Kamis, 30 Mei 2013

[Cerpen] Jejak Mimpi Nora

  10 comments    
categories: 

“Nora! Naskahku lolos! Penerbit terbesar di Indonesia itu akan menerbitkan novelku!”
“Waaah, selamat yaaa… Akhirnya kamu berhasil juga!”
Yuki menarik nafas panjang setelah mengakhiri percakapannya dengan Nora di telepon. Dia baru saja mengabarkan sebuah kabar gembira untuk Nora, sahabatnya. Respon Nora tampak normal. Sewajarnya seorang sahabat yang ikut berbahagia atas prestasi temannya. Tapi tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya dirasakan Nora dalam hatinya, itu pasti. Bahkan Yuki pun tidak bisa menebak bagaimana perasaan Nora saat ini.
Yuki tahu bagaimana besarnya impian Nora untuk bisa menjadi penulis terkenal. Mereka sama-sama memiliki impian yang tinggi. Perjuangan mereka selama ini selalu sejalan. Walaupun dalam beberapa kesempatan, Nora tampaknya ingin menunjukkan kalau dia lebih baik dibanding Yuki. Sebagai seorang sahabat, Yuki tidak terlalu mengindahkan hal itu. Baginya persahabatan mereka adalah yang paling utama. Dan wajar saja ada sedikit perasaan tidak nyaman saat dia harus berkompetisi melawan sahabatnya sendiri.




