Kamis, 05 Januari 2012

Mungkin Kamu Sendiri Yang Tidak Menghargai Tulisanmu!

  18 comments    
categories: , , ,
"Saya penulis, karena saya menulis setiap hari."
Image from www.elc.polyu.edu.hk

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel tentang audisi-audisi naskah yang banyak diadakan oleh penerbit-penerbit indie. Naskah-naskah yang di-audisi dan masuk seleksi kemudian dibukukan dengan perjanjian royalti seluruhnya untuk disumbangkan ke kegiatan sosial. Terus terang, saya sudah beberapa kali mengikuti audisi serupa. Malah beberapa kali tidak pakai audisi, kirim naskah saja langsung dan semua naskah yang masuk dibukukan! Wah, gampang banget punya buku sekarang, ya?

Saya pribadi, sampai saat ini, tidak merasa kalau menerbitkan buku dengan cara demikian adalah salah atau memalukan atau kurang bergengsi atau tidak layak. Terlalu banyak hal-hal yang personal yang melatar-belakangi seseorang mengikuti sebuah audisi naskah atau lomba menulis atau berkontribusi dalam sebuah project menulis lalu kemudian hasilnya dijadikan antologi dalam sebuah buku.

Saya tidak tahu apa latar belakang anda, dia dan mereka. Tapi saya tahu persis alasan saya mengikuti berbagai project menulis yang banyak diadakan oleh penerbit-penerbit baru, penerbit-penerbit indie atau komunitas-komunitas menulis yang saya ikuti. Saya ingin tulisan saya dibaca oleh lebih banyak orang.


"Emangnya tulisan situ udah layak buat dijadiin buku?"

Tulisan seperti apa yang layak dijadikan buku? Tulisan dan buku, walaupun berada dalam dunia yang sama; aksara, tapi bukanlah dua hal yang bisa dengan begitu saja disandingkan sebagai dua sejoli yang selalu sejalan. Apalagi jaman sudah serba online seperti sekarang ini. Blog dan social media menjadikan banyak tulisan-tulisan bagus dan bermanfaat dari penulis-penulis tak dikenal sebelumnya, tersebar luas bahkan sampai ke negara-negara lain. Hal yang sulit dilakukan kalau sebuah tulisan berada dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit major, walaupun kemungkinan itu tetap ada.

Seorang kawan misuh-misuh, karena banyak buku-buku antologi yang memuat tulisannya tidak memberikan kompensasi yang sepantar dengan nilai tulisannya (nilai yang dipatoknya sendiri). Padahal sejak awal sudah dijelaskan kalau project menulis tersebut diadakan untuk kegiatan sosial, dimana semua keuntungan penjualan akan langsung disumbangkan ke yayasan sosial tertentu. Yang dipermasalahkan kemudian adalah, kenapa tidak ada transparansi kemana uang keuntungan itu disumbangkan? Kenapa tidak ada laporan ke penulis berapa buku yang terjual?
Saya hanya bisa meringis. Hidup kalau mau dibikin susah, memang akan jadi susah. As simple as that. Kalau mau mengetahui sesuatu, bertanya adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Kalau dia mau mundur lebih jauh lagi, sebelum memutuskan untuk ikut dalam sebuah project menulis yang notabene hasil penjualannya untuk disumbangkan, apa pertimbangannya untuk mengikuti project tersebut? Ingin ikut andil menyumbang melalui tulisan? Ingin tulisannya dibukukan? Ingin namanya tercetak di buku? Ingin kaya (which is, ini udah salah alamat kalau ikutan project semacam ini)? Ingin menjajal kualitas tulisan (kalau tulisan melalui seleksi, yang ini pun tidak bisa menjadi dasar kualitas sebuah tulisan, karena tim penyeleksi pun kita tidak tahu kompetensi dan kredibilitasnya, bottomline: salah alamat juga!)?

Jadi kenapa lantas si penyelenggara project dan penerbit yang disalahkan dengan mengatakan kalau mereka tidak menghargai hasil karya orang? Tulisan itu dibuat dengan hasil kerja yang tidak sedikit; berpikir, mengumpulkan data, mengolah data, tenaga, keringat, bahkan uang. Saya kembali meringis sambil melihat deretan buku yang sudah memuat tulisan saya di dalamnya. Dua diantaranya merupakan project sosial tanpa audisi. Artinya saya kirim tulisan, dan langsung dimuat. Dua diantaranya lagi adalah project komunitas yang ekslusif, artinya para penulis di dalamnya adalah yang diminta untuk menyumbangkan beberapa tulisan untuk dimasukkan ke dalam buku tersebut. Keduanya juga menyumbangkan hasil keuntungannya untuk kegiatan sosial. Satu buah antologi merupakan hasil audisi ketat, yaitu para finalis lomba cerpen yang bersaing dalam 300 buah cerpen dan masuk dalam 30 besar, tulisan saya salah satunya. Lagi-lagi, hasil penjualan buku tersebut untuk kegiatan sosial. Hanya novel saya (ini pun diterbitkan dengan cara self-published, yang sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang) yang keuntungannya murni masuk ke rekening saya. Tapi, jangan harap hasilnya bisa untuk beli mobil, ya. Hahahaha...

