Senin, 12 Juli 2010

Lana Dan Alex...Cuit Cuiiit!

  5 comments    
categories: 

“Alex ngajak gue jalan besok, Fan…” bisik Lana kepada Fani di koridor hotel itu.
Fani baru mengantarkan pesanan makanan untuk sebuah kamar ketika berpapasan dengan Lana yang tengah mengantarkan sebuah pesan untuk kamar yang lain di lantai itu juga.
“What? Alamaaak…Hahahaa…” Fani tertawa setelah bisa berekspresi dengan kata-kata melayu itu.
“Dodol! Malah ngetawain…Gimana nih?” tanya Lana dongkol.
“Diajak kemana?” tanya Fani kemudian.
“Gak ngerti juga sih gue, Fan. Dia coba ngomong pake bahasa Melayu gitu ke gue. Katanya ‘nak tengok wayang?’, gitu,” jelas Lana sambil kebingungan.
“Huahahaaa…lo gak tau maksudnya?” tanya Fani geli.
“Nggak…Gue bingung aja, dia ngajakin gue nonton wayang gitu? Emang di Singapur ada wayang? Trus apa menariknya nonton wayang?” Lana makin kebingungan.
‘Huahahaaa…Lana, Lana…Wayang itu movie, begooo…Maksudnya dia ngajakin lo nonton bioskop neng!” Fani menjelaskan sambil tertawa terbahak-bahak.
“Sompret! Kok lo jadi jago gini sih ngomong Melayu?” mau tidak mau Lana tersipu menyadari kebodohannya.
“Huehehee…Banyak gaul sama uncle-uncle busboy di kitchen. Hahahaa….,” kata Fani lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju lift. Fani dengan seragam Room Service berwarna birunya itu dan Lana dengan seragam petugas Front Desk berwarna coklat muda. Keduanya tampak cantik sekali. Beberapa tamu yang berpapasan dengan mereka menoleh untuk menatap mereka berdua lebih lama. Seorang petugas Housekeeping melirik ke arah mereka berdua sambil mendorong troli besar berisi peralatan kamar dan supply amenities untuk kamar mandi. Dia sampai tidak sadar trolinya sudah melenceng arah sampai hampir menabrak tembok di sampingnya.
Ting! Lift terbuka. Alex dengan seragam Room Service yang serupa dengan yang dipakai Fani ada di dalamnya. Tiba-tiba wajahnya berubah cerah begitu melihat ada Lana di depannya. Lana mendadak salah tingkah tidak karuan. Fani cengengesan sambil bergegas menarik tangan Lana untuk masuk ke dalam lift bersamanya.
“Hai, Alex!” sapanya pada Alex.
“Oh, hai, Fani! Kamu sudah antar pesanan tujuh satu enam itu kan?” tanyanya pada Fani.
“Done!” ujar Fani dengan ceria.
Lana masih diam saja salah tingkah tak berdaya. Lana berdiri di pojok lift kecil itu. Fani dan Alex berdiri berdampingan di depannya. Sesekali Alex melirik-lirik kea rah Lana sambil tersenyum simpul.
“Fani, can you ask something to your friend?” tanya Alex pada Fani sambil mengerlingkan matanya.
“Mmm…sure. Mau tanya apa? Sama siapa?” tanya Fani pura-pura bingung. Senyumnya juga terpasang lebar di mulutnya.
“Teman kamu yang ada di belakang itu. Please ask her, would she come with me ‘tengok wayang’ tomorrow,” kata Alex dengan nada menggoda.
“Hahaha…she would if she could understand what ‘tengok wayang’ means!” jawab Fani hampir tidak bisa menahan tawanya.
Lana segera mencubit pinggang Fani dari belakang dengan gemas. Fani menoleh ke arahnya sambil cengar-cengir kesakitan.
“Oh, my God! So that’s why you haven’t said anything, Lana?” kali ini Alex membalikkan badannya dan bertanya dengan serius kepada Lana.
“Ah..uh..uh..yeeah, something like that,” jawab Lana tergagap malu.
Alex benar-benar tidak bisa menahan tawanya. Fani merasa di atas angin melihat Alex tertawa lepas, dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Lana manyuuun.
“OK! Saya akan tanya dalam bahasa Indonesia supaya kamu mengerti. Lana, apakah kamu mau pergi…mmm…,” Alex ragu meneruskan kalimatnya. Diliriknya Fani untuk mendapat bantuan.
“Nonton bioskop sama saya,” ujar Fani mengajarkan, masih dengan tertawa-tawa.
“Oh, OK! Lana, apakah kamu mau pergi nonton bioskop sama saya?” tanya Alex dengan serius kepada Lana.
Lana makin salah tingkah. Cowok edan, masa ngajak nge-date di depan temen gue gini sih? Mana minta diajarin ngomong lagi! Maki Lana dalam hatinya.
Akhirnya Lana hanya mengangguk pelan sambil menunduk malu. Fani geli sekali melihat gaya sahabatnya itu. Lana benar-benar mati kutu. Jangan-jangan dia suka sama Alex, pikir Fani kemudian.
