“Nora! Naskahku lolos! Penerbit terbesar
di Indonesia itu akan menerbitkan novelku!”
“Waaah, selamat yaaa… Akhirnya kamu berhasil
juga!”
Yuki menarik nafas panjang setelah mengakhiri
percakapannya dengan Nora di telepon. Dia baru saja mengabarkan sebuah kabar
gembira untuk Nora, sahabatnya. Respon Nora tampak normal. Sewajarnya seorang
sahabat yang ikut berbahagia atas prestasi temannya. Tapi tidak ada yang tahu
apa yang sebenarnya dirasakan Nora dalam hatinya, itu pasti. Bahkan Yuki pun
tidak bisa menebak bagaimana perasaan Nora saat ini.
Yuki tahu bagaimana besarnya impian Nora
untuk bisa menjadi penulis terkenal. Mereka sama-sama memiliki impian yang
tinggi. Perjuangan mereka selama ini selalu sejalan. Walaupun dalam beberapa
kesempatan, Nora tampaknya ingin menunjukkan kalau dia lebih baik dibanding
Yuki. Sebagai seorang sahabat, Yuki tidak terlalu mengindahkan hal itu. Baginya
persahabatan mereka adalah yang paling utama. Dan wajar saja ada sedikit perasaan
tidak nyaman saat dia harus berkompetisi melawan sahabatnya sendiri.
Untuk
kesekiankalinya aku terdiam di depan layar komputer bututku. Kotoran cicak
menempel membentuk titik-titik hitam menyebalkan yang mengganggu. Kadang aku
tertipu, kotoran itu sering kukira kesalahan ketikku untuk tanda titik atau
koma. Mengganggu sekali. Tapi tak sekali pun aku berusaha untuk
membersihkannya. Dengan caranya yang aneh, aku merasa kotoran cicak itu adalah
saksi perjalanan bersejarahku menjadi seorang penulis terkenal dengan buku yang
fenomenal.
Ini
hari ke-limabelas dimana aku berjuang untuk membuat satu paragraf pembuka untuk
calon novel fenomenal yang sudah kuimpikan selama bertahun-tahun. Sebuah
perasaan sesak menekanku semakin keras. Aku tahu perasaan itu datang dari
sebuah kabar gembira yang tidak menggembirakan. Yuki, sahabatku, berhasil
menerbitkan bukunya melalui sebuah penerbitan besar. Bukunya telah duduk manis
di rak-rak toko buku seluruh negeri. Kabar terakhir yang kulihat di halaman
akun Facebook miliknya, novel yang ditulisnya berhasil menjadi best seller di
beberapa kota. Sial! Harusnya aku bahagia untuknya. Tapi apa enaknya berbahagia
untuk orang lain sembari menyimpan perasaan iri seperti ini? Kalau
kuingat-ingat lagi ke belakang, aku dan dia memulai “karir” menulis kami dalam
waktu yang bersamaan.
Kami
sama-sama bersemangat mengikuti lomba-lomba menulis yang banyak diadakan di
berbagai forum dan komunitas. Aku tak ingin jumawa, tapi kenyataannya, dari
beberapa lomba itu, aku selalu mengunggulinya. Beberapa karyaku menang, dan dia
tidak. Terbersit sedikit kebanggaan
dalam hatiku, setiap kali aku berhasil menikungnya. Aku tak bisa mengabaikan
kenyataan kalau mengalahkan seorang kawan ternyata sama memuaskannya dengan
mengalahkan musuhmu. Ah, kapan terakhir aku merasakan hal itu, ya?
Tiga
bulan yang lalu, aku masih tersenyum-senyum sumringah menerima ucapan selamat
yang bertubi-tubi dari teman-temanku di dunia maya atas kemenangan terakhir
yang berhasil kuraih. Yuki pun juga ikut memberikan ucapan selamat. Sebuah
piagam penghargaan dari penyelenggara lomba sudah kuterima dan sekarang
tergantung indah di dinding kamarku, lengkap dengan pigura yang khusus kubeli
dengan harga mahal. Ini akan jadi saksi
sejarah juga. Siapa tahu, sepuluh tahun lagi, aku diwawancarai stasiun televise, memintaku untuk
menceritakan bagaimana awal perjalananku menjadi seorang penulis terkenal.
