Selasa, 29 Juni 2010

Penghuni Apartemen Itu

  6 comments    
categories: 

Apartemen tempat mereka tinggal itu lebih pantas disebut rumah susun. Fani tak habis pikir mengapa di Jakarta apartemen menjadi sesuatu yang sangat bergengsi, sedangkan di Singapura ini sebagian besar rakyat menengah ke bawah justru tinggal di apartemen. Rumah adalah sesuatu yang luxury bagi warga Singapura. Hanya segelintir dari mereka yang berduit sangat banyak yang bisa membeli rumah. Mungkin karena ketersediaan lahan yang minim.
Apartemen mereka terdiri dari tiga kamar tidur yang ditempati bersama-sama dengan beberapa pelajar dan karyawan dari Malaysia dan Filipina, serta dua orang wanita paruh baya warga negara Singapura.
Ogi menempati kamar utama yang berukuran paling besar bersama tiga orang pegawai laki-laki. Dua di antaranya adalah pelajar yang tengah praktek kerja seperti dirinya. Alex Tan pelajar dari Malaysia dan Hendrik Villanueva dari Filipina. Seorang lagi adalah seorang pria usia tiga puluhan bernama Stephen Low, sous chef hotel yang berwarganegara Malaysia seperti Alex Tan.
Fani menempati kamar lainnya yang lebih kecil bersama dua orang karyawan wanita keturunan India usia paruh baya itu. Mereka berdua bekerja sebagai telephone operator di hotel. Nama mereka Karin dan Shanti.
Lana sendiri menempati kamar lainnya dengan dua orang pelajar dari Malaysia. Sally Wu yang keturunan Cina dan Amira yang keturunan Melayu. Lana sebenarnya ingin sekamar dengan Fani, namun mereka tidak bisa memilih, karena mereka datang paling terakhir di apartemen itu.
Fani sendiri hanya bisa pasrah ketika mengetahui dirinya akan berada satu kamar dengan dua orang ibu-ibu selama enam bulan. Fani hanya berharap semoga mereka tidak bawel seperti Maminya atau paling tidak mereka akan lebih perhatian dengan kerapihan dan kebersihan kamar, sehingga Fani akan aman dari tugas bersih-bersih itu. Itu harapan Fani, entah nanti kenyataannya.
Lana sempat ciut ketika tahu dirinya harus satu kamar dengan dua gadis cantik seusianya. Mereka tampak sangat percaya diri dan sedikit mengintimidasi. Senioritas mereka berdua langsung tampak begitu Lana masuk ke dalam kamar itu untuk pertama kalinya. Mereka tengah asyik ngobrol di depan jendela kamar ketika kemudian mereka mendadak diam dan menatap Lana dengan seksama tanpa ekspresi. Entahlah, Lana merasa mereka seperti memusuhinya.
Ogi lain lagi. Dia harus bisa menerima kenyataan kalau dalam kamarnya itu dia bukan siap-siapa. Jelas-jelas Stephen adalah orang yang dituakan di apartemen itu. Stephen sendiri sudah ditunjuk oleh pihak hotel sebagai penanggungjawab apartemen dengan seluruh penghuninya itu. Alex Tan dan Hendrik jelas-jelas tidak minat untuk berakrab-akrab dengan dirinya. Entah nanti.
“Lan, temen sekamar lo jutek-jutek amat ya?” kata Fani kepada Lana di meja makan dengan suara biasa. Fani tidak takut mereka akan mengerti, karena toh Fani berbicara dengan bahasa Indonesia.
Lana meringis sambil menyeruput teh hangatnya. Dia mengangguk sambil mengerdarkan pandangannya sebelum menjawab pertanyaan Fani.
“Lo tau gak, udah dua hari kita di sini, mereka belum ada ngomong sepatah kata pun sama gue. Tadi pagi gue lupa naroh handuk ke jemuran di luar, si Sally bohay itu cuma nunjuk ke arah handuk gue pake muka judesnya itu. Trus yang namanya Amira itu..alamaaak, judulnya aja kita serumpun sama dia, sama aja juteknya. Amit-amiiit…” Lana mencurahkan uneg-unegnya kepada Fani.
Fani tersenyum geli melihat Lana begitu menderita. Dia belum tau penderitaan gue, kata Fani dalam hati. Dua malam dia harus rela tidur sebelum mengantuk karena kedua wanita India itu harus masuk kerja pukul lima pagi dan tidur lebih awal. Lampu kamar harus mati begitu mereka berangkat tidur. Kalau Fani mau ke kamar mandi atau ke luar kamar, dia harus melakukannya dengan sepelan mungkin. Jangan sampai membangunkan mereka. Itu sudah diwanti-wanti kepada Fani oleh dua orang wanita itu sejak malam pertama. Mereka sama sekali tidak mau terganggu dengan jam kerja Fani yang berbeda.
“Besok lo masuk apa?” tanya Fani lagi.
“Masuk siang, jam sebelas,” jawab Lana malas.
“Gue off, Ogi juga off…Rencananya gue mau jalan aja deh keluar rumah. Daripada suntuk di sini,” kata Fani lagi.
“Huaaaa…enak bangeeet! Tungguin gue dong, jam tiga juga udah kelar. Please…,” pinta Lana memelas.
Fani tertawa melihat Lana yang begitu menderita.
