Selasa, 13 Juli 2010

Resep Si Onis : Caught In The Act (Part 26)

  No comments    
categories: 
CAUGHT IN THE ACT

Gathering yang katanya akan berkesan itu ternyata tidak seindah yang direncanakan. Bagaimana mau berkesan kalau sebagian staff pribumi justru memilih untuk tidur lebih cepat karena berharap besok pagi bisa mengejar belanja baju di Factory Oultlet yang tersebar seantero Bandung sebelum pulang lagi ke Jakarta. Sedangkan para Jepang, tidak sampai dua jam check-in mereka sudah menghilang dengan sopir masing-masing, rendezvous entah ke mana. Ada yang pergi karaoke, ada yang pergi golf, ada yang check-in ke hotel lain yang lebih berkelas. Berkesan untuk siapa?

Siang tadi aku dan Tanabe san berpisah di Warung Lela. Aku berkeras tidak mau ikut dengannya. Kutelpon Pak Bambang untuk menjemput bosnya itu. Tanabe san diam saja tidak bereaksi. Aku tidak bisa membaca apa yang dirasakannya sampai saat ini, setelah ucapanku yang mungkin mengecewakannya itu. Aku belum mau memikirkannya.

Malam ini aku dan Andi memutuskan untuk berenang di kolam air hangat di hotel. Mumpung gratisan. Sedang asyik ngobrol sambil menikmati hangatnya air kolam, tiba-tiba handphoneku yang kuletakkan di meja berbunyi. Aku segera naik dan melihat nomor Deni di handphoneku. Mau apa lagi sih ni orang, pikirku dalam hati.

"Hai, Fan. Lagi di Bandung kan? Bisa ketemuan, nggak ?" suara Deni terdengar dari seberang sana.

My God, apa dia sedang mencari-cari Onis? Aku benar-benar kelimpungan mau menjawab apa.

"Fan ? Dengar, nggak ? Aku lagi di Bandung juga, nih," suara Deni terdengar lagi.

Mampus aku ! Aku mau bilang apa sama dia kalau dia tanya Onis ada di mana ?

"Aduh, Den, sori ya, acara kita padat banget. Kayanya gue nggak akan bisa keluar malam ini. Kenapa lo nggak telepon Onis aja langsung ? Lagian emangnya lo tau gue nginep di mana?" tanyaku khawatir. Nggak mungkin Onis yang kasih tahu dia.

"He he he...gue telpon ke kantor tadi pagi. Untung hari Sabtu, bapak-bapak yang jaga mailroom di kantor lo masuk, ya ? Itu lho, pak Ganda. Dia yang kasih tahu hotel tempat kalian menginap," jawab Deni santai.

Thank's banget, nih, pak Ganda, ujarku mangkel dalam hati. Sebenarnya kasihan juga beliau, sudah nggak bisa ikut jalan-jalan, harus masuk kerja, masih kena sumpah serapahku pula. Salahku juga tidak meninggalkan pesan apa-apa ke pak Ganda. Tapi siapa yang sangka kalau orang ini akan melakukan hal sampai sejauh ini demi menyelidiki pacarnya ?

"Yah, terserah, deh !" akhirnya aku cuma bisa pasrah. Sori, Nis, kalau sampai aku keceplosan jangan salahin aku, ya ? Aku benar-benar tidak prepare untuk menutupi aksinya sampai sejauh ini. Whatever happen, happenlah !

"Gue ke meja lo ya sekarang ? "

Aku seperti tersambar petir mendengar ucapannya. Dan sekilas dari seberang kolam aku melihat seorang pria melambaikan tangannya kepadaku sambil satu tangannya masih memegang handphone. Lututku lemas seketika. Aku terduduk di kursi sambil tetap menempelkan telepon di telingaku. Andi terheran-heran melihatku. Duh, kenapa aku nggak sadar ya kalau laki-laki itu adalah Deni? Cahaya di sekeliling kolam renang ini memang temaram sekali. Lagipula aku tidak terlalu peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar kolam renang. Aku dan Andi sedang asyik berendam sambil ngobrol dan memejamkan mata di pinggiran kolam renang dari tadi.

"Fan, kenapa lo ? Telpon dari sia..." pertanyaan Andi menggantung sampai di situ, karena dia juga sedang terheran-heran melihat Deni sedang berjalan menuju ke arahku.

"Oh, my God !" Kudengar Andi berujar pelan sambil segera naik dari kolam dan menyambar handuknya. "Cabuut ! Good luck, girl!" bisik Andi dan segera meninggalkanku dengan tidak bertanggung jawab. Kuya!

"Hai, Den !" sapa Andi sambil berlalu dari situ.

"Hai, Ndi...lho, kok udahan?" tanya Deni pada Andi.

"Udah ah, udah kelamaan...Ntar gue mateng lagi. Hehehe..." jawab Andi asal sambil berlalu.

Deni melihat ke arahku yang masih berdiri di samping meja.

"Sori, Fan. Gue ngagetin lo kaya gini. Gue kesini sebenernya bukan mau gangguin lo," kata Deni sambil duduk di kursi tempat aku taruh handukku.

Aku rikuh juga ngobrol sama cowok masih pakai baju renang begini. Heleeep!!! Tapi Deny sepertinya mengerti dan mengulurkan handukku ke arahku. Cepat aku sambar handuk itu dan seketika menyesali kenapa aku bawa handuk kecil banget!

"Trus lo mau ngapain ke sini?" tanyaku agak ketus. Aku benar-benar tidak suka kecolongan seperti ini. Dan aku benar-benar dibuat malu karena ketahuan berbohong tadi. Apa dia mau aku cerita Onis ada di mana? Sejujurnya aku memang tidak tahu ada di hotel mana Onis saat ini, jadi rasanya percuma dia datang padaku untuk mencari tahu. Tapi mungkin dia beranggapan lain.

"Gue udah tau Anis di mana, Fan. Gue udah tau dia sama cowok bule di sini. Gue mau selesaikan aja urusan gue sama Anis, tapi nanti kalau udah pulang dari Bandung. Gue udah capek ngadepin kelakuannya dia. Gue tau kelakuannya di kantor selama ini, gue nggak bego, Fan. Kalau gue diem selama ini, itu karena gue gak mau kehilangan dia. Gue masih sayang banget sama dia. Tapi dia kayanya udah gak peduli lagi sama gue. Mungkin buat dia bantuan dari gue kurang, makanya dia harus cari dengan cara kayak gitu. Kalau emang Anis mau udahan sama gue, kayaknya gue emang nggak bisa maksain..." jelasnya padaku.

"Ya, bagus dong kalo gitu...Soalnya Onis bilang, lo tuh suka maksain mau lo ke dia, karena lo udah banyak bantu keluarganya. Intinya lo itu egois dan posesif, kata Onis lho..." kataku berani.

Deni tampak menghela nafas mendengar ucapan pedasku barusan. Dia tidak menampik dan tidak juga mengiyakan. Dia cuma mengangguk-anggukkan kepalanya sesaat.

"Mungkin emang gue gitu ya, Fan. Setelah beberapa hari ini gue mulai sadar kalau Anis itu udah bener-bener gak ada rasa lagi sama gue. Tiap hari gue berantem melulu sama dia. Sekarang ini gue cuma kasihan sama bokap dan adeknya. Tapi sebelum dia berangkat ke Bandung kemaren gue berantem besar sama dia, dan dia bilang kalau dia udah gak butuh bantuan dari gue lagi. Dia bilang dia sanggup biayain keluarganya dan nyekolahin Dion, adeknya. Gini-gini, harga diri gue terhina juga Fan denger ucapannya itu. Ya udah. Kalau emang harus begini, gue gak bisa ngapa-ngapain lagi," katanya panjang.

"Trus...? Lo ngapain di sini?" tanyaku bingung.

"Gue ada janji sama temen gue tadi. Baru kenal sih tadi di Dago. Katanya dia nginep di sini juga..." katanya.

"Oooh..." aku manggut-manggut. Kirain mau cari ribut lo, kataku dalam hati dengan lega.

"Hai, Den..." sapa sebuah suara yang sangat kukenal dari balik punggung Deni.

"Oh, hai...Fan, kenalin nih, temen baru yang gue ceritain tadi," kata Deni memperkenalkan aku dengan ‘teman barunya' itu.

Dian? Dian temen barunya Deni? Oalaah...kenapa nyangkutnya sama dia siiih? Aku masih duduk di tempatku tidak bereaksi. Aku masih takjub dengan kenyataan kalau Deni mampir ke hotel ini karena ingin bertemu dengan Dian, Singa kantor itu. Duh, Den...masa hampir lepas dari mulut macan, sekarang kamu malah mau masuk mulut singa sih, batinku dalam hati.