Itu
tiga bulan yang lalu. Tapi lihat sekarang. Sahabatku sudah menerbitkan bukunya,
dan aku masih menatap nanar layar komputerku yang bernoda kotoran cicak. Tak
satu pun kata bisa kuperah dari otakku untuk kemudian kutuangkan dalam tarian jemariku di atas keyboard. Sial!
Sepertinya aku terkena writer’s block! Baiklah, itu adalah sesuatu yang wajar
dialami oleh seorang penulis. Bahkan penulis terkenal pun pasti mengalaminya.
Mungkin aku butuh istirahat sejenak. Aku harus mengalihkan perhatianku dari
huruf-huruf kecil menyakitkan mata ini untuk beberapa saat. Tapi apa yang harus
kulakukan?
Aku
pengangguran. Perlu kutambahkan kalau aku pengangguran yang masih menumpang
hidup dengan orang tuaku? Atau perlu jugakah kutambahkan kalau aku pengangguran
tak berpenghasilan yang masih mendapat sokongan dana setiap bulan dari ibuku
yang janda? Dan yang terakhir, perlu jugakah kutambahkan kalau usiaku sekarang
adalah 27
tahun? Ya Tuhan, lama-kelamaan keinginan untuk menjadi penulis terkenal dan
menjual buku yang menghasilkan royalti besar ini makin mendesak saja rasanya.
Aku harus cepat-cepat mewujudkan mimpiku, atau aku akan tenggelam dalam
kekalutanku yang bercabang-cabang ini.
Aku
butuh tidur. Rasa-rasanya sudah lama sekali kepalaku menyentuh bantal dengan
perasaan nikmat. Aku harus bisa tertidur dengan lelap. Kalau perlu dengan
bunga-bunga mimpi. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya aku
bermimpi yang mampu kuingat setelah aku terbangun. Dulu, sebagian besar ide
tulisanku berasal dari mimpi-mimpi tidur siangku yang vivid sekali. Aku mampu
mengingat detil-detil kecil dalam mimpiku, lalu aku akan menuliskannya. Kalau
perlu kutambahkan bumbu-bumbu action di dalamnya, aku hanya perlu berimajinasi
sedikit saja. Tidak seperti sekarang. Baru mulai dari ide saja aku sudah harus
memeras otakku yang rasanya sudah semakin kering. Aku ingin bermimpi! Aku ingin
mimpi yang bisa kuingat ketika aku terbangun! Ayo, bermimpilah, Nora!
“Hai, Nora! Apa kabar?”
“Yuki! Yuki! Kamu nggak akan percaya
yang baru aku alami!”
Lima menit kemudian Yuki duduk di depan
meja kerjanya. Memikirkan pembicaraan yang baru saja berakhir dengan sahabatnya
itu. Akal sehatnya menolak untuk mempercayai apa yang baru saja diceritakan
oleh Nora. Tapi untuk jelas-jelas menunjukkan rasa sangsinya itu, Yuki tidak
tega.
Nora terdengar sangat bersemangat.
Suaranya melengking saat berbicara tadi. Hampir terasa menakutkan sebenarnya
bagi Yuki. Nora yang ia kenal tidak pernah seperti itu. Nora yang biasanya
adalah perempuan yang tenang dan lembut. Dia berbicara dengan suara biasa dan
kecepatan normal. Tak pernah terdengar tergesa-gesa walaupun sedang bersemangat
sekali pun.
Dan dalam suara melengkingnya itu Nora
menceritakan sebuah kejadian aneh. Nora yakin sekali dia sudah menulis sebuah naskah panjang di
bawah alam sadarnya. Dia tidak menyadarinya.
“Kurasa ini mungkin sekali terjadi
karena aku begitu mencintai menulis. Aku mendapatkan sebuah pengalaman
spiritual dalam menulis!” kata Nora masih dengan lengkingan suaranya.