“No way! Kalau mau, abis kerja lo nyusul kita aja. Paling cuma ke Orchard doang, duduk-duduk di pinggir jalan, depan Takashimaya. Atau kalau nggak di sana, paling gue ada di Burger King. Gampang kan?” kata Fani lagi.
“Males banget deh gue kerja besok, Fan. Apalagi lo sama Ogi udah dapet off duluan,” kata Lana tambah memelas.
“Sabar dong, Lan. Bentar lagi juga lo dapet off,” kata Fani berusaha menghibur sahabatnya itu.
“Iyaaa, tapi nggak bareng sama lo!” kata Lana kesal.
“Udah takdir, Lan. Terima aja. Lagian emang kita beda departemen kan kerjanya. Jadi nggak mungkin nyocokin jadwal libur. Eh, tapi kalau kita bareng di satu outlet malah tambah runyam kalau mau libur bareng, tau! Pasti nanti suatu saat libur kita jatuhnya barengan. Tunggu aja deh!” ujar Fani.
Fani dan Ogi bertugas di bagian Food and Beverage Departement. Itu artinya mereka bekerja di restoran-restoran milik hotel. Hotel itu sendiri memiliki empat buah restoran. Chinese restaurant, Italian restaurant, Coffee Shop dan Lounge Bar. Fani sendiri bulan ini kedapatan bertugas di Coffee Shop hotel, sedangkan Ogi mendapat tempat pertama di Lounge Bar. Jadwal kerja mereka minggu ini masuk malam, mulai jam tiga sore dan harusnya berakhir jam sebelas malam. Tapi pada kenyataannya mereka sering pulang di atas jam satu pagi. Fani bersyukur dia bisa bertugas bersama-sama Ogi untuk hari-hari pertamanya di sana. Paling tidak, dia punya teman makan siang di cafetaria karyawan. Fani membayangkan betapa suntuknya Lana harus makan malam di Cafetaria itu sendiri tanpa ada seorang pun yang dikenalnya.
Lana sendiri bertugas di Rooms Division. Dia mendapat tempat tugas pertama sebagai Telephone Operator. Baru dua hari bekerja, Lana sudah melakukan kesalahan fatal dua kali. Yang pertama ketika dia lupa mencatat nama tamu yang meninggalkan pesan melalui telpon. Dan kesalahan ke dua ketika dia lupa input jam untuk membangunkan tamu sesuai dengan permintaannya untuk mendapatkan wake-up call. Benar-benar tragis. Lana sendiri sebenarnya bukan tidak mengerti apa dan bagaimana tugasnya. Semua teori sudah dikuasainya di kampus. Bahkan untuk pelajaran Rooms Management Lana mendapatkan nilai tertinggi. Tapi Lana harus bisa menerima kenyataan, ternyata teori yang dipelajarinya selama satu semester kemarin itu adalah kondisi ideal. Kondisi nyata di lapangan ternyata sangat jauh berbeda. Mungkin itulah sebabnya sekolah-sekolah perhotelan memasukkan praktek kerja sebagai salah satu syarat kelulusan. Tentu saja, pikir Lana dalam hati.
Fani sendiri bukannya bebas dari kesalahan sejak hari pertama. Karena masih baru, Fani ditugaskan di bagian belakang, merapihkan segala peralatan makan dan menyusunnya di tiap station. Belum-belum dia sudah memecahkan satu buah goblet di hari pertama, karena gugup ketika seorang tamu menghentikannya dan menanyakan menu padanya. Fani gugup karena supervisornya sudah berpesan, kalau ada tamu yang bertanya padanya hari itu, sebaiknya dia langsung mendatangi supervisor itu. Hari ke dua, ketika seorang tamu Jepang meminta teh dan mengatakan ‘ocha’ padanya dan Fani tidak mengerti sama sekali. Fani mendiamkannya saja, sampai akhirnya si Jepang itu mengajukan komplain ke supervisor Fani. Duh, bener-bener nggak enak jadi bawahan, keluh Fani.
Ogi lain lagi. Hari pertama dia langsung berhadapan dengan tamu di Lounge yang ramai itu. Beberapa tamu secara serentak memesan minuman dengan nama-nama yang masih asing di telinga Ogi. Walhasil, Ogi keteteran dan lupa beberapa pesanan tamu. Komplain berdatangan di hari pertama. Pada hari ke dua, sial pun masih mendatanginya ketika dia menumpahkan secangkir kopi di atas meja seorang tamu di lounge itu dan mengenai baju sang tamu. Masih bagus, tamu itu sempat menghindar, sehingga hanya sedikit bagian celananya saja yang terkena noda kopi. Ogi tidak berani membayangkan seandainya tamu itu tidak menghindar, bisa-bisa dia langsung dipulangkan ke Jakarta saat itu juga dengan tuduhan berusaha mencelakai tamu dengan menumpahkan kopi panas ke arah tamu.
“Ini baru dua hari, Lan…” ucap Fani pelan seperti pada dirinya sendiri.
Lana menganggukkan kepalanya perlahan.
“Tapi kalau kakak-kakak kelas kita bisa melewatinya, berarti kita juga bisa, Fan…,” kata Lana berusaha menyemangati Fani dan dirinya sendiri.
“Kamu benar! Semangat!” kata Fani tiba-tiba sambil berdiri dari duduknya dan mengepalkan tangannya ke udara.
“Gila!” Lana memaki kesal karena terkejut dengan ulah Fani itu.
***
BERSAMBUNG
image from http://www.disneyfrontier.com/2007/09/12/disney-character-of-the-day-gadget/

