“Untuk kamu,” ujarnya sambil menyodorkan sekotak
coklat berpita merah.
“Terima kasih.” Tangannya menerima coklat itu
tanpa merasa perlu bertanya ada apa dan untuk apa pemberian itu.
Tak perlu ada alasan antara sahabat untuk saling
memberi.
Image from http://www.123rf.com/photo_4346260_heart-shaped-golden-chocolate-box-tied-with-red-ribbon-with-copyspace-isolated-on-white.html |
“Untuk kamu dan keluargamu,” ujarnya sambil
menyodorkan tiga kotak makanan dari kertas dus berwarna putih.
“Terima kasih.” Tangannya menyambut kotak putih
berisi nasi beserta lauk-pauknya itu tanpa merasa perlu untuk bertanya ada apa
dan untuk apa pemberian itu.
Tak perlu ada alasan antara sahabat untuk saling
memberi.
Image from http://en.wikipedia.org/wiki/File:Nasi_kotak_gudeg_Wijilan.JPG |
Kristin anak seorang pendeta dan Aisyah anak
seorang ustad. Keduanya sudah bersahabat sejak mereka baru bisa menjejakkan
kaki di tanah tanpa pegangan tangan sang ibu sampai saat ini mereka sama-sama
berusia 9 tahun. Setiap saat, setiap ada kesempatan, setiap ada perayaan,
mereka selalu berbagi kebahagiaan bersama
Bukan untuk ikut saling merayakan hari-hari besar
masing-masing kepercayaan mereka yang berbeda itu. Mereka berbagi kebahagiaan
melalui kiriman-kiriman sederhana yang bermakna “aku ingat kamu saat aku sedang
berbahagia merayakan hari besarku.”
“Coklatnya enaaaak…,” kata Aisyah sambil mengambil
sebutir lagi coklat berbentuk kerang dan memasukkannya ke dalam mulut.
Kristin ikut mengambil satu dan memasukkannya ke
dalam mulut. Mereka tertawa sambil menikmati coklat pemberian Kristin itu di
teras rumah Aisyah. Duduk di pagar tembok rendah yang ternyata masih terlalu
tinggi untuk kaki mereka. Dua pasang kaki tampak bergoyang-goyang riang,
tergantung karena belum cukup panjang untuk bisa menjejak lantai.
“Nasi kotak yang kemaren juga enaaaak! Ada ayam gorengnya.
Nyaaam…,” kata Kristin sambil memejamkan matanya membayangkan dirinya tengah
mengunyah ayam goreng buatan ibu Aisyah.
Aisyah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda
setuju. Masakan ibunya memang sedap. Semua warga di perumahan tempat mereka
tinggal itu sudah tahu. Karenanya setiap ada perayaan, entah itu ulang tahun,
sunatan, syukuran, bahkan natalan, banyak warga yang memesan makanan ke ibu
Aisyah.
“Jadi setiap tanggal empat belas Februari aku akan
dapat coklat dari kamu, ya?” tanya Aisyah pada Kristin.
“Belum tentu juga. Kalau tabunganku cukup untuk
beli coklat, pasti kamu dapat coklat dariku,” jawab Kristin.
Mereka terkikik geli. Entah apa yang lucu bagi dua
gadis kecil itu.
“Jadi setiap di rumahmu ada pengajian aku akan
dapat nasi kotak dari kamu, ya?” tanya Kristin pada Aisyah.
“Belum tentu juga. Kalau aku belum keduluan ibu
mengirimnya ke rumahmu,” jawab Aisyah.
Mereka kembali terkikik geli. Entah apa yang lucu
bagi dua gadis kecil itu.
Sore sudah hampir sampai batas akhirnya. Langit
mulai memerah, pertanda matahari mulai bersiap berganti tugas dengan sang
bulan. Gema adzan magrib berkumandang dari musholla perumahan mereka. Itu suara
bapak Aisyah yang sedang adzan.
“Aisyah, ayo masuk. Sudah magrib,” kata ibu dari
dalam rumah.