Yuki hanya terdiam. Apa yang baru saja
didengarnya lebih pantas disebut sebagai sebuah kegilaan dibanding pengalaman
spiritual. Tapi Yuki, lagi-lagi, tak ingin menyakiti perasaan Nora.
Aku
bahagia memutuskan untuk tidur siang tadi. Aku bermimpi! Dan yang paling penting
adalah aku masih bisa mengingat mimpiku dengan jelas setelah aku terbangun.
Terima kasih, Tuhan! Kau mendengar pintaku. Sekarang saatnya kutuangkan mimpiku
ke dalam tulisan. Ini akan menjadi sebuah cerita yang dahsyat yang tak akan
bisa dilupakan oleh pembacanya. Aku bangun dengan perasaan yang membuncah.
Semangat berkobar yang sudah lama tidak kurasakan, kini menghampiriku lagi. Aku
siap duduk di depan komputerku selama berjam-jam. Aku siap tidak makan dan
minum selama beberapa saat. Aku siap tidak melakukan apa pun selain mengetik
ceritaku sampai selesai. Mimpi ini terlalu bagus untuk kulewatkan. Dia harus
menjadi sebuah novel dan pasti akan terbit menjadi sebuah buku. Keyakinan ini
yang kubutuhkan.
Aku
menarik kursi di depan meja komputer. Duduk dengan sikap khidmat yang terasa lebih sakral sekarang.
Kuhirup nafas dalam-dalam sebelum kubiarkan jemariku menari di atas tuts
keyboard bertabur debu itu.
Huufffft.
Lima menit. Belum satu huruf juga yang berhasil masuk ke layar kertas virtual
itu. Hantu blau! Apa-apaan ini?! Kemana mimpiku tadi? Aku masih ingat dengan
jelas jalan ceritanya di kepalaku. Tapi dari mana harus kumulai cerita yang
luar biasa ini? Haruskah kutuliskan dengan plot acak? Klimaks kumainkan di
depan, lalu secara mundur aku ceritakan asal-usul kisahnya? Ah, tapi itu terlalu
banyak membutuhkan energi berpikir. Aku tidak mau terlalu lelah memikirkan
hal-hal teknis seperti itu. Bukan apa-apa, aku takut esensi dari kisah yang
ingin kuceritakan ini menjadi hilang.
Kuputuskan
membuka dokumen baru, padahal dokumen yang terbuka di depanku masih kosong
melompong. Klik. Create new document.
Hei!
Apa ini? Ini bukan dokumen baru yang kubuka! Halaman-halaman penuh terisi
huruf-huruf yang berbaris rapi membentuk paragraf-paragraf panjang terpampang
di hadapanku. Beberapa titik hitam dari kotoran cicak di layar sama sekali
tidak bisa mengalihkan keherananku. Kubaca perlahan beberapa kalimat di sana.
Rasa-rasanya aku belum pernah menuliskan kalimat-kalimat seindah ini. Wow!
Tulisan siapa gerangan ini?
Sepuluh menit kemudian
aku terpana. Kisah dalam
lima belas halaman pertama yang baru selesai kubaca itu begitu menggugah. Tapi
bukan itu yang membuatku terdiam. Kisah itu adalah mimpiku! Mimpi tidur siangku
baru saja. Mimpi yang rencananya akan kutuliskan namun aku terhadang oleh hal
teknis yang menyebalkan. Itu mimpiku! Sudah tertulis dan berbentuk naskah dalam
komputerku! Aku belum membaca sampai habis. Kulihat ada seratus dua puluh
halaman dari keseluruhan naskah itu. Seratus dua puluh halaman! Bagaimana
mungkin aku bisa tidak ingat kapan menuliskannya? Dan yang paling tidak masuk
akal, bagaimana mungkin aku bisa menulis seratus dua puluh halaman dalam waktu
yang sangat singkat?