"Lho? Udah pada kenal, ya?" tanya Deni bingung melihat aku dan Dian saling menatap lama.

"Kamu udah kenal sama resepsionis kantor aku ini, Den?" tanya Dian dengan menekankan kata ‘resepsionis' dalam ucapannya itu.

"Oh, udah...Lho, jadi kamu juga kerja di Misako?" tanya Deni seperti orang tolol.

"Iya. Aku belum sempat cerita ya tadi kalau aku ke sini sama rombongan kantor. Aku atasannya dia..." kata Dian sambil menunjukku dengan hidungnya.

Congkak! Kataku mangkel dalam hati.

Deni manggut-manggut mendengar penjelasan Dian. Aku segera berbenah bersiap pergi dari hadapan mereka. Aku malas meladeni kelakuan tengilnya si Dian malam ini. Moodku sudah cukup hancur sejak siang tadi di Warung Lela. Kejadian ini sudah benar-benar merenggut kebahagiaanku untuk bisa kembali ke kota yang sangat aku sayangi ini. Brengsek!

"Gue ke kamar ya..." kataku entah pada siapa sambil berlalu dari hadapan mereka.

Baru lima langkah aku menjauh aku dengar Dian mengatakan sesuatu kepada Deni.

"Kok bisa kenal sama cewek kayak gitu, Den?"

"Kenapa emangnya Fani? Dia baik kok. Aku udah lama kenal sama dia..." masih kudengar suara Deni menjawab.

Langkahku terhenti mendengar perkataan Dian. Cewek kayak gitu? Cewek kayak gitu itu apa maksudnya? Aku berbalik dan berjalan kembali ke arah mereka berdua.

"Maksud lo apa?" tanyaku pada Dian dengan emosi.

Rasanya memang kepergianku ke Bandung ini akan menjadi sebuah cerita menyebalkan. Jauh dari yang kuharapkan. Udah tanggung, kataku dalam hati. Kalau mau ribut, ribut sekalian di sini.

"Lho? Denger ya? Gak maksud apa-apa sih, cuma heran aja, lo sama temen lo itu cepet banget ya dapet cowok di mana-mana. Hebat!" katanya sinis padaku.

Oh, you're so...so...Uugh, untuk sesaat aku kehilangan kata-kata karena begitu marah mendengar ucapannya. Tapi otakku bekerja cepat. Sinisme harus dilawan dengan ketenangan dan kekejaman yang dingin, kataku dalam hati. Aku tidak mau terpancing untuk ribut seperti orang tidak bersekolah. Cuih, jangan ngarep lo, umpatku padanya dalam hati.

Aku menyeringai penuh arti padanya. Deni masih berdiri di antara kami dengan bingung.

"Gue juga heran, sekalinya lo dapet kenalan, kok malah dapetnya pacarnya Onis ya? Dunia emang sempit atau pilihan lo yang terbatas?" kataku pedas dan berbalik pergi.

Aku tidak melihat lagi ke arah mereka. Aku melangkah tenang walaupun dalam hati aku khawatir juga kalau dia akan menyusulku dan mendorongku ke kolam renang dari arah belakang. Ternyata tidak ada reaksi apa-apa dari Dian. Kurasa dia tengah shock mendengar ucapanku barusan. Syukurin lo! Aku tertawa dalam hati sambil mencari-cari Andi karena tidak sabar untuk menceritakan ini padanya. Dia pasti bakal pingsan histeris mendengar kejadian ini. Hahaa....

_____________________________________________________________________________________

BERSAMBUNG

Senin, 12 Juli 2010

Homesick

  2 comments    
categories: 

Satu bulan. Empat minggu sudah mereka tinggal di Singapura lengkap dengan asam manis pahit dan getir dunia bekerja di hotel yang nyata. Fani, Lana dan Ogi mulai goyah. Rindu akan rumah dan suasana kampus melanda mereka dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan segala kemudahan dan kemolekan Singapura tidak mampu menggantikan rindu itu.
Seharian Fani hanya duduk di depan jendela ruang tamu di apartemen itu. Dari pagi dia tidak beranjak dari sofa coklat kumal itu. Ogi baru bangun dan keluar kamar ketika dilihatnya Fani yang sedang duduk termangu sendirian di sana. Seluruh penghuni apartemen itu kebetulan sedang masuk pagi. Lana sendiri bahkan belum pulang sejak semalam karena harus lembur karena ada rombongan yang akan masuk siang ini.
“Kenapa, Fan?” tanya Ogi.
Fani terhenyak sedikit karena terkejut lamunannya terputus. Kemudian dia menghela nafas berat dan kembali memandang keluar jendela.
“Pengen pulang…,” ujar Fani lirih.
Ogi menatap punggung Fani dengan simpati. Dia pun merasakan hal yang sama beberapa hari ini. Dihampirinya Fani dan duduk di sebelahnya.
Tangannya mengelus-elus punggung Fani dengan perlahan. Fani bergeming. Somehow, dia merasa membutuhkan kehadiran sebuah bentuk simpati dari seseorang saat ini.
“Sama, Fan…Gue juga kangen rumah, kangen Bandung, kangen kampus. Tapi sabar aja deh…Tinggal lima bulan lagi, kok…” ucap Ogi yang terdengar tidak yakin di telinga Fani.
Fani menatap Ogi dengan malas dan sebal.
“Lima bulan itu lama, Ogii!” katanya dengan gemas.
“Ya, gue juga tau, Fanii! Gue kan cuma mau menghibur doang. Lah, gue juga kan lagi kangen rumah, sama kayak lo…,” jawab Ogi membela diri sambil meringis. Dibalikkannya badan duduk menghadap ke ruang tamu. Setengah mati dia menahan diri untuk tidak merokok dalam apartemen itu karena Stephen jelas-jelas melarang keras semua penghuni apartemen itu untuk merokok di dalam. Padahal suasana kayak gini paling pas sambil merokok, batinnya dalam hati.
Fani ikut membalikkan badannya di sebelah Ogi. Terlihat sekali kalau dia sedang suntuk. Belum mandi dan rambut masih awut-awutan. Walau begitu Fani tidak pernah pusing memikirkan penampilannya selama dia tinggal di apartemen itu. Namanya tinggal satu rumah, pasti jelek-jeleknya semua penghuni akan terlihat walaupun berusaha disembunyikan sedemikian rupa.
“Ini namanya homesick kali ya, Gi?” tanya Fani seperti pada dirinya sendiri.
Ogi hanya menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan Fani. Tiba-tiba Ogi tersentak ketika dirasakannya kepala Fani sudah menyender di bahu kanannya. Ogi tidak berani bergerak sama sekali. Tubuhnya serta-merta kaku dan membeku tidak menyangka kalau Fani bisa dan mau melakukannya.
“Gue inget adek gw, Mami, Papi…gue juga kangen sama kamar kost gue…Lima bulan itu lama banget, Gi…,” Fani kembali berujar seperti pada dirinya sendiri.
Ogi tetap diam membeku.
“Kemaren gue kena omel Mr. Kim, FB Manager itu,” kata Fani lagi. “Gue salah posting menu dalam order machine. Satu botol champagne gue posting satu gelas. Gue baru sadar waktu tamunya udah pergi. Mr. Kim ngomel-ngomel, bilang gak mungkin dia minta ganti sama gue. ‘Mana punya duit trainee macam kamu!,’ gitu katanya. Gue gak boleh megang orderan tamu lagi. Gue bener-bener kayak orang bego diomelin dan dipermalukan di depan orang-orang, Gi…,” kata Fani panjang lebar. Fani menyeka air mata yang sudah jatuh ke pipinya itu.
Ogi tersentak menyadari Fani ternyata menangis. Reflek digerakkan tangannya ke arah pipi Fani, bermaksud hendak menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh itu.
“Fan…,” ujar Ogi sambil menatap wajah Fani dalam-dalam. Tangannya masih memegang pipi Fani dengan lembut.
“Sabar, Fan…Jangan nyerah gitu…Lo bukan orang bego, semua tau itu. Jangan sampai kesalahan sepele meruntuhkan kepercayaan diri lo. Gue juga sering buat salah. Namanya lagi belajar, wajar aja kita salah. Emang rasanya gak enak banget diomelin, apalagi di depan orang banyak. Tapi telan aja, Fan…Toh, kita gak akan selamanya ada di sini. Anggap angin lalu, Fan. Ada gue di sini…Cerita sama gue, Fan. Gue akan dengerin selama yang lo mau. Gue gak akan kemana-mana. Jangan takut dan jangan menyerah…,” ucap Ogi panjang lebar berusaha menghibur Fani.
Fani menatap balik ke dalam mata Ogi. Air matanya justru makin deras berjatuhan ke pipinya setelah mendengar ucapan Ogi itu. Spontan dijatuhkannya kepalanya ke dada Ogi dan menumpahkan segala kekesalan di hatinya. Ogi kembali diam tertegun tak berani bereaksi. Untuk beberapa detik dia hanya bisa diam.
Fani masih menangis sesenggukan di dada Ogi. Akhirnya Ogi tak bisa menahan diri dan hatinya lagi. Direngkuhnya tubuh Fani ke dalam pelukannya. Seolah ingin memindahkan sebagian kekuatannya untuk Fani. Diusapnya rambut Fani dengan lembut. Tanpa sadar dia mengecup kepala Fani dengan penuh perasaan sayang.
Fani mengangkat kepalanya perlahan. Dia tidak yakin akan apa yang barusan terjadi. Sepertinya Ogi mencium atas keningnya dengan sangat perlahan. Dan Fani tiba-tiba merasa heran karena mendadak segala persoalan yang dihadapinya menjadi terasa begitu kecil dan ringan. Untuk sesaat mereka saling menatap satu sama lain. Tak ada suara, tak ada ucapan, tak ada gerakan. Hanya tatapan.
Wajah mereka hanya berjarak satu jengkal. Tangan Ogi masih memeluk kedua pundak Fani. Antara sadar dan tidak, seperti ada magnet berbeda kutub yang saling tarik-menarik antara mereka. Wajah mereka kian mendekat. Hdiung mereka sudah saling bersentuhan dan…
“Hey! At least do it somewhere else!” sebuah suara mengejutkan mereka.
Sally Wu baru masuk ke dalam apartemen dan mendapatkan mereka berdua tengah dalam posisi hampir berciuman. Kelihatan sekali kalau dia tidak suka melihatnya. Sally masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dengan keras.
Fani segera membenahi duduknya. Ogi pun cepat-cepat melepaskan pelukannya di pundak Fani. Tiba-tiba saja mereka menjadi salah tingkah menyadari apa yang hampir saja terjadi.
Apaan sih barusan? Ucap Fani dalam hati tak habis pikir. Did we just almost kiss? Tanyanya lagi dengan heran. Why? Ya, kenapa? Apa itu artinya aku suka pada Ogi? Tanya Fani makin gencar dalam hatinya. Tapi mengapa aku tidak merasakan degup jantung yang berdebar seperti yang aku baca di majalah-majalah itu? Kenapa aku tidak merasa salah tingkah dengan kedekatannya denganku tadi? Kenapa aku bisa membiarkannya memelukku dengan penuh perasaan seperti itu? Kenapa aku merasa sangat nyaman dalam pelukannya? Kenapa dia melakukannya? Apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku? Dan berpuluh pertanyaan berloncatan dalam kepalanya saat ini.
Baru di sadarinya sekarang, jantungnya mulai berdebar-debar ketika dia berusaha menatap Ogi kembali. Ogi tidak berani melihat ke arahnya. Dia hanya mengusap-usao wajahnya lalu berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Sebelum dia masuk ke dalam kamar, Ogi berbalik hendak mengatakan sesuatu padanya.
“Maaf ya, Fan…aku lancang. Aku…aku cuma nggak mau kamu terus-menerus sedih seperti tadi…,” ucapnya pelan.
Fani berusaha mempercayai pendengarannya. Apa Ogi baru saja mengganti caranya menyebut dirinya sendiri dari ’gue’ menjadi ‘aku dan menyebut dirinya dari ‘lo’ menjadi ‘kamu’? Apa artinya semua ini? Fani tidak mampu menemukan jawaban selain perasaan melayang yang tiba-tiba hinggap dalam hatinya.
***
BERSAMBUNG
Image from http://www.0303.info/disneyimg/SnowWhite/Snow-White-Prince.jpg