Intinya, sejak awal saya sudah tahu kemana hasil penjualan buku itu akan pergi. Dan saya bebas menentukan untuk ikut atau tidak. Tidak ada satu pihak pun yang memaksa saya untuk ikut atau tidak. Resiko dan konsekwensi saya tanggung sendiri. Saya tidak biasa menjadi orang yang menuntut sesuatu yang seharusnya sejak awal saya tahu itu memang bukan untuk saya. Saya juga sedang berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik, salah satunya dengan cara tidak mencari-cari kesalahan dan meributkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu diributkan.

"Apa situ nggak pengen terkenal? Bukunya diterbitkan sama penerbit besar? Kok kedengerannya situ kayak yang idealis banget?"

Wakakakakkk, percayalah, saya adalah orang yang paling tidak idealis yang pernah kamu kenal! Saya adalah "oportunis" sejati. Artinyaaaa, saya selalu melihat segala sesuatu yang saya lakukan itu "menguntungkan" untuk saya, dari berbagai tolok ukur, bukan semata uang dan materi. Sampai saat ini saya masih hobi ikut lomba yang diadakan penerbit-penerbit besar, dengan tujuan supaya bisa menembus tembok kokoh mereka yang kuat itu. Tapi apa hanya itu saja tujuan saya menulis? Sorry, jek! Nggak, tuh! Saya juga masih suka ikut-ikut project menulis di komunitas-komunitas yang saya enjoy bergaul di dalamnya. Tujuannya apa? Saya having fun dengan sahabat-sahabat sehobi saya, saling mengkritik hasil karya masing-masing, berinteraksi dengan mereka, dan masih banyak lagi. Saya bisa saja menuliskan semua alasan saya mengikuti audisi-audisi menulis ini. Tapi saya tidak jamin, anda mau repot-repot membacanya sampai habis, karena sudah keburu bosan. Penyebabnya adalah, tiap audisi itu ada alasan yang berbeda-beda yang melatarbelakangi kenapa saya mengikutinya. Tapi saya bisa pastikan, alasan uang tidak pernah duduk di kursi kehormatan. Bahkan sampai sekarang pun, saya tidak tega membayangkan diri saya menulis demi uang. Saya munafik? Mudah-mudahan nggak, karena saya masih doyan duit sampai sekarang, kok! Wkwkwkwkwk....

Catatan tambahan supaya nyambung sama judul dan tidak menimbulkan pertanyaan:

Saya suka ikut audisi-audisi menulis yang banyak ada di FB, tapi biasanya sebelum memutuskan untuk ikutan, saya selalu lihat-lihat dulu siapa penyelenggaranya, kemana hasil penjualannya, bagaimana pembagian royaltinya, dan sebagainya....baru deh, mutusin ikutan atau nggak. Kalau sudah memutuskan ikut dalam satu audisi menulis yang mengatakan hasil penjualannya utk amal, ya jangan uring-uringan belakangan menanyakan kemana hasil penjualan dan kenapa tidak ada laporan. Itu makanya sebelum memutuskan, investigasi dulu, kredibel atau tidak penyelenggaranya? Kalau belakangan menyalahkan penyelenggara dan mengatakan mereka tidak menghargai karya kamu, itu salah siapa? Jangan2 justru kamu yang tidak menghargai karyamu sendiri, karena sembarangan ikut segala macem audisi, tanpa ngecek-ngecek dulu... :)

When it comes to writing, sharing is the most important thing, money can wait in the corner. I'll grab the money when the chance is there, meanwhile, I'll keep writing and sharing and hoping that more people like to read my pieces. ^_^

Saya penulis, karena saya menulis setiap hari. Dan saya menulis dengan harapan ada orang lain selain saya yang membaca tulisan saya.

Sekian.

18 komentar:

  1. klo bagi saya, tulisan dibaca dan ditanggapi orang aja udah seneng hehehehe.
    Sepakat mbak, jangan mengerjakan segala sesuatu hanya demi duit. Berkarya dengan tulisan dan siapa tahu tulisan kita dapat memberikan pengaruh positif pada orang-orang yang membacanya. Maka aliran pahalanya akan terus ada, beda dengan uang yang akan segera habis, berpindah dari genggaman kita

    BalasHapus
  2. sepanjang membaca bertanya-tanya: siapa sih itu??? Kalo saia sih pengen banget bisa ada tulisan yang dicetak dalam bentuk buku, klopun blm bs ya tetap nulis dulu lah (oportunis), meskipun ga tiap hr nulis. Sabar ya mak, ttp oportunis.

    BalasHapus
  3. Peri peri bersayap pelangi engga gitu kok .__.

    BalasHapus
  4. yang penting bisa dinikmati dulu kan. hasil itu belakangan, walau harus cerdas kalkulasi berhasil tidaknya

    BalasHapus
  5. terkadang pemisahan antara hobi, dan profesionalisme menjadi tolak ukur ya Mak. kalau kita enjoy yaa udin, jalani aja (walau ga ada duitnya). tapi... untuk suatu skala yang besar, apalagi kita bisa berkontribusi di dalamnya. royalti is the king. sama kaya Emak, aku juga masih doyan duit ko. Alhamdulillah juga, dapet honor ngemci "cukup buat isi bensin" dan makan sekali :) ckckckck *bimbang, anatar ngemci karena hobi atau apa :P

    BalasHapus
  6. Yang penting mah berkarya yah mak :D
    kl aku ikut audisi milih2 dulu..hihihihi XD

    BalasHapus
  7. Nulis yang penting enjoy dan gak ada paksaan dari diri kita sendiri

    BalasHapus
  8. Salam kenal Emal Gaul :-)

    Sebenernya ekye mo ikutan GA yang Dikau adain Jeng. Udah bikin draft, eh pas tanggal 31 mani riweuh amath. Banyak pesean brownies dll. Nyampe rumah jam 11. Niat mo posting malah keburu tepar hiks! Ya sud deh, gagal rencananya :-(

    Setuju banget Mba, meski kebelet banget pengen nerbitin buku ya harus diliat dulu lah apakah penerbitnya antah berantah ato emang yahud punya. Tapi kalo di gw sendiri problemnya adalah tulisan gw yang kacrut dan ga layak buat publish hehehe

    Oya Mak, Mak Cebong bikin hajatan. Kalo sempet dan berminta dikau ikutan yah Jeng :-)

    Thanks

    BalasHapus
  9. catatankecilkeluarga:
    sebenarnya menulis untuk mencari uang juga gapapa, sih...tapi kalau diniatin sampe niat awal utk berbagi jadi bergeser, sayang sekali ya. soalnya kaaan justru nilainya yg paling besar dan berharga di mata Tuhan itu justru berbaginya...asal ikhlas.. :D makasih ya udah mampir..

    Olivia:
    hahahaa, gak penting siapa dia, yang penting aku gk mau ikut2an marah2..hihihihi..setuju, tetep oportunis...wkwkwkwk

    oraurus:
    ora urus! wkwkwkwkwk

    pungky:
    tentunya, aku udah tau kok... :D

    rusydi himawan:
    iya, kalau udah mulai masuk ranah bisnis, bolehlah kita mulai itung2an, berapa royalti yg kita dapat...kalau nulis utk amal, ya udah, ikhlaskan.. :)

    yankmira:
    naah, aku mau tuh kayak kamu, bisa menghasilkan dari hobi...hihihihihi...jadi harus pinter2 ikut acara yg menghasilkan..kamu juga kalau diminta ngemci buat acara amal, tega gk minta honor? hihihihihi...

    Launa:
    betul, stuju deh sama kamu.. :D

    lombokguide:
    my point exactly, jangan merasa dipaksa... :)

    Mak Cebong:
    uuuh, padahal kalau kamu ikutan, kayanya bakalan menang deh, secara itu blog isinya ngocol banget..huahahaha,,,
    aku mau ikutan ah GA di blog mu.. :)

    BalasHapus
  10. Okeh okeh, hari ini baru gw baca penuh ini tulisan. Hahaiiy..

    Emang sih macam2 motivasi yang melatar-belakangi seseorang menulis maupun ikutan audisi dan antologi-antologi. Motivasi loe, bener buat loe, motivasi dia bener buat dia. Loe misuh2 karena ini dan itu, itu sah buat loe. Dia misuh-misuh karena ini dan itu, pun sah juga buat dia.

    Kan? kan? kan? ^_^

    Intinya, ayooo nulis, trus bikin buku, mau rame-rame mau sendiri-sendiri yang penting puas, kalo blum puas, ulangin prosesnya sampe pas dan puas ngahahaha...

    BalasHapus
  11. terharu...
    setidaknya lo gak kamseupay kayak gw yg belum satupun nulis buku wkwkwkwkwkwk

    BalasHapus
  12. salam kenal ya mbak..saya tertarik membca blogmu sejak lama tapi hanya jadi silent reader..sekarang saya ga bisa komen, soalnya bberapa bulan lalu, ikutan antologi ya cuma iseng2 aja, sekarang sih kudu mikir, bisa bagi waktu atau ga..maklum bumil :)

    BalasHapus
  13. Mak ajarin bikin cerpen dong Mak..wkwkwkwk
    "Situ siapa??" Jawab Emak..ahahaa
    Adakah tips2 bikin cerpen di blog Emak?? Kl ada aku mw catet..hihi buat bahan pembelajaran.. :D

    BalasHapus
  14. Saya Mbok diajari nulis juga Mba, ya ya ..

    BalasHapus
  15. mantap...mantap....bermanfaat!

    BalasHapus
  16. Kalau saya sih, sekarang ini, sebisa mungkin tiap habis ikut kontes, berusaha melupakannya, entah itu buat amal atau nggak... Dan nggak munafik juga sih, menulis buat cari duit, walau alasan sesungguhnya itu, yah untuk kepuasan batin. Darah penulis udah mendarah daging, Mbak.... Hahaha


    Anyway, nice post... I like this so bad indeed

    BalasHapus