Kisah
itu benar-benar luar biasa dahsyatnya. Sekelas dengan novel-novel penulis
perempuan terkenal negeri ini. Sekelas dengan gaya bertutur Yuki. Bahkan, kalau
aku boleh katakan, gaya bahasanya jauh lebih tinggi dan sastrawi dibanding gaya
bertutur Yuki, sahabatku itu. Ini sastra kelas tinggi! Mungkin hanya Kahlil
Gibran yang bisa menyainginya. Ah, tulisan siapa yang nyasar ke dalam file
dokumen komputerku ini?
Setengah
jam kemudian kuhabiskan untuk menelusuri dari mana datangnya dokumen itu. Semua
e-mail masuk aku periksa satu per satu. Siapa tahu ada kiriman naskah dari
teman-temanku di beberapa komunitas. Kami biasa bertukar naskah untuk mendapat
masukan. Tapi tak ada satu pun yang berjudul sama dengan naskah dahsyat sekelas
Gibran itu. Aku susuri tanggal penulisan dokumen itu. Tertanggal hari ini.
Bahkan jamnya baru saja berlalu dua jam yang lalu. Saat aku tidur siang tadi.
Teringat
akan sesuatu, aku menepuk keras keningku. Aku belum melihat apa nama dokumen
itu. Kulirik bagian tengah atas layar putih biru itu. “Novel Nora Untuk
Penerbit Besar.”
Aku
tak mampu menahan mataku untuk tidak terbeliak melihat tulisan itu. Jadi….jadi
tulisan itu adalah tulisanku? Kapan aku menulisnya? Apa jangan-jangan aku sudah
kerasukan setan menulis yang membuatku menulis di bawah alam sadarku? Apakah
itu mungkin? Aku banyak membaca kisah-kisah spiritual serupa mengenai kehidupan
para penulis yang begitu terobsesi dengan kisah yang mereka angkat. Aku ingat
pernah membaca kisah penulis besar—Truman Capote—yang nyaris mengalami major
break down saat ia berusaha menyelesaikan naskah non-fiksinya yang berdasarkan
kejadian nyata setelah
melalui masa riset nyaris empat tahun lamanya. Kurasa, apa yang terjadi padaku
saat ini, walaupun belum bisa dikategorikan major, nyaris bisa disamakan dengan
apa yang terjadi padanya.
Maksudku,
penjelasan apa lagi yang bisa masuk akal untuk hal ini? Aku sama sekali tidak
ingat kapan aku menulis kisah dalam mimpiku itu. Dan…boom! Secara tiba-tiba
kisah itu sudah berwujud dalam paragraf-paragraf indah yang aku sendiri tak
ingat pernah menulisnya. Bukankah ini luar biasa sekali? Kurasa aku adalah
salah satu dari sedikit penulis hebat yang mendapatkan anugerah pengalaman
spiritual ini.
Kubaca
lagi “hasil tulisanku” yang maha dahsyat itu. Sekali lagi aku hanya mampu
menahan nafas melihat betapa jauhnya aku berkembang. Aku mungkin tidak pernah
menyadari proses belajarku yang terjadi selama aku rutin menulis selama ini.
Lihatlah sekarang, ternyata aku mampu menghasilkan karya yang sebentar lagi
akan banyak dihargai oleh kalangan sastra negeri ini. Aaah, aku sudah bisa membayangkan
hadir dalam sebuah acara pengahugerahan dan namaku dipanggil untuk tampil di
panggung, menerima penghargaan tertinggi dalam dunia menulis fiksi. Aku nyaris
mampu mencium aroma gedung pertunjukkan tempat acara penganugerahan itu
diadakan.
“Yuki! Naskahku juga akan terbit di
penerbit besar itu!”
“Wah, selamat ya, Nora! Aku ikut
senang…Naskah yang mana, nih? Biasanya kamu kirim-kirim untuk kubaca. Aku masih
masuk dalam list first readers-mu, kan?”
“Naskah yang waktu itu aku ceritakan!
