Selasa, 19 Maret 2013

The Fault In Our Stars: Kepedihan Menuntut Untuk Dirasakan

  7 comments    
categories: ,
Blurb
Mengidap kanker pada umur 16 tahun pastilah terasa sebagai nasib sial, seolah bintang-bintang serta takdirlah yang patut disalahkan. Itulah yang dialami oleh Hazel Grace. Sudah begitu ibunya terus memaksanya bergabung dengan kelompok penyemangat penderita kanker. Padahal Hazel malas sekali.
Tapi, kelompok itu toh tak buruk-buruk amat. Di sana ada pasien bernama Augusts Waters. Cowok cakep, pintar, yang naksir Hazel dan menawarinya pergi ke Amsterdam untuk bertemu penulis pujaannya. Bersama Agustus, Hazel mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan.

Image from http://pagetopremiere.com/2012/09/the-fault-in-our-stars-fan-artwork-our-little-infinity-by-rnightflower-blue-plastic-hairbrush/

Beberapa bulan yang lalu saya mengamati daftar penerima Goodreads Choice Awards 2012 di Timeline Twitter dan menemukan buku ini sebagai penerima award untuk kategori Best Young Adult Fiction. Meneliti penerbit yang menerbitkannya di Indonesia adalah penerbit yang khusus menerbitkan genre young romance (Qanita), saya langsung tertarik untuk membacanya. Ditambah sebuah fakta kalau cerita ini ditulis oleh seorang penulis laki-laki. Entah bacaan saya yang kurang, atau memang saya tidak menemukan banyak penulis romance laki-laki selama ini.


Cover
Hal pertama yang menarik perhatian saya setelah mengetahui buku ini adalah covernya. Sekilas cover buku edisi terjemahan Indonesia ini mirip dengan buku Peri-peri Bersayap Pelangi yang terbit indie dan tidak diperjualbelikan itu. Ini cerita saya tentang buku Peri-peri bersayapa Pelangi yang seluruh cetakannya dibagikan gratis untuk anak-anak tidak mampu se-Indonesia itu. Nggak ada pertanyaan apa-apa sih seputar cover, karena kemiripan mungkin karena goresan gambarnya yang sama-sama seperti gambar ilustrasi buku anak atau pra remaja. Selain itu warna biru dan gambar bintang yang mendominasi juga membuat pikiran saya teringat akan buku si Pungky itu. Hihihihi...
Kalau dilihat-lihat, cover versi Indonesia-nya jauh lebih menarik dibanding versi aslinya. Lebih bercerita dan lebih menarik perhatian. Nggak pake lama, saya langsung beli buku ini begitu ketemu di toko buku.

Cover Peri-peri Bersayap Pelangi

Cover The Fault In Our Stars versi terjemahan Indonesia

Cover The Fault In Our Stars versi originalnya (english)

 Ide dan tema
Kisah tentang penyakit kanker berbalut kisah cinta yang manis mungkin terasa sudah basi untuk banyak orang. Rasanya sudah terlalu banyak penulis atau pun film maker yang mengangkat tema tersebut. Saya ingat film Malaikat Tanpa Sayap yang punya kisah serupa. Walaupun jalan ceritanya tidak sama persis, tapi idenya berangkat dari hal yang serupa. 
Kalau ide biasa, itu biasa. Karena seperti kata kakek nenek saya yang bule, "There's nothing new under the sun." ^^, Yang tidak biasa adalah kalau kita bisa mengolah ide yang biasa menjadi cerita yang tidak biasa dari semua elemen yang membangunnya. 
John Green dalam buku ini menurut saya berhasil mengangkat tema "biasa" menjadi tidak biasa. Mulai dari caranya memilih karakter dan membangunnya sedemikian rupa, sampai ke susunan plot yang mengalir dan tidak membosankan. 

Karakter
Hazel, si tokoh utama, berusia 16 tahun, menderita kanker yang membuat hidupnya bergantung kepada asupan oksigen dari tabung dan harus dibawanya kemana pun dia pergi sejak usia 13 tahun cukup membuat saya kagum. Begitu juga Augustus, cowok 17 tahun yang sebelah kakinya sudah berganti dengan kaki palsu. Untuk anak seusia mereka, cara berpikir mereka sangat cerdas, kritis dan kadang sinis. Belum lagi gaya becanda yang satir, sering membuat saya tersenyum simpul sendiri saat membaca buku ini. Cara Hazel dan Augustus memandang kehidupan dan kematian memang kritis sekali dan jelas sekali terbaca dalam cerita ini melalui dialog-dialog mereka. Berdua, mereka membangun banyak percakapan menarik sepanjang cerita. Sebagian besar pertanyaan dan percakapan mereka adalah tentang sakit yang mereka derita, hidup, cinta, orang-orang di sekitar mereka, kematian sampai membicarakan seorang penulis yang begitu dikagumi oleh Hazel, Peter Van Houten

