam hati. Suaranya aja enak banget didengar, kataku lagi dalam hati. Bodoh ya? Apa hubungannya suara dengan wajah? Tidak ada, tapi pengaruhnya besar sekali.

Aku pernah ‘tertipu’ dengan seorang penyiar radio terkenal yang sangat aku sukai. Suaranya enak sekali setiap pagi kudengar. Lalu suatu ketika penyiar itu muncul di televisi. Ya ampun! Ternyata aslinya…GANTENG BANGET! Tahu Ferdy Hasan kan? Iya, itu dia penyiar radionya. Maka berangkat dari pengalaman itu, akupun yakin kalau wajah Krisna, paling tidak, akan seenak suaranya di telepon.

Kuceritakan pada Dini, adikku, kalau dia ingin datang ke rumah minggu depan. Aku sudah memberikan alamat rumah kami kepadanya. Reaksi Dini sungguh menyebalkan.

“Ya ampun! Jangan sembarangan ngasih alamat dong! Apalagi belum pernah ketemu!” katanya sewot.

“Lah? Kalau udah pernah ketemu, ngapain juga ngasih alamat? Justru karena pengen ketemu makanya aku kasih alamat rumah. Gimana sih?” kataku membela diri.

Sebenarnya dalam hati aku ciut juga. Jangan-jangan dugaanku salah. Jangan-jangan Krisna itu penjahat atau rampok atau bandit atau penculik atau pembunuh? Huaaaa…Kok aku jadi takut begini ya?

“Terserah, deh! Kapan dia mau datang?” tanya adikku itu.

“Minggu depan,” jawabku singkat.

Hari itu tiba juga. Aku tidak bisa menampik kalau perasaanku campur aduk tidak karuan saat itu. Antara takut dan penasaran. Tapi menolaknya untuk datang ke rumah aku tidak tega. Kami sudah seperti sahabat yang kenal dekat di telepon. Apa alasanku menolaknya datang ke rumah? Apalagi niatnya adalah untuk mengenal aku dan keluargaku lebih jauh, katanya.

Suara Vespa yang khas dan berisik terdengar memasuki halaman rumahku. Itu dia, pikirku sambil berlari keluar rumah menyambutnya. Dia masih memakai helm berkaca gelapnya. Adikku Dini mengikuti di sampingku. Berdua kami berdiri di depan rumah menunggu dia membuka helm itu.

Menunggunya membuka helm itu seperti menonton film yang diputar dalam gerakan slow motion. Mengangkat tangan, menarik helm keluar dari kepala, meletakkan helm di stang Vespanya, membuka masker yang menutupi hidung dan mulutnya dan tadaaa….

Seorang lelaki kurus dengan celana jeans dekil dan kemeja flanel biru kotak-kotak berdiri di hadapan kami. Bukan pakaiannya yang membuatku terpana. Tapi rambutnya! Rambutnya gondrong melebihi pundak. Ya Tuhan! Aku tidak suka cowok gondrong! Maksudku, masaku menyukai cowok gondrong  sudah lewat beberapa tahun yang lalu.

Dini senyum-senyum dikulum sambil mencubit pinggangku. Kupukul tangannya menyuruhnya masuk untuk memanggil Mama agar ikut keluar. Krisna berjalan ke arahku sambil tersenyum. Di tangannya ada sebuah kantong plastik kecil berwarna hitam. Bawa apa ya dia untukku? Mau tidak mau aku jadi GR juga melihat kantong kresek itu.

“Dinda, ya? Krisna,” katanya menjulurkan tangannya mengajak bersalaman.

Aku mengangguk ragu. Sejenak aku lupa untuk menyambut uluran tangannya. Aku terlalu sibuk mengamati wajahnya. Dia benar-benar beda dari apa yang kubayangkan selama ini. Tapi mau bagaimana lagi? Orangnya sudah sampai di depanku. Masa mau aku suruh pulang lagi hanya karena dia tidak ‘seindah’ yang kubayangkan? Lagipula, siapa aku yang menilainya begitu rupa? Toh selama ini dia begitu baik dan sopan jika berbicara denganku di telepon. Aku pun menyambut uluran tangannya sambil tersenyum tipis.

Setelah duduk di ruang tamu, Mama menghampiri kami lalu memperkenalkan diri dan bercakap-cakap sebentar dengannya. Terus terang aku terkesan dengan caranya berbicara dengan Mama. Dia sangat sopan tapi tidak dibuat-buat sama sekali. Semuanya mengalir begitu wajar. Cara bicaranya, gerak tubuhnya, semuanya. Tapi rambutnya…tetap saja gondrong. Ugh!

Tak lama Mama pamit ke dapur untuk membuatkan minuman untuknya. Mataku masih tak lepas dari kantong plastik hitam yang dibawanya. Mendengar Mama akan membuatkan minuman untuknya dengan cepat diraihnya kantong hitam itu.

“Maaf, Tante. Kata Dinda nggak ada yang ngopi di rumah ini. Jadi saya bawa kopi sendiri. Kalau Tante tidak keberatan,” katanya sambil tersenyum malu-malu memberikan kantong plastik hitam kecil itu kepada Mama.

Kulihat Mama mengernyitkan keningnya menerima kantong itu. Mama mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Kopi instant dalam sachet. Sontak saja aku dan Mama tertawa terbahak-bahak. Orang ini ternyata memang bukan orang biasa. Maksudku, he’s not an ordinary guy! Siapa yang bisa melakukan hal lucu seperti itu, terutama pada pertemuan pertama dengan keluarga gadis yang disukainya? Krisna sukses membuatku lupa akan rambut gondrongnya untuk sesaat. Mama berlalu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pembicaraan kami pun berlanjut sambil menunggu Mama menyeduhkan kopi yang dibawa oleh Krisna.

“Maaf ya, aku norak,” katanya sambil garuk-garuk kepala.

Aku menatap ke arah rambutnya lagi. Kembali aku teringat akan ketidaksukaanku pada laki-laki berambut gondrong.

“Udah lama ya manjangin rambut?” tanyaku spontan.

“Lumayan. Kenapa?” tanyanya sambil mengelus-elus rambutnya.

“Ada rencana mau dipotong pendek?” tanyaku lagi tanpa tedeng aling-aling.


“Ya, kalau dapat kerja kantoran, mau nggak mau ya dipotonglah,” katanya lagi.

Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda paham. Sedikit lega dengan jawabannya itu.

            “Kenapa sih?” tanyanya bingung melihatku manggut-manggut sambil tersenyum menatapnya.

“Aku doain semoga kamu cepat dapat kerja kalau begitu,” kataku sambil tersenyum lebar padanya.

“Oooh...” Sekarang giliran dia yang manggut-manggut tanda paham dengan maksudku. “Kamu nggak suka cowok gondrong, ya?” tanyanya lagi.

“Oh, bukan! Bukaaan! Hanya saja menurutku nama Krisna itu tidak cocok berambut gondrong,” kataku sedikit gugup mencari-cari alasan.

Dia tertawa mendengar alasanku. Aku tahu, alasanku memang terdengar bodoh sekali. Apa hubungannya nama dengan rambut gondrong? Biarlah, apapun asal dia mau memotong pendek rambutnya. Sebab kurasa aku sudah mulai menyukainya, walaupun ternyata penampilannya jauh dari bayanganku semula. Semua tertutupi dengan sikap jujur dan apa adanya yang sudah diperlihatkannya sejak tadi. Tapi menyerah begitu saja dengan kegondrongannya rasanya aku juga tidak sanggup.

Seminggu kemudian dia kembali datang ke rumahku. Dengan rambut super pendek dan rapi sekali. Aku surprise sekali melihatnya. Kukira dia sudah mendapat pekerjaan baru. Saat kutanyakan padanya, dia hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

“Belum. Masih jaga warnet. Doain aja aku cepat dapat kerja, ya,” katanya sambil tersenyum manis kepadaku.

Olala, dia memotong rambutnya karena aku. Ah, kurasa sebenarnya sudah tidak penting lagi rambutnya gondrong atau tidak. Karena rasanya aku sudah mulai menyukainya sejak pertama mendengar suaranya. Kalau mau jujur, aku sudah mulai menyukainya sejak aku melihat namanya di chatroom dulu. Bukankah karena namanya itu aku akhirnya mau berkenalan dengannya?

THE END

9 komentar:

  1. Setdah, paragrah akhirnya itu looohh...
    From chatroom with luv
    :D

    BalasHapus
  2. ih dari kemaren baca postingan mba ttg cwo Krisna tuh bikin aku ketawa ketiwi sekaligus salut,hihiihii..

    BalasHapus
  3. kirain krisna dari india. :P

    BalasHapus
  4. hahahaha.... sumpah! cerita ini bikin ngakak! wkwkwkwk.....

    BalasHapus
  5. Nova: hahahaaa, kira2 gitu deh...wkwkwkwkwk

    Nyla: hahahaa, ntar deh, aku ceritain kehidupan setelah menikah..lebih culun2 lagi..wuaakakakaaakkk

    Rahmat: hehehee, kalo ini asli betawi mas..hahahahaa

    mas Jeppe: waahahahaaaaaa, ampun dah, besok mau siaran bareng ya? jangan dibahas ya...huahahahahaaaa

    BalasHapus
  6. wkwkwkwkw..suka...suka...suka...salam kenal mbak..

    BalasHapus
  7. berasa balik ke jaman chatting pake mlcl32. hahahah.

    BalasHapus
  8. Jadi penasaran penampakan krisnanya ..sweet sekaliii sepertinyaa beliau ini..hihihi

    BalasHapus