Ting! Pintu lift terbuka di lantai tiga. Alex berpamitan cepat, karena dia harus turun di lantai itu.
“Sompret!” maki Lana pada Fani begitu pintu lift tertutup kembali.
“Huahahaaa…sorry, Lan! Abis kocak banget sih tuh cowok. Jarang-jarang lho ada cowok yang punya selera hunor tinggi kayak gitu,” kata Fani masih melanjutkan niatnya untuk menggoda Lana.
Lana senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata Fani. Alex memang humoris. Beberapa minggu tinggal satu apartemen dengannya, Alex adalah pribadi yang paling ramah selain Uncle Stephen yang sudah agak berumur itu.
“Lo suka ya sama Alex?” tembak Fani telak.
Seketika muka Lana memerah. Sepintas dia hampir menggelengkan kepalanya. Namun kemudian yang terjadi justru bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang tidak bisa ditahannya.
“Hehehe…keliatan banget emangnya ya?” tanya Lana pasrah.
Ah, sahabat harus tahu segalanya bukan? Pikir Lana dalam hati. Sama sekali dia tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun pada Fani, sahabatnya.
“Keliatan sih nggak…Cuma jelas aja dari salting lo itu! Ih, norak banget deh lo, Lan! Kayak belum pernah ngadepin cowok aja,” kata Fani dengan geli.
“Sialan! Kan beda ngadepin cowok yang bikin lo eneg, sama ngadepin cowok yang lo suka,” kata Lana membela diri.
“Astaga! Beneran suka, atau jangan-jangan malah udah mulai jatuh cinta nih?” tanya Fani penasaran.
“Weeeh, jatuh cinta belum kaleee! Baru suka aja. Ganteng, putih, baek, lucu…huaaa…Help me!!!” kata Lana sambil menarik-narik baju Fani berlagak seperti seorang anak kecil yang tengah merengek pada ibunya.
“Anak gila! Selamat berkencan besok yaaa! Gue masuk malem bareng Ogi. Huh!” kata Fani sambil melangkah keluar lift, karena lift itu sudah terbuka di lantai satu.
“Dadaaah!” Lana melambaikan tangannya dari dalam lift sebelum pintu lift itu tertutup kembali. Lana langsung menuju basement untuk berganti seragam karena sudah waktunya ia pulang sore itu.
Fani melangkahkan kakinya dengan santai sambil memikirkan Lana, sahabatnya itu. Kelihatan sekali kalau Lana sedang berbunga-bunga hatinya. Benar kata Lana tadi, dia memang belum pernah menghadapi laki-laki yang menarik hatinya. Walaupun banyak sekali laki-laki yang suka padanya di kampus, tapi Lana tidak pernah salah tingkah seperti ini. Lucu juga bagaimana jatuh cinta itu bisa membuat seseorang justru tampak konyol di hadapan orang yang disukainya. Fani asyik berfikir tentang itu, jatuh cinta, rasa suka, salah tingkah, berdebar-debar. Huuff, gimana ya rasanya? Tanya Fani dalam hati dengan penasaran.
Fani belum pernah merasakan itu semua. Dulu waktu SMA dia berpikir dia pernah jatuh cinta kepada seorang kakak kelasnya. Tapi kemudian Fani cukup cerdas untuk menyadari kalau yang dirasanya waktu itu adalah perasaan kagum dan ingin menjadi seperti dia. Bagaimana tidak, sang kakak kelas itu adalah ketua OSIS di sekolah, murid teladan satu kotamadya, pemegang nilai tertinggi di sekolah dan segudang prestasi lainnya. Fani selalu tak bisa menahan diri untuk tidak menatap kagum padanya setiap sang idola lewat di depannya. Saat teman-temannya menyadari itu, mereka ramai menggoda Fani hingga Fani hampir percaya kalau dia sudah jatuh cinta pada kakak kelasnya itu.
Tidak perlu waktu lama bagi Fani untuk menyadari kalau dia bukan sedang jatuh cinta, melainkan sedang mengagumi. Rindu. Satu kata itu yang menyadarkan Fani. Tidak ada sedikitpun rasa rindu ingin bertemu dengannya saat Fani di rumah. Padahal menurut teman-temannya yang sudah berpacaran, rindu itu…uuugh, nyebelin-nyebelin enak gimanaa gitu! Fani justru sering merasa tertantang untuk bisa menjadi seperti dia, berprestasi. Maka sampailah Fani pada kesimpulan akhir kalau dia bukan sedang jatuh cinta. Dan kesimpulan itu akhirnya gagal memecahkan rekor belum pernah jatuh cinta pada laki-laki yang selama ini disandangnya dengan bangga.
***
BERSAMBUNG
Image from http://img.dailymail.co.uk/i/pix/2008/03_04/BambiDM_468x451.jpg