6 komentar:

  1. hahahaaa....pengalaman tinggal di singapur dulu jaman kuliah G...wkwkwkwkwkwk

    BalasHapus
  2. Wahaha... eh gw sempat tinggal di Bishan loh, 3 tahun gw di Sing.. Lo waktu itu tinggal di daerah mana Win? *Gileee... udah lama banget ga balik ke Sing! Baca cerita ini jadi kangen lagi gw... Kangen sama jalan2nya itu loh yg enak banget untuk para pejalan kaki. Kangen cuci mata aja sepanjang Orchard en coba2 baju dimana-mana, huehuehuheueeee.... Gw paling suka ke City Hall, hehehe, tapi tempat nongkrong sejati adalah National Library, wkwkwkwk, atau Borders, hmm.... kangen aja sama luxury yg semacam itu. Juga kangen hawker center-nya, dan fried kwetiauw-nya.

    BalasHapus
  3. Ahahaha.. pada kasian amat ya dapat temen sekamarnya seperti itu :p

    Tapi pantesan aja si Fani lumayan tahan banting pas menghadapi Dian di Misako, rupanya di sini udah mulai penggemblengannya, ahahaha :D

    BalasHapus
  4. Ge : wahahahaaa...lama juga ya lo tinggal di sana....sama kayak ranti tuh, hobinya ke borders...gw gak sempet ke sana waktu tinggal di singapur...kebanyakan maen...wkwkwkwkwk

    Indah : hahahahaaa, kerja di hotel emang keras ndah...wkwkwkwkwkwk

    BalasHapus
  5. aiiih baru baca, jeng Winda, ini potongan novel yang mana? Penasaran..!

    BalasHapus