Januari 50K (#15): The Show Mas Gogon!
Menunggu itu sebenarnya bukanlah pekerjaan yang paling menyebalkan. Memang selama ini banyak sekali manusia yang complain kalau menunggu itu sebuah profesi dan dibayar mahal sekalipun, kayaknya nggak bakalan ada juga yang mau melamar untuk mengisi posisi itu. Donny sendiri tahu dia sebenarnya benci sekali menunggu, seperti jutaan manusia normal lainnya di dunia. Tapi malam ini dia bersyukur karena sudah datang lebih awal. Setidaknya dia punya waktu untuk menenangkan hati dan jantungnya yang berdegup nggak karuan sejak tadi siang itu. Dan brengseknya lagi dari menunggu itu adalah, makin kamu tidak mau waktu cepat berjalan, makin waktu mengejek dengan berjalan tambah cepat. Shit! Udah jam tujuh aja, lho! Donny menatap jam di pergelangan tangannya sambil mengusap keringat di dahinya.
Tasha masih belum muncul juga. Donny nggak mau nelpon dia untuk tahu sudah sampai dimana Tasha sekarang. Baginya lebih baik nggak tahu aja, deh! Pokoknya begitu dia datang, ya…datanglah dia. Donny masih sibuk sendiri dengan pikirannya. Bagaimana cara yang tepat untuk bilang ke Tasha kalau dia serius dan ingin berhubungan dengan cewek itu. Bagaimana caranya supaya Tasha nggak menanggapinya dengan perdebatan seperti biasanya.
Yang paling Donny takutkan sebenarnya adalah reaksi Tasha akan mencibir ke dirinya, karena selama ini Tasha amat sangat sebal dengan kelakuannya yang super santai dengan cewek-cewek yang mengelilinginya itu. Tasha selalu mencemooh kalau dia memang nggak bisa setia sama satu perempuan. Tapi itu kan dulu. Ada masanya.
Sekarang sudah saatnya Tasha tahu kalau jauh dalam lubuk hatinya yang paling dalam (duh!) Tasha adalah satu-satunya perempuan yang selalu mengisinya dengan perasaan spesial. Cewek-cewek yang selama ini menemaninya, mereka hanya companion, nggak lebih. Tapi bagaimana cara meyakinkan Tasha, itu yang jadi masalah malam ini buat Donny. Mudah-mudahan dia nggak muncul dengan reaksi sinisnya itu. Donny cuma bisa berdoa dalam hati sekarang, semoga alam semesta raya di sekelilingnya mendukungnya dengan semua elemen yang ada di dalamnya. Dia berharap nggak ada yang mengganggu niatnya ini. Tidak pelayan yang ngebetein, tidak minuman yang tumpah, tidak pesanan yang salah, tidak ruangan café yang kurang dingin, tidak juga suara-suara tamu lain yang mengganggu mereka. Semoga.
Donny melihat Tasha berjalan tergesa-gesa memasuki café tempat dimana dia sedang duduk menunggu. Kelihatannya dia sedikit kesal karena bajunya kena cipratan air hujan yang sedang turun malam itu. Ya Tuhan, belum-belum alam semesta raya sudah mengkhianatinya dengan menurunkan hujan di saat Tasha dalam perjalanan menemuinya. Donny mengutuk dalam hati. Semoga ini pengkhianatannya yang terakhir untuk malam ini.
Donny berdiri menyambut Tasha dengan tersenyum kaku. Tasha yang baru menyadari kalau Donny berdiri menyambutnya, memandang Donny dengan muka aneh. Nggak biasa-biasanya Donny bersikap seperti seorang gentleman kayak gini. Tasha tahu Donny adalah laki-laki yang dibesarkan dalam didikan yang penuh manner. Dia memang menghormati perempuan, tapi tidak dengan Tasha. Bukan Donny nggak menghormati Tasha sebagai perempuan, hanya saja selama ini kedekatan mereka justru membuat mereka menertawakan kelakuan-kelakuan beradab anatara laki-laki dan perempuan seperti yang saat ini dilakukan Donny. Bukan Donny banget!
Donny yang menyadari kalau Tasha merasa aneh dengan sambutannya, kembali duduk dengan gugup. Dia segera memanggil pelayan yang kebetulan lewat di depan meja mereka. Tasha duduk masih sambil sibuk mengibas-ngibaskan rambutnya yang sedikit basah terkena air hujan.
