“Ayo, kita udah telat, nih! Habis fitting di tempat Mbak Siska, kita masih harus ke catering untuk bayar DP!” Suara Dinda terdengar sedikit kesal di telepon.
Banu menghembuskan nafas perlahan, berusaha agar Dinda tidak perlu mendengar desahannya. Banu khawatir Dinda menangkap kegalauan dalam suara desah nafasnya yang tertahan itu.
Tiga minggu menjelang hari pernikahan mereka, semua persiapan tampak makin kacau-balau saja. Kebaya Dinda yang kurang motte, catering yang mendadak minta ditambah uang DP, fotografer yang terus-menerus mendesak mereka segera berangkat ke Anyer untuk keperluan foto pre-wed, dan seribu satu masalah kecil yang mengganggu sekali.
Banu heran, dengan pasukan panitia pernikahan mereka yang sejumlah dua kelurahan itu, masih saja ada yang tidak bisa dibereskan oleh mereka dan terpaksa calon pengantin yang turun tangan. Beberapa temannya di kantor sudah sempat mengingatkan Banu tentang masalah ini.
“Biasanya makin dekat hari H, malah makin kacau, Nu!” kata Mas Bambang, operator mesin di kantornya.
“Waduh, mas! Kok bisa gitu?”
“Nggak tahu juga, Nu. Tapi justru di situ dinamikanya. Itu akan jadi sesuatu yang akan kalian kenang berdua nantinya.” Mas Bambang menepuk-nepuk pundaknya, memberi semangat.
Iya, kalau itu akan jadi kenangan manis! Bagaimana kalau itu justru jadi pertanda? Pertanda kalau seharusnya pernikahan ini tidak terlaksana.
Glek! Banu menelan ludah, ketegangan menguasai dirinya. Satu pertanda besar, selain pertanda-pertanda sepele seputar pernikahan mereka baru saja terjadi pagi tadi. David, sahabatnya, mengabarkan kalau dia akan bercerai dengan istrinya.
Sinta, apa kabar dia sekarang? Istri David itu, atau haruskah dia menyebutnya calon mantan istri David itu, cinta pertama Banu. Dinda kenal dengannya, tentu saja. Karena mereka berempat sahabat sejak kuliah. Kenapa David menceraikan Sinta? Apa yang terjadi? Dan kenapa sekarang perasaannya menjadi kalut berbalut rasa senang yang aneh setelah mendengar kabar itu? Ini pasti pertanda!
Banu dan Dinda turun dari mobil. Mereka sudah sampai di halaman butik milik Mbak Siska, perancang pakaian pengantin mereka.
“Haai, calon pengantin!” Sebuah suara menegur mereka dengan riang.
Sinta menghambur memeluk Dinda dengan penuh semangat. Banu terdiam. Sekian lama tidak bertemu dengannya, kenapa justru sekarang mereka dipertemukan? Di depan butik perancang pakaian pernikahannya? Come on! Ini pasti pertanda!
Usai bercakap-cakap, Sinta pamit meninggalkan mereka. Tidak sedikit pun Sinta menceritakan tentang rencana perceraiannya dengan David. Dia terlihat riang seperti biasa. Entah kalau Sinta menutu-nutupi, tapi Banu tetap tidak bisa menahan gejolak aneh dalam dirinya setiap melihat Sinta di hadapannya.
Sepasang mata mengawasi mereka bertiga sejak tadi.
“Kebayamu udah OK. Mote-nya udah aku tambahin. Sana, cobain dulu!” kata Mbak Siska sambil menyerahkan kebaya warna putih ke tangan Dinda.
Dinda segera menuju fitting room di bagian belakang butik itu. Mbak Siska mengalihkan perhatiannya pada Banu. Banu tersenyum kikuk. Mbak Siska sering membuatnya salah tingkah, entah mengapa. Caranya memandang Banu selalu membuatnya gelisah.