Maaf, Aku Mandeg Di Sini...Wkwkwkwk...

  2 comments    
Pernah mikir untuk ngelanjutin kisah Onis dan Fani di sini, karena sepinya. Gw kirain kalau sepi ide akan lebih lancar mengalir. Baca deh di sini. Ternyata eh ternyata...gw salah besar! Wkwkwkwk...
Gw gak bisa menampik kenyataan bahwa ternyata gw adalah jenis manusia yang baru bergerak kalau dipecut. Huahahahaa...Jadi inget waktu jaman masih sekolah. Dikasih tugas sama guru jauh-jauh hari sebelumnya, baru dikerjain sehari sebelumnya. Bener-bener mepet deadline. Ngerjainnya bukan karena pengen nilai bagus, melainkan cuma demi memenuhi deadline dari guru. Hahahahaa...jangan sampe anak gw tau kebiasaan jelek gw ini. Gawatz!
Yang namanya kebiasaan itu memang sulit buat dihilangkan, apalagi kebiasaan jelek. Herannya kalau kebiasaan bagus justru gampang banget ninggalinnya. Contoh nih, gw bisa dengan gampangnya ninggalin kebiasaan nulis gw hanya karena alasan 'malas'. Dan kalau udah berhenti, mau mulai lagi susaaah banget! Believe me, I've tried this once dan gw kapok. Hahahahaa...
Gak mau lagi deh ninggalin kebiasaan bagus yang susah payah dipertahankan. Mau mulai biasa lagi itu susahnya setengah ampun setengah mati setengah idup.
Back to Onis. Sama aja kejadiannya. Gw coba posting ceritanya di sini. Berharap hanya teman-teman dekat aja yang bisa baca dan menanggapi, supaya gak bias dan terpengaruh sama keinginan pembaca yang rame di rumah tetangga sana. Tapi ternyata apa? Ide gw gak nongol selancar kalau dibawelin sama yang nunggu kelanjutan cerita gw. Walaaah, beneran...emang gw perlu dipecut nih!
Gapapa deh, gw cuma mau ambil positifnya aja. Mudah-mudahan dengan begini, gw makin keranjingan nulis. Sempet ketemu sama temen-temen sesama blogger. Dia bilang komentar dan tanggapan pembaca itu indikator. Indikator dari apa? Banyak hal. Popularitas (tidak bisa ditampik), isi cerita, progress dalam cara menulis...semuanya bisa dibaca dari komentar dan tanggapan yang beragam itu. Gak jarang juga gw dapet kritik. So far, it's fun...soooo....Maaf ya, Cil...sekali lagi gw jadi pembelot. Tapi kali ini gw akan mendahulukan dikau di atas yang lainnya. Cerita Fani bakal gw posting di sini lebih dulu, baru di sana. Ai lop yu pul, Cil! ^_^

Lana Dan Alex...Cuit Cuiiit!

  5 comments    
categories: 