5 komentar:

  1. TAP! Hahahahahaaaa! Kayaknya gw bakalan sering singgah di sini yaaak!

    Betapa menyenagkannya bisa menggambarkan lika-liku jatuh cinta seperti ini, secara gamblang menunjukkan reaksi2. Terus terang aja gw sudah lupa gimana ekspresi2 naksir, jatuh cinta dstnya untuk digambarkan seperti yang lo gambarkan ini.

    Aww... satu hal, gw belum melihat ciri2 Fani dan Lana yang bisa secara jelas membedakan keduanya. Mungkin karena baru disinggung secara sekilas di cerita2 awal ya? Tapi belum memberikan wujudnya buat gw secara pribadi.

    BalasHapus
  2. astagaaa...cepet amat...huahahahahaaa....
    mmm, terus terang gw juga masih bingung G bedain lana sama Fani...emang sama2 cantik, tapi tetep harus ada bedanya kan? gw rada susah deh kalau udah urusan describe someone...uughh...ada artikel rujukan dari tulisanmu? bagi doong....hehehehehe

    BalasHapus
  3. Hmm... ada, ada artikel dari satu penulis yg dia nunjukkin gimana caranya supaya bisa menggambarkan pribadi yg berbeda. Nanti gw cari, huehue... soalnya gw jarang banget punya banyak tokoh sentral dalam cerita gw, jadinya ga terlalu bisa urusan ini. Eh, tapi waktu Onis itu, jelas keliatan loh perbedaan karakter dan karena itu jadi "keliatan" secara fisik. Mungkin Fani dan Lana ini mirip, karena lo suka kedua-duanya ya? Atau, dalam perkembangan selanjutnya bisa jadi karakter makin berkembang sehingga perbedaannya makin keliatan. Sebenernya cara paling mudah mungkin juga dengan penggambaran latar belakang, misalnya, Lana dari suku Jawa yang ada campuran indo, Fani dari suku Palembang ada Cina-nya, dsb-nya, perhaps dengan begitu ada ciri2 fisik yang terwakili?

    BalasHapus
  4. Ini dia artikelnya: http://mantrakata.wordpress.com/2009/10/07/cara-sederhana-menonjolkan-tokoh-cerita/

    Selamat mencoba. :)

    BalasHapus
  5. dalam perkembangan selanjutnya bisa jadi karakter makin berkembang sehingga perbedaannya makin keliatan.

    ahahahaaaa...bisa jadi begitu G....belum tau juga...gw sendiri belum tau bagaimana dan kemana mengalirnya cerita ini,...
    tengkyu for your heeeelp... :D

    BalasHapus