Selasa, 14 Desember 2010

Kicau Caur

  5 comments    
categories: ,

Pagi ini gw dapat sebuah pelajaran baru sehubungan kebiasaan gw yang suka ceplas-ceplos gak pake mikir. Duh, untung orangnya gak marah. Hiks...jadi mau malu mambu deh...oaaaa!!

Berawal dari sebuah twit yang nongol di TL gw. Isinya promo sebuah cerita pendek dengan judul Merah. Karena baru semalam gw baca sebuah cerpen dengan judul yang sama dan ditulis oleh temen sendiri, Vira Cla, gw langsung berasumsi itu memang cerpen dia yang dimuat di blog yang dimaksud.

Meluncur, dan benar. Itu memang cerita yang sama seperti yang gw baca semalam. Tapi kok, tapi kok, nama penulisnya beda? Waduh? Nggak tau kenapa yang kepikiran saat itu juga ada yang copas tulisannya Vira nih!

Gw langsung kontak Vira via FB untuk nanya, itu sebenernya cerpen punya siapa. Karena emang plek-plekan asli sama semua. Gak lama kemudian gw liat di TL Vira nanya ke moderatornya blog itu, sambil sedikit marah. Wajar aja, itu cerita punya dia, kok diatasnamakan orang lain. Merasa kesetiakawanan gw terpanggil, gw ikutan nge-reply twit si Vira yang di dalamnya juga ada nama si penulis yang namanya tercantum di blog itu.

Berikut isi kicauan gw:

@veecla @jemarimenari @jejakubikel yap! aku baca di note kamu vir..gila, copas gak pake ampun...ckckckckck

Twitt si penulis itu @jemarimenari. Gak lama kemudian @jemarimenari reply:

Ehbuset apa nih? Momod! RT @fadhilsafina: @veecla jemarimenari @jejakubikel yap! aku baca di note kamu vir..gila, copas gak pake ampun...

Lalu, lalu..si momod @jejakubikel menulis ini:

@jemarimenari @fadhilsafina @veecla @jejakubikel salah Nulis nama penulisnya aja.. :)

Eaaaa!!!! Dong dong tuing gak tuh? Walaupun gw sempet juga teriak ke si momod itu dan bilang:

@jejakubikel @veecla @jemarimenari astagaaa....fataaal...maaf juga ya buat @jemarimenari :)

Kesalahan seperti itu kan emang fatal banget di dunia tulis-menulis. Cuma masalahnya adalah gw langsung nuduh @jemarimenari udah copas tulisannya Vira (@veecla). Bukannya periksa-periksa dulu ada apa gerangan yang terjadi. Hiks! Merasa nggak enak banget sama @jemarimenari, gw merasa harus bikin twitt sendiri untuk minta maaf secara langsung ke orangnya:

@jemarimenari sekali lagi minta maaf karena udah esmosi, soalnya sesek napas aja kalo liat tulisan kita tapi diatasnamakan org lain...piss?

Dan si @jemarimenari yang manis dan lagi cantik juga tidak sombong itu (hahahaha, gw usaha banget nih biar beliau memaafkan gw luar dalam, sumpah nyesel!) pun membalas dengan santainya:

@fadhilsafina iya gpp, santaai hehe. Lain kali ditanya dulu aja, kdg2 ada org yg emosian, bisa ngamuk kalo tembak langsung gitu ((:

Ahak, ahak, ahak...aku tertohok! Eh, harusnya ohok, ohok, ohok. Uaaaa, dia bener banget! Untung ketemunya sama @jemarimenari yang santai, kalau pas yang gw ceplosin plagiat itu orangnya sangar dan pas lagi PMS? Mendingan gw matiin aja deh akun twitter gw. Huhuhuuu, tatuuuut....

Trus gw bilang ke dia:

@jemarimenari iiih bener banget...gw rasa gara2 gw belum mandi nih jadi mikirnya langsung negatif aja.. #carikambingitem hiks

Nyahahahaaa, dan @jemarimenari pun tertawa. Hahahaa, lega hatikuuu...

So, the lesson for today :
1. Jangan twitteran sebelum mandi dan gosok gigi.
2. Liat-liat dulu sebelum berkicau, apalagi nuduh.
3. Minta maaf secara langsung, kalau perlu bikin postingan khusus kayak gini di blog lo biar lo dimaafin dengan sempurna.
4. Minum aer putih yang banyak, biar tengsinnya cepet ilang pas sekalian beser. Sumpah, masih berasa banget nih malunya!

Kalo Indra Herlambang bilang Twitter itu Kicau Kacau, maka yang terjadi sama gw tadi pagi adalah Kicau Caur. Ampuun dijeeeh, gak lagi-lagi dah!

(Image from www.foolzparadize.org)

Sabtu, 13 November 2010

Pengalaman Menulisku: Spongebob Guru Kreatifitasku (#6)

  1 comment    
categories: ,

“Are ‘ya ready, kids?”

“Ay ay, captain!”

“I can’t hear you!”

“AY AY, CAPTAIN!”

“Ooo, who lives in the pineapple under the sea?”

“Spongebob Squarepants!”

Sepenggal lirik lagu di atas tentu sudah sangat akrab bagi para anak-anak dan orang tua yang masih memiliki anak usia balita seperti saya. Saya sendiri, walaupun usia sudah tak terbilang imut, sangat menyukai film seri animasi tersebut.

Bercerita tentang sebuah (seorang?) sponge berwarna kuning dan bercelana kotak yang bernama Spongebob Squarepants. Tinggal dalam sebuah nanas di dasar laut. Bekerja sebagai juru masak di restoran milik Tuan Krab dan memiliki sahabat yang ‘lemot’ yaitu seekor bintang laut berwarna pink, Patrick.