“Alex ngajak gue jalan besok, Fan…” bisik Lana kepada Fani di koridor hotel itu.
Fani baru mengantarkan pesanan makanan untuk sebuah kamar ketika berpapasan dengan Lana yang tengah mengantarkan sebuah pesan untuk kamar yang lain di lantai itu juga.
“What? Alamaaak…Hahahaa…” Fani tertawa setelah bisa berekspresi dengan kata-kata melayu itu.
“Dodol! Malah ngetawain…Gimana nih?” tanya Lana dongkol.
“Diajak kemana?” tanya Fani kemudian.
“Gak ngerti juga sih gue, Fan. Dia coba ngomong pake bahasa Melayu gitu ke gue. Katanya ‘nak tengok wayang?’, gitu,” jelas Lana sambil kebingungan.
“Huahahaaa…lo gak tau maksudnya?” tanya Fani geli.
“Nggak…Gue bingung aja, dia ngajakin gue nonton wayang gitu? Emang di Singapur ada wayang? Trus apa menariknya nonton wayang?” Lana makin kebingungan.
‘Huahahaaa…Lana, Lana…Wayang itu movie, begooo…Maksudnya dia ngajakin lo nonton bioskop neng!” Fani menjelaskan sambil tertawa terbahak-bahak.
“Sompret! Kok lo jadi jago gini sih ngomong Melayu?” mau tidak mau Lana tersipu menyadari kebodohannya.
“Huehehee…Banyak gaul sama uncle-uncle busboy di kitchen. Hahahaa….,” kata Fani lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju lift. Fani dengan seragam Room Service berwarna birunya itu dan Lana dengan seragam petugas Front Desk berwarna coklat muda. Keduanya tampak cantik sekali. Beberapa tamu yang berpapasan dengan mereka menoleh untuk menatap mereka berdua lebih lama. Seorang petugas Housekeeping melirik ke arah mereka berdua sambil mendorong troli besar berisi peralatan kamar dan supply amenities untuk kamar mandi. Dia sampai tidak sadar trolinya sudah melenceng arah sampai hampir menabrak tembok di sampingnya.
Ting! Lift terbuka. Alex dengan seragam Room Service yang serupa dengan yang dipakai Fani ada di dalamnya. Tiba-tiba wajahnya berubah cerah begitu melihat ada Lana di depannya. Lana mendadak salah tingkah tidak karuan. Fani cengengesan sambil bergegas menarik tangan Lana untuk masuk ke dalam lift bersamanya.
“Hai, Alex!” sapanya pada Alex.
“Oh, hai, Fani! Kamu sudah antar pesanan tujuh satu enam itu kan?” tanyanya pada Fani.
“Done!” ujar Fani dengan ceria.
Lana masih diam saja salah tingkah tak berdaya. Lana berdiri di pojok lift kecil itu. Fani dan Alex berdiri berdampingan di depannya. Sesekali Alex melirik-lirik kea rah Lana sambil tersenyum simpul.
“Fani, can you ask something to your friend?” tanya Alex pada Fani sambil mengerlingkan matanya.
“Mmm…sure. Mau tanya apa? Sama siapa?” tanya Fani pura-pura bingung. Senyumnya juga terpasang lebar di mulutnya.
“Teman kamu yang ada di belakang itu. Please ask her, would she come with me ‘tengok wayang’ tomorrow,” kata Alex dengan nada menggoda.
“Hahaha…she would if she could understand what ‘tengok wayang’ means!” jawab Fani hampir tidak bisa menahan tawanya.
Lana segera mencubit pinggang Fani dari belakang dengan gemas. Fani menoleh ke arahnya sambil cengar-cengir kesakitan.
“Oh, my God! So that’s why you haven’t said anything, Lana?” kali ini Alex membalikkan badannya dan bertanya dengan serius kepada Lana.
“Ah..uh..uh..yeeah, something like that,” jawab Lana tergagap malu.
Alex benar-benar tidak bisa menahan tawanya. Fani merasa di atas angin melihat Alex tertawa lepas, dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Lana manyuuun.
“OK! Saya akan tanya dalam bahasa Indonesia supaya kamu mengerti. Lana, apakah kamu mau pergi…mmm…,” Alex ragu meneruskan kalimatnya. Diliriknya Fani untuk mendapat bantuan.
“Nonton bioskop sama saya,” ujar Fani mengajarkan, masih dengan tertawa-tawa.
“Oh, OK! Lana, apakah kamu mau pergi nonton bioskop sama saya?” tanya Alex dengan serius kepada Lana.
Lana makin salah tingkah. Cowok edan, masa ngajak nge-date di depan temen gue gini sih? Mana minta diajarin ngomong lagi! Maki Lana dalam hatinya.
Akhirnya Lana hanya mengangguk pelan sambil menunduk malu. Fani geli sekali melihat gaya sahabatnya itu. Lana benar-benar mati kutu. Jangan-jangan dia suka sama Alex, pikir Fani kemudian.
Ting! Pintu lift terbuka di lantai tiga. Alex berpamitan cepat, karena dia harus turun di lantai itu.
“Sompret!” maki Lana pada Fani begitu pintu lift tertutup kembali.
“Huahahaaa…sorry, Lan! Abis kocak banget sih tuh cowok. Jarang-jarang lho ada cowok yang punya selera hunor tinggi kayak gitu,” kata Fani masih melanjutkan niatnya untuk menggoda Lana.
Lana senyum-senyum sendiri mendengar kata-kata Fani. Alex memang humoris. Beberapa minggu tinggal satu apartemen dengannya, Alex adalah pribadi yang paling ramah selain Uncle Stephen yang sudah agak berumur itu.
“Lo suka ya sama Alex?” tembak Fani telak.
Seketika muka Lana memerah. Sepintas dia hampir menggelengkan kepalanya. Namun kemudian yang terjadi justru bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang tidak bisa ditahannya.
“Hehehe…keliatan banget emangnya ya?” tanya Lana pasrah.
Ah, sahabat harus tahu segalanya bukan? Pikir Lana dalam hati. Sama sekali dia tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun pada Fani, sahabatnya.
“Keliatan sih nggak…Cuma jelas aja dari salting lo itu! Ih, norak banget deh lo, Lan! Kayak belum pernah ngadepin cowok aja,” kata Fani dengan geli.
“Sialan! Kan beda ngadepin cowok yang bikin lo eneg, sama ngadepin cowok yang lo suka,” kata Lana membela diri.
“Astaga! Beneran suka, atau jangan-jangan malah udah mulai jatuh cinta nih?” tanya Fani penasaran.
“Weeeh, jatuh cinta belum kaleee! Baru suka aja. Ganteng, putih, baek, lucu…huaaa…Help me!!!” kata Lana sambil menarik-narik baju Fani berlagak seperti seorang anak kecil yang tengah merengek pada ibunya.
“Anak gila! Selamat berkencan besok yaaa! Gue masuk malem bareng Ogi. Huh!” kata Fani sambil melangkah keluar lift, karena lift itu sudah terbuka di lantai satu.
“Dadaaah!” Lana melambaikan tangannya dari dalam lift sebelum pintu lift itu tertutup kembali. Lana langsung menuju basement untuk berganti seragam karena sudah waktunya ia pulang sore itu.
Fani melangkahkan kakinya dengan santai sambil memikirkan Lana, sahabatnya itu. Kelihatan sekali kalau Lana sedang berbunga-bunga hatinya. Benar kata Lana tadi, dia memang belum pernah menghadapi laki-laki yang menarik hatinya. Walaupun banyak sekali laki-laki yang suka padanya di kampus, tapi Lana tidak pernah salah tingkah seperti ini. Lucu juga bagaimana jatuh cinta itu bisa membuat seseorang justru tampak konyol di hadapan orang yang disukainya. Fani asyik berfikir tentang itu, jatuh cinta, rasa suka, salah tingkah, berdebar-debar. Huuff, gimana ya rasanya? Tanya Fani dalam hati dengan penasaran.
Fani belum pernah merasakan itu semua. Dulu waktu SMA dia berpikir dia pernah jatuh cinta kepada seorang kakak kelasnya. Tapi kemudian Fani cukup cerdas untuk menyadari kalau yang dirasanya waktu itu adalah perasaan kagum dan ingin menjadi seperti dia. Bagaimana tidak, sang kakak kelas itu adalah ketua OSIS di sekolah, murid teladan satu kotamadya, pemegang nilai tertinggi di sekolah dan segudang prestasi lainnya. Fani selalu tak bisa menahan diri untuk tidak menatap kagum padanya setiap sang idola lewat di depannya. Saat teman-temannya menyadari itu, mereka ramai menggoda Fani hingga Fani hampir percaya kalau dia sudah jatuh cinta pada kakak kelasnya itu.
Tidak perlu waktu lama bagi Fani untuk menyadari kalau dia bukan sedang jatuh cinta, melainkan sedang mengagumi. Rindu. Satu kata itu yang menyadarkan Fani. Tidak ada sedikitpun rasa rindu ingin bertemu dengannya saat Fani di rumah. Padahal menurut teman-temannya yang sudah berpacaran, rindu itu…uuugh, nyebelin-nyebelin enak gimanaa gitu! Fani justru sering merasa tertantang untuk bisa menjadi seperti dia, berprestasi. Maka sampailah Fani pada kesimpulan akhir kalau dia bukan sedang jatuh cinta. Dan kesimpulan itu akhirnya gagal memecahkan rekor belum pernah jatuh cinta pada laki-laki yang selama ini disandangnya dengan bangga.
***
BERSAMBUNG
Image from http://img.dailymail.co.uk/i/pix/2008/03_04/BambiDM_468x451.jpg

Kamis, 01 Juli 2010

Turis Irit

  4 comments    
categories: 