Untuk kesekiankalinya aku terdiam di depan layar komputer bututku. Kotoran cicak menempel membentuk titik-titik hitam menyebalkan yang mengganggu. Kadang aku tertipu, kotoran itu sering kukira kesalahan ketikku untuk tanda titik atau koma. Mengganggu sekali. Tapi tak sekali pun aku berusaha untuk membersihkannya. Dengan caranya yang aneh, aku merasa kotoran cicak itu adalah saksi perjalanan bersejarahku menjadi seorang penulis terkenal dengan buku yang fenomenal.
Ini hari ke-limabelas dimana aku berjuang untuk membuat satu paragraf pembuka untuk calon novel fenomenal yang sudah kuimpikan selama bertahun-tahun. Sebuah perasaan sesak menekanku semakin keras. Aku tahu perasaan itu datang dari sebuah kabar gembira yang tidak menggembirakan. Yuki, sahabatku, berhasil menerbitkan bukunya melalui sebuah penerbitan besar. Bukunya telah duduk manis di rak-rak toko buku seluruh negeri. Kabar terakhir yang kulihat di halaman akun Facebook miliknya, novel yang ditulisnya berhasil menjadi best seller di beberapa kota. Sial! Harusnya aku bahagia untuknya. Tapi apa enaknya berbahagia untuk orang lain sembari menyimpan perasaan iri seperti ini? Kalau kuingat-ingat lagi ke belakang, aku dan dia memulai “karir” menulis kami dalam waktu yang bersamaan.
Kami sama-sama bersemangat mengikuti lomba-lomba menulis yang banyak diadakan di berbagai forum dan komunitas. Aku tak ingin jumawa, tapi kenyataannya, dari beberapa lomba itu, aku selalu mengunggulinya. Beberapa karyaku menang, dan dia tidak. Terbersit sedikit kebanggaan dalam hatiku, setiap kali aku berhasil menikungnya. Aku tak bisa mengabaikan kenyataan kalau mengalahkan seorang kawan ternyata sama memuaskannya dengan mengalahkan musuhmu. Ah, kapan terakhir aku merasakan hal itu, ya?
Tiga bulan yang lalu, aku masih tersenyum-senyum sumringah menerima ucapan selamat yang bertubi-tubi dari teman-temanku di dunia maya atas kemenangan terakhir yang berhasil kuraih. Yuki pun juga ikut memberikan ucapan selamat. Sebuah piagam penghargaan dari penyelenggara lomba sudah kuterima dan sekarang tergantung indah di dinding kamarku, lengkap dengan pigura yang khusus kubeli dengan  harga mahal. Ini akan jadi saksi sejarah juga. Siapa tahu, sepuluh tahun lagi, aku diwawancarai stasiun televise, memintaku untuk menceritakan bagaimana awal perjalananku menjadi seorang penulis terkenal.
Itu tiga bulan yang lalu. Tapi lihat sekarang. Sahabatku sudah menerbitkan bukunya, dan aku masih menatap nanar layar komputerku yang bernoda kotoran cicak. Tak satu pun kata bisa kuperah dari otakku untuk kemudian kutuangkan dalam  tarian jemariku di atas keyboard. Sial! Sepertinya aku terkena writer’s block! Baiklah, itu adalah sesuatu yang wajar dialami oleh seorang penulis. Bahkan penulis terkenal pun pasti mengalaminya. Mungkin aku butuh istirahat sejenak. Aku harus mengalihkan perhatianku dari huruf-huruf kecil menyakitkan mata ini untuk beberapa saat. Tapi apa yang harus kulakukan?
Aku pengangguran. Perlu kutambahkan kalau aku pengangguran yang masih menumpang hidup dengan orang tuaku? Atau perlu jugakah kutambahkan kalau aku pengangguran tak berpenghasilan yang masih mendapat sokongan dana setiap bulan dari ibuku yang janda? Dan yang terakhir, perlu jugakah kutambahkan kalau usiaku sekarang adalah 27 tahun? Ya Tuhan, lama-kelamaan keinginan untuk menjadi penulis terkenal dan menjual buku yang menghasilkan royalti besar ini makin mendesak saja rasanya. Aku harus cepat-cepat mewujudkan mimpiku, atau aku akan tenggelam dalam kekalutanku yang bercabang-cabang ini.
Aku butuh tidur. Rasa-rasanya sudah lama sekali kepalaku menyentuh bantal dengan perasaan nikmat. Aku harus bisa tertidur dengan lelap. Kalau perlu dengan bunga-bunga mimpi. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya aku bermimpi yang mampu kuingat setelah aku terbangun. Dulu, sebagian besar ide tulisanku berasal dari mimpi-mimpi tidur siangku yang vivid sekali. Aku mampu mengingat detil-detil kecil dalam mimpiku, lalu aku akan menuliskannya. Kalau perlu kutambahkan bumbu-bumbu action di dalamnya, aku hanya perlu berimajinasi sedikit saja. Tidak seperti sekarang. Baru mulai dari ide saja aku sudah harus memeras otakku yang rasanya sudah semakin kering. Aku ingin bermimpi! Aku ingin mimpi yang bisa kuingat ketika aku terbangun! Ayo, bermimpilah, Nora!

“Hai, Nora! Apa kabar?”
“Yuki! Yuki! Kamu nggak akan percaya yang baru aku alami!”
Lima menit kemudian Yuki duduk di depan meja kerjanya. Memikirkan pembicaraan yang baru saja berakhir dengan sahabatnya itu. Akal sehatnya menolak untuk mempercayai apa yang baru saja diceritakan oleh Nora. Tapi untuk jelas-jelas menunjukkan rasa sangsinya itu, Yuki tidak tega.
Nora terdengar sangat bersemangat. Suaranya melengking saat berbicara tadi. Hampir terasa menakutkan sebenarnya bagi Yuki. Nora yang ia kenal tidak pernah seperti itu. Nora yang biasanya adalah perempuan yang tenang dan lembut. Dia berbicara dengan suara biasa dan kecepatan normal. Tak pernah terdengar tergesa-gesa walaupun sedang bersemangat sekali pun.
Dan dalam suara melengkingnya itu Nora menceritakan sebuah kejadian aneh. Nora yakin sekali dia sudah menulis sebuah naskah panjang di bawah alam sadarnya. Dia tidak menyadarinya.
“Kurasa ini mungkin sekali terjadi karena aku begitu mencintai menulis. Aku mendapatkan sebuah pengalaman spiritual dalam menulis!” kata Nora masih dengan lengkingan suaranya.
Yuki hanya terdiam. Apa yang baru saja didengarnya lebih pantas disebut sebagai sebuah kegilaan dibanding pengalaman spiritual. Tapi Yuki, lagi-lagi, tak ingin menyakiti perasaan Nora.

