Rabu, 16 Februari 2011

Januari 50K (#17): Mencari Jawaban



“Jadi gimana, Sha?”
Tasha diam. Sibuk memilin-milin tali tas yang ada di pangkuannya.
“Ini udah hampir sebulan dan lo belum juga kasih kepastian ke gue,” kata Donny lagi.
Tasha melengos dan membuang muka. Bukannya dia nggak suka dengan pertanyaan Donny itu, tapi seperti biasa, emang udah kebiasaan aja dia kasih reaksi asalan kalau lagi ngomong sama cowok yang satu ini. Pertanyaan Donny itu bikin dia mules sekarang. Tasha benar-benar masih belum tahu harus jawab apa.
“Gimana ya, Don…,” jawab Tasha dengan suara ragu.
“Ya, kalo nggak juga nggak papa, sih! Toh masih banyak ikan di lautan,” jawab Donny sekenanya sambil menyalakan sebatang rokok.
Tasha melotot ke arah Donny mendengarnya. Ini orang sebenernya niat nggak sih minta jadi pacarnya? Kok gayanya acuh-acuh nggak butuh gitu?

“Lho, jangan sewot, dong! Biar gimana kan gue milih lo duluan. Tapi kalo lo nggak mau, ya gue masa mau maksa?” kata Donny membela diri sebelum Tasha mulai memberondongnya dengan omelan khasnya.
“Bukan gitu. Lo tuh kayanya nggak butuh banget sih? Sebenernya lo tuh emang cinta sama gue atau cuma pengen jadi pacar gue doang?” tanya Tasha mulai mengeluarkan sewotnya.
“Lho? Itu mah bukan pilihan, neng! Gue cinta sama lo makanya gue pengen jadi pacar lo! Gimana, sih?”
Tasha berdecak kesal mendengar jawaban Donny itu. Donny memang akan selalu jadi Donny. Mereka akan selalu terjebak dalam debat kusir tak berkesudahan seperti sekarang ini. Bagaimana Tasha bisa percaya kalau dia cinta sama Tasha kalau kelakuannya sama aja kayak mereka masih temenan dulu?
Ini sudah yang ketiga kalinya mereka keluar berdua setelah Donny bilang ingin jadi pacar Tasha. Tapi Donny tetap aja kayak biasanya. Becandaannya masih kayak biasa, cara bicaranya masih kayak biasa, caranya memperlakukan Tasha masih kayak biasa. Tasha jadi mikir, apa kabar kalau mereka beneran jadian? Donny masih kayak biasa atau berubah? Kalau nggak berubah, what’s the point of all this? Mending temenan aja terus!
“Jelas beda, Don! Pengen jadi pacar seseorang itu bisa ratusan bahkan ribuan motif yang ada di belakangnya. Naikin status dari jomblo ke laku, misalnya. Atau menuhin tuntutan orang tua gara-gara umur udah nggak muda lagi. Atau yang lebih parah, biar keliatan laku aja di mata orang-orang. Yang mana motif lo?” tanya Tasha sembari menatap Donny dengan tajam.
Glek! Ini cewek sadis banget, sih! Donny benar-benar bingung dibuatnya. Bagaimana lagi caranya meyakinkan Tasha kalau dia benar-benar sayang dan cinta sama dia? Pengakuannya tempo hari itu nggak cukup apa buat dia? Mau bagaimana lagi dia nunjukin ke Tasha kalau dia emang beneran cinta?
“Susah banget ngomong sama lo, Sha! Apapun yang gue katakan ke lo pasti jadinya negatiiiif melulu! Lo nggak bisa liat ya kalau motif gue pengen pacaran sama lo itu murni karena gue sayang sama lo? Nggak bisa kayak gitu aja, Sha? Kenapa segala-gala harus dikaitkan sama sesuatu yang jelek-jelek aja dalam pikiran lo? Lo bukan cewek kuper setahu gue. Lo bisa dapetin cowok mana pun yang lo mau. Tapi kenyataannya sampai sekarang lo masih aja sendiri. Sekarang gue tau kenapa. Lo itu egois dan penuh prasangka. Sedih banget gue bisa jatuh cinta sama lo, Sha! Seandainya gue bisa milih untuk nggak jatuh cinta sama lo, mungkin udah gue lakuin sejak lama. Tapi gue nggak bisa, Sha! Gue sayang lo, dengan segala sifat jelek lo itu. Mau gimana lagi?”