Fani dan Ogi duduk berdua di depan kursi yang tersedia di depan Takashimaya itu. Siang yang terik di Singapura terpaksa mereka sambut dengan wajah terbuka. Ogi menyesali dirinya yang tidak ingat untuk membawa topi Billabong kebanggaannya itu. Sebuah kamera digital tergenggam di tangannya.
“Ayo, Fan…Foto-foto lagi,” ajaknya pada Fani.
“Ogah ah! Dari tadi foto-foto melulu, kayak turis,” tolak Fani malas sambil berkipas dengan majalah di tangannya.
“Lah, kan emang kita turis. Hahaha…,” canda Ogi.
Mau tidak mau Fani tertawa mendengarnya. Sebelum berangkat tadi mereka memang sempat berniat untuk berfoto di depan semua mall yang ada di sepanjang jalan Orchard yang terkenal itu. Tapi entah mengapa, keinginan itu langsung menguap begitu mereka sampai di sana.
“Banyak banget orang Jakarta ya di sini,” kata Fani ketika mereka sampai di Orchard.
Dari tadi orang lalu lalang dekat mereka semuanya berbicara dengan bahasa Indonesia.
“Gue jadi gak berasa ada di Singapur nih, Gi. Rasanya lagi ada di Blok M. Hahahaa…,” kata Fani lagi.
“Hihihi…iya yah…,” kata Ogi menyetujui.
“Udah ah, gak usah foto-foto. Tengsin. Banyak orang Indonesianya,” kata Fani akhirnya.
“Yaaa…foto doong. Buat kenang-kenangan,” bujuk Ogi kecewa.
Niatnya dalam hati ingin sebanyak mungkin memiliki dokumentasi gambar dengan Fani nyaris pupus.
“Lo aja sini gue fotoin,” kata Fani.
“Berdua dong, gimana sih lo,” Ogi masih berusaha membujuk.
“Ya udah, foto di sini aja,” kata Fani akhirnya sambil duduk di kursi yang sekarang tengah didudukinya itu.
Ogi tidak mau melewatkan kesempatan. Segera diarahkannya kamera ke arah Fani. Beberapa kali diambilnya gambar. Fani malas tersenyum di tengah panas terik itu. Dia hanya memalingkan wajahnya sambil melihat-lihat sekelilingnya.
“Orchard gak menarik nih, Gi,” kata Fani akhirnya.
“Iya yah…Cuma ada mall doang. Apalagi gak punya duit gini,” ujar Ogi sepakat.
“Cari tempat lain yang lebih menarik yok!” ajak Fani kemudian.
Ogi segera membuka peta Singapura yang diambilnya di bandara Changi ketika mereka baru sampai minggu lalu. Rute MRT adalah panduan paling penting baginya. Mau kemanapun yang penting dilalui oleh MRT maka semuanya akan lancar. Transportasi massa satu ini memang sebuah keajaiban indah yang mereka dapatkan di Singapura. Nyaman, bersih, murah dan mencapai banyak tempat. Setelah hampir setahun harus puas dengan angkot-angkot hijau di Bandung yang doyan ngetem itu, Fani, Ogi dan Lana mendapati diri mereka begitu kecanduan untuk naik MRT. Bagi mereka tidak terlalu penting ke mana tujuannya, yang penting bisa berlama-lama di atas MRT itu, itu sudah sebuah rekreasi yang menyenangkan.
“Ke sini aja, yok,” kata Ogi sambil menunjuk ke sebuah lokasi di peta.
“Clarke Quay..Hmm, di pinggir sungai Singapur. Wah, kayanya asyik tuh. Paling nggak mudah-mudahan rada ademan di sana,” kata Fani sambil ikut mengamati peta di tangan Ogi.
“Iya, lagian ini juga tujuan wisata di sini. Mudah-mudahan orang Indonesianya nggak sebanyak di sini. Hehehe…,” Ogi terkekeh sendiri mendengar ucapannya.
Fani hanya meringis sambil mengangguk setuju. Tapi sejurus kemudian dia terdiam seperti teringat sesuatu.
“Yah, Gi…Tapi kita kan janjian sama Lana di sini,” kata Fani teringat akan janjinya dengan Lana.
“Ya, terserah. Mau nungguin dia di sini sampe jam empat? Sekarang baru jam satu lho!” kata Ogi sambil melihat jam tangan di tangan kanannya.
“Iya, ya…Bisa mateng kita nungguin dia di sini. Ya udah, cabut aja deh! Ntar jam tiga-an kita balik lagi ke sini. Atau kalau udah sampe sana, kita coba telpon ke hotel deh, nitip pesen buat dia,” kata Fani akhirnya.
Sepasang remaja itu kemudian berjalan bersama. Sesekali Ogi mengarahkan kameranya ke arah Fani yang tengah berjalan di sampingnya. Fani dengan sebal berusaha menepis kamera itu beberapa kali. Ogi tertawa-tawa melihat temannya itu tidak mau diambil gambar olehnya. Dasar cewek, suka malu-malu kucing, kata Ogi dalam hati.
Tidak lama kemudian mereka sudah duduk di dalam MRT. Tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di tujuan. Benar saja, Clarke Quay lebih bersahabat. Dan Fani harus mengakui, dia jatuh cinta pada pandangan pertama begitu kakinya menginjak pinggiran sungai Singapura itu. Pemandangan indah, gedung-gedung pencakar langit di sekeliling, café-café di sepanjang pinggiran sungai, air sungai yang bersih, kapal-kapal wisata yang menarik. Semuanya begitu menyatu dan mengasyikkan di mata Fani. Untuk sesaat Fani terdiam di pinggir sungai itu. Dia duduk di sebuah kursi batu yang tersedia bagi pengunjung. Matanya menatap kapal wisata merah yang sedang berjalan lambat melewati mereka. Sunglassnya masih terpasang di wajahnya.
Diam-diam Ogi mengambil gambar itu. Fani yang tengah termangu menatap sungai dengan silau sinar matahari dari arah samping wajahnya. Tiba-tiba Ogi seperti lupa untuk menekan tombol saat dilihatnya wajah Fani dalam layar kecil kameranya itu.
Astaga, dia memang cantik, ujar Ogi dalam hati. Sesaat dia seperti terpaku melihat kameranya itu. Fani seperti tersadar dan segera melambaikan tangannya ke arah Ogi tanda ia tidak mau difoto.
“Udah ah! Ngapain sih foto-foto melulu,” katanya pada Ogi.
Sialan! Lewat deh momennya, maki Ogi dalam hati urung mengambil gambar Fani.
“Duduk di sini aja, ya?” kata Fani meminta persetujuan Ogi.
“Mmm…gak mau duduk di café itu?” tanya Ogi sambil menunjuk ke sebuah café mungil dekat mereka.
Ada beberapa kursi dengan tenda berwarna hijau di teras café itu, Persis di samping sungai. Kelihatannya sangat nyaman dan keren. Seperti café-café di Prancis atau Italia di pandangan Ogi.
“Bweeh, mau minum apaan di sana? Kopi harga lima belas dolar?” kata Fani sambil meledek Ogi.
Ogi tertawa mendengar kalimat Fani itu. Dia harus mengakui kalau Fani benar. Saat ini adalah saat prihatin. Mereka belum menerima gaji. Uang yang ada di kantong mereka masih merupakan uang bekal dari orang tua masing-masing. Dan itu harus mereka hemat, paling tidak sampai bulan depan mereka menerima gaji pertama.
“Excuse me! You both look perfect on that spot! Can I take your picture?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mereka dengan sebuah pertanyaan.
Fani dan Ogi serentak menoleh ke arah asal suara itu. Seorang lelaki tua berambut pirang dengan kamera berlensa super besar tengah berdiri di hadapan mereka sambil melemparkan sebuah senyum.
“Mmm..OK…,” kata Ogi tanpa berpikir.
Fani menyikut rusuk Ogi. Dia masih belum yakin dengan maksud pertanyaan bule itu.
“Ahaha…thank you…Don’t worry, I just think you two look like a cute couple on a perfect spot, the river view and the sunlight is just perfect. I’m a professional fotographer. But I won’t sell your picture, I just want to keep it for my private collection, if you don’t mind,” bule itu seperti mengerti dengan keraguan Fani.
“Oh, OK then, but we’re not couple, we’re just friends…,” Fani berusaha menjelaskan status mereka berdua pada lelaki itu.
“Oh, sorry…I thought..well, never mind…,” ucap si bule itu lagi.
Pria tua itu lantas meminta mereka untuk mendekat dan saling melingkarkan tangan di pinggang. Dia meminta Ogi untuk memandang ke arah Fani dan Fani diminta untuk menatap sungai di sampingnya. Laki-laki itu memang benar-benar seorang fotografer dan pengarah gaya profesional sepertinya. Dia tahu sekali bagaimana mengatur pose yang pas untuk mereka berdua.
Ogi menatap Fani dalam jarak hanya lima senti dari wajahnya. Luar biasa rasanya, ujar Ogi dalam hati. Aku benar-benar beruntung bisa melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menatapnya dalam jarak sedekat ini tanpa harus menerima protes darinya, Ogi tak henti-hentinya bersyukur atas rejeki nomplok itu.
“OK! Thank you so much!” ucap si bule itu kemudian sambil mengulurkan tangannya kepada Fani dan Ogi.
Mereka menyambut jabat tangan hangat itu sambil tersenyum. Lelaki itu kemudian berjalan meninggalkan mereka. Seperti teringat sesuatu, tiba-tiba Ogi berlari menyusul lelaki itu.
“Excuse me, can you e-mail me the picture later?” Pintanya pada lelaki itu.
Bergegas Ogi mengambil pulpen dan kertas dari tas kecil yang dibawanya. Dia menuliskan sesuatu di situ dan menyerahkannya pada lelaki bule itu. Si bule menerima kertas itu dan tersenyum kembali pada mereka berdua. Ogi kembali menghampiri Fani.
Fani dan Ogi saling menatap sesaat lalu kemudian tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. Rasanya siang menjelang sore di tepi sungai Singapura itu memang terasa membahagiakan. Entah bagaimana caranya, yang jelas mereka merasakannya.
***
BERSAMBUNG
Image from www.fileguru.com/Free-Disney-Cartoons-Screensaver/screenshot

Selasa, 29 Juni 2010

Penghuni Apartemen Itu

  6 comments    
categories: 

Apartemen tempat mereka tinggal itu lebih pantas disebut rumah susun. Fani tak habis pikir mengapa di Jakarta apartemen menjadi sesuatu yang sangat bergengsi, sedangkan di Singapura ini sebagian besar rakyat menengah ke bawah justru tinggal di apartemen. Rumah adalah sesuatu yang luxury bagi warga Singapura. Hanya segelintir dari mereka yang berduit sangat banyak yang bisa membeli rumah. Mungkin karena ketersediaan lahan yang minim.
Apartemen mereka terdiri dari tiga kamar tidur yang ditempati bersama-sama dengan beberapa pelajar dan karyawan dari Malaysia dan Filipina, serta dua orang wanita paruh baya warga negara Singapura.
Ogi menempati kamar utama yang berukuran paling besar bersama tiga orang pegawai laki-laki. Dua di antaranya adalah pelajar yang tengah praktek kerja seperti dirinya. Alex Tan pelajar dari Malaysia dan Hendrik Villanueva dari Filipina. Seorang lagi adalah seorang pria usia tiga puluhan bernama Stephen Low, sous chef hotel yang berwarganegara Malaysia seperti Alex Tan.
Fani menempati kamar lainnya yang lebih kecil bersama dua orang karyawan wanita keturunan India usia paruh baya itu. Mereka berdua bekerja sebagai telephone operator di hotel. Nama mereka Karin dan Shanti.
Lana sendiri menempati kamar lainnya dengan dua orang pelajar dari Malaysia. Sally Wu yang keturunan Cina dan Amira yang keturunan Melayu. Lana sebenarnya ingin sekamar dengan Fani, namun mereka tidak bisa memilih, karena mereka datang paling terakhir di apartemen itu.
Fani sendiri hanya bisa pasrah ketika mengetahui dirinya akan berada satu kamar dengan dua orang ibu-ibu selama enam bulan. Fani hanya berharap semoga mereka tidak bawel seperti Maminya atau paling tidak mereka akan lebih perhatian dengan kerapihan dan kebersihan kamar, sehingga Fani akan aman dari tugas bersih-bersih itu. Itu harapan Fani, entah nanti kenyataannya.
Lana sempat ciut ketika tahu dirinya harus satu kamar dengan dua gadis cantik seusianya. Mereka tampak sangat percaya diri dan sedikit mengintimidasi. Senioritas mereka berdua langsung tampak begitu Lana masuk ke dalam kamar itu untuk pertama kalinya. Mereka tengah asyik ngobrol di depan jendela kamar ketika kemudian mereka mendadak diam dan menatap Lana dengan seksama tanpa ekspresi. Entahlah, Lana merasa mereka seperti memusuhinya.
Ogi lain lagi. Dia harus bisa menerima kenyataan kalau dalam kamarnya itu dia bukan siap-siapa. Jelas-jelas Stephen adalah orang yang dituakan di apartemen itu. Stephen sendiri sudah ditunjuk oleh pihak hotel sebagai penanggungjawab apartemen dengan seluruh penghuninya itu. Alex Tan dan Hendrik jelas-jelas tidak minat untuk berakrab-akrab dengan dirinya. Entah nanti.
“Lan, temen sekamar lo jutek-jutek amat ya?” kata Fani kepada Lana di meja makan dengan suara biasa. Fani tidak takut mereka akan mengerti, karena toh Fani berbicara dengan bahasa Indonesia.
Lana meringis sambil menyeruput teh hangatnya. Dia mengangguk sambil mengerdarkan pandangannya sebelum menjawab pertanyaan Fani.
“Lo tau gak, udah dua hari kita di sini, mereka belum ada ngomong sepatah kata pun sama gue. Tadi pagi gue lupa naroh handuk ke jemuran di luar, si Sally bohay itu cuma nunjuk ke arah handuk gue pake muka judesnya itu. Trus yang namanya Amira itu..alamaaak, judulnya aja kita serumpun sama dia, sama aja juteknya. Amit-amiiit…” Lana mencurahkan uneg-unegnya kepada Fani.
Fani tersenyum geli melihat Lana begitu menderita. Dia belum tau penderitaan gue, kata Fani dalam hati. Dua malam dia harus rela tidur sebelum mengantuk karena kedua wanita India itu harus masuk kerja pukul lima pagi dan tidur lebih awal. Lampu kamar harus mati begitu mereka berangkat tidur. Kalau Fani mau ke kamar mandi atau ke luar kamar, dia harus melakukannya dengan sepelan mungkin. Jangan sampai membangunkan mereka. Itu sudah diwanti-wanti kepada Fani oleh dua orang wanita itu sejak malam pertama. Mereka sama sekali tidak mau terganggu dengan jam kerja Fani yang berbeda.
“Besok lo masuk apa?” tanya Fani lagi.
“Masuk siang, jam sebelas,” jawab Lana malas.
“Gue off, Ogi juga off…Rencananya gue mau jalan aja deh keluar rumah. Daripada suntuk di sini,” kata Fani lagi.
“Huaaaa…enak bangeeet! Tungguin gue dong, jam tiga juga udah kelar. Please…,” pinta Lana memelas.
Fani tertawa melihat Lana yang begitu menderita.
“No way! Kalau mau, abis kerja lo nyusul kita aja. Paling cuma ke Orchard doang, duduk-duduk di pinggir jalan, depan Takashimaya. Atau kalau nggak di sana, paling gue ada di Burger King. Gampang kan?” kata Fani lagi.
“Males banget deh gue kerja besok, Fan. Apalagi lo sama Ogi udah dapet off duluan,” kata Lana tambah memelas.
“Sabar dong, Lan. Bentar lagi juga lo dapet off,” kata Fani berusaha menghibur sahabatnya itu.
“Iyaaa, tapi nggak bareng sama lo!” kata Lana kesal.
“Udah takdir, Lan. Terima aja. Lagian emang kita beda departemen kan kerjanya. Jadi nggak mungkin nyocokin jadwal libur. Eh, tapi kalau kita bareng di satu outlet malah tambah runyam kalau mau libur bareng, tau! Pasti nanti suatu saat libur kita jatuhnya barengan. Tunggu aja deh!” ujar Fani.
Fani dan Ogi bertugas di bagian Food and Beverage Departement. Itu artinya mereka bekerja di restoran-restoran milik hotel. Hotel itu sendiri memiliki empat buah restoran. Chinese restaurant, Italian restaurant, Coffee Shop dan Lounge Bar. Fani sendiri bulan ini kedapatan bertugas di Coffee Shop hotel, sedangkan Ogi mendapat tempat pertama di Lounge Bar. Jadwal kerja mereka minggu ini masuk malam, mulai jam tiga sore dan harusnya berakhir jam sebelas malam. Tapi pada kenyataannya mereka sering pulang di atas jam satu pagi. Fani bersyukur dia bisa bertugas bersama-sama Ogi untuk hari-hari pertamanya di sana. Paling tidak, dia punya teman makan siang di cafetaria karyawan. Fani membayangkan betapa suntuknya Lana harus makan malam di Cafetaria itu sendiri tanpa ada seorang pun yang dikenalnya.
Lana sendiri bertugas di Rooms Division. Dia mendapat tempat tugas pertama sebagai Telephone Operator. Baru dua hari bekerja, Lana sudah melakukan kesalahan fatal dua kali. Yang pertama ketika dia lupa mencatat nama tamu yang meninggalkan pesan melalui telpon. Dan kesalahan ke dua ketika dia lupa input jam untuk membangunkan tamu sesuai dengan permintaannya untuk mendapatkan wake-up call. Benar-benar tragis. Lana sendiri sebenarnya bukan tidak mengerti apa dan bagaimana tugasnya. Semua teori sudah dikuasainya di kampus. Bahkan untuk pelajaran Rooms Management Lana mendapatkan nilai tertinggi. Tapi Lana harus bisa menerima kenyataan, ternyata teori yang dipelajarinya selama satu semester kemarin itu adalah kondisi ideal. Kondisi nyata di lapangan ternyata sangat jauh berbeda. Mungkin itulah sebabnya sekolah-sekolah perhotelan memasukkan praktek kerja sebagai salah satu syarat kelulusan. Tentu saja, pikir Lana dalam hati.
Fani sendiri bukannya bebas dari kesalahan sejak hari pertama. Karena masih baru, Fani ditugaskan di bagian belakang, merapihkan segala peralatan makan dan menyusunnya di tiap station. Belum-belum dia sudah memecahkan satu buah goblet di hari pertama, karena gugup ketika seorang tamu menghentikannya dan menanyakan menu padanya. Fani gugup karena supervisornya sudah berpesan, kalau ada tamu yang bertanya padanya hari itu, sebaiknya dia langsung mendatangi supervisor itu. Hari ke dua, ketika seorang tamu Jepang meminta teh dan mengatakan ‘ocha’ padanya dan Fani tidak mengerti sama sekali. Fani mendiamkannya saja, sampai akhirnya si Jepang itu mengajukan komplain ke supervisor Fani. Duh, bener-bener nggak enak jadi bawahan, keluh Fani.
Ogi lain lagi. Hari pertama dia langsung berhadapan dengan tamu di Lounge yang ramai itu. Beberapa tamu secara serentak memesan minuman dengan nama-nama yang masih asing di telinga Ogi. Walhasil, Ogi keteteran dan lupa beberapa pesanan tamu. Komplain berdatangan di hari pertama. Pada hari ke dua, sial pun masih mendatanginya ketika dia menumpahkan secangkir kopi di atas meja seorang tamu di lounge itu dan mengenai baju sang tamu. Masih bagus, tamu itu sempat menghindar, sehingga hanya sedikit bagian celananya saja yang terkena noda kopi. Ogi tidak berani membayangkan seandainya tamu itu tidak menghindar, bisa-bisa dia langsung dipulangkan ke Jakarta saat itu juga dengan tuduhan berusaha mencelakai tamu dengan menumpahkan kopi panas ke arah tamu.
“Ini baru dua hari, Lan…” ucap Fani pelan seperti pada dirinya sendiri.
Lana menganggukkan kepalanya perlahan.
“Tapi kalau kakak-kakak kelas kita bisa melewatinya, berarti kita juga bisa, Fan…,” kata Lana berusaha menyemangati Fani dan dirinya sendiri.
“Kamu benar! Semangat!” kata Fani tiba-tiba sambil berdiri dari duduknya dan mengepalkan tangannya ke udara.
“Gila!” Lana memaki kesal karena terkejut dengan ulah Fani itu.
***
BERSAMBUNG
image from http://www.disneyfrontier.com/2007/09/12/disney-character-of-the-day-gadget/

Sabtu, 19 Juni 2010

Am I A Good Mom?

  2 comments    
Psst...ini hanya antara kita aja ya...Jangan dibawa-bawa keluar dari sini, please!
Khusus buat para mommy out there, pernah ngerasa gak kalo kamu tuh bukan ibu yang baik buat anak-anak? Kok gw sering gitu ya?
Pas anak sakit, ngerasa kalo gw tuh gak becus banget ngurusin mereka. Gak bener ngasih makannya. Gak bisa jaga kebersihannya. Gak merhatiin gizinya. Dan lain-lain...Dan lain-lain...
Pas anak nilainya gak bagus di sekolah, ngerasa kalo gw tuh gak bisa ngajarin anak di rumah. Gak bener ngatur jadwalnya. Gak bisa membujuk anak supaya senang belajar. Dan lain-lain...Dan lain-lain...
Suka nelongso sendiri gak sih kalo udah gitu? Kok gw iya ya? Gw suka mikir sendiri, kalau Tuhan ngasih gw anak untuk dididik dan dibesarkan, kan berarti Dia nganggep gw mampu untuk melakukannya? Bukannya kita nggak akan diberikan sesuatu yang di luar batas kemampuan kita? Ya kan? Tapi kenapa ya, dealing with kids, seringnya gw ngerasa bego banget! Terutama ya itu tadi, pas anak sakit sama pas anak lagi males belajar. Huhuhuueee....
Mikir-mikir sendiri, jadi inget sama sebuah ucapan (lupa dari siapa). Katanya, anak itu sebenarnya adalah ujian untuk para orang tuanya. Tadinya gw gak mudeng-mudeng amat, ujian gimana? Lha wong, girangnya setengah mati pas dikaruniai anak sama Yang Di Atas sana. Rasanya sih kebanyakan kita akan menganggap anak adalah anugerah dan rizki yang tak terhingga. Ya kan? Gw juga ngerasanya gitu. Tapi setelah gw pikir-pikir lagi, ternyata emang bener kalimat itu kayaknya.
Anak itu adalah ujian. Ujian bagi orang tuanya untuk menunjukkan kemampuannya menjaga titipanNya. Ujian pembuktian diri sampai sejauh mana kita bisa menghadapi tantangan. Dan yang paling berasa nih, ujian untuk menjadi manusia yang lebih sabar, toleran, penuh pengertian dan kasih sayang.
Jadi seorang ibu itu nggak gampang. Semua orang tahu itu. Bahkan para suami, dengan maksud mungkin untuk membujuk-bujuk para istri supaya gak mogok ngurusin anak, juga mengakui hal itu. Hehehe...Maaf ya para suami, gw cuma becanda. Yang pasti nih, kaum lelaki juga pasti mengakui kalau menjadi seorang Ibu itu bukan perkara mudah dan sederhana. Gak akan ada yang sanggup menggantikan peran seorang Ibu dalam sebuah rumah tangga. Dan laki-laki, kalau gw perhatiin, memang akan selalu mengagumi sosok seorang Ibu, terutama Ibunya sendiri. Ya iya dong! Masa ya iyalah? ^_^
Ini nggak bisa dipungkiri juga karena seorang anak itu, terutama laki-laki, akan selalu mencari sosok yang bisa melindunginya setiap saat. Umumnya kan Ibu yang selalu ada di samping anak mereka. Ayah sudah sibuk kerja cari nafkah di luar. Sampai rumah udah capek, plis dong Mah, kamu ngerti dikit, gitu kata si Ayah. Iya deeeh, kamunya capek cari uang. Kalo gitu kamu mau gak tuker tempat sama aku? Aku yang cari uang, trus kamu yang jaga anak-anak di rumah?
Wahahahaaaa...bisa dipastikan si Ayah akan menggeleng keras dan ngelooyor. Takut diuber. Wwkwkwkwk...Maaf lagi ya, para Ayah. Ini bukan mengecilkan peran sebagai Ayah lho. Gw cuma mau memberikan gambaran, betapa 'riwehnya' menjadi seorang Ibu. Gak usah dibahas dari keribetan mengurus keperluan ini itu dan tetek bengek anak-anak. Itu mah teknis. Tapi gw lebih concern ke masalah perasaan ini. Ya itu, balik lagi ke awal...Kenapa ya suka ngerasa kalo gw ini bukan Ibu yang baik buat anak-anak? Terutama pada saat mereka sakit?
Ah ya, walaupun sampai sekarang gw belum juga bisa menemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan ini, gw tetep gak mau gara-gara ini gw jadi manyun and putus asa. Hey. life goes on! Kids will grow up, with or without you. Selama gw masih ada di dekat mereka, mendingan gw pastikan aja kalau mereka mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik bisa gw kasih ke mereka. Masalah gw minder karena ngerasa belum cukup baik untuk mereka? Ya biar deh perasaan gw ini jadi pemicu untuk terus belajar jadi Ibu yang terbaik menurut standard gw sendiri.

PS : Dalam rangka belajar ngoceh kaya si Indah. Wkwkwkwk...kayanya gatot neh!