Pelayan itu berdiri menunggu di sebelah Donny dengan sabar. Mengulurkan dua buku menu kepada Tasha dan Donny. Donny mengambilnya lalu menenggelamkan wajahnya di balik buku menu besar itu. Berusaha tidak melihat wajah Tasha untuk sementara waktu. Sampai dia bisa tenang dengan degup jantungnya yang juga sedang mengkhianatinya saat ini. Udah kayak abis lari sprint seratus meter aja jantungnya berdegup saat ini. Brengseeek! Mungkin ini memang bukan waktu yang tepat untuk biacara dengan Tasha. Semuanya tampak kompak mengkhianatinya. Tapi sudah terlambat sekarang. Tasha sudah ada di hadapannya. Dan nggak mungkin juga sekarang Donny bilang ke Tasha kalau dia mengajaknya makan ke sini tanpa niat khusus. Jelas-jelas tadi dia di telpon kedengeran mencurigakan gitu.
Tasha menyebutkan satu nama minuman lalu meletakkan buku menu itu di hadapannya. Donny juga memesan minumannya yang kedua lalu menatap Tasha sambil berpikir bagaimana caranya membuka percakapan malam ini dengan Tasha.
“Nggak mau makan, Sha?” tanya Donny akhirnya berhasil menemukan kata-kata pembuka.
“Ntar aja, deh…Belum laper,” jawab Tasha tanpa semangat.
Pelayan itu berlalu dari hadapan mereka. Meninggalkan Tasha dan Donny kembali dalam diam yang amat sangat tidak nyaman bagi keduanya.
“So…” Suara Tasha memecah diam di antara mereka.
“So…” Donny mengulang ucapan Tasha tanpa bermaksud untuk mengikutinya.
Donny sedang berusaha memulai percakapan dengan sesuatu yang nggak berat sebenarnya. Tapi apa? Donny bingung sendiri.
“Iya, so…Ngapain kita di sini?” tanya Tasha.
“Dinner?” kata Donny dengan nada bertanya, seolah ingin memastikan kalau Tasha juga berpikir yang sama dengannya.
“Come on, Don…kita berdua tahu kalau kita di sini bukan cuma untuk dinner doang,” ucap Tasha sambil memandang Donny dalam-dalam.
Donny gugup nggak kira-kira dipandang oleh Tasha dengan sedemikian rupa. Gila, dapet darimana si Tasha keberanian yang besar begitu? Oh ya, tentu saja dia nggak punya firasat apapun, kan Tasha belum tahu niatnya malam ini mau ngapain. Donny berusaha memberi pengertian pada rasa gugupnya itu.
Donny menarik nafas panjang sebelum dia memulai bicara. Dilonggarkannya dasi di lehernya yang terasa makin mencekik itu. Dia menyenderkan punggungnya ke kursi, berusaha mencari posisi senyaman mungkin.
“Sha…masih inget nggak soal kalung yang lo tanya waktu di Bali itu?” katanya dengan hati-hati.
Tasha mengangguk pelan. Tangannya sibuk meremas-remas tissue yang sejak tadi udah lecek banget karena basah kena air hujan.
“Lo masih pengen tahu buat apa gue bawa-bawa kalung itu ke Bali?” tanya Donny lagi.
Tasha diam. Mengangguk berarti pura-pura tidak tahu. Menggeleng berarti berbohong, karena dia sudah tahu buat siapa kalung itu. Jadi serba salah, deh.
“Sha…?” Donny berkata sambil berusaha meyakinkan kalau Tasha sedang mendengarkan.
“Iya, buat siapa kalung itu?” Akhirnya Tasha bertanya juga.
“Buat lo, Sha…,” ujar Donny dengan menggantung seperti was-was menunggu reaksi Tasha.
“Trus?” tanya Tasha lagi.
Donny menelan ludahnya dengan susah payah. Ini ternyata jauh lebih sulit dari yang dibayangkannya. Dan sudah tidak ada jalan memutar lagi untuk membatalkannya. Dia harus sampai ke tujuannya dengan cara apapun malam ini juga. Donny bertekad, paling tidak Tasha harus pulang dengan mengetahui bagaimana perasaannya ke Tasha selama ini. Kalau pun Tasha menolak untuk menjawabnya atau meminta waktu untuk berpikir-pikir dulu, Donny tidak akan mempermasalahkannya. Malah itu jauh lebih baik. Yang penting sekarang dia bisa terbebas dari perasaan tertekan seperti sekarang ini. Satu lagi harapannya yang paling besar, semoga saja Tasha tidak langsung menolaknya saat itu juga. Please God, You’re so much more kind than that. Donny berdoa dalam hatinya.