Yang aku tak sadar pernah menulisnya! Maaf ya, Ki. Untuk kali ini aku tidak
bisa mengirimnya untukmu. Sesuatu mengatakan padaku kalau naskah itu harus
segera sampai ke tangan penerbit. Aku ingin kamu membacanya nanti dalam bentuk
buku.”
Itulah percakapannya dengan Nora yang
membuatnya merasa harus berbicara dengan ibu Nora. Kondisi Nora akhir-akhir ini
agak membingungkan. Status-statusnya di Facebook dan kicauannya di Twitter
makin lama makin aneh saja di mata Yuki. Tiga hari yang lalu Nora menulis
status, “Gila kalau naskah ini tidak lolos juga!” Lalu kemarin Nora berkicau di
Twitter, “Akhirnya kesempatanku untuk menjadi penulis best seller sudah di tangan!”
Beberapa teman mereka menanyakan kondisi
Nora melalui message. “Nora itu lagi
kenapa sih, Ki? Kok dia kayanya nafsu banget pengen nerbitin buku? Iya sih,
kita juga begitu, tapi ini kok kesannya bikin sebel aja kalau baca
status-statusnya belakangan ini. Sombong.” Yuki hanya bisa berusaha membela
Nora, karena walau bagaimana Nora adalah sahabatnya. “Iya, mbak. Nora memang
sedang mengejar target. Maklum aja, ya. Kita juga kan kalau dikejar deadline suka jadi stress. Hehehe…”
Akhirnya!
Yuki bisa menelan ludah sekarang melihat bukuku terpampang manis di rak
“Terlaris”! Hahahaha! TERLARIS! Novel dari mimpiku itu sudah masuk cetakan
ke-dua. Dan sudah ada stempel Best Seller di sampulnya. Bahkan Yuki tidak akan
mampu menandingi prestasiku.
Kemarin
aku baru saja merampungkan naskah novel trilogi-ku yang terbaru. Seperti yang
terjadi pada novel pertamaku, semuanya berawal dari mimpi tidur siangku. Saat
aku terbangun, tiba-tiba saja naskah sebanyak empat ratus halaman A4 telah rapi
berada dalam folder komputerku. Aku sudah tidak pusing lagi karena sama sekali
tak bisa mengingat kapan aku menuliskannya. Bagiku sekarang, kerasukan setan
menulis terdengar masuk akal sekali. Karena aku yakin, memang itu yang terjadi
padaku.
Penerbit
novel pertamaku bahkan langsung menyetujui untuk menerbitkannya saat aku
mengabari mereka kalau aku punya naskah baru. Terus terang saja, ini melebihi
harapan tertinggiku selama ini. Seingatku, aku tak pernah mampu menulis lebih
panjang dari lima puluh halaman. Dan saat kubaca lagi naskah setebal empat
ratus halaman itu, aku tahu kalau sebentar lagi ketenaranku akan sejajar dengan
penulis-penulis paling terkenal di negeri ini. Aku harus bersiap-siap untuk
hidup sebagai penulis selebriti.
Yuki
meneleponku kemarin. Menanyakan kabarku. Tumben! Kurasa dia hanya ingin tahu
apa rencanaku selanjutnya. Aku memberitahunya tentang novel trilogi-ku yang sudah
rampung. Dia, seperti biasa, memberi selamat. Tapi aku tahu dia tidak tulus.
Aku bisa merasakan nada iri dalam suaranya. Kurasa wajar saja, sekarang dia
merasakan apa yang pernah kurasakan.
Dan
seperti tidak mau kalah, dia memberitahuku kalau naskah novel keduanya hampir
selesai. Aku bukannya tidak tahu akan hal itu. Aku tahu melalui status-status
Facebook dan twit-nya di Twitter. Sejujurnya aku merasa Yuki menjauhiku.
Buktinya dia tidak pernah lagi mengirimiku naskahnya untuk kubaca. Apa dia
takut ceritanya aku curi? Ah, aku tidak peduli! Aku terlalu sibuk mempersiapkan
acara launching novelku selanjutnya. Penerbitku sudah mengatur acara launching
yang sangat elegan. Diadakan di sebuah
museum di daerah Jakarta Pusat. Para sastrawan dan kritikus akan datang.
Beberapa dari mereka akan menjadi pengisi acara, dan sebagian dari mereka sudah
memberikan endorsement yang bagus sekali tentang novelku. Tak ada waktu untuk
memikirkan Yuki dan novelnya yang biasa saja itu.
Lusa
aku harus bersiap-siap untuk diundang ke sebuah talk show di televisi swasta.
Tentu saja untuk membicarakan tentang novelku yang pertama dan novel trilogi-ku
yang akan terbit sebentar lagi. Tampaknya semua orang sudah tidak sabar menanti
terbitnya novel terbaruku.
Ibu menonton televisi sendiri. Anak
perempuannya seperti biasa mengurung diri di dalam kamar. Ibu sudah tidak tahu
lagi bagaimana menyuruhnya untuk keluar dari kamar sumpek itu. Bahkan dia hanya
mau makan di dalam kamar tiga bulan terakhir ini.
Seorang perempuan muda sedang diwawancarai.
Ibu kenal dengannya. Dia adalah sahabat anak perempuannya. Yuki tampak cantik
dalam balutan kebaya modern berwarna ungu muda. Dia sedang menceritakan tentang
novel terbarunya yang berjudul Mimpi. Ibu menyimak jalannya wawancara tersebut
dengan serius.
“Jadi kisah penulis gila dalam novel ini
terinspirasi dari mana, Mbak Yuki?”
“Dari mimpi…,” jawab Yuki sambil
tersenyum.
“Novel setebal ini idenya datang hanya
dari mimpi?” tanya sang pewawancara tidak percaya.
“Tentu saja tidak seratus persen dari mimpi.
Saya lengkapi dengan riset, wawancara, dan imajinasi.”
“Luar biasa! Menurut Mbak Yuki, ada
nggak sih di dunia nyata ini seseorang seperti tokoh dalam novel Mimpi ini?
Sampai gila karena ingin menjadi penulis terkenal?”
“Saya harap tidak ada…” Kali ini suara
Yuki terdengar pelan. Matanya melirik sekilas ke arah kamera.
Ibu menyeka air matanya. Dua bulan yang
lalu Yuki datang ke rumahnya. Menanyakan keadaan Nora, putrinya. Nora sama
sekali tidak mau keluar menemui Yuki saat itu. Alasannya, ia sedang dikejar deadline. Bagian ketiga dari novel trilogi-nya
harus sudah selesai, karena penerbit sudah mengejarnya. Nora juga bilang dia
butuh tidur, karena dia butuh mimpinya sebagai bahan tulisan.
Ibu sudah tidak tahu apa lagi yang harus
dilakukannya untuk menyadarkan Nora. Beberapa kali dia mengajak Nora untuk
berkonsultasi ke dokter, tapi ditolaknya mentah-mentah. Nora saat ini sangat
temperamen. Dia akan menjerit-jerit histeris jika ibu memaksanya untuk
melakukan sesuatu. Ibu juga bertanya-tanya ke beberapa temannya tentang kondisi
Nora. Menurut mereka, Nora depresi dan berhalusinasi. Kemungkinan besar karena
ada harapannya yang sangat diinginkan belum tercapai sampai saat ini.
Yuki datang kepadanya, meminta ijin
untuk menulis kisah Nora untuk novelnya yang berjudul Mimpi. Awalnya ibu
keberatan. Bagaimana mungkin sahabat anaknya itu ingin membuka aib Nora? Tapi
Yuki menjelaskan kalau dia sesungguhnya ingin membantu ibu dan Nora.
“Ibu, semua hasil penjualan buku ini
akan saya berikan untuk ibu. Saya tahu keadaan ibu yang sudah tidak bekerja.
Saya tahu Nora satu-satunya harapan ibu. Dan sekarang kondisi Nora seperti ini.
Biarkan saya membantu ibu,” kata Yuki.
Maka semua ibu ceritakan kepada Yuki. Tentang
Nora yang pernah bersiap-siap hendak pergi keluar rumah dan berkata, “Aku mau
ke stasiun televisi, ada undangan talk
show!” Juga tentang Nora yang selalu berceloteh sendiri di dalam kamarnya,
tentang mimpi-mimpinya dan naskah-naskah yang sudah ada dalam komputernya.
Tentang Nora yang suatu sore tiba-tiba keluar dari kamarnya lalu duduk di teras
rumah. Setumpuk buku ada di depannya, dan dia menandatangani semua buku-buku lama
milik almarhum ayahnya itu. Dia terus-menerus mengatakan, “Terima kasih,” lalu
tersenyum entah kepada siapa. Mungkin Nora tengah membayangkan dirinya sedang
menandatangani bukunya dan membagi-bagikan buku-buku itu kepada penggemarnya.
Miris sekali hati ibu melihatnya.
Wah!
Ternyata launching novel bagian pertama dari trilogi-ku tidak jadi diadakan di
museum. Dua hari yang lalu penerbitku menelepon dan memberitahukan kalau ada
perubahan rencana.
“Kita
akan adakan di gedung pertunjukan, Mbak Nora! Tempat biasa diadakan pertunjukan
teatrikal besar. Sebab novel Mbak Nora memang ditunggu oleh banyak orang.”
Aku
tahu hari ini akan tiba juga. Akhirnya aku tak perlu lagi pusing memikirkan
bagaimana caranya membantu keuangan ibu. Royalti dari penjualan bukuku dan
undangan menjadi pembicara lebih dari cukup. Akhirnya aku bisa membalas budi
kepada ibuku. Aku tahu, ibu tak pernah memintaku secara langsung untuk
membantunya. Tapi ketidakmampuanku membahagiakan ibu dulu sangat menyiksa. Aku
tak akan mau kembali ke masa itu lagi.
Dan
di sinilah aku sekarang. Namaku dipanggil oleh pembawa acara untuk naik ke atas
panggung. Gaun merah panjangku berkibar saat aku melangkah menuju podium yang
disediakan. Aku sama sekali tak gemetar atau grogi. Kurasa karena sudah lama
sekali aku memimpikan ini. Secarik kertas berisi ucapan terima kasih ada dalam genggamanku.
Podium
itu sudah ada di depanku. Aku bersiap naik ke tangga kecil di balik podium kayu
jati yang besar itu.
“Noraa!!!”
Ibu berteriak histeris memeluk tubuh
putri semata wayangnya yang bersimbah darah itu. Nora jatuh dari teras kamarnya
di lantai atas. Tubuhnya menghempas keras pagar rumah mereka. Jasadnya menancap
di ujung pagar runcing itu. Selembar kertas tergenggam di tangannya. Ibu
mengambil kertas itu dengan tangan bergetar hebat.
“Terima kasih untuk ibuku, karena sudah
begitu sabar menunggu kesuksesanku selama ini. Beliau menemaniku dalam
masa-masa penantian itu. Hingga akhirnya aku bisa berada di sini, semua karena
ibu yang terus mendukungku dan mimpi-mimpiku. Terima kasih, ibu!”
Akhir tragis. Tapi suka ama cerpennya mbak :)
BalasHapusterima kasih...:)
HapusMbaakkk... serem amat cerpennya.. tadi saya ikut terbawa suasana.. sempet bingung sih pas bagian pov nya Nora yg kedua itu, yg dia habis bangun tidur.. kasihan sekali ya Nora.. apa ada yg sgitunya mbak??
BalasHapusheuheuheu..udah lama gk nulis cerpen..kagok..:)
Hapusgk tau jg deh, ada gk ya yg segitunya? ;)
Wah, tragis! hiks.
BalasHapusiya ya...hiks...:(
HapusPas baca kepikiran kalau Nora dan Yuki itu sebenarnya satu orang tapi dua kepribadian. Tapi ternyata bukan.
BalasHapuskeren cerpennya.
makasih yaa..:)
Hapusmengerikan...
BalasHapusobsesi yang berlebihan :(
makanyaa... #eh :))))
Hapus