Aku bahagia memutuskan untuk tidur siang tadi. Aku bermimpi! Dan yang paling penting adalah aku masih bisa mengingat mimpiku dengan jelas setelah aku terbangun. Terima kasih, Tuhan! Kau mendengar pintaku. Sekarang saatnya kutuangkan mimpiku ke dalam tulisan. Ini akan menjadi sebuah cerita yang dahsyat yang tak akan bisa dilupakan oleh pembacanya. Aku bangun dengan perasaan yang membuncah. Semangat berkobar yang sudah lama tidak kurasakan, kini menghampiriku lagi. Aku siap duduk di depan komputerku selama berjam-jam. Aku siap tidak makan dan minum selama beberapa saat. Aku siap tidak melakukan apa pun selain mengetik ceritaku sampai selesai. Mimpi ini terlalu bagus untuk kulewatkan. Dia harus menjadi sebuah novel dan pasti akan terbit menjadi sebuah buku. Keyakinan ini yang kubutuhkan.
Aku menarik kursi di depan meja komputer. Duduk dengan sikap  khidmat yang terasa lebih sakral sekarang. Kuhirup nafas dalam-dalam sebelum kubiarkan jemariku menari di atas tuts keyboard bertabur debu itu.
Huufffft. Lima menit. Belum satu huruf juga yang berhasil masuk ke layar kertas virtual itu. Hantu blau! Apa-apaan ini?! Kemana mimpiku tadi? Aku masih ingat dengan jelas jalan ceritanya di kepalaku. Tapi dari mana harus kumulai cerita yang luar biasa ini? Haruskah kutuliskan dengan plot acak? Klimaks kumainkan di depan, lalu secara mundur aku ceritakan asal-usul kisahnya? Ah, tapi itu terlalu banyak membutuhkan energi berpikir. Aku tidak mau terlalu lelah memikirkan hal-hal teknis seperti itu. Bukan apa-apa, aku takut esensi dari kisah yang ingin kuceritakan ini menjadi hilang.
Kuputuskan membuka dokumen baru, padahal dokumen yang terbuka di depanku masih kosong melompong. Klik. Create new document.
Hei! Apa ini? Ini bukan dokumen baru yang kubuka! Halaman-halaman penuh terisi huruf-huruf yang berbaris rapi membentuk paragraf-paragraf panjang terpampang di hadapanku. Beberapa titik hitam dari kotoran cicak di layar sama sekali tidak bisa mengalihkan keherananku. Kubaca perlahan beberapa kalimat di sana. Rasa-rasanya aku belum pernah menuliskan kalimat-kalimat seindah ini. Wow! Tulisan siapa gerangan ini?
Sepuluh menit kemudian aku terpana. Kisah dalam lima belas halaman pertama yang baru selesai kubaca itu begitu menggugah. Tapi bukan itu yang membuatku terdiam. Kisah itu adalah mimpiku! Mimpi tidur siangku baru saja. Mimpi yang rencananya akan kutuliskan namun aku terhadang oleh hal teknis yang menyebalkan. Itu mimpiku! Sudah tertulis dan berbentuk naskah dalam komputerku! Aku belum membaca sampai habis. Kulihat ada seratus dua puluh halaman dari keseluruhan naskah itu. Seratus dua puluh halaman! Bagaimana mungkin aku bisa tidak ingat kapan menuliskannya? Dan yang paling tidak masuk akal, bagaimana mungkin aku bisa menulis seratus dua puluh halaman dalam waktu yang sangat singkat?
Kisah itu benar-benar luar biasa dahsyatnya. Sekelas dengan novel-novel penulis perempuan terkenal negeri ini. Sekelas dengan gaya bertutur Yuki. Bahkan, kalau aku boleh katakan, gaya bahasanya jauh lebih tinggi dan sastrawi dibanding gaya bertutur Yuki, sahabatku itu. Ini sastra kelas tinggi! Mungkin hanya Kahlil Gibran yang bisa menyainginya. Ah, tulisan siapa yang nyasar ke dalam file dokumen komputerku ini?
Setengah jam kemudian kuhabiskan untuk menelusuri dari mana datangnya dokumen itu. Semua e-mail masuk aku periksa satu per satu. Siapa tahu ada kiriman naskah dari teman-temanku di beberapa komunitas. Kami biasa bertukar naskah untuk mendapat masukan. Tapi tak ada satu pun yang berjudul sama dengan naskah dahsyat sekelas Gibran itu. Aku susuri tanggal penulisan dokumen itu. Tertanggal hari ini. Bahkan jamnya baru saja berlalu dua jam yang lalu. Saat aku tidur siang tadi.
Teringat akan sesuatu, aku menepuk keras keningku. Aku belum melihat apa nama dokumen itu. Kulirik bagian tengah atas layar putih biru itu. “Novel Nora Untuk Penerbit Besar.”
Aku tak mampu menahan mataku untuk tidak terbeliak melihat tulisan itu. Jadi….jadi tulisan itu adalah tulisanku? Kapan aku menulisnya? Apa jangan-jangan aku sudah kerasukan setan menulis yang membuatku menulis di bawah alam sadarku? Apakah itu mungkin? Aku banyak membaca kisah-kisah spiritual serupa mengenai kehidupan para penulis yang begitu terobsesi dengan kisah yang mereka angkat. Aku ingat pernah membaca kisah penulis besar—Truman Capote—yang nyaris mengalami major break down saat ia berusaha menyelesaikan naskah non-fiksinya yang berdasarkan kejadian nyata setelah melalui masa riset nyaris empat tahun lamanya. Kurasa, apa yang terjadi padaku saat ini, walaupun belum bisa dikategorikan major, nyaris bisa disamakan dengan apa yang terjadi padanya.
Maksudku, penjelasan apa lagi yang bisa masuk akal untuk hal ini? Aku sama sekali tidak ingat kapan aku menulis kisah dalam mimpiku itu. Dan…boom! Secara tiba-tiba kisah itu sudah berwujud dalam paragraf-paragraf indah yang aku sendiri tak ingat pernah menulisnya. Bukankah ini luar biasa sekali? Kurasa aku adalah salah satu dari sedikit penulis hebat yang mendapatkan anugerah pengalaman spiritual ini.
Kubaca lagi “hasil tulisanku” yang maha dahsyat itu. Sekali lagi aku hanya mampu menahan nafas melihat betapa jauhnya aku berkembang. Aku mungkin tidak pernah menyadari proses belajarku yang terjadi selama aku rutin menulis selama ini. Lihatlah sekarang, ternyata aku mampu menghasilkan karya yang sebentar lagi akan banyak dihargai oleh kalangan sastra negeri ini. Aaah, aku sudah bisa membayangkan hadir dalam sebuah acara pengahugerahan dan namaku dipanggil untuk tampil di panggung, menerima penghargaan tertinggi dalam dunia menulis fiksi. Aku nyaris mampu mencium aroma gedung pertunjukkan tempat acara penganugerahan itu diadakan.


            “Yuki! Naskahku juga akan terbit di penerbit besar itu!”
“Wah, selamat ya, Nora! Aku ikut senang…Naskah yang mana, nih? Biasanya kamu kirim-kirim untuk kubaca. Aku masih masuk dalam list first readers-mu, kan?”
“Naskah yang waktu itu aku ceritakan! Yang aku tak sadar pernah menulisnya! Maaf ya, Ki. Untuk kali ini aku tidak bisa mengirimnya untukmu. Sesuatu mengatakan padaku kalau naskah itu harus segera sampai ke tangan penerbit. Aku ingin kamu membacanya nanti dalam bentuk buku.”
Itulah percakapannya dengan Nora yang membuatnya merasa harus berbicara dengan ibu Nora. Kondisi Nora akhir-akhir ini agak membingungkan. Status-statusnya di Facebook dan kicauannya di Twitter makin lama makin aneh saja di mata Yuki. Tiga hari yang lalu Nora menulis status, “Gila kalau naskah ini tidak lolos juga!” Lalu kemarin Nora berkicau di Twitter, “Akhirnya kesempatanku untuk menjadi penulis best seller sudah di tangan!”
Beberapa teman mereka menanyakan kondisi Nora melalui message. “Nora itu lagi kenapa sih, Ki? Kok dia kayanya nafsu banget pengen nerbitin buku? Iya sih, kita juga begitu, tapi ini kok kesannya bikin sebel aja kalau baca status-statusnya belakangan ini. Sombong.” Yuki hanya bisa berusaha membela Nora, karena walau bagaimana Nora adalah sahabatnya. “Iya, mbak. Nora memang sedang mengejar target. Maklum aja, ya. Kita juga kan kalau dikejar deadline suka jadi stress. Hehehe…”