Ah, rasanya akan panjang kalau saya ceritakan sejarah hidup Spongebob di sini. Lagipula bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya ingin berbagi sebuah ‘lightning strike’ yang tiba-tiba saja menyambar saya saat saya sedang menemani anak-anak saya menonton film seri tersebut.

Begitu seringnya saya menonton, saya sampai hampir hafal dengan semua kisah dalam tiap episode-nya. Tema yang paling sering diangkat dalam tiap episode film Spongebob itu antara lain adalah kisah Mr. Plankton, saingan bisnis Mr. Krab, yang selalu penasaran ingin mencuri resep rahasia Krabby Patty, menu andalan di restoran tempat Spongebob bekerja.

Di satu episode dikisahkan Mr. Krab memerintahkan Spongebob untuk menjadi mata-mata. Menyelidiki apa rencana terbaru Mr. Plankton untuk merebut resep rahasia miliknya. Maklum, Mr. Krab terkenal sangat paranoid dan juga pelit. Wkwkwkwk…

Lalu di episode lainnya diceritakan bagaimana Mr. Plankton berusaha membujuk Spongebob untuk pindah bekerja di restorannya Chum Bucket agar ia dapat mengorek rahasia Krabby Patty lebih mudah.

Kemudian ada juga satu episode yang menceritakan bagaimana Mr. Plankton yang sudah putus asa masuk menerobos ke dalam restoran Mr. Krab untuk merebut sebuah Krabby Patty. Krabby patty itu akan diteliti di lab miliknya untuk ditemukan apa resep rahasia yang terkandung di dalamnya.

Saya tak habis pikir, bagaimana kreatifnya para penulis kisah Spongebob dan kawan-kawannya ini. Hanya berangkat dari satu ide, bisa bermunculan beragam kisah yang menarik dan juga lucu. Dari sana saya berkesimpulan, ide untuk membuat sebuah cerita tak harus kompleks atau banyak. Yang paling penting adalah bagaimana mengolah sebuah ide sederhana menjadi sebuah cerita menarik yang penuh intrik dan mengundang rasa penasaran.

Saya jadi mencoba mengingat-ingat tahapan-tahapan menulis sebuah cerita yang selama ini saya jalani. Seringkali pada saat saya ingin memulai menulis sebuah kisah, ide adalah yang paling membuat tersendat. Awalnya ide yang saya punya sangat sederhana, lalu langsung saja saya berpikir, “Ah, simple banget sih? Basi…”. Lalu akhirnya saya harus berpikir ulang untuk menulis cerita berdasarkan ide ‘basi’ tersebut tanpa saya mencobanya mengolah terlebih dahulu. Lalu saya lanjutkan dengan mencari-cari lagi sebuah ide baru yang lebih ‘canggih’ menurut pemikiran saya. Ujung-ujungnya jadi ribet sendiri. Soalnya kapasitas otak saya jelas tidak seperti Dan Brown dengan Da Vinci Code-nya itu. Hehehe…ini namanya sotoy! Wkwkwkwk…

Spongebob menyadarkan saya hari ini. Sebuah ide tak harus brillian atau kompleks sehingga terdengar canggih dan bombastis. Pada akhirnya, sekeren apapun ide yang ingin kita tulis, kalau pada saat eksekusi menulis kisahnya tetap melempem, ya percuma saja. Lebih baik mengolah ide sederhana dengan jalan cerita yang dibuat semenarik mungkin. Kreatifitas dalam berpikir ditambah rajin mencari sumber atau bahasa kerennya riset nantinya yang akan membuat ide sederhana itu menjelma menjadi sebuah cerita menarik dan tidak sederhana.

Terima kasih untuk Spongebob. Hari ini saya tahu, ide sesederhana apapun itu bisa saya ‘mainkan’ dengan cerdik untuk menjadi sebuah kisah yang menarik. Dan sedikit tambahan, menurut saya pribadi, kreatifitas bukanlah bakat melainkan ketrampilan yang dapat dilatih. Jadi jangan malas melatih cara berpikir yang ‘out of the box’. Bisa karena biasa. Percaya deh!


image from www.ezthemes.ezthemes.com

Rabu, 10 November 2010

Oh, Om Bama... Aku Padamu Tadi Pagi...

  2 comments    
categories: 
"I'm not a fan, but I have to admit that he is one hell of a public speaker!" (My status on FB this morning)

Indeed, he is! Siapa lagi yang lagi aku bicarakan kalau bukan si Mr. President yang baru saja selesai berkunjung ke Indonesia dengan meninggalkan keruwetan-keruwetan di setelahnya. Tuan Presiden dari Amerika yang hanya hadir kurang dari 24 jam di ibukota tapi sempat bikin semua orang ribet, nggak cuma panitia istana tapi juga semua penduduk Jakarta. Hahahaa... Om Barry emang gak ada duanya, deh! Harus mengakui, kayanya.

Aku ingat pertama kali kenal sosoknya waktu nonton acara Oprah Show sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Saat itu Obama masih menjadi senator di parlemen Amerika. Oprah benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada laki-laki manis berkulit hitam ini. Senyum Jeng Oprah selalu terkembang sepanjang percakapan. Matanya tidak lepas-lepas menatap wajah ramah dan selalu dihiasi senyum itu. Aku sendiri waktu itu sempat merasa, mmm...lumayan muda ya untuk seorang senator. Secara selama ini suka lihat di tivi, senator itu kebanyakan kulit putih dan kepala botak. Wkwkwkwk....

Tapi begitu dia buka mulut dan bersuara, aku langsung seperti terhipnotis. Tidak sedetikpun aku bisa mengalihkan pandangan dan perhatian dari layar kaca waktu itu. Suaranya, intonasinya, gesturnya...semuanya bersatu membentuk sebuah image yang benar-benar membius perhatian. Sumpah, ini mah nggak lebay kayanya! Banyak juga yang mengakui hal ini. Ya kan? Ya kan? :)

Sebenarnya sebulan sebelum aku melihatnya di Oprah Show, aku sempat mendapat telepon dari adikku yang sedang menyelesaikan study-nya di Oklahoma, AS dan bercerita sekilas tentang Obama. Waktu itu adikku bilang, "Ada senator yang lagi naik daun di sini. Namanya Barrack Obama. Banyak yang curiga dia muslim, karena namanya dan latar belakang masa kecilnya yang dulu pernah tinggal di Indonesia." Waw, waw, waktu itu aku hanya bisa terkesima...Seorang senator Amerika pernah tinggal di Indonesia? Keren juga! Walaupun entah di mana ketak kekerenannya itu, tapi saat itu harus aku akui kalau sedikitnya nasionalisme-ku yang nyaris hilang agak terangkat karenanya. Somehow...hehehe...

Back to Oprah Show. Walaupun tak sempat banyak dikisahkan tentang masa kecilnya di Jakarta, namun paling tidak dari sana aku bisa mendapat sedikit pencerahan dari pandangan-pandangannya. Obama bukan sosok yang asal bicara dan tidak ada aksi. Waktu masih menjadi seorang pejabat daerah, ia tidak segan-segan untuk turun langsung melihat keadaan lingkungannya. Bagiku itu sebuah nilai yang positif dan mutlak untuk menjadi seorang pemimpin. Setelah sekian lamanya muak dan makin muak dengan tingkah-tingkah pejabat di sini yang sibuk memperkaya diri sendiri, sosoknya bisa menginspirasi banyak pihak.

Berjalan dengan waktu, akhirnya aku sempat melantik diriku sendiri sebagai salah satu pengagumnya. Buku-buku yang berbicara tentang dirinya aku beli. Termasuk buku yang ditulisnya tentang sang ayah. Sebenarnya untuk sebuah perjalanan hidup, kisah hidupnya tentu tidak terlalu istimewa. Tapi ya itu tadi, sebuah benang tipis bernama Menteng selama 4 tahun, memang bisa menjadi magnet yang kuat untuk menarik rasa ingin tahu kita. Aku bukan hanya tertarik lagi, tapi nempel! Hahahaa...

Ketika putaran PEMILU AS berlangsung, aku adalah salah satu dari sekian juta rakyat Indonesia yang ikut dag dig dug ser menonton dari tivi dan berdoa semoga dia yang maju dan bukan Hillary. Dan ketika akhirnya dia lolos mewakili Demokrat, aku juga termasuk yang bersyukur karenanya. Sekali lagi, entah apa hubungannya dengan diriku dan dengan negara ini. Hanya saja, magnet anak Menteng itu memang begitu kuat menarik perhatianku.

Aku ikut terharu-biru seperti Jeng Oprah yang juga menonton pidato penasbihannya sebagai Presiden saat ia memenangkan PEMILU itu pada akhirnya. Oh, come on..Oprah aja bisa lebay gitu, apalagi gw! Wkwkwkwk...

Namun seiring dengan perjalanan kepresidenannya kemudian, kekaguman itu perlahan surut sedikit demi sedikit. Aku tahu, berharap sesuatu dari terpilihnya dia sebagai Presiden adalah sesuatu yang amat sangat absurd. Hellooo...desye Presiden Amrik bukan Indonesia, gitu! Memang mau mengharapkan apa dari dia? Tapi Mamaku sempat melontarkan sebuah ucapan pengharapan saat ia terpilih waktu itu. "Mudah-mudahan ijin ke Amerika bisa lebih gampang setelah dia terpilih!" Aku mengamininya. Maklum saja, kami masih punya saudara dekat yang tinggal di sana. Beberapa kali Mamaku dan adikku pergi ke sana, memang sulit sekali untuk mendapatkan visa. Berharap agar pintu Amerika bisa terbuka lebih lebar untuk warga Indonesia agar bisa berkunjung ke sana, aku kira tidak terlalu absurd pada akhirnya.

Tapi kemudian, Obama adalah Obama, dan Presiden adalah Presiden. Dengan berbagai kepentingan dan taktik politik yang selalu harus dibawanya kemanapun dan apapaun langkah yang diambilnya. Ditambah aku bukanlah pengamat politik, apalagi sekelas politik Amerika. Sehingga pada akhirnya aku jadi sadar, tidak ada untungnya sedikitpun bagi rakyat Indonesia dia telah terpilih sebagai Presiden Amerika. Dan alangkah naifnya kalau memang kita sempat berharap akan ada perubahan itu untuk kita. Hahaha...siapa elu? Wkwkwkwk....

Jadi tinggallah Obama sebagai laki-laki kulit hitam yang manis dengan cara berbicara yang menarik hati dan pembawaan yang menghanyutkan. Itu saja sosok dia bagiku sekarang. Dinikmati saja sebatas mata memandang dari layar kaca. Sluurp...Wkwkwkwk...

Dan lagi-lagi pagi tadi aku kembali terhanyut mendengar buaian suaranya yang menggelitik dan intonasi suaranya yang tak pernah bisa membuatku bosan mendengarnya. Sepanjang kuliah umum yang diberikannya di UI tadi pagi, setiap kata yang meluncur dari mulutnya, semua kutangkap dan seolah menetap dalam telinga dan kepalaku. Kekuatannya yang satu ini tampaknya makin kuat. Ditambah lagi, entah mengapa aku merasa dia begitu tulus dalam menyampaikan pidatonya. Terutama saat dia berbicara tentang kenangan masa kecilnya di Jakarta. Semua keluar dari dalam hatinya. Ucapan yang keluar tanpa basa-basi dan kebohongan, untukku pribadi.

Dan sekali lagi, pagi tadi, aku kembali jatuh cinta padanya. Hanya kali ini, tidak separah yang pertama. Tak ada harapan-harapan, melainkan 'hanya' nilai-nilai positif yang bisa kuambil. Cara berbicara yang sangat membius perhatian dan gaya bicara yang sangat akrab dan intim. Tidak semua pemimpin dunia memilikinya, bahkan pemimpinku di negeri ini sekalipun. Yes, Mr. Obama...I'm not a fan anymore, but I have to admit that you are one hell of a public speaker! I guess our leaders should learn from you of how to speak through their hearts. Yiuuuk....

Minggu, 07 November 2010

Rubbish is Sampah

  5 comments    
categories: 

Rubbish is sampah. Begitu kira-kira terjemahan literaturnya. Akhir-akhir ini sampah lagi naik daun. Entah bagaimana caranya sampah bisa naik ke daun, yang jelas semua jadi bicara soal sampah atau bicara sampah.

Bicara soal sampah, ada event keren tadi di Istora. Judulnya Festival Green. Di sana terkumpul ide-ide dari seluruh dunia untuk menyelamatkan bumi dengan green campaign-nya. Kewl! Aku sendiri, jujur, masih minim banget berkontribusi dalam menyelamatkan bumi dari efek global warming itu. Hiks. Maaf ya. But for me, diapers are still crutial. Dan kantong plastik masih jadi tempat membuang sampah yang utama. Aku nggak tahu harus ganti kantong plastik pakai apa untuk buang sampah-sampah di rumahku. Kalau langsung dituang ke tempat sampah akan mengundang tikus dan binatang-binatang kotor lainnya. Any ideas, guys?

Tapi kalau pemakaian kertas aku udah mulai mengurangi. Nggak tahu kenapa, setiap mengambil satu helai kertas baru yang kosong yang terbayang ada satu pohon di hutan yang hilang. Kebayang waktu kemarin ngirim naskah ke lomba. 200 halaman kertas HVS dipakai untuk print naskah. Kayaknya penerbit-penerbit sekarang sudah saatnya untuk jangan males baca lewat e-mail deh. Kenapa harus hard copy kalau masih belum yakin juga untuk dicetak? Kalaupun akan dicetak jadi buku, toh prosesnya juga lewat komputer, bukan? Atau mau dong penerbit terima naskah yang di-print di kertas daur ulang. Yang belakangnya sudah terpakai. Bayangin aja, 200 kertas baru. Itu baru aku sendiri. Peserta lomba itu ada sekitar 300 orang. Hitung sendiri berapa lembar kertas baru yang dipakai. Sedangkan nantinya cuma akan ada lima naskah yang gol untuk dibukukan. Kemana sisa naskah yang tidak menang sebanyak 295 copy itu? Itu kertas-kertas...huaaa...ngilu.... :(

Aku bicara begini juga bukan berarti aku aktivis go-green atau semacamnya. Cuma kadang pengen juga bisa bebas dari segala plastik, kertas tissue, diapers secepatnya. Tapi suliiit...Kadang aku mikir, ini bukan salah aku sepenuhnya. Membela diri aja. Kemajuan jaman sudah menciptakan suatu kondisi tertentu yang membuat manusia jadi ketergantungan dengan benda-benda ciptaan pabrik yang tidak bisa di daur ulang. Memangnya jaman dulu aku pake diapers gitu? Nggak! Trus kenapa sekarang anak-anakku harus pakai? Itu dia...Kenapa? Dipakai karena ada. Coba nggak ada, mau makai diapers apa? Pasti tetap pakai popok kain seperti jaman dulu, kan? Jadi, bukan salahku sepenuhnya. Tapi salah si punya pabrik diapers. Hehehehe...Maaf, ini rada cetek emang. I know.. :P

Bicara soal sampah dan bicara sampah. Nah, ini beda! Waduh, sudah berapa minggu terakhir ini banyak banget aku ketemu tulisan-tulisan berisi curhat-curhat sampah di mana-mana. Mungkin ini juga termasuk curhat sampah. Ya, mau gimana? Seperti yang sudah aku bilang tadi, sampah lagi naik daun. Hihihihi...

Mulai dari orang-orang yang bicara nggak pakai hati. Pemimpin yang harusnya bisa menenangkan rakyatnya yang tengah ditimpa musibah dengan entengnya bisa bilang, musibah yang diterima rakyatnya itu resiko mereka sendiri. Dengan kata lain, ya hadapi aja, gak usah cengeng! Dude...Kemana hati lo?

Belum lagi curhat emosi cemburu seorang perempuan publik figur yang diumbar-umbar di ruang publik. Amat sangat tidak pantas, karena yang dia bicarakan adalah kekurangan suaminya sendiri, yang notabene juga publik figur. Duh, kemana mukamu, jeung?

Wah, belum juga dibersihin, sampah-sampah ini sudah bikin repot. Tapi intinya, lebih mudah membersihkan sampah yang sebenarnya dibandingkan membersihkan omongan sampah yang sudah kadung menyakiti hati orang lain. So, watch your tongue. Think before you speak. Put yourself in other's shoes, so you can have a reflection of what they're dealing. Berempati itu memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Hanya tinggal mengikutsertakan hati ke dalamnya, maka ia akan muncul dengan indahnya.
Selamat mengelola sampah anda. :)

(image from www.xdzombiez.edublogs.org)

Selasa, 12 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Ngeblog Ngurangin Goblog-ku (#5)

  6 comments    
categories: ,
Hahahahaaa...Maaf, dibuka dengan ngakak. Aku nggak tahan sendiri baca judulnya. Sengaja ditambah dengan 'ku' di akhir kata goblog, karena takut nanti ada blogger yang tersinggung. Wkwkwkwk....

Aku mulai lagi menyakiti otakku dengan flash back kapan pertama kalinya aku berkenalan dengan blog. Ya Tuhan, ini sungguh menyiksa... Sebentar, aku minum teh manis hangat dulu. Glek! Glek! Melihat dari postingan-postingan awal di blog ini, sepertinya memang tahun 2008 aku mulai kenal dengan si blog ini. Sebab blog ini juga blog pertamaku dan sampai saat ini masih kusayang-sayang. Darimana ya dulu tahu ada blog? Hmmm, sepertinya dari adikku juga. Iya, dia memang amat sangat bersahabat sekali dengan teknologi internet. Suatu hari dia bilang sedang blogwalking waktu kami sedang chatting. Blogwalking? Ya ampun, plis dong, apa lagi itu? Mungkin karena dia gemes sendiri dengan ke-goblog-an kakaknya ini, akhirnya dia hanya memberikan sebuah link blog ketrampilan untuk kulihat-lihat. Waaawwww! Dunia langsung terasa terbuka lebar!

Ternyata bisa ya curhat-curhat ala hobi lamaku nulis diary itu di internet? Wah, kereeen! Tidak pake lama, langsung bikin satu blog, dan inilah dia sampai sekarang. Walaupun tampilan awal sungguh menyedihkan, akibat nggak ngerti gimana masukin foto, nggak ngerti gimana mengubah warna huruf dan lain sebagainya. Tetap saja semangat itu berkobar-kobar. Adrenalin terpacu. Keringat menetes. Nafas memburu. Duh, ini lagi ngapain sih? Hahahaaa...pokoknya semangat banget deh waktu bikin blog ini. Girang setengah mati karena menemukan satu tempat buat menyimpan cerita-ceritaku. Khawatir dibaca orang? Jujur, aku malah berharap ada yang baca. Entah kenapa, mungkin karena dulu udah biasa ngibul di diary dan merasakan kepuasan kalau Mamaku percaya dengan tulisanku, maka begitu aku bisa menulis di tempat umum seperti blog ini aku jadi tambah semangat. Semangat buat ngibulin orang. Hihihihi...Nggaklah. Maksudnya aku semangat sekali memikirkan ada yang akan membaca tulisanku secara tidak sengaja kalau dia sedang blogwalking. Waaah, rasanya gimanaaa gitu. Seperti ada sensasi baru yang menggelitik dalam diriku ketika memikirkannya. Hahahh, lebay...

Awal-awal nge-blog memang mengasyikkan. Tenggelam dalam dunia kesendirian. Gimana nggak sendiri? Lah, kayanya ini blog dulu nggak ada yang baca kecuali aku sendiri deh. Wkwkwkwk...Karena aku nggak bisa terlalu lama bersepi-sunyi sendiri, akhirnya aku bosan main-main di blog. Walaupun baca-baca blog orang lain tetap aku lakukan. Aku suka sekali membaca. Selama itu tidak menyinggung SARA, politik dan hukum, mari sini aku baca tulisanmu. Apalagi kalau cerita-cerita fiksi. Wuaah, hobiii! Berhubung harga buku di toko buku mahalnya setengah ampun, baca-baca di blog jadi pilihan alternatif bacaan yang murah meriah dan menyenagkan bagiku.

Banyak membaca karya-karya orang lain ternyata tanpa disadari agak memberi pengaruh juga pada gaya menulisku, walau mungkin sedikit. Maaf, bukan sombong, cuma memang aku merasa ada sedikit progress-lah setelah beberapa lama aku mulai nge-blog. Nge-blog dalam hal ini adalah menulis di blog dan membaca blog orang ya.

Syukurlah, ada yang bisa kupetik dari pengalaman main-main di blog ini. Selain membuat kurang tidur dan pinggang sakit juga akibat kelamaan duduk di depan komputer. Tapi nggak apa-apa kok. Semua bisa diatur.

Besok aku mau cerita tentang beberapa blog yang menginspirasiku ya. Dan mohon maaf, jangan terlalu berharap lebih dengan pilihan-pilihan blog-ku. Blog yang menurut aku inspiratif dan keren, mungkin buat kalian tidak ada apa-apanya. Hahaha, biarin aja! Namanya juga selera. :P

Senin, 11 Oktober 2010

Biar Indie Bukan Berarti Asalan, Kan?

  No comments    
categories: 
Wow! Baru baca sebuah kabar gembira dan bikin 'iri' lagi. Dua teman blogger minggu lalu sudah menerbitkan bukunya pada sebuah event bertajuk “99 Writers in 9 Days”. Andi Gunawan dengan bukunya yang berjudul 'Kejutan' dan Vira Clasic dengan bukunya 'Lajang Jalang'. Walau terbaca sedikit rasa minder pada salah satu artikel Vira di Kompasiana karena dia menerbitkan buku melalui jalur indie, tak pelak saya harus acungkan jempol buat mereka.

Sebenarnya indie atau tidak, itu hanya masalah jalur saja. Sama seperti kita mengendarai mobil, mau lewat jalur cepat atau jalur lambat, itu pilihan kita. Pilihan yang berdasarkan tujuan dan belokan yang akan kita ambil di depan.

Sebuah pandangan sinis yang mengatakan jaman sekarang gampang sekali menerbitkan buku memang tidak bisa kita biarkan saja seperti angin lalu juga. Cuma sekarang kategori gampang itu dilihat dari sudut mana dulu. Gampang karena tidak melewati proses seleksi dari pihak penerbit, tentu saja. Kalau ada satu langkah sulit yang bisa dihindari untuk mencapai tujuan, kenapa tidak dilakukan? Semua berpulang pada prinsip ekonomi, melakukan sesedikit mungkin usaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Hahahaa...Saya suka sekali prinsip itu. Wkwkwkwk....Tapi coba bayangkan kerja keras yang juga harus dilalui oleh para penulis yang menerbitkan bukunya secara indie. Mulai dari memilah-milah naskah mana yang layak untuk diterbitkan saja dulu. Menilai tulisan sendiri bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab kejujuran pada diri sendiri sering dipertanyakan. APakah kita manusia narsis yang merasa karya kita sudah pantas dan layak, tanpa mau melihat keluar? Hahaha, bagi saya itu saja sudah merupakan sebuah perang bathin yang tak berkesudahan. Jujur pada diri sendiri itu sulit.

Lantas mengedit naskah sendiri. Itu kerepotan lain yang harus dilalui ketika kita memutuskan untuk menerbitkan buku secara mandiri. Ya Tuhan, pekerjaan itu sungguh menyebalkan, walaupun harus saya aku kalau editing adalah satu langkah penting yang tidak bisa dihapus dalam dunia tulis-menulis. Sering sekali kita menemukan kesalahan fatal yang pada awalnya tidak kita sadari. Belum lagi, ketika kita menyadari ternyata tulisan ini masih belum layak setelah dibaca beberapa kali. Belum layak menurut ukuran siapa? Ya tentu saja menurut ukuran kita sendiri. Bukankah kita berperan sebagai editor untuk tulisan kita? Kembali lagi ke langkah awal saat kita memilah-milah naskah, ukuran kelayakan itu sangat bergantung pada kejujuran kita dalam menilai diri sendiri dan tentu saja tak bisa lepas juga dari ilmu kita dalam dunia tulis-menulis. Sekali lagi, proses editing itu sungguh melelahkan. Salut untuk teman-teman yang berprofesi sebagai editor. Bukan gampang juga mengedit naskah yang bukan tulisan kita sendiri bukan? Bottomline, editing itu juga kerja keras yang harus dihadapi.

Selesai proses editing, bukan berarti selesai perjuangan sampai di sana. Setelah naskah terkirim, ternyata hey ternyata, si percetakan cuma mau terima beres termasuk urusan cover design. Oalaaah, apa lagi ini? Beruntung bagi mereka yang memiliki ketrampilan lebih di dunia fotografi atau design grafis. Tapi kalau tidak? Berharap memiliki teman yang berbaik hati bisa membantu bisa jadi satu pilihan. Seperti Andi Gunawan yang memakai cover hasil jepretan si Pungky, sahabatnya, di bukunya itu. Vira Clasic mungkin lebih beruntung dan lebih merasa percaya diri kalau melakukan semuanya sendiri, maka dia pun membuat sendiri cover bukunya dengan ilmu yang dimilikinya. Apapun itu, tetap urusan cover design menjadi kerja tambahan untuk penulis yang ingin menerbitkan bukunya secara indie.

Buku telah terbit? Jangan hore-hore dulu. Ingat, ini self published, tidak ada toko yang mau menjual kalau tidak kita sendiri yang datang menawarkan buku kita ke sana. Kalaupun ada toko buku yang bersedia menampung buku kita, rasanya percuma juga kalau tidak ada usaha marketing, minimal promosi dari mulut ke mulut atau via jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Untuk buku Vira dan Andi yang baru akan cetak kalau sudah ada permintaan alias print on demand, mungkin agak sedikit tenang. Mereka bisa cuap-cuap menjual bukunya melalui media apa saja, termasuk dari mulut ke mulut. Mengumpulkan pesanan sendiri lalu memesan langsung ke penerbit tersebut. Walau begitu, itu bukan perkara mudah.

Lantas kalau sudah begitu, masih bisa bilang menerbitkan buku itu mudah? Saya percaya kesuksesan tidak datang tanpa kerja keras. Menerbitkan buku baik secara indie ataupun melalui mainstream publisher, tetap ada kerja keras yang harus dilakukan tanpa putus asa. Masalah kualitas? Itu lain masalah. Saya tidak berani bicara sampai ke sana, karena saya bukan kritikus sastra.

Anyway, kesuksesan teman kadang bisa membuat kita iri. Saya suka dengan si iri itu. Karena dengan iri saya terpacu untuk berbuat lebih. Iri jangan lantas menjadi dengki sehingga kesinisan yang akan muncul seperti ucapan, "Jaman sekarang mudah banget bikin buku ... gak aneh itu ... di tiap daerah jg banyak .." Hohoho...Coba dialihkan energi sinis itu untuk berbuat yang lebih positif, seperti menghasilkan karya yang nyata seperti dua teman muda kita itu.

Selamat buat Andi Gunawan dan Vira Clasic atas diluncurkannya buku perdana kalian pada acara Indonesia Book Fair 2010 di Istora Senayan (8 Oktober 2010). Kalian adalah sedikit dari banyak anak muda Indonesia yang bicara lewat karya, sehingga segelintir yang hanya bisa berkoar jadi tak terdengar gaungnya.

Minggu, 10 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Modalku Untuk PD Menulis (#4)

  8 comments    
categories: ,
Maaf, rada terganggu nih postingan. Yang harusnya tiap hari masukin satu, kemarin jadi absen. Semua gara-gara SAMPAH! Wkwkwkwkwk...sudah..sudah yaa, nggak usah dibahas di sini. Di sini tidak menerima sampah.

Melanjutkan perjalanan menulisku. Ini sedikit curcol (lah, yang kemaren-kemaren emang bukan, ya?). Aku suka iriiii sama penulis-penulis muda seumuranku yang sudah bisa menerbitkan buku. Entah ya, biarpun katanya jaman sekarang nerbitin buku itu gampang, tapi tetap saja ada nilai lebihnya di mataku. Nerbitin buku gampang? Iya, self publish ternyata sudah ada yang gratisan! Wah, berita baru buatku. Setahun yang lalu sempat ngobrol sama beberapa teman yang suka menulis, mereka bilang kalau mau indie harus punya modal minimal 20 juta dan team marketing yang mumpuni. Waaah, begitu beratnyakah? Ah, nggak kuaaat!

Tapi sekarang ternyata lain. Tetap saja, buatku buku adalah buku. Sebuah bukti hasil tulis yang tercetak. Buatku pribadi, walaupun bisa menerbitkan buku sendiri, tetap harus milih-milih tulisan yang dianggap layak untuk dibaca orang lain. Belum lagi mengingat orang lain akan mengeluarkan uang untuk membacanya. Wuaaah, kebayang kan keselnya kalau kita beli buku mahal-mahal, ternyata isinya nggak bangeeet! Hahahaaa...gondok! Mau minta balikin duitnya sama si penulis, apa nggak diketawain? Paling dia cuma bilang : Sori sori sori jek! Wkwkwkwkwk...

Kembali ke rasa iri tadi. Ini adalah aspek penunjang untuk membuat rasa PD kita dalam menulis meningkat lho. Ceile! Teori siapa noh? Teori aku sendirilaaah! Hahahahaa...Setelah beberapa tahun menekuni tulis-menulis di ranah internet ini, aku menemukan ternyata suka saja tidak cukup. Harus ada cemeti yang memecut berlabel IRI. Plis, iri bukan dengki, lho! Iri itu ingin menjadi seperti (teori siapa lagi ini? ya masih teorikulaaah!). Kalau dengki itu cenderung jahat dan ingin orang yang didengkiin (kembali bahasa yang aneh) untuk jatuh atau celaka. Wadaww, aku belum sampai ke taraf itu sih jahatnya. Mudah-mudahan nggak pernah sampai ke sana. Amiiin....

Jadi tersebutlah seorang penulis novel. Kategori tulisannya aku masukin ke chicklit, karena menurutku tulisannya memang chicklit banget, walaupun beberapa resensi mengatakan dia adalah seorang sastrawati. Dia seumuran denganku. Dengan pengalaman yang nggak jauh-jauh beda denganku. Novelnya aku beli beberapa kali, berharap dapat sebuah kemajuan dari tulisan-tulisannya. Ukuran kemajuannya siapa yang bikin? Ya aku doong, kan aku yang baca. Wkwkwkwk...Tapi ternyata eh ternyata, kok dia ini kayak keasyikan narsis sendiri, kisah hidupnya dibuat novel dengan diganti nama tokohnya aja? Aaaah, aku jadi iriiii. Kalau cuma begitu aku juga bisa kayanya. Hahahaaa...sotoy!

Berbekal rasa jumawa itu, aku coba mulai-mulai menulis fiksi berdasarkan pengalaman pribadi. Eh, eh, eh...tidak mudah! Tidak sama sekali! Walaupun iya, awal, klimaks dan ending cerita sudah tahu. Karakter tokoh sudah jelas terbentuk dalam benak. Konflik sudah ada, tinggal dituliskan sedramatis mungkin. Tetap semuanya butuh proses. Nggak bisa ujug-ujug jadi novel kayak yang dia tulis. Hohohhooo...sotoy sih lo! Wkwkwkwk...

Akhirnya nggak jadi jumawa. Malah manggut-manggut paham. Ya ya ya, ternyata menerbitkan buku itu tidak mudah. Bahkan secara indie sekalipun. Tanggungjawab moral terhadap kepuasan bathin sendiri, itulah yang berbicara paling banyak. Sadar dong ah, siapa kamu? Baru nulis iseng-iseng aja selama tiga tahun, udah mikir mau bikin buku? Ehm, saya emak-emak sih, tapi cita-cita setinggi langit emang. Wkwkwkwk...boleh dong?

Kembali lagi ke tahap awal. Iri aja dulu. Sambil mengamati, belajar, banyak membaca. Pokoknya usaha terus. Ah, masa sih suatu saat nggak kesampaian itu cita-cita setinggi langit itu? Jangankan langit, bulan aja orang udah bisa sampai ke sana. Ya toh? Toh ya....

Intinya, jangan putus asalah. Wuahh, bukan aku banget kalau itu sih. Hihihihi...Oh, satu lagi modal tambahan untuk PD menulis ternyata NGGAK TAU MALU! Wkwkwkwk, teori siapa itu? Silahkan jawab sendiri...Aku jawab juga deh : ya teori akulaaah! Hahahahaa...Maksudnya nggak tahu malu itu bukan nggak tahu diri ya. Maksudnya jangan malu-malu menunjukkan hasil karya, dan jangan juga takut-takut kalau kena kritik pedas. Tulisan kalau nggak ada yang baca, ya bukan tulisan dong namanya. Cuma sekumpulan huruf terangkai menjadi kata dan kalimat yang teronggok di atas kertas atau dalam file komputer, bukan? Jadi, silahkan aja nggak tahu malu, publish tulisanmu di mana-mana. Resiko kena ejek dan hina pasti ada. Salah sendiri nggak tahu malu! Hahahaha...Nggak apa-apa...Bahkan katanya temanku, si Stephen Kings itu baru bisa menerbitkan bukunya setelah berpuluh-puluh naskah ditolak oleh penerbit. Sementara itu dia tetap menulis 1500 kata per hari. Luar biasa! Stephen Kings lho, weitjee...Keren deh lo! :)

Jadi hari ini membahas tentang seputar modal PD untuk menulisku dulu ya! Inga-inga :
*SUKA
*IRI
*NGGAK TAU MALU

Sip? Sip dong deh! :)

Peringatan keras : teori yang ada dalam tulisan ini belum terbukti keabsahannya. Apabila ada yang mengaplikasikannya dan ternyata gagal, saya tidak bertanggungjawab! Wkwkwkwk....

Sabtu, 09 Oktober 2010

Perjalanan Menulisku: Chatting Is Also Writing (#3)

  5 comments    
categories: ,
Melanjutkan kisah si orang tak terkenal ini. Coba-coba merangkai memori masa lalu tentang kejadian-kejadian dalam hidupku yang berhubungan dengan kesenangan menulisku. Mudah-mudahan otakku nggak nge-hang, soalnya flash back itu memang menyakitkan otak. Wkwkwkwk...males mikir.

Sepertinya setelah aku lulus kuliah dan mulai bekerja aku mulai bersahabat lagi dengan hobi lamaku itu. Bekerja sebagai resepsionis sebuah perusahaan asing ternyata banyak memberi waktu luang (terkadang). Ditambah lagi, kantorku sungguh sangat dermawan memberikan akses internet untuk resepsionisnya yang kurang kerjaan ini. Keberadaan komputer itu sebenarnya untuk menambah tugasku di front desk, karena aku kebanyakan bengong kayanya. Jadilah kami, aku dan rekanku, diberi tugas tambahan untuk membantu bagian finance menghitung beberapa pengeluaran operasional staff di kantor.

Norak dapet komputer lengkap dengan koneksi internet yang super duper cepat, siapa yang nggak girang mendadak? Wihhiii...hobi chatting makin menggila. YM terpasang setiap saat. Sayang waktu itu belum kenal sama Facebook atau Friendster. Kalau nggak bisa kebayang bagaimana kerja sudah mengganggu kegiatan berselancar di internet. Wkwkwkwkwk...

Saking asyiknya surfing-surfing internet saat kerja, aku lupa kalau kemampuan teknologiku menyedihkan. Suka asal klak-klik sana-sini kalau lihat yang menarik. Ada yang nawarin bisnis anu berpenghasilan besar menakjubkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, langsung aja klik. Ada gosip seputar artis yang judulnya 'ngajak' banget buat dibaca, langsung klik. Sampai akhirnya aku nggak tau kenapa, pop-up bermunculan tanpa ijin. Dan komputer nge-hang gak tau sebabnya. Panic attack! Kenapa nih kompie gue? Wkwkwkwkwk....

Akhirnya panggil teknisi IT di kantor, dan jederrrr...koneksi internet ke komputer ekeh diputus lho bo! Tegaaaa.....huhuhuhuuuuaaaa....Apa salahkuu? Aku kan cuma cari hiburan dan informasi dari aset yang tersedia di kantor? Masalah waktu, yang penting kan kerjaan beres? Ya kan? Ya nggak sih? Wkwkwkwkwk....

Gara-gara nggak ada lagi internet di kantor, akhirnya pulang kerja dibela-belain mampir ke warnet dulu untuk ngecek e-mail. Niatnya sih cuma ngecek e-mail aja, siapa tau ada tawaran kerja yang lebih baik, apa daya godaan untuk chatting lebih besar. Hahahaha....

Ngomong-ngomong chatting, kayanya udah berita basi ya kalau aku ketemu sama suamiku di chatroom? Wkwkwkwkwk....sudahlah, nggak usah dibahas. Kita kenalan dari chatting aja pokoknya. Bagiku sendiri, chatting is also writing. Nggak jarang hasil chattingan dengan teman-temanku aku save ke dalam file Word karena ada banyak informasi yang berguna di sana. Lagian, kalau dibaca-baca lagi, suka jadi ketawa-ketawa sendiri. Lumayan buat refresh mood. Itu masih aku lakukan sampai sekarang lho. Makanya folderku yang judulnya Mama di komputer rumah penuh sama file yang nama-namanya :
ceting sama si anu (tanggal)
ceting sama orang gila (tanggal)
nyesel gw ceting sama si onyon gila ini (tanggal)
sekilas ceting sama pervert (tanggal--->>kalau ini mah gak sengaja ketemu di chatroom global, wkwkwkwk....
dan file ceting-ceting lainnya.

Kesimpulan sementara : chatting adalah kegiatan menulis juga. Masih belum menjawab pertanyaan awal juga? Sabar aja deh. Ntar juga sampai di sana, kalo gak banjir, mogok atau macet. Hahahaaa....