Langkahku semakin berat memasuki
cafe teduh itu. Ini sudah pertemuan yang ke-empat kalinya dan masih belum ada
kemajuan yang berarti. Aku masih menemui orang yang sama, masih membicarakan
hal yang sama dan masih minum bergelas-gelas kopi yang memberikan efek mual
yang sama.
Aku sudah bisa membayangkan
percakapan yang akan kami hadapi sebentar lagi. “Saya dapat donator baru, Sha!
Kamu tahu kan,
Pak Doyok, wakil DPRD itu lho!” atau, “Media sudah mau meliput kegiatan kita,
kamu tinggal arrange aja waktu dan tempatnya. Usahakan tempatnya yang
agak cozy, ya! Pilih panti asuhan yang agak besarlah, yang punya aula,”
atau, “Kita bikin seragam aja untuk acaranya nanti, ya! Batik gimana? Tapi aku
nggak mau batik kodian, ah! Bahannya panas!”
(Image from http://www.diylife.com/2007/12/28/21-ways-to-use-old-coffee-grounds/) |
Perempuan setengah baya yang sama
sudah menungguku di sana.
Dia melambaikan tangannya yang berkuku merah sempurna. Sebuah kursi
di sampingnya, khusus untuk meletakkan Birkin-nya.
“Minum apa, Sha?” tanyanya
setelah melakukan ritual cium pipi kiri dan kananku. “Latte? Frappuccino? Atau
cappuccino? By the way, kamu lihat anak kecil dekat
mobilku nggak tadi pas masuk ke sini?”
Aku menggelengkan kepala. Aku melihat
mobilnya yang mentereng di parkiran cafe memang, tapi aku tidak melihat anak
kecil yang dia tanyakan. “Nggak, mbak. Kenapa?” tanyaku.
Dia mengibaskan rambut berwarna burgundy
berkilaunya itu sambil berkata, “Ah, syukurlah. Itu anak tadi nggak mau pergi
minta-minta sama aku, nggak aku kasih, eh ngeyel! Kesel aku dibuatnya!”
Aku mengangguk. Berusaha keras
membaca menu di tanganku. Hmm, kopi apa yang akan kupesan kali ini? Yang
harganya 25.000 segelas? Atau sekalian yang 50.000 saja? Entah mengapa hanya
rentetan angka rupiah yang terlihat olehku. 25.000 untuk segelas kopi, dan
perempuan itu tidak mau mengeluarkan 2.000
perak untuk pengemis tadi?
Sebenarnya sedang apa aku
dengannya di sini? Aku sedang merancang sebuah acara sosial untuk menyantuni
anak yatim dalam skala besar. Perempuan di depanku ini, penyandang dana dan
pendiri yayasan. Dia menggandengku untuk menjadikan acara itu sukses, karena
aku sering terlibat acara semacam ini. Alih-alih membicarakan tentang kegiatan
ini, perempuan menor ini justru sibuk mengatur-atur semua persiapan liputan dan
penyambutan para pejabat yang akan datang ke acaranya itu.
Ini sudah pertemuan ke-empat! Dan
perutku sudah penuh dengan cairan kopi mahal racikan barista ber-apron
hitam itu. Belum sekali pun kami membicarakan berapa santunan yang akan
diberikan. Atau kemana mereka akan kami sekolahkan. Atau apa yang akan kami
lakukan untuk menambah keahlian mereka yang sudah putus sekolah. Atau bagaimana
membantu orang tua mereka yang pengangguran.
“Sha, minum apa?” Suara perempuan
itu terdengar lagi.
Aku terhenyak. Harusnya aku tak
perlu menunggu sampai pertemuan ke-empat dan memenuhi perutku dengan
bergelas-gelas kopi mahal itu. Aku berdiri dari dudukku. “Teh botol, mbak!”
jawabku sambil menyeringai. Aku berjalan meninggalkannya. Tak kuhiraukan
teriakannya memanggilku.
Seorang pengamen kecil berjalan
melintas di depanku. Aku menggamit tangannya dan mengajaknya berlari menuju
warung di seberang cafe itu. Setengah kebingungan dia mengikuti tarikan
tanganku. “Kak? Mau dibawa ke mana aku, kak?” tanyanya ketakutan.
“Minum teh botol sama kakak,
mau?”
Cukup sudah pertemuanku dengan perempuan
itu. Pertemuan kosong sebatas kopi. Tak ada makna hanya basa-basi memualkan.
“Kamu masih sekolah?” tanyaku
membuka pertemuanku dengannya. Aku tahu, pertemuanku kali ini tidak hanya akan
menjadi sekedar pertemuan sebatas teh botol saja.
perempuan. kadang memang ingin dikenal lebih.
BalasHapushmm gambaran ibu2 borju, hahahaa
BalasHapusAih, ada cerita baruuuuu :) nice one Winda ;)
BalasHapustapi kalau kita ketemuan jangan ajak aku minum teh botol ya mbak, aku bisa eneg krn gak suka :) cukup air putih saja
BalasHapusMba Win, aku mau dunk diajakin nge-teh botol jg hihihihi
BalasHapusteh botol pk es batu, sy suka :D
BalasHapusendingnya ciamik! :)
BalasHapusNice story mbak...
BalasHapushehehe... baguus
BalasHapusYa ampun, kerennya. Tidak dipikir lagi langsung difollow :)
BalasHapusWooo... ini bagus bagus bagus banget!
BalasHapusLangsung jatuh cinta sama tulisan mba winda,.... wajib folow ^_^
BalasHapusemaaaaaak aku punya cerpen pengen di terbitin, tapi nggak tau caranya XD
BalasHapusemak bisa baca di blogku
http://intan1003.blogspot.com/2012/09/kesalahan-orang-tua-atas-anaknya-by.html
gimana ?