Minggu, 08 April 2012

Holiday Writing Challenge GagasMedia

  6 comments    
categories: 
Judul Novel: Kau
Penulis: Sylvia L'Namira
Halaman: 107 - 108

Versi asli:

"Igo." Aku memanggilnya.
Igo menoleh. Tak ada ekspresi senang melihatku di sini. What's wrong with him? Paling tidak ia bisa pura-pura senang kek ketemu lagi denganku.
"Aku belum sempat berterima kasih--aku--"
"No problem." Igo memotong omonganku dan kembali sibuk dengan mesin pesawat. Huh. Sombong betul! Bayanganku akan pertemuan yang mengharu biru berkaitan dengan penyelamatku langsung sirna. Obrolan panjang lebar mengenai kesehatanku yang sudah memulih, keadaan cuaca hari ini, bentukan awan yang semalam kulihat di langit, semua sudah menguap ke udara. Kesal aku membalikkan badan dan memilih untuk menunggu di kantor William.
Setelah pesawat take off, Igo membuka pintu kabin dan mengajakku duduk di depan bersamanya. Well, nggak pake ngomong sih, cuma isyarat saja yang aku artikan ajakan untuk duduk di kursi co-pilot. Dengan senang hati aku pindah duduk dan memandang cantiknya awan-awan yang ada di atas kami.
"Cantik banget awan-awan itu. Aku sukaaaa... banget sama awan." Tidak ada respons.
"Sejak kecil aku selalu berlama-lama memandang awan." Masih tidak ada respons.
"Kalau diperhatikan, awan itu seperti memberi pertanda lho." Masih juga tidak ada respons. Bodo lah! Aku ngomong sendiri juga nggak pa-pa.
"Coba lihat yang di sana itu. Bentuknya kayak apa menurut kamu?" Igo melirik sekilas.
"Payung."
"Tepat sekali! Kamu ternyata berbakat!" Igo hanya mengangkat bahu.
"Kalo yang itu tuh! Kayak apa menurut kamu?" Sekali lagi Igo melirik sekilas.
"Sepeda."
Wow! Hanya dengan lirikan sekilas!
"Persis! Itu juga yang aku pikirin! Kamu suka awan juga, Go?"
"Ibu yang suka."
"Oh ya? Aku ingin sekali kenalan sama ibu kamu."


Diubah genre menjadi komedi satire--->>>



Aku masih sibuk dengan kabel-kabel kusut di hadapanku, saat Derry mencolek bahuku. Aku menoleh dan menangkap isyarat matanya.
Damn! Mau ngapain lagi dia ke sini? Bukannya kemarin aku sudah memastikan padanya kalau dia sama sekali tidak berhutang apa pun padaku? Lagi pula aku tidak sengaja menolongnya. Maksudku, aku sama sekali tidak berniat menolongnya kemarin itu. Aku hanya kebetulan saja ada di sana dan menangkap tangannya saat nyaris terserempet motor. Tapi entah kenapa dia menganggapnya big deal sekali. Aku sampai salah tingkah berusaha menahan luapan rasa terima kasihnya yang kurasa menjadi terlalu berlebihan kemarin. Dia memaksa untuk berkenalan denganku dan meminta kartu namaku dengan semena-mena. Padahal sudah aku jelaskan, aku ini pekerja lapangan. Aku tidak punya kartu nama. Dan dengan sigap dia mengeluarkan pulpen dan secarik kertas dari tas kulit coklat yang disandangnya, meminta nomor telepon dan alamat kantorku. Entah untuk apa.
Ternyata untuk datang ke tempatku bekerja, batinku. Mau ngapain siiih?
“Igo.”
Aku menoleh lalu tersenyum basa-basi ke arahnya. Dia tampak senang sekali, cenderung berlebihan menurutku. Dia masih menyandang tas kulit warna coklat tua yang diapakinya kemarin. Kulihat logo dua huruf terpampang jelas di bagian depan penutup tas itu, LV. Pffft!
“Aku belum sempat berterima kasih—aku—“
No problem,” jawabku cepat-cepat. Duh, memangnya aku minta apa sih sama dia kemarin? Aku kan cuma menolongnya dengan tidak sengaja. Itu saja! Aku sama sekali tidak memberikan kesan kalau aku minta pamrih atau apalah. Sumpah!
Dia mulai kelihatan salah tingkah karena aku masih sibuk denga kabel-kabel kusut di tanganku. Aku pura-pura tidak memperhatikannya. Kulihat dari ekor mataku, kakinya mulai bergerak-gerak gelisah, membuat bentuk-bentuk acak di tanah kering yang kami pijak. Matahari panas menyengat kepalaku, kurasa kepalanya juga. Aku masih bertahan  diam dengan pura-pura sibuk.
“Cantik banget awan-awan itu. Aku sukaaaa… banget sama awan.” Akhirnya dia mengeluarkan suara juga. Dan aku hanya bisa mengerutkan kening mendengarnya. Awan? Dia ini serius ya? Ngomongin awan sama aku?
"Sejak kecil aku selalu berlama-lama memandang awan." Nggak nanyaa!!
"Kalau diperhatikan, awan itu seperti memberi pertanda lho." Pertanda buruk untukku!
“Coba lihat yang di sana itu. Bentuknya kayak apa menurut kamu?” tanyanya lagi.
Mau tidak mau mataku mengikuti telunjuk tangan kanannya yang mengarah ke awan di atas kepala kami. Kulihat sekilas. OK, itu awan putih, bergumpal-gumpal, tak ada bentuk. Dan aku benar-benar malas memikirkan seperti apa bentuknya. Satu-satunya yang kupikirkan sekarang, andai aku punya payung untuk menggetok kepalanya atau sekedar untuk melindungi kepalaku yang mulai memanas karena kehadiran makhluk di depanku ini.
“Payung,” jawabku singkat.
“Tepat sekali! Kamu ternyata berbakat!”
Berbakat? Berbakat apa? Berbakat jadi tukang baca bentuk awan? Hadeeeh, aku mulai bisa merasakan kalau kepalaku cenat-cenut sekarang.
“Kalau yang itu tuh! Kayak apa menurut kamu?” tanyanya lagi pantang mundur.
Malas-malasan aku melirik lagi ke arah langit. OK, tampaknya aku mulai ketularan aneh atau gila. Mau-maunya aku memikirkan pertanyaan absurd yang nggak ada gunanya ini sampai dua kali? Kulihat dua bulatan di awan yang ditunjuknya.
“Sepeda,” jawabku.
“Persis! Itu juga yang aku pikirin. Kamu suka awan juga, Go?” tanyanya dengan sangat antusias.
Pffft, pekerjaanku masih banyak! Aku tidak ada waktu melayaninya.
“Ibu yang suka.” Kuharap jawabanku bisa membungkamnya sekarang. Aku benar-benar malas meladeni percakapan aneh ini dengannya.
“Oh ya? Aku ingin sekali kenalan sama ibu kamu.”
That’s it! Mataku membelalak menatapnya dengan kesal. Dia bergidik lalu mulai salah tingkah lagi. Tali tas di bahunya mulai dimain-mainkan. Dia juga mulai menggaruk-garuk rambutnya yang aku yakin tidak gatal sama sekali. Untuk ukuran seorang cowok, dia lumayanlah. Tapi aku bukan penyuka sesama! Dia harus tahu itu.

6 komentar: