KALAH
Rimbun termenung di depan jendela kamarnya. Matanya menerawang jauh entah kemana. Pikirannya melayang tak tentu arah. Lantai tempatnya berpijak serasa bergoyang tiap ia langkahkan kaki. Matanya menatap namun nanar. Bibirnya kelu tiap mengucap. Tangannya bergetar tiap menjamah. Lemah tiada tara dirasakannya.
Ditatapnya segelas air di nakas samping peraduannya. Tak kuasa rasa untuk meraihnya. Ingin sekali direguknya kumpulan embun dalam kaca itu. Namun hatinya berdebat.
"Tak mungkin kulakukan itu...".
"Mengapa tidak?", sebuah suara muncul dalam kepalanya.
"Surga melarangku...".
"Surgakah yang memberimu penderitaan ini?".
"Surga melarangku, karena ia akan menantiku di ujung derita ini".
"Surga seharusnya nikmat. Ini pasti bukan surga, sayangku. Ini neraka...".
...keraguan melanda, "Benarkah? Ini neraka?".
"Masihkah kau pertanyakan?".
"Panas memang kurasa dalam tubuhku.
Dahaga memang menyergap di kerongkonganku. Tapi apakah mungkin ini neraka?".
"Neraka adalah api, api adalah panas. Sudah pasti neraka yang sedang kau rasakan!".
"Oh, tidak! Apa yang harus kulakukan?".
"Cepat ambil air itu dan siramkan ke dalam ragamu yang dahaga itu, sebelum ia membakarmu!".
Rimbun gesit bergerak meneguk tetes demi tetes isi gelas itu, seolah takut suara itu berubah pikiran. Dahaganya seketika menghilang. Namun mengapa kini gundah yang dirasakannya?
"Dahagaku sirna, namun mengapa jiwaku kalut? Apakah kau menjebakku?".
"Sesungguhnya kau tahu ini pasti terjadi. Aku tahu kau menginginkannya, namun kau takut melakukannya. Kau merasa perlu mencari alasan dan pembenaran, walaupun kau tahu kau tidak boleh melakukannya".
"Tidak! Kau harus ikut bertanggung jawab! Karena kaulah aku jadi begini!", jerit hati Rimbun dalam kepanikan.
"Aku tak perlu menemanimu lagi. Tujuanku telah kudapat yakni menjerumuskanmu. Tak usah kau mengadu padaNya kalau ini salahku, karena aku telah mendapat ijinNya untuk menjerumuskanmu. Dan sesungguhnya kamu sudah dibekali akal budi dan nurani olehNya untuk melawanku. Tapi sayang, kamu kalah! Sampai jumpa di neraka, kawanku. Hahaha!", ejek suara itu.
Setan pergi mencari mangsa berhati lemah lainnya. Meninggalkan Rimbun tergugu menyesali kekalahannya hari itu.
(Suatu siang di bulan Ramadhan)
0 comments:
Posting Komentar