Akhirnya! Yuki bisa menelan ludah sekarang melihat bukuku terpampang manis di rak “Terlaris”! Hahahaha! TERLARIS! Novel dari mimpiku itu sudah masuk cetakan ke-dua. Dan sudah ada stempel Best Seller di sampulnya. Bahkan Yuki tidak akan mampu menandingi prestasiku.
Kemarin aku baru saja merampungkan naskah novel trilogi-ku yang terbaru. Seperti yang terjadi pada novel pertamaku, semuanya berawal dari mimpi tidur siangku. Saat aku terbangun, tiba-tiba saja naskah sebanyak empat ratus halaman A4 telah rapi berada dalam folder komputerku. Aku sudah tidak pusing lagi karena sama sekali tak bisa mengingat kapan aku menuliskannya. Bagiku sekarang, kerasukan setan menulis terdengar masuk akal sekali. Karena aku yakin, memang itu yang terjadi padaku.
Penerbit novel pertamaku bahkan langsung menyetujui untuk menerbitkannya saat aku mengabari mereka kalau aku punya naskah baru. Terus terang saja, ini melebihi harapan tertinggiku selama ini. Seingatku, aku tak pernah mampu menulis lebih panjang dari lima puluh halaman. Dan saat kubaca lagi naskah setebal empat ratus halaman itu, aku tahu kalau sebentar lagi ketenaranku akan sejajar dengan penulis-penulis paling terkenal di negeri ini. Aku harus bersiap-siap untuk hidup sebagai penulis selebriti.
Yuki meneleponku kemarin. Menanyakan kabarku. Tumben! Kurasa dia hanya ingin tahu apa rencanaku selanjutnya. Aku memberitahunya tentang novel trilogi-ku yang sudah rampung. Dia, seperti biasa, memberi selamat. Tapi aku tahu dia tidak tulus. Aku bisa merasakan nada iri dalam suaranya. Kurasa wajar saja, sekarang dia merasakan apa yang pernah kurasakan.
Dan seperti tidak mau kalah, dia memberitahuku kalau naskah novel keduanya hampir selesai. Aku bukannya tidak tahu akan hal itu. Aku tahu melalui status-status Facebook dan twit-nya di Twitter. Sejujurnya aku merasa Yuki menjauhiku. Buktinya dia tidak pernah lagi mengirimiku naskahnya untuk kubaca. Apa dia takut ceritanya aku curi? Ah, aku tidak peduli! Aku terlalu sibuk mempersiapkan acara launching novelku selanjutnya. Penerbitku sudah mengatur acara launching yang sangat  elegan. Diadakan di sebuah museum di daerah Jakarta Pusat. Para sastrawan dan kritikus akan datang. Beberapa dari mereka akan menjadi pengisi acara, dan sebagian dari mereka sudah memberikan endorsement yang bagus sekali tentang novelku. Tak ada waktu untuk memikirkan Yuki dan novelnya yang biasa saja itu.
Lusa aku harus bersiap-siap untuk diundang ke sebuah talk show di televisi swasta. Tentu saja untuk membicarakan tentang novelku yang pertama dan novel trilogi-ku yang akan terbit sebentar lagi. Tampaknya semua orang sudah tidak sabar menanti terbitnya novel terbaruku.