Kali ini Donny sukses bikin Tasha bengong dengan balasan kata-kata tajamnya. Darahnya sebenarnya sudah sejak tadi mendidih mendengar penjelasan Donny. Tapi sebenci-bencinya dia mendengar semua ucapan Donny itu, hati kecilnya tidak bisa bohong. Donny benar. Dia memang cewek egois dan penuh prasangka. Dan kenyataan itu membuat Tasha jadi berpikir ulang tentang hubungan mereka sekarang.
Sepertinya tidak akan ada dasar yang kuat untuk membangun sebuah hubungan dari carut-marut hubungan mereka selama ini. Pertengkaran-pertengkaran kecil, pertentangan demi pertentangan setiap mereka membahas sesuatu, itu adalah sebuah pertanda kalau mereka mungkin memang tidak dimaksudkan untuk bersama oleh Tuhan. Apa boleh buat…
“OK, kalau begitu, Don. Berarti kita sudah sama-sama tau kalau kayaknya emang kita nggak bisa pacaran. Lihat aja sendiri, belum pacaran aja kayak begini tegangnya hubungan kita. Lebih baik emang kita kayak dulu aja lagi,” kata Tasha sambil beranjak meninggalkan Donny.
Lho? Kok jadi begini? Donny panik berusaha mengejar Tasha.
“Sha! Tunggu dulu, dong! Bukan gitu maksud gue! Ah, gila…beneran susah banget ngomong sama lo,” kata Donny sambil berusaha menahan Tasha dengan menarik tangannya.
“Exactly my point, mister! Ngapain kita pacaran, kalau cuma sekedar ngomong aja kita udah bisa berantem kayak gini?” kata Tasha lagi sambil berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan kekar Donny itu.
Tasha berlari meninggalkan Donny. Persis kayak di film-film roman picisan ala Hollywood, atau lebih parah lagi Bollywood. Berharap semoga saja Donny tidak mengejarnya. Karena kalau itu yang terjadi, Tasha sudah bisa memastikan kalau mereka pasti akan saling teriak di pinggir jalan. Dan itu udah bukan kayak film Hollywood atau Bollywood lagi, melainkan sinetron Indonesia! Oh, no thank’s!
Tasha sendiri kesal dengan matanya yang tidak bisa menahan air yang sudah merebak sejak tadi. Menangis untuk sesuatu yang tidak tahu apa intinya ini benar-benar bikin dia nggak ngerti sama sekali. Dia tidak mengerti kenapa Donny bisa begitu entengnya memandang dirinya dan sangat percaya diri kalau dia akan menerima cinta Donny begitu saja. Dan yang paling membuatnya sedih saat ini adalah Tasha seperti tidak mengenal dirinya sendiri lagi. Perasaannya sama sekali tidak bisa dibaca dan diduga-duga kemana arah larinya. Sesaat dia seperti seorang perempuan yang sedang jatuh cinta ketika memikirkan Donny, lalu sedetik kemudian dia akan menjelma menjadi musuh untuk Donny seperti biasanya begitu cowok itu bicara. Beda banget kalau dia sedang bicara dengan Decky. Decky nggak pernah sembarangan ngomong sama dia. Decky selalu menghargainya, walaupun Tasha tahu Decky menghormatinya sebagai seorang sahabat dan tidak lebih. Seandainya Donny bisa lebih manis seperti Decky mungkin akan lain ceritanya. Tapi ini Donny, dan Tasha tahu Donny bukanlah Decky. Dan yang paling tidak mungkin dilakukan adalah membanding-bandingkan keduanya, karena asalnya mereka berdua adalah sahabat dekatnya.
Tiba-tiba saja Tasha pengen ketemu sama Decky. Ngobrol dengan dia mungkin akan sedikit membuat hatinya teduh. Tasha menghentikan taksi biru di depannya dan bergegas masuk. Menuju rumah Decky, sekarang juga. Tidak lupa dia mengirim SMS singkat ke Decky memberitahu kalau dia akan ke rumah Decky sekarang juga.
Donny sendiri sudah kembali duduk dan bengong sambil menatap Tasha yang masuk ke dalam taksi biru itu dari kejauhan. Tak ada niatnya sama sekali untuk mengejar Tasha. Paling-paling cuma akan jadi lebih ribut lagi kalau dia tetap berusaha mengejarnya. Donny sudah sangat paham dengan tabiat mereka berdua. Harus ada yang mundur kalau tidak mau terjadi keributan.
“Kenapa sih apa-apa harus mikir negatif? Nggak bisa ya dia mikirin perasaannya aja?” ujar Donny pelan nyaris bergumam sendiri.
“Maaf, mas? Pesan apa tadi?” tanya pelayan laki-laki yang ternyata sudah berdiri di sampingnya itu.
Donny melengos sambil mengeluarkan dompetnya. Meninggalkan uang seratus ribuan di atas meja dan beranjak pergi dari sana. Mau kemana sekarang? Pulang? Males banget! Keliling-keliling sendirian, itu benar-benar akan mengkonfirmasi kalau dirinya sedang stress. Dan kelihatan putus asa di mata orang lain adalah hal terakhir yang diinginkan Donny sekarang ini. Mending ke rumah Decky aja, deh! Mungkin ada baiknya dia minta perspektif sesama cowok juga tentang masalah ini. Mencari tahu dimana letak kesalahannya dalam mendekati Tasha. Walaupun sebenarnya Donny juga ragu-ragu akan hasilnya, mengingat track record pacaran Decky yang menyedihkan itu. Tapi paling nggak mungkin ada sesuatu yang terlewat olehnya yang bisa dilihat Decky, pihak yang sama sekali tidak punya perasaan apa-apa ke Tasha.
Donny mengeluarkan handphone-nya ketika sudah duduk di dalam mobilnya. Menyalakan mobil dan penyejuk ruangan sebelum dia menekan nomor telpon Decky.
“Halo.”
“Di rumah?” tanya Donny seperti biasa tanpa basa-basi.
“Iya. Kenapa?”
“Gue ke sana, deh!”
Tidak ada jawaban. Donny menunggu beberapa saat.
“Hoi, gue mau ke rumah lo! Lo mau pergi, ya?” tanya Donny dengan tidak sabar.
“Nggg, iya, sih…bentar lagi. Ada apaan, sih? Penting banget?” tanya Decky.
“Nggak bisa ditunda perginya?” tanya Donny lagi dengan nada mendesak.
“Besok aja, deh lo ke rumah gue. Gimana?” Decky menawarkan solusi.
“Ah, kampret! Ya, udah!” Donny memutuskan hubungan dengan kesal.
Decky terdiam di dalam kamarnya setelah Donny memutuskan telpon tadi. Barusan Tasha SMS mau bilang mau datang ke rumahnya dengan nada sama memaksanya. Sekarang Donny juga begitu. Ada apa dengan mereka berdua? Decky tidak memenuhi permintaan mereka berdua. Bukannya dia tidak ingin tahu dengan apa yang akan mereka sampaikan nanti. Tapi dia punya suatu hal yang lebih penting sekarang ini untuk dilakukannya.
Ke Bandung, sekarang juga! Penulis Kay itu menjawab e-mailnya kemarin. Dan Decky nyaris melompat-lompat kegirangan karena dia mengundang Decky untuk datang ke tempatnya di Bandung untuk membicarakan mengenai buku lukisan yang dibicarakan Decky dalam e-mailnya itu.

“Halo, Mas Wisnu…
Senang sekali ada yang memperhatikan puisi-puisi sederhana saya. Saya merasa tersanjung. Terus terang saya sedikit terkejut dengan e-mail dari Mas Wisnu. Saya juga bingung dari mana Mas Wisnu mendapatkan alamat e-mail pribadi saya ini. Biasanya pihak majalah hanya mem-forward e-mail untuk saya yang masuk ke redaksi mereka. Tapi Mas Wisnu mengirimnya langsung ke sini. Tapi saya tidak akan membahasnya lebih lanjut. Jaman sudah canggih. Tidak sulit memang melacak jejak seseorang saat ini.
Saya justru lebih tertarik lagi dengan buku lukisan yang Mas Wisnu bicarakan. Kalau ada waktu silahkan datang ke tempat saya di Bandung. Kapan saja. Silahkan hubungi saya via nomor telpon yang tertera di bawah e-mail ini.

Terima kasih.
-Kay-

Dia memanggilnya dengan Mas Wisnu yang diambil dari nama belakangnya yang tercantum di akhir e-mail yang dikirim Decky. Berarti dia sama sekali tidak tahu kalau dia adalah Decky. Dan Kay ini juga tetap saja menuliskan namanya dengan cara biasa dan bukan dengan nama lengkapnya. Bukan berarti juga dia Kayla-nya. Yang penting pencariannya selangkah maju sekarang ini. Dan Decky sama sekali tidak berniat untuk menunda-nunda lagi untuk mencari tahu semua jawaban yang selama ini sudah begitu sukses membuatnya jadi laki-laki pemurung yang kehilangan fokus dalam hidup. Dia harus temukan jawaban dari semua ini. Di Bandungkah jawaban itu? Kita lihat nanti.

*BERSAMBUNG*
*Image from goodcomics.comicresources.com*

1 komentar: