Senin, 05 Mei 2014

Generasi Hilang Arah

  21 comments    
categories: 
Assalamu'alaikum ...

Beberapa hari yang lalu, tidak sengaja, saya mendengar percakapan dua anak remaja di warung sebelah rumah. Kebetulan salah satunya adalah anak pemilik warung yang hampir lulus SMA. Kedua lelaki remaja ini sedang seru ngobrol tentang rencana selepas SMA. 

A: "Gue masih bingung mau kuliah di mana. Kalau di Bekasi, ntar gue tetep tinggal sama bokap nyokap. Nggak berkembang. Pengennya sih di Malang, sama Nenek gue. Tapi takut kangen juga, trus nggak bisa sering-sering pulang. Pengennya sih di Bandung. Tapi gue nggak punya sodara di sana."
B: "Kos kan bisa?"
A: "Iya, sih! Tapi belum tau juga bokap nyokap gue bakal ngasih nggak kalau gue ngekos. Lo mau kuliah di mana?"
B: "Mana aja, deh! Di mana yang nerima gue aja."
A: "Hahaha! Iya, sama! Tapi kalau gue sih yang penting kuliahnya cepet selesai, dan bisa cepet dapet kerja."
B: "Iya ...."
A: "Lo kan pinter tuh pelajaran Fisika. Ambil teknik aja."
B: "Rencananya sih gitu. Tapi belum tau mau ambil teknik apa."
A: "Kalau gue yang penting nggak ada pelajaran matematikanya, deh! Mati kutu gue sama matematika!"

Image from http://headoverheelsindebt.blogspot.com/2011/06/what-will-future-hold.html
Percakapan sepanjang itu terngiang-ngiang di telinga saya sampai hari ini. Saya teringat masa-masa saya seusia mereka. Beberapa minggu menjelang kelulusan SMA, saya pun berada persis di posisi mereka. Bingung mau meneruskan kuliah apa dan di mana. Saya sama sekali tidak tahu apa yang harus saya kejar untuk masa depan saya sendiri. Nilai-nilai selama ini semua rata-rata di semua mata pelajaran. Tidak ada yang menonjol, kecuali bahasa Inggris. Tapi meneruskan kuliah ke jurusan Sastra Asing juga rasanya bukan itu yang saya mau. Masalahnya, saya tidak tahu apa yang saya mau. Sampai akhirnya saya pun sempat berucap dalam hati, "Kuliah apa aja, deh! Asal di Bandung!" 

Dueng! Terdamparlah saya di kota Bandung. Kota yang sejak awal saya incar untuk kuliah, bukan karena di sana ada kampus yang saya tuju sejak lama, melainkan saya ingin bangun tidur melihat siluet gunung dari jendela kamar saya. Maka lulusan SMA jurusan A1 (IPA) ini pun kuliah di sebuah Sekolah Tinggi Pariwisata mengambil jurusan Perhotelan. 

Dua minggu setelah kuliah dimulai, saya dan beberapa teman mengunjungi sekolah almamater kami dan bercakap-cakap dengan Kepsek. Masing-masing ditanya kuliah di mana sekarang. Saat saya bilang saya kuliah Perhotelan, beliau mengerenyitkan dahi. Heran, mungkin. Anak A1 ambil kuliah Perhotelan. Whatever, pikir saya dalam hati. Yang penting kuliah di Bandung.

Kejadian belasan tahun yang lalu itu masih saya ingat dengan jelas. Tak jarang saya merasa telah membuang waktu saya sekian tahun di masa kuliah untuk sesuatu yang bahkan saya tidak inginkan untuk masa depan saya. Saya tidak pernah ingin bekerja di bidang perhotelan atau pariwisata. Bahkan kebayang pun nggak. Dan saat saya merasakan praktik kerja di hotel, saya makin yakin kalau tidak akan mau kerja di hotel. Lantas kenapa saya ambil kuliah ini?