Ibu menonton televisi sendiri. Anak perempuannya seperti biasa mengurung diri di dalam kamar. Ibu sudah tidak tahu lagi bagaimana menyuruhnya untuk keluar dari kamar sumpek itu. Bahkan dia hanya mau makan di dalam kamar tiga bulan terakhir ini.
Seorang perempuan muda sedang diwawancarai. Ibu kenal dengannya. Dia adalah sahabat anak perempuannya. Yuki tampak cantik dalam balutan kebaya modern berwarna ungu muda. Dia sedang menceritakan tentang novel terbarunya yang berjudul Mimpi. Ibu menyimak jalannya wawancara tersebut dengan serius.
“Jadi kisah penulis gila dalam novel ini terinspirasi dari mana, Mbak Yuki?”
“Dari mimpi…,” jawab Yuki sambil tersenyum.
“Novel setebal ini idenya datang hanya dari mimpi?” tanya sang pewawancara tidak percaya.
“Tentu saja tidak seratus persen dari mimpi. Saya lengkapi dengan riset, wawancara, dan imajinasi.”
“Luar biasa! Menurut Mbak Yuki, ada nggak sih di dunia nyata ini seseorang seperti tokoh dalam novel Mimpi ini? Sampai gila karena ingin menjadi penulis terkenal?”
“Saya harap tidak ada…” Kali ini suara Yuki terdengar pelan. Matanya melirik sekilas ke arah kamera.
Ibu menyeka air matanya. Dua bulan yang lalu Yuki datang ke rumahnya. Menanyakan keadaan Nora, putrinya. Nora sama sekali tidak mau keluar menemui Yuki saat itu. Alasannya, ia sedang dikejar deadline. Bagian ketiga dari novel trilogi-nya harus sudah selesai, karena penerbit sudah mengejarnya. Nora juga bilang dia butuh tidur, karena dia butuh mimpinya sebagai bahan tulisan.
Ibu sudah tidak tahu apa lagi yang harus dilakukannya untuk menyadarkan Nora. Beberapa kali dia mengajak Nora untuk berkonsultasi ke dokter, tapi ditolaknya mentah-mentah. Nora saat ini sangat temperamen. Dia akan menjerit-jerit histeris jika ibu memaksanya untuk melakukan sesuatu. Ibu juga bertanya-tanya ke beberapa temannya tentang kondisi Nora. Menurut mereka, Nora depresi dan berhalusinasi. Kemungkinan besar karena ada harapannya yang sangat diinginkan belum tercapai sampai saat ini.
Yuki datang kepadanya, meminta ijin untuk menulis kisah Nora untuk novelnya yang berjudul Mimpi. Awalnya ibu keberatan. Bagaimana mungkin sahabat anaknya itu ingin membuka aib Nora? Tapi Yuki menjelaskan kalau dia sesungguhnya ingin membantu ibu dan Nora.
“Ibu, semua hasil penjualan buku ini akan saya berikan untuk ibu. Saya tahu keadaan ibu yang sudah tidak bekerja. Saya tahu Nora satu-satunya harapan ibu. Dan sekarang kondisi Nora seperti ini. Biarkan saya membantu ibu,” kata Yuki.
Maka semua ibu ceritakan kepada Yuki. Tentang Nora yang pernah bersiap-siap hendak pergi keluar rumah dan berkata, “Aku mau ke stasiun televisi, ada undangan talk show!” Juga tentang Nora yang selalu berceloteh sendiri di dalam kamarnya, tentang mimpi-mimpinya dan naskah-naskah yang sudah ada dalam komputernya. Tentang Nora yang suatu sore tiba-tiba keluar dari kamarnya lalu duduk di teras rumah. Setumpuk buku ada di depannya, dan dia menandatangani semua buku-buku lama milik almarhum ayahnya itu. Dia terus-menerus mengatakan, “Terima kasih,” lalu tersenyum entah kepada siapa. Mungkin Nora tengah membayangkan dirinya sedang menandatangani bukunya dan membagi-bagikan buku-buku itu kepada penggemarnya. Miris sekali hati ibu melihatnya.