“Gue udah lama bawa-bawa kalung itu kemana pun gue pergi, Sha. Berharap gue punya kesempatan yang baik untuk ngasih ke lo. Gue beli kalung itu dua tahun yang lalu. Setahun setelah kita lulus kuliah. Tiap kita ngumpul tiap bulan, kalung itu selalu ada dalam saku celana gue. Tapi nggak tau kenapa, gue selalu nggak bisa nemuin waktu yang pas buat ngasih ke lo. Pernah beberapa kali gue coba ngasih ke lo waktu kita lagi pergi berdua aja, tapi tetep aja situasinya nggak mendukung waktu itu.” Donny menarik nafas panjang lagi setelah selesai dengan kata-katanya itu.
Tasha masih menunggu Donny untuk melanjutkan ceritanya. Dia masih menatap Donny tanpa ekspresi. Yang jelas Donny benar-benar tidak bisa menebak apa yang sekarang ada dalam pikiran Tasha. What the heck! The show mas gogon! Donny berusaha cuek dengan ekspresi Tasha yang benar-benar nggak bisa kebaca itu.
“Trus waktu di Bali itu sebenarnya gue berharap banget itu waktu yang pas buat kasih kalung itu ke lo. Tapi dasar guenya bego, malah kelamaan ngobrol sama Decky di kamar. Jadi aja lo pergi tidur. Dan gue udah gagal lagi menemukan waktu yang bener-bener pas buat ngasih kalung itu ke lo, setelah itu. Sampai akhirnya hari ini gue bertekad kalau kalung itu harus sampai di tangan lo. Begitu juga niat gue malam ini, semoga juga bisa sampai ke lo dengan baik…” Donny membiarkan kalimatnya itu kembali menggantung.
Dia masih berusaha membaca reaksi Tasha. Dan Tasha masih memandanganya tanpa ekspresi. Walaupun sempat sekali Donny menangkap gerakan menarik nafas yang sangat pelan dari Tasha. Tapi selebihnya…bener-bener blank! Kelihatannya Donny memang harus sampai ke akhir kalimat untuk bisa mendapatkan reaksi Tasha tentang hal ini.
Donny merogoh saku kemejanya. Mengeluarkan seuntai kalung emas putih dengan liontin cantik yang tertutup taburan permata putih di atasnya membentuk huruf T. Cantik sekali. Tasha sendiri tanpa sadar terkesiap menahan nafas melihatnya.
Donny meletakkan kalung itu di tengah meja, tepat di bawah lilin yang menerangi meja mereka. Dia menundukkan wajahnya berusaha untuk tidak melihat bagaimana mimik muka Tasha melihat kalung itu akhirnya. Tapi Tasha masih diam. Perlahan Donny mengangkat wajahnya dan memandang Tasha.
Tasha tengah diam memandang kalung itu tanpa berkedip. Donny tahu bukan kalung itu yang membuat Tasha mematung. Kalung itu nggak istimewa-istimewa banget juga kok sebenarnya. Masih banyak kalung-kalung lain yang lebih dahsyat efeknya kalau dikasih liat ke Tasha. Tapi Donny tahu banget apa yang bikin Tasha terdiam seperti sekarang itu.
Donny mengambil kalung itu lagi dan mengangkatnya ke depan wajah Tasha dengan perlahan. Mata Tasha mengikuti arah gerak kalung di tangan Donny itu.
“Sha…kamu mau nggak jadi pacarku?” tanya Donny setelah berhasil mengumpulkan keberaniannya dalam kapasitas maksimal.
Tasha menalan ludah. Tentu saja bukan karena kaget. Dia kan udah tahu dari tadi kalau Donny mau ngomong itu ke dia. Tapi tetap aja rasanya seperti ada kupu-kupu ngamuk dalam perutnya sekarang. Spontan kepalanya tertunduk. Tapi menyadari reaksinya yang norak itu, Tasha segera mengangkat wajahnya kembali dan menatap Donny.
Kalung di tangan Donny masih tergantung. Tasha meletakkan tangannya di atas tangan Donny dan menekannya untuk kembali berada di atas meja mereka.
“Don…gue bingung mesti bilang apa. Sorry banget, gue belum bisa jawab apa-apa sekarang,” kata Tasha pelan.
Donny diam. Paling tidak salah satu tebakannya tadi benar, kan? Tasha bingung karena kaget. Paling nggak dia nggak langsung nolak. Donny menarik nafas lega.