Karena sejak awal saya tidak punya petunjuk dan arahan sama sekali. Mama memang sejak saya SMA sudah mengarahkan saya untuk ambil kuliah kedokteran. Alasannya, "Kamu bisa nerusin cita-cita Mama yang nggak kesampaian. Lagian nilai-nilai kamu bagus. Jurusan kamu juga udah pas." Saya menolak dan mengelak dengan susah payah. Saya nggak sanggup membayangkan kuliah kedokteran yang konon katanya susah itu dengan kondisi setengah hati. Saya bahkan nggak tahu apa saya memang bercita-cita ingin menjadi dokter? Nggak ada pilihan yang pasti untuk saya saat itu. Blank. Saya clueless. Dan saat saya dalam keadaan seperti itu, saya ditekan untuk mengambil keputusan secepatnya, karena masa pendaftaran kuliah sudah dimulai. 

Setelah memiliki anak, saya bertekad sekali, tidak ingin anak-anak saya mengalami masa-masa clueless seperti saya. Sejak kecil mereka harus tahu apa yang mereka inginkan untuk masa depan mereka. Jujur, masa-masa awal saya menjadi orang tua, saya sempat mengadopsi cara orang tua saya. Mengarah-arahkan cita-cita mereka. Lalu saya sadar beberapa tahun yang lalu, setelah saya menemukan sendiri passion saya di menulis. 

Saya sadar, manusia akan menjadi manusia dalam kualitas maksimalnya saat mereka melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan penuh kecintaan. Bukan karena terpaksa atau dikejar tuntutan hidup. Saya ingin anak-anak saya memiliki itu. 

Cukuplah saya yang merasakan betapa kehilangan arahnya saya saat saya harus membuat keputusan penting untuk masa depan saya dulu. Tapi, saya sadar, ini pun sudah garis dari Tuhan. Mungkin memang begini jalan saya menemukan cita-cita saya. Harus melalui ketersesatan pilihan dahulu. 

Image from http://www.goal-setting-motivation.com/set-your-goals/writing-goals/

Tapi kalau bicara "What if ..." tentu akan ada banyak hal yang bisa berubah dalam bentuk yang lebih baik. Saya tidak mengatakan kalau hidup saya sekarang tidak bahagia. Bahagia adalah menerima apa pun yang diberikan Tuhan dengan penuh syukur. Saya beruntung akhirnya menemukan apa yang saya cintai sekarang. Tapi bayangkan betapa lebih beruntungnya saya seandainya sejak awal saya tahu bagaimana mengejar cita-cita saya di jalur yang tepat. Pursuing my dreams on the right path. Menjadi penulis, setidaknya saya bisa mengarahkan pilihan saya ke jurusan sastra atau jurnalistik. Tapi lewat di benak pun tidak pilihan-pilihan itu. 

Ini juga sebenarnya tidak menjamin kalau kelak saya akan menjadi penulis yang lebih baik. Tapi alangkah menyenangkannya menghabiskan masa-masa pencarian itu dengan mengejar sesuatu yang memang menjadi hasrat dan sumber semangat kita. Ketimbang menghabiskan  bertahun-tahun di SMA dan kuliah sambil sibuk bertanya-tanya, " Am I doing the right thing?" Bukankah lebih baik jika kita bisa bercermin setiap pagi sambil tersenyum dan berkata, "I'm so happy! I'm doing what I love and pursuing my dream. I will be the best at it becoz I'm trying to be the best. I'm on the right path, I know!"

Pada akhirnya ini adalah tentang menghabiskan masa kecil dan masa remajamu sebagai anak yang bahagia dan tahu apa yang diinginkan untuk masa depan. Bukan menghabiskannya dalam keadaan tertekan karena tak tahu harus ke mana. 

For parents out there, yang anak-anaknya masih kecil-kecil, mari berbenah. Kenali mereka lebih dalam. Tahu dan pahami kecintaan mereka, sehingga kita bisa membantu mereka untuk menjadi yang terbaik di bidang yang paling mereka sukai. 

Untuk yang anak-anaknya sudah menjelang kuliah, belum terlambat. Ajak diskusi. Jangan beri tekanan mereka harus jadi ini atau itu. Berikan kebebasan kepada mereka untuk memutuskan. Ajarkan, bahwa mereka sudah menjelang dunia dewasa. Setiap keputusan ada resiko dan imbalan. Ajak mereka untuk membayangkan, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri. Seperti apa kehidupan yang mereka inginkan? Apa yang ingin mereka lakukan sepanjang hidup mereka dan membuat mereka bahagia? Di atas semua itu, beri pengertian kepada mereka, bahwa kita sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mendo'akan. Usaha dan kerja keras mereka sendirilah yang akan menentukan keberhasilan mereka kelak. 

Saya menulis ini dengan perasaan gundah memikirkan dua anak laki-laki di warung tadi. Apa jadinya kalau si A memutuskan mengambil salah satu dari banyak pilihan tadi, tapi tak satu pun berdasarkan keinginan atau pun minatnya? Apakah dia nanti akan menjalani belasan tahun pencarian juga seperti saya sebelum menemukan profesi kecintaannya yang sesungguhnya? Mari hentikan membuang-buang waktu seperti yang saya alami (dan mungkin banyak orang alami juga) ini sampai generasi kita saja. Cukuplah saya dan yang senasib ini menjadi generasi hilang arah. Mari menciptakan generasi yang siap sejak awal, kenal siapa diri mereka sesungguhnya, tahu pasti apa mimpi terbesar mereka dan paham bagaimana mengejar mimpi itu untuk masa depan mereka. 

21 komentar:

  1. Amiiin.. bismillah Mak..
    Sebetulnya saya ini agak sedikit heran bercampur tidak tahu (walaupun seringnya bilang saya tau kok perasaan kalian), kenapa masih bingung milih jurusan? Yah.. karna memang saya sudah punya cita-cita yang sama sedari SD (maaf bukan lagi nyombong Mak.. :) ). Tapi setelah melihat banyak anak bimbel tempat saya kerja yg juga masih galau, kemudian sekarang baca postingannya Mak Winda jadi sedikit tau.. ooo mungkin galaunya itu sama seperti dulu saya mutusin mau nikah atau nunda nikah karna belum bisa masak kali ya...
    Terimakasih Mak Winda atas sharingnya.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. beruntunglah dirimu mak...karena teman2ku dan aku sendiri termasuk yg banyak gk tau mau nerusin kuliah apaan pas lulus kuliah. mungkin pengaruh pergaulan juga. yg pasti org tua di rumah juga terlalu membebaskan tanpa memberitahu "mungkin ini atau itu" sehingga bisa punya bahan pemikiran.

      Hapus
  2. Kadang2 masa depan ditentukan oleh teman dan pergaulan. Dan ujung2 nya kagak jadi apa2 ;-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini juga bener banget. umur2 segitu apa2 emang tergantung temen.. :')

      Hapus
  3. kok hampir2 sama sih... jd terinspirasi mau nulis beginian..gapapa ya mak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. tulis maaak...biar makin banyak yg aware, ini permasalahan bersama, dan banyak kok yg ngalamin..

      Hapus
  4. nasib sayapun sama mak... dan sayapun tak ingin anak2 saya bernasib sama dgn saya. Semoga generasi skrg bukanlah generasi yg hilang arah ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju maak...mari kita kenali anak kita luar dalam, biar mereka tau mau jadi apa di masa depan.. :)

      Hapus
  5. semoga mereka nggak salah arah ya mak,,,semoga Allah yang Maha Mengatur memberikan petunjuk pilihan yang sangat indah bagi mereka :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, semua Allah yg mengatur, tugas kita sebagai org tua membimbing agar mereka menemukannya.. :)

      Hapus
  6. dulu aku gak kepikiran mau kuliah jauh mbak, pokoknya yang bisa pulang pergi dari bekasi jadilah pilihan kuliah di jakarta aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihihi, aku malah pengen banget ke bandung mak.. :')

      Hapus
  7. Wah nih disebut KESASAR GENERATION.

    hampir sama dengan masa mudaku dulu mbak, bingung milih jurusan. pingin yang gak ada bahasa inggrisnya. eh malah diterima yang bahan kuliahnya berbahasa inggris

    BalasHapus
  8. Maaaak....bersedia melanjutkan tongkat estafet LiebsterAward yaaa...tq
    http://www.putrimadona.com/2014/05/liebster-award-dariku-untuk-mu.html

    :-)

    BalasHapus
  9. mudah-mudahan anak-anak kita ngg kesasar ya mak...tapi ada yang salah dengan sistem pendidikan kita kalau menentukan minat, bakat dan kemampuan anak-anak tidak dilakukan sejak awal.. tapi saya menikmati masa2 kuliah yang bukan pilihan hati..apa mungkin karena ketemu jodoh? #uupss :D...