Wah! Ternyata launching novel bagian pertama dari trilogi-ku tidak jadi diadakan di museum. Dua hari yang lalu penerbitku menelepon dan memberitahukan kalau ada perubahan rencana.
“Kita akan adakan di gedung pertunjukan, Mbak Nora! Tempat biasa diadakan pertunjukan teatrikal besar. Sebab novel Mbak Nora memang ditunggu oleh banyak orang.”
Aku tahu hari ini akan tiba juga. Akhirnya aku tak perlu lagi pusing memikirkan bagaimana caranya membantu keuangan ibu. Royalti dari penjualan bukuku dan undangan menjadi pembicara lebih dari cukup. Akhirnya aku bisa membalas budi kepada ibuku. Aku tahu, ibu tak pernah memintaku secara langsung untuk membantunya. Tapi ketidakmampuanku membahagiakan ibu dulu sangat menyiksa. Aku tak akan mau kembali ke masa itu lagi.
Dan di sinilah aku sekarang. Namaku dipanggil oleh pembawa acara untuk naik ke atas panggung. Gaun merah panjangku berkibar saat aku melangkah menuju podium yang disediakan. Aku sama sekali tak gemetar atau grogi. Kurasa karena sudah lama sekali aku memimpikan ini. Secarik kertas berisi ucapan terima kasih ada dalam genggamanku.
Podium itu sudah ada di depanku. Aku bersiap naik ke tangga kecil di balik podium kayu jati yang besar itu.

“Noraa!!!”
Ibu berteriak histeris memeluk tubuh putri semata wayangnya yang bersimbah darah itu. Nora jatuh dari teras kamarnya di lantai atas. Tubuhnya menghempas keras pagar rumah mereka. Jasadnya menancap di ujung pagar runcing itu. Selembar kertas tergenggam di tangannya. Ibu mengambil kertas itu dengan tangan bergetar hebat.
“Terima kasih untuk ibuku, karena sudah begitu sabar menunggu kesuksesanku selama ini. Beliau menemaniku dalam masa-masa penantian itu. Hingga akhirnya aku bisa berada di sini, semua karena ibu yang terus mendukungku dan mimpi-mimpiku. Terima kasih, ibu!”



10 komentar:

  1. Akhir tragis. Tapi suka ama cerpennya mbak :)

    BalasHapus
  2. Mbaakkk... serem amat cerpennya.. tadi saya ikut terbawa suasana.. sempet bingung sih pas bagian pov nya Nora yg kedua itu, yg dia habis bangun tidur.. kasihan sekali ya Nora.. apa ada yg sgitunya mbak??

    BalasHapus
    Balasan
    1. heuheuheu..udah lama gk nulis cerpen..kagok..:)
      gk tau jg deh, ada gk ya yg segitunya? ;)

      Hapus
  3. Pas baca kepikiran kalau Nora dan Yuki itu sebenarnya satu orang tapi dua kepribadian. Tapi ternyata bukan.
    keren cerpennya.

    BalasHapus
  4. mengerikan...
    obsesi yang berlebihan :(

    BalasHapus