“Siapa dia?”
“Maaf, mbak?”
“Dengar, aku sudah terlalu banyak pengalaman dengan semua ini. Melihat calon pengantin datang silih berganti dengan keraguan di mata mereka. Saranku, selesaikan perasaanmu dengan perempuan tadi, lalu baru putuskan untuk menikah dengan Dinda.” Mbak Siska berkata dengan suara rendah.
“Aku…Aku…” Banu gugup tak mampu menjawab.
“Ada dia di matamu, dan dia bukan Dinda!” Mbak Siska menatap matanya tajam.
Glek. Banu hanya mampu menelan ludah mendengarnya. Satu pertanda lagikah ini?
Hari ke-6 #15HariNgeblogFF
Hari ke-6 #15HariNgeblogFF
nah loh!! batal nih :)
BalasHapusbatal batal! udah buabar bubaaar!!! hahahahahaa
BalasHapusHayo Banu....jangan nakal ya
BalasHapusgak suka "Glek". lebih suka "Jleb". lebih ngejleb soalnyaa.. hahaha.. *ini komen apaa cobak???*
BalasHapusrobertus:
BalasHapushihihihihi...banu lagi tergoda....:)
armae: jelb itu terlalu menggalau...hahahahahaa...*lah, glek terlalu keselek ya kesannya? Wkwkwkwkwk*
tenang Ban, itu cuma godaan... gak usah didengar.. hahahahahahahahahahaha
BalasHapusWahhh...kasian banget Dinda@... udah dekat hari-H lagi..ck..ck..
BalasHapusBanu jangan tergoda rayuan setan ya! *asah golok* *solidaritas sesama wanita dengan Sinta*
BalasHapusaduuhh banu.....yang tegas donk..! kasihan dinda, aku juga wanita, aku tau bagaimana rasanya menjadi dinda.....mbak winda, ceritanya masih bersambung kan.....hehehe...
BalasHapuskalau ada sambungannya pasti seru nih mbak :)
BalasHapuswah, daku suka endingnya...terutama kata2xnya mbak Siska ttg ada dia dimatamu. telak! hahahahahahaahahahahahahahahahahahaahahahaha
BalasHapusmantap!
Akan lebih sakit kalau Banu nikah sama Dinda krna terpaksa..kalau Banu sadar cinta sejatinya cuma tuk Sinta yh udah nyatakanlah ;)
BalasHapushadi: sotoy ah...wkwkwkwk
BalasHapusnufus: iya ya...hiks...*ikut terbawa2* hihihihi....
Mbak ruri: wedewwww....pake golok....wkwkwkwk....
Mama zidane: hiks....gk tau nih...bersambung apa nggak ya enaknya? Heheheheee....
Mbak lidya: kalo nyambung terus ntar kayak cinta fitriii...gk selesai2....hahahaaa...btw, cinta fitri udah selesai belom ya? Wkwkwkwk...
Inge: mbak siska sebenernya dukun, bukan perancang busana pengantin...hihihihihi....
Ondankz: iya nih...banu terbawa suasana....hihihihihi....
wah seru emak ceritanya.... bikin dag dig dug... hehhe..
BalasHapusKasian mak dindanya kalo nikahnya batal...
Sinta kan masa lalunya Banu..
Mungkin saat ini banu sedang di uji berapa besarnya cinta dan keyakinan dia thd Dinda dengan muncul perasaan tanda kutip terhadap sinta..
Jika dia membatalkan pernikahannya dan kembali lagi bersama sinta. berarti banu salam itu membohongi dan mempermainkan dinda dunk hehe..
Kali ya mak.....
tpi menurutku masa lalu adalah masa lalu dan cukup katakan Say good bye hahaha....
Rugi bandar duong kalo gituw.
BalasHapusUjung-ujungnya gak jadi merit. Hahahahaha
cerita lama bersemi kembali.. :)
BalasHapus