Kristin melompat dari tembok rendah yang masih
terlalu tinggi untuk mereka berdua itu. Dia sudah tahu ini waktunya mereka
menyudahi waktu bermain dan kembali ke rumah.
“Aku pulang, ya! Besok kita main lagi!” Kristin
berlari menuju rumahnya sambil melambaikan tangan ke arah Aisyah.
Selalu begitu setiap sore. Sampai beberapa tahun
kemudian mereka beranjak menjadi dua gadis remaja. Persahabatan yang masih
terjalin indah antara Kristin dan Aisyah semakin erat karena keduanya
bersekolah di sebuah SMP negeri dekat rumah mereka. Setiap pagi Aisyah akan
selalu mendatangi rumah Kristin untuk berangkat ke sekolah bersama-sama.
oooOOOooo
“Kristin!” Panggil Aisyah di depan rumah Kristin.
Tak lama Kristin akan keluar dari rumah sambil
tersenyum riang. Setiap pagi mereka akan berjalan beriringan, berceloteh
tentang teman-teman sekolah dan guru-guru mereka. Kadang pekerjaan rumah juga menjadi
topik pembicaraan hangat mereka.
Sudah beberapa hari ini, pembicaraan mereka selalu
seputar satu nama—Agung. Agung adalah anak baru di sekolah mereka. Dia pindahan
dari Bali. Agung ditempatkan sekelas dengan
Aisyah. Mulanya Kristin tidak mengenal Agung, tapi karena Aisyah sering
bercerita tentang anak baru di kelasnya itu, akhirnya Kristin pun mengenalnya
juga.
“Besok tanggal 14 Februari,” kata Aisyah dalam
perjalanan ke sekolah pagi itu.
“Yap!” jawab Kristin singkat. Matanya menerawang
menatap langit biru terang di atas kepala mereka.
“Aku mau coklaaat!” kata Aisyah dengan wajah
sumringah.
Tiba-tiba wajah Kristin berubah. Dia memelankan
langkahnya yang tadi berjingkat-jingkat semangat. Aisyah ikut memelankan laju
langkahnya sambil menatap Kristin, heran.
“Kenapa?”
“Ummm, aku cuma beli satu kotak coklat tahun ini,
untuk…” ujar Kristin pelan dan berhenti di situ saja.
“Untuk siapa?”
Dengan tiba-tiba Kristin kembali mempercepat
langkahnya. “Buruan! Udah telat, nih!” katanya meninggalkan Aisyah di belakang.
oooOOOooo
14 Februari pagi, Aisyah berangkat ke sekolah
sendiri. Tidak seperti biasanya Kristin sudah berangkat lebih dahulu,
meninggalkan dirinya. Aisyah berjalan sendiri menyusuri jalan yang biasa mereka
lalui sambil terheran-heran. Tidak biasa-biasanya Kristin berangkat lebih dulu.
Dan tidak biasanya Kristin lupa memberinya sekotak coklat setiap tanggal 14
Februari. Mungkin nanti di sekolah, pikir Aisyah.
Aisyah termenung di pintu kelasnya. Kristin sedang
memberikan sekotak coklat berpita merah untuk Agung. Sekotak coklat yang
biasanya diberikan Kristin untuk dirinya. Aisyah teringat kembali ucapan
Kristin kemarin yang mengatakan kalau dia hanya membeli satu kotak coklat.
Dengan bingung, Aisyah cepat-cepat berlalu dari sana sebelum mereka berdua melihat dirinya.
“Jadi tahun ini Kristin memberikan coklatnya untuk
Agung, bukan aku,” ujarnya dalam hati dengan kecewa. “Agung kan teman sekelasku, kalau bukan karena aku,
Kristin tidak akan mengenal Agung. Lagian, ngapain Kristin ngasih coklat ke
Agung? Jangan-jangan…” Seketika matanya membelalak, menyadari sesuatu.
oooOOOooo
“Aisyah, tolong kirim nasi kotak ini ke rumah
Kristin!” Terdengar suara Ibu