Ini Tentang Fani

  5 comments    
categories: 



"Faniiii! Ini terakhir kalinya ya Mami bangunin kamu! Kalau sampai belum bangun juga, Mami ke atas nyiram kamu pake aer seember nih!" suara penuh ancaman itu lumayan ampuh.
Fani menggeliat sambil keningnya berkerut kesal. Doooh, kenapa juga sih tiap pagi harus begini terus? Salah gue ya kalau gue belum juga dapet kerjaan? Salah gue ya kalau gue cuma pengen nikmatin tidur gue? Salah gue ya kalau gue masih pengen mimpi tentang dia pagi ini? Fani ngedumel dalam hati sambil melipat selimutnya dan berjalan ke arah jendela kamarnya.
Dibukanya gorden kuning yang menutupi jendelanya. Pintu kamar menuju balkon tidak terkunci. Fani membuka pintu dan duduk di balkon itu sambil menatap ke luar kamar. Taman Mami di samping garasi terlihat segar, habis disiram oleh Mami seperti biasa. Mobil Papi sudah tidak ada di garasi. Dilihatnya Mbak Inah sedang sibuk menyapu garasi dari guguran daun pohon jambu air di taman Mami.
Fani duduk di kursi kecil yang ada di balkon itu. Ia merenggangkan tubuhnya sebentar sambil menguap dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Benar-benar pose yang tidak indah untuk dilihat. Fani sadar sekali itu. Tapi dia tidak peduli, kemalasannya memang sudah mencapai titik puncak seminggu belakangan ini.
Lima bulan jadi pengangguran. Bayangkan! Lima bulan! Dan yang paling parah lagi, lima bulan tanpa bertemu dengannya. Iya, dia.. Dia yang selalu datang dalam mimpi-mimpi aneh Fani selama beberapa bulan ini. Dia yang selalu menyamar sebagai Richard Gere dalam film Pretty Woman versi mimpinya itu. Uuuh, ke mana sih tuh orang? Katanya mau datang ke Indonesia lagi? Katanya mau ada kejutan besar buat gue? Katanya dia masih suka sama gue? Katanya...Katanya...Kata siapa, ya? Fani ribet sendiri akhirnya.
"Faniiii!" kembali terdengar teriakan Mami dari bawah.
"Udah bangun kaleee!" balas Fani dongkol.
"Ooh, ya bagus deh!" suara Mami terdengar lebih kalem sekarang.
Hufff...Fani menghembuskan nafasnya kesal. Benar-benar hidup yang tidak berguna. Setiap hari kerjaannya cuma bangun siang, mandi telat, selancaran di internet, kecemplung di Facebook dan Kaskus, main-main game nggak jelas, baru terakhir cari-cari lowongan kerja dan mengirim lamaran via e-mail. Fani malas kalau dia harus mengirim lamarannya lewat kantor pos. Itu artinya dia harus mandi cepat, dandan sedikit, sarapan atau makan untuk mengisi perut lalu keluar rumah menantang panas terik Jakarta hanya untuk menyerahkan nasib lamarannya ke tangan Pak Pos yang baik budi dan sangat berjasa bagi orang yang sedang mencari pekerjaan seperti dirinya.
Aaargh...bahkan untuk mengisi perutnya pun Fani sudah masuk ke tahap malas-malasan. Mau turun tangga ke ruang makan itu sekarang sudah menjadi kemalasan edisi teranyar Fani dan kekesalan edisi terbaru Mami.
"Mau makan aja mesti disuruh dulu! Heran, males kok disayang-sayang kayak gitu!" omel Mami seminggu yang lalu.
"Duh, Mamiii...Ntar kalau aku udah hampir pingsan gara-gara kelaperan juga aku makan. Kenapa siiih? Ribet banget? Masih bagus aku ada di rumah, nggak kelayapan. Kalo aku kelayapan, kan Mami tambah pusing! Udah deeh...," Fani berusaha membela harga dirinya yang memang sudah jelas-jelas terstempel kata 'malas' di keningnya itu.
Lagi ada di mana ya dia? Masih di Jepang atau sudah ada di Jakarta? Kali ini Fani menerawang sambil menyenderkan kepalanya di senderan kursi. Diluruskannya kaki sambil memejamkan matanya kembali. Matahari sudah mulai terik jam sepuluh pagi itu. Sempat terbersit niat untuk mengambil sunglass di meja riasnya untuk menambah kenyamanannya bermalas-malasan di balkon kamarnya itu. Tapi urung dilakukannya karena takut orang-orang yang lewat di depan rumahnya akan melihat ke arahnya dengan aneh. Yang lebih dikhawatirkannya sebenarnya, dia takut kalau jatuh tertidur lagi kalau sampai matanya mendapat kenyamanan dari sunglass-nya itu. Bisa-bisa Mami pingsan histeris mendapati putri sulungnya itu tidur kembali dengan pose yang 'nggak banget' dan di balkon pula! Hihihi...Fani meringis sendiri membayangkannya.
Sampai di mana tadi? Oh, ya..dia...Kenapa ya dia nggak telpon-telpon aku? Kenapa ya dia nggak kirim e-mail ke aku? Nggak nanya gimana kabarku? Nggak ngasih kabar tentang dia? Fani masih sibuk dengan pikirannya tentang si dia.
"Faaan...kamu nggak ke mana-mana kan hari ini?" teriakan Mami kembali terdengar membuyarkan pikirannya kembali.
"Nggaklaaah...emang mau ke mana aku? Duit nggak punya gini...," jawab Fani dongkol.
Lima bulan tanpa memegang uang sendiri benar-benar tragis. Setelah setahun lebih sempat mengecap senangnya menghambur-hamburkan uang gajinya untuk segala kesenangan egoisnya selama ini, Fani kembali harus menerima kenyataan pahir sebagai pengangguran yang mengalami defisit berat. Mengandalkan pemberian dari Mami, Papi dan Fia, adiknya yang punya karir cemerlang itu, sebenarnya tidak meruntuhkan harga dirinya. Hanya saja, mereka suka lupa kalau di rumah ini ada satu orang yang perlu disuplai kembali setelah berhenti dari pekerjaannya itu.
Mami masih saja kesal kalau membahas hal ini.
"Kenapa sih kamu pake berhenti kerja segala?" tanya Mami tidak mengerti.
"Mami, aku cuma pengen nolong temen. Itu aja," jawabnya singkat.
"Nolong temen kan bisa pakai cara lain. Belum lagi teman yang seperti apa sih yang kamu tolong? Yang hamil di luar nikah? Yang nggak berani mengakui kesalahannya?" cecar Mami lagi.
"Mami, cukup deh! Ini keputusanku sendiri. Tolong dong Mami hargai. Aku kan udah gede, walaupun aku masih numpang hidup sama Mami dan Papi. Tapi aku punya pertimbangan sendiri. Onis itu sahabatku. Biar begitu-begitu, dia itu baik, Mi!" Fani berusaha membela sahabatnya itu.
Onis. Apa kabar ya dia sekarang? Sudah lebih sebulan dia tidak menghubungi Fani. Terakhir mereka bertemu saat Onis datang ke rumahnya sambil mengabarkan kalau dia sudah berhenti kerja dan sekarang membuka usaha toko pakaian anak di Depok. Kalau dihitung-hitung, mungkin sekarang kehamilannya sudah masuk usia tujuh bulan.
Tiba Fani kangen ingin bercakap-cakap dengan si 'gila' yang sudah tidak gila lagi itu. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya kembali untuk mengambil handphone-nya. Dilihatnya sebuah pesan singkat masuk.
Fani duduk di sisi tempat tidurnya sambil membuka pesan itu. Dari nomor tidak dikenal.
'Fan, apa kabar? Ini gw ogi...Gw lg di jkt nih. ketemuan yok?'
Bunyi pesan singkat yang singkat itu cukup untuk membuat Fani bengong menatap layar handphone-nya itu.
Ogi? Ogi mana ya? Kok rasa-rasanya seperti pernah dengar? Fani sedang berusaha mengelak dari kenyataan kalau sebenarnya nama itu selalu diingatnya. Bagaimana mungkin aku lupa sama dia? Biarpun sudah dua tahun berlalu tanpa kabar berita, tapi bukan berarti Fani bisa begitu saja melupakan cerita tentang mereka berdua. Ogi itu...
Mmmm...Fani menghempaskan badannya ke tempat tidur dengan gelisah. Antara menyesal dan senang mengingat kenyataan akan kekuatan Facebook menemukan jalinan cerita lama seseorang. Ogi pasti menemukannya lewat Facebook. Fani yakin sekali itu. Bukankah semua teman-teman kuliahnya adalah juga teman-teman Ogi? Dan bukannya Fani tidak tahu atau belum menemukan profilnya di Facebook itu. Sudah lama Fani menemukan Ogi di sana. Sebuah foto profil yang menyesakkan dada cukup membuat Fani mengurungkan niatnya untuk klik tulisan 'add as a friend' di samping foto itu.
Ogi tampak bahagia dengan seorang perempuan bergaun pengantin putih dan senyum yang sangat...sangat...Ah, tahu sendirilah bagaimana lebarnya senyum sepasang pengantin di hari bahagia mereka. Fani kembali menghela nafasnya dan memejamkan mata. Mendadak kantuk yang dahsyat kembali menyerang. Fani tidak peduli. Lebih baik dia tidur lagi untuk melupakan pesan singkat itu untuk sesaat.

BERSAMBUNG (kapan-kapan mood aja... ^^b)

image from http://vanessaleighsblog.files.wordpress.com/2009/04/disney_pluto.jpg