"Kau seperti Natalie Portman tahun 2000-an. Seperti Natalie Portman dalam V For Vendetta."
"Belum pernah menontonnya," kataku.
"Benarkah?" tanyanya. "Gadis cantik berambut cepak yang membenci otoritas, dan tidak bisa mencegah dirinya untuk jatuh cinta kepada cowok yang diketahuinya mendatangkan masalah. Sejauh yang bisa kukatakan, itulah autobografimu."
(dialog Hazel dan Augustus saat pertama kali bertemu di grup pendukung penderita kanker)

"Kau tahu apa yang kupercayai? Aku ingat mengambil kelas matematika pada saat kuliah, kelas matematika yang benar-benar hebat, pengajarnya seorang perempuan tua bertubuh mungil. Dia bicara mengenai transformasi Fourier dengan cepat, lalu berhenti di tengah kalimat dan berkata, 'Terkadang tampaknya alam semesta ingin diperhatikan.' Itulah yang kupercayai. Aku percaya alam semesta ingin diperhatikan. Menurutku, walaupun ini sulit untuk dipercayai, alam semesta condong ke arah kesadaran, dan menghargai kecerdasan karena alam semesta merasa senang ketika keanggunannya diamati. Dan siapakah aku, yang hidup di tengah sejarah, sehingga bisa mengatakan kepada alam semesta bahwa dia--atau pengamatanku mengenai dia--bersifat sementara?"
"Dad pintar sekali'" ujarku setelah beberapa saat.
"Kau pintar sekali memuji," jawab Dad.
(dialog Hazel dan ayahnya)

Melalui narasi orang pertama (Hazel), Green juga mampu membuat saya berpikir hal-hal kecil yang terlewat oleh kita yang memiliki kesehatan lebih baik dari Hazel. Simak satu adegan di bandara saat Hazel harus melewati metal detector ini.

Daripada digeledah, aku memilih untuk berjalan melewati detektor logam tanpa kereta atau tangkiku, atau bahkan tanpa ujung-ujung selang plastik di hidung. Berjalan melewati mesin sinar X menandai pertama kalinya aku melangkah tanpa oksigen setelah beberapa bulan, dan rasanya sangat menakjubkan berjalan tanpa terbebani seperti itu, melangkah melewati Rubicon, dan kebisuan mesin itu menegaskan bahwa aku, seberapa pun singkatnya, adalah makhluk tak berlogam.


Plot
Cerita berawal dari paksaan ibu Hazel yang kesekiankalinya agar Hazel ikut menghadiri grup penyemangat penderita kanker. Dari sana semua bermula: perkenalannya dengan Gus, persahabatannya dengan Isaac dan semua pikiran-pikiran Hazel tentang Tuhan dan kehidupan. 
Cerita bergulir dengan tempo sedang sejak Hazel dan Gus berkenalan dan dekat lalu saling naksir. Percakapan mereka tentang buku Kemalangan Luar Biasa yang begitu disukai Hazel membuka adegan selanjutnya yaitu tawaran Gus untuk pergi menemui sang penulis di Amsterdam. Hazel begitu penasaran dengan kelanjutan nasib dari tokoh-tokoh dalam buku itu, karena menurutnya cerita di buku itu berhenti dengan terpaksa karena sang tokoh utama tiba-tiba meninggal dunia karena kanker. 
Saya menikmati tempo plot yang mengalir sedang, karena somehow itu memberi saya kesempatan untuk menikmati begitu banyak pikiran-pikiran menarik Hazel dan Gus dan tokoh-tokoh lain di dalamnya.
Tempo cerita agak berubah saat mereka di Amsterdam. Saya merasa di sini adegan melambat dan sedikit membuat lelah untuk dilewati. Belum lagi percakapan "absurd" mereka dengan sang penulis yang akhirnya berhasil mereka temui, terasa berat sekali. Tapi sekarang saya jadi berpikir, mungkin Green sengaja memperlambat tempo di bagian itu karena di sana pembaca butuh lebih "serius" mengamati percakapan-percakapan berat yang terjadi. 
Menjelang klimaks, saya nangis. Huaaa...nggak nyangka cerita berbelok dari arah dugaan saya sebelumnya. Sampai akhirnya di bagian ending saya termenung. Sial! Ini penulis keren banget bikin alur! *standing ovation* Saya sama sekali nggak nyangka kalau ternyata....ah, baca aja sendiri deh. Hahahahaa...