“OK, Sha…gue ngerti lo kaget. Mungkin lo nggak akan pernah nyangka sama sekali kalau gue udah lama suka sama lo. Dari sejak kita kuliah. Gue nggak masalah lo belum bisa jawab sekarang. Yang penting lo udah tahu perasaan gue ke lo sekarang,” jawab Donny dengan lebih santai sekarang.
Tasha membelalakkan matanya mendengar ucapan Donny itu. Sejak kuliah katanya? Itu emang bikin kaget setengah mati. Tasha nggak tahu kalau selama ini Donny menyimpan perasaan ke dia, sejak kuliah. Sejak kuliah, lho! It’s been seven years now! Kok nggak kelihatan, ya? Apa jangan-jangan dia yang selama ini terlalu cuek dan terlalu santai menanggapi semua perhatian Donny? Tasha masih tidak percaya dengan pendengarannya itu.
“Kenapa?” tanya Donny bingung.
“Sejak kuliah, Don?”
“Iya. Emang lo nggak pernah ngeh, ya? Emang sih gue nggak pernah berani nunjukin ke lo kalo gue suka sama lo dulu. Apalagi waktu lo jadian sama Rakha. Trus kejadian gue pacaran sebentar sama Ratna, makin bikin gue ngerasa kalau gue nggak mungkin deketin lo lagi dalam waktu dekat. So, gue cuma bisa nunggu dan nunggu waktu yang pas buat ngomong ke lo,” ucap Donny menjelaskan padanya.
“Tapi cewek-cewek itu…?” tanya Tasha masih tidak mengerti.
Donny tertawa lepas sekarang. Bebannya sudah benar-benar hilang. Rasanya dia bisa berkata apa pun ke Tasha sekarang. Termasuk menjelaskan keisengannya dengan cewek-cewek yang selalu dibawanya kemana-mana itu.
“Ya ampun, Sha…namanya juga cowok. Ada cewek yang mau jalan sama gue, ya ayo aja, selama mereka nggak minta dikawinin, ya nggak papa, dong! Toh, gue single!” kata Donny dengan santai. Kembali ke tabiat asalnya.
“Jadi nggak ada usaha lo buat jaga perasaan gue, dong?” tanya Tasha dengan nada tajam.
“Lho? Kok jadi gitu? Kan lo juga selama ini nganggep gue biasa-biasa aja? Buktinya lo juga baru tau kalau gue suka sama lo dari dulu. Jadi perasaan lo yang mana yang harus gue jaga?” tanya Donny bingung.
Iya, ya? Perasaan yang mana yang harus dia jaga? Perasaannya dulu ke Donny kan biasa-biasa aja? Hmmm, Tasha mulai merasa aneh sekarang. Sepertinya tadi itu dia merasa Donny harusnya menjaga perasaannya sekarang. Karena terasa ada yang lain dengan hatinya terhadap Donny saat ini. Tapi Decky? Ya, kenapa pikirannya masih aja ke Decky sekarang? Kalau dia memang suka sama Donny sekarang, harusnya dia bisa lupa sama Decky. Harusnya malam ini bisa jadi malam bersejarah untuk mereka berdua. Tasha jadi ribet sendiri dengan pikirannya.
“Sori, Don! Bawaan gue aja kali ya, yang apa-apa sukanya ngajak berantem melulu sama lo,” ujarnya berharap semoga Donny tidak memperpanjang masalah menjaga perasaan itu tadi.
“That’ OK! Kayaknya kita emang ditakdirkan untuk terus berantem dalam cinta,” kata Donny sambil tersenyum.
Tasha terbatuk-batuk mendengar ucapan Donny itu. Mau nggak mau dia tertawa ngakak mendengar kalimat norak yang meluncur dari mulut Donny itu. Donny ikut tertawa keras dengannya menyadari betapa hancur kalimatnya barusan itu.
Malam itu sempurna untuk Donny dan Tasha. Belum ada kesepakatan apa pun di antara mereka. Tapi suasana sudah bisa dicairkan sekarang. Mereka melanjutkan makan malam itu dengan santai dan pulang dengan pikiran masing-masing di dalam kepala mereka.
*BERSAMBUNG*
*Image from goodcomics.comicresources.com*
“That’ OK! Kayaknya kita emang ditakdirkan untuk terus berantem dalam cinta,”
BalasHapusNorak tingkat tinggi wkwkwkwkwk
*is ko
jawabnya jgn lama-lama ya.. :)
BalasHapusIs: hahahahaa...norak banget yaa..aku pas nulisnya juga ngakak...wkwkwkwk
BalasHapusUuun: sudah ada jawabannyaaa... :)