    BalasHapus
  10. Halo mak, saya nggak sengaja mampir di blog ini dan seneng :)
    Sekarang sy msih kuliah dan alhamdulillah i'm doing what i love. Saya kuliah dengan senanghati krn jurusan yg saya ambil adalah cita2 saya selama ini.

    BalasHapus
  11. Ah banyak yg seperti ini emang. Memilih itu emang susah mak.

    BalasHapus
  12. menurut gw, kyknya disini peran guru bimbingan & konseling (BK) bener2 penting..dari SMP smpe SMA, guru BK seharusnya memberikan materi ttg masa depan, dunia kerja, termasuk liku2 memilih jurusan tsb.. lebih penting lagi, perlu ditekankan bahwa semua pekerjaan itu bagus dan mulia, asalkan kita sendiri jadi ahli dlm bidang tsb (specialized)..
    *coz selama gw sekolah, guru BK tu cuma cuap2 gak jelas, suruh nulis ini itu.. kagak ada pengarahan.. kadang2 jamnya diambil sama mata pelajaran lain... :(

    BalasHapus
  13. Berbagi Kisah Sukses:

    Dari sinilah saya selalu mencari informasi dari beberapa teman dan sahabat saya untuk memberikan masukan serta arahah agar aku bisa kuliah di fakultas kedokteran. Akhirnya saya diberikan Salah satu teman dari teman saya memberikan Saya NOMOR HP untuk saya Hubungi, hingga saya langsung menghubungi No HP tersebut, aku menelepon No HP itu sebanyak 2 kali baru bisa terjawab, akhirnya saya berbicara dan menyampaikan keluhan saya selama ini.

    Dia merespon pembicaraan saya dan saya diberi petunjuk Untuk mengikuti 1 kali tes lagi, tapi bukan melalui jalur SNMPTN dan alur kerjasama. Penyampainyannya begini kalau memang adik mau saya bantu dengan janji kelulusan, maka saya akan bantu, tapi dengan 1 catatan adik harus menuruti apa yang akan nantinya saya arahkan, DAN SAYA JAWAB IYA SAYA SIAP, akhirnya dia menyuruh saya UNTUK MENGIKUTI JALUR NONSUBSIDI. Dan Saya jawab bukankah melalui jalur itu harus membayar terlalu banyak, katanya YA benar yang adik bilang, bahkan bisa sampai membayar ratusan juta. Tetapi adik tidak usah khawatir, saya bisa meluluskan adik dengan pembayaran hanya sebesar Rp. 20.000.000, saya menjawab bukankah biaya itu sangat sedikit, untuk jalur nonsubsidi, Ya adik memang benar apa yang adik bilang,

    Dan saya jawab kalau biaya segitu pastinya saya sangat mau. Singkat cerita, hingga akhirnya berkat dia saya dinyatakan LULUS fakultas kedokteran UI yang saya idamkan. Dan itu menjadi rasa syukur yang amat mendalam bagi saya.

    Dan darisinilah saya mengetahui kalau orang yang membantu saya hingga LULUS, adalah PEJABAT DIKTI DARI PUSAT, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi yang membidangi bagian kemahasiswaan.

    Dia Adalah Kepala Subdirektorat Kemahasiswaan.

    Bpk Dr. Widyo Winarso
    Ini No Hp-nya 0857-5619-0157.

    Anda mau seperti saya yang bisa kuliah di fakultas kedokteran, langsung saja m'hubungi No hp Bpk Dr. Widyo Winarso, Semoga beliau bisa membantu kelulusan anda seperti beliau meluluskan saya dengan hanya mengeluarkan biaya sebesar 20 juta saja.

    Semoga bermanfaat.

    BalasHapus