Setting
Kalau ada yang agak kurang menurut saya di novel ini, mungkin setting Amsterdam yang (malah) terlalu banyak dijelaskan sedangkan kepentingannya dalam cerita tidak terlalu besar. Saat Lidewij, asisten Van Houten, mengajak mereka jalan-jalan ke Museum Rumah Anne Frank, saya merasa bagian ini terlalu detil padahal adegan inti yang ingin ditunjukkan adalah Hazel dan Gus yang saling beriuman. Walaupun, sekali lagi, semua percakapan dalam adegan di Rumah Anne Frank ini sangat menarik dan masih berkaitan dengan kisahnya secara keseluruhan.

Tokoh, kutipan dan adegan favorit saya

Selain Hazel dan Gus, Lidewij adalah tokoh favorit saya. Kehadirannya merupakan kunci cerita. Kalau dia tidak ada, maka Hazel dan Gus tidak akan bisa ke Amsterdam dan bertemu dengan Van Houten. Van Houten sendiri, yang digambarkan sebagai penulis pemabuk, lumayan menarik walaupun saya sebel banget sama dia. Hahahaha....

Kutipan favorit saya: "Kepedihan menuntut untuk dirasakan." Semacam mengingatkan kita kalau kita manusia biasa. Sekuat apa pun, kita tak akan terhindar dari kepedihan, dan sesakit apa pun kita juga tidak selalu merasakan pedih. Kepedihan ada untuk mengingatkan kita kalau kita masih hidup, dan hidup meminta kita untuk hadir di dalamnya.

Adegan favorit saya di buku ini adalah saat Isaac dan Hazel membacakan eulogi untuk Gus di ruang gereja yang dipakai grup penyemangat penderita kanker. Ini bikin nangis banget. :'(

Yang agak kurang buat saya
Saya bisa ngikik-ngikik dengan gaya becanda satir dan sinis Hazel dan Gus, karena Green menggambarkan mereka sebagai pemuda-pemuda cerdas. Isaac pun punya sense of humor yang sama kadar sinisnya. Saya masih bisa menerimanya karena saya pikir, "OK, mereka bertiga penderita kanker." Tapi kalau lantas semua orang dalam cerita punya kadar sense of humor yang sama, jadinya malah agak aneh. Saya bingung aja karena ibu Isaac tidak tersinggung dengan candaan Gus tentang Isaac yang buta, walaupun itu maksudnya bercanda, tapi kadar satirnya begitu besar. 
Lalu ayah Hazel yang kerjaannya nangiiis melulu, sedangkan ibunya tidak pernah diceritakan menangis. Hihihihihi....agak berlebihan juga. Kalau sekali aja diceritakan okelah, tapi ini lebih dari 3 kali diceritakan ayahnya menangis. Hiks...

Tapi secara keseluruhan, ini novel yang sukses buat saya. Empat setengah bintang! :D

Judul: The Fault In Our Stars (Salahkan Bintang-bintang)
Penulis: John  Green
Penerbit: Qanita
Penerjemah: Ingris Dwijani Nimpoeno
Penyunting: Prisca Primasari
Desainer sampul: BLUEgarden

PS: Kalau kamu suka postingan ini, nyumbang vote yaaa buat Blog Emak Gaoel ikut Big Blog Exchange di sini. Ditungguuu! ^_^

7 komentar:

  1. saya suka maak, tapi sayang smuwa akun email saya wis dipake ngevote. wakakakakakakakaka. ish, jadi penasaran pingin baca juga *padahal buku dari book traveling campaign yg belum kebaca masih 4 -__-

    BalasHapus
  2. siap mbak. Dari ketiga buu ini aku baru punya 1 :)

    BalasHapus
  3. nampak kerenn... dr reviewnya kyknya ga happy ending ya mba, hihihihi...

    BalasHapus
  4. Sama! Itu kutipan kesukaan gw juga :')

    Thanks for making me read this one.

    Gw udah nangis dari awal-awal baca, hahaha...ada sesuatu dalam cerita itu yg membangkitkan banyak kenangan soalnya.

    Dan review gw belum dooong, haha, sebab gw bingung sendiri mau mulai dari sebelah mana saking banyak banget yg gw peroleh.

    BalasHapus
  5. ikutan ini ya mak :))
    http://vanisadesfriani.blogspot.com/p/blog-page_19.html

    BalasHapus
  6. Makasih mak ^^
    Sy punya bukunya tp blm sempat dibaca..hehe

    BalasHapus