Jumat, 02 September 2011

Jomblo Is Not A Crime

  15 comments    
categories: 
Saya sudah sembilan tahun menikah. Sekarang ini sudah punya dua orang anak yang lucu-lucu, pintar dan sehat. Suami juga bertanggungjawab sebagai kepala keluarga. Tidak lepas-lepas saya bersyukur dengan keadaan ini. Banyak yang tidak beruntung dengan kehidupan pernikahan mereka, maka kebahagiaan saya dengan keluarga kecil saya ini patut sekali saya syukuri.

Terlepas dari itu, pilihan menikah bagi saya adalah mutlak pilihan pribadi masing-masing. Bukan atas dasar dikejar umur, menyenangkan hati orang tua atau (yang paling konyol) dikejar deadline. Deadline apa yang mengejar dalam pernikahan? Usia yang makin tua sehingga (ditakutkan) akan makin beresiko kelak jika ingin hamil dan melahirkan? Aduduh, jaman udah makin cangih. Usia untuk melahirkan bisa direntangkan lebih lebar lagi, karena dunia medis sudah makin berkembang. Kalau dulu pilihan 'sehat' untuk melahirkan itu usia bagi perempuan dikatakan 15 sampai 30 tahun, sekarang ini di belahan dunia lain, banyak perempuan yang baru memutuskan untuk memiliki anak di usia nyaris 40 tahun. Dengan pengawasan dokter dan gaya hidup sehat, itu bukan hal yang tidak mungkin.

Kenapa tiba-tiba malam ini saya jadi begitu cerewet dengan masalah seputar pilihan menikah ini? Karena seperti yang sudah-sudah, setiap halal bihalal keluarga saat lebaran ada saja 'korban' pertanyaan klise yang nggak penting (menurut saya), "Kapan nikah?"

Saya bukan salah satu korban itu, karena saya sudah menikah. Saya menikah atas dasar kemauan sendiri, dengan laki-laki pilihan saya yang saya cintai dan mencintai saya. Dengan berbagai pertimbangan dan juga melalui restu kedua belah pihak orang tua. Semua persyaratan utama sudah terpenuhi, sehingga saya berani memutuskan untuk menikah dan meninggalkan kehidupan lajang saya di usia 24 tahun. Menurut kebanyakan orang, itu adalah usia yang pas sekali untuk menikah. Tapi bagi saya, bukan masalah pas di usia-nya sama sekali, melainkan di hati dan jiwa saya dan pasangan saya dalam mempersiapkan kehidupan berdua ke depan.

Memutuskan menikah itu berarti siap untuk mengorbankan hal-hal tertentu yang tidak bisa dilakukan saat sudah menikah. Kalau dulu hobi jalan malam dengan teman satu geng di kantor atau teman kuliah, setelah menikah sudah pasti tidak akan bisa sebebas dulu. Kalau dulu harus 'nyalon' minimal sekali seminggu, sekarang harus ada pengencangan ikat pinggang, karena hidup berumahtangga memakan biaya yang tidak sedikit. Ini belum bicara anak lho, ya!

Jadi lucu aja kalau ada orang tua yang curhat, prihatin dengan anak perempuannya yang usianya sudah di atas 25 tahun tapi belum juga ngasih tanda-tanda untuk menikah. Jangankan nikah, pacar aja belum punya. "Kapan dong mama bisa gendong cucu?" Astaganaga panjangnya bukan kepalang! Sekali lagi, itu sama sekali bukan alasan untuk menikah, ibuuu! Ya, anak atau cucu adalah bagian dari pernikahan, tapi plis dong, jangan memojokkan anak sendiri hanya demi untuk bisa menggendong cucu. Cucu itu manusia juga lho! Yang terlahir di dunia dengan hidupnya sendiri, dan menggantungkan harapan masa depannya di pundak si orang tua. Masa demi memenuhi deadline cucu dari orang tua, kita tega melahirkan anak lebih cepat, padahal perencanaan belum matang sama sekali. Istilah orang tua, "Anak itu akan bawa rejekinya sendiri," jaman sekarang ini bolehlah untuk diucapkan dan diyakini. Kenyataannya, punya anak itu harus ada perencanaan matang, terutama financially. Masalah rejeki, itu dari Tuhan, sudah di luar kuasa kita. Tapi sebagai manusia yang bersekolah, kita tentu menginginkan anak-anak kita hidup lebih baik dan bersekolah lebih tinggi dari kita. Itu perlu tanggung jawab besar dan komitmen yang tidak kalah raksasanya. Kalau belum siap, jangan terjun sama sekali, atau kamu akan tenggelam.

Untuk para orang tua, tahan dong egoisme-nya itu. "Kapan dong kamu membahagiakan mama dan papa, segera menikah dan punya anak!" Oh mama, papa, ada nggak hal lain yang bisa membahagiakan mama dan papa selain dengan cara memojokkan anak kesayanganmu yang sedang menikmati hidup lajangnya itu? Kalau saatnya tiba, calonnya dirasa sudah tepat, dan semua faktor yang mendukung sudah terpenuhi, toh pernikahan itu akan terlaksana juga. Dengan perencanaan matang, kemapanan yang lumayan dan juga kadar kedewasaan yang sudah semakin matang.

Bicara soal kadar kedewasaan, berhubungan erat sekali dengan cukup atau tidaknya menjalani hidup menjomblo lho. Selama masa pencarian dalam keadaan single itu, justru kita menjelma perlahan menjadi manusia dewasa. Saat kita sedang menikmati hidup, mengamati keadaan sekeliling tanpa terganggu oleh hal-hal lain seperti urusan cinta, cemburu apalagi anak, justru di saat itulah kita sedang menuju kedewasaan. Pemahaman kita akan hidup akan makin berkembang di saat kita single. Nanti saat sudah menikah, insya Allah, langkah kita jadi sudah mantap.

Jadi untuk para orang tua, jangan pojokkan anak-anakmu yang masih single, terutama yang perempuan, untuk segera menikah. Kira-kira menyesal nggak ntar, kalau akhirnya dengan setengah hati si anak menikah, demi membahagiakan orang tua, lalu punya anak, dan sepuluh tahun kemudian rumah tangga kacau bahkan bercerai. Atau mungkin tidak sampai bercerai, tapi orang tua pasti bisa merasakan anak-anaknya yang tidak bahagia. Melihat sang anak menjalani hidup sebagai ibu dengan empat orang anak, menyesali andai dulu sempat melakukan banyak hal sebelum menikah. Beri mereka kesempatan itu. Umur di tangan Tuhan. Jangan sok tahu, merasa umur kita akan pendek sehingga tidak akan memiliki kesempatan untuk menikah. Terus sok tahu menentukan deadline, sebelum umur 30 tahun anakku harus sudah menikah! OMG, kasihan anaknya, kasihan orang tuanya. Segitu aja ukuran kebahagiaan itu? Padahal kebahagiaan itu universal sekali lho!

Bayangkan dengan anak perempuan usia 25 tahun yang masih single, ibu masih memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan berdua saja layaknya dua orang sahabat. Jangan harap bisa melakukan itu setelah si anak menikah. Dia sepenuhnya milik suami dan keluarganya. Nikmati dong kebersamaan itu. Walau bagaimana, berteman dengan anak sendiri di usianya yang sudah matang tentu akan lebih menyenangkan dibanding dulu saat dia masih gadis kecil yang tahunya cuma merengek minta boneka melulu. Bisa jadi, sekarang ini si anak akan lebih rajin traktir ibu dan bapaknya, karena sudah bekerja dan mapan dengan pekerjaannya. Masak nggak bahagia?

Belum lagi kesempatan-kesempatan yang masih mungkin diraih olehnya saat dia masih single. Menjadi volunteer untuk badan-badan PBB dan menolong orang-orang yang membutuhkan di seluruh pelosok dunia, Afrika, Eropa Timur, Timur Tengah. Astaga ibuu, bapaaak, kayanya itu jauh lebih membanggakan deh ya, dibanding menyumbang empat pasang cucu di saat yang bersamaan. Toh, nanti-nanti masih bisa ngasih cucu. :)

Sekali lagi, menikah itu butuh kesiapan dan yang pasti butuh pasangan, hahaha. Kalau pasangannya aja belum ada, bolehlah dibantu mencarikan, tapi jangan menyudutkan dengan pilihan harus menikah. Jadi lucu aja kalau lihat adegan di sinetron-sinetron. Saat ada seorang anak perempuan dilamar biasanya sang bapak akan bilang, "Saya sih terserah anaknya aja!". Tapi begitu si anak perempuan menolak lamaran si laki-laki, orang tuanya marah-marah, "Apa lagi sih yang kamu cari?" Hahahaha...
Masih banyaaaak, masih banyak ibu, bapak, yang bisa dicari dan didapat oleh anak perempuan ibu yang masih muda dan cemerlang itu. Masih banyak sekali hal-hal berguna dan jauh lebih menantang dan membanggakan yang bisa dilakukan anak perempuan muda ibu itu dibanding pada saat yang sama dia harus melahirkan dan mengurus anak-anaknya.

Pilihan dan takdir, itu dua hal yang sangat berbeda. Saya yakin, semua perempuan ingin menjadi ibu. Tapi di samping itu, sebagai individu, perempuan tak bedanya dengan laki-laki, punya ambisi, cita-cita dan mimpi. Saat mimpi itu masih bisa dicapai dan hanya bisa dicapai ketika sedang menjomblo, maka pilihan untuk menikah bisa menunggu, kecuali kalau takdir berkata lain. Saya tetap percaya kok, jodoh itu dari Tuhan. Jadi sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali kalau seorang perempuan muda usia nyaris 30 tahun masih asyik keliling dunia dengan uangnya sendiri. Siapa tahu dalam perjalanannya itu justru jodohnya ditemukan. Ah, semua kan rahasia Tuhan. Jadi, nggak perlu jadi manusia sok tahu yang menentukan lebih dahulu dari takdir dengan mengatakan, "Kamu harus nikah sebelum umur 30 tahun!" Apalagi memberi hitung-hitungan matematis, kalau nikah umur 25, punya anak umur 26, ntar anaknya udah gede dan kita masih muda. Olalalaaa...kalau mau merasa muda terus, jangan lihat umur, lihat ke dalam jiwa masing-masing aja.

Bottomline, cukup sudah dengan pertanyaan, "Kapan nikah?" itu setiap ada pertemuan keluarga. Kalau saatnya tiba, mereka akan menikah juga, dengan orang yang dicintai dan mencintai, dengan persiapan yang matang, dengan usia yang matang (tak ada kata terlambat untuk menikah, kan?), dan kalau pun pada akhirnya mereka memilih untuk tidak menikah, hargailah. Itu mutlak pilihan mereka sendiri. Siapa kamu, siapa saya, siapa kita yang dengan songongnya menilai dan menghakimi?

15 komentar:

  1. Hihihi, pengalamanku juga dulu begitu, secara aku nikahnya telaaaat banget.

    BalasHapus
  2. It's nice to know ada yang care dg hal seperti ini, while others berpikiran pertanyaan kapan nikah sdh seperti template yang Pasti ditanyain in any gathering.

    Pengalaman saya sih mbak, bertubi2nya pada 27-30. 30-34 sdh berkurang banyak. Pas udah 35, kok udah gak ada yang nanya ya? Hehehehe .... Mungkin bosen ya?

    Sebenernya nanya itu gak papa banget, asal ada solusi kayak, eh mbak ada temen mau dikenalin? Hehehehe ....

    Eh maaf kok jadi panjang. Salam kenal.

    BalasHapus
  3. mak bapa sodara2 sama teman2 saya harus baca

    BalasHapus
  4. umur 25 thn dan sedang dikejar2 pertanyaan : "kapan nikah?". ahahaha... aku banget! xD

    bener bgt, mbak. di usia segini aku malah punya buanyaaakk sekali rencana yg harus kulakukan sebelum menikah. termasuk jalan2 keliling dunia pake duit sendiri yg mbak sebut di atas itu. ah... postingan ini aku banget pokoknya! :Dumur 25 thn dan sedang dikejar2 pertanyaan : "kapan nikah?". ahahaha... aku banget! xD

    bener bgt, mbak. di usia segini aku malah punya buanyaaakk sekali rencana yg harus kulakukan sebelum menikah. termasuk jalan2 keliling dunia pake duit sendiri yg mbak sebut di atas itu. ah... postingan ini aku banget pokoknya! :D

    BalasHapus
  5. hihihihi... semangat amat, Mbak...
    lagi emosi yah...?

    keren! ^^b

    salam kenal...

    BalasHapus
  6. keren.. keren....
    suka dengan alasan-alasan yang mba paparkan...
    *membela diri untuk tidak tergesa-gesa menikah*

    BalasHapus
  7. naaaah, yang jomblo merapaaaat!!! wkwkwkwkwk....
    makasih udah mampir yaa..
    ini cuma share opinion aja kok...
    biar gimana, menikah itu pilihan yg pribadi banget....
    jgn sampe terintimidasi dengan pertanyaan, "kapan nikah?" kalau merasa emang belum siap dan belum mampu...
    walau begitu, gk papa kan kalo ada yg bantuin cariin pasangan? ;)

    BalasHapus
  8. Sekarang juga lagi dilema nih, ada yang suka tapi aku gak suka. Tapi karena umur aku mikir2 lagi, duh.. gak kepengen jalanin pernikahan yg terpaksa hanya karena umur.. :(

    BalasHapus
  9. wewet: jangan karena umur, tapi jangan menutup diri juga...coba dikenali dengan lebih dekat, biar gimana gk ada yg 100% cocok...menikah itu ttg kompromi dan toleransi.. ;)

    BalasHapus
  10. wah judul postingannya mirip dengan judul blog saya. Sehati nih :)

    Mungkin harus mulai ditanya juga ke para penanya itu ... What kind of answer they would expect? Sering kali asal nanya, kapan nikah, kapan punya anak?

    Eh ... yang bisa jawab sapa ya?

    BalasHapus
  11. lelajangan: yaahahahaaa, iya ya, sebenernya pada ngarepin jawaban gimana sih tiap ketemu nanya gitu mulu? toh kalo udah ada calonnya, undangan pasti dikasih...hihihihihihihi

    BalasHapus
  12. mak mak gaulll neh. baru sempet baca. kyerennn

    BalasHapus
  13. bajinguk mbok e nyong kie nyuru kawin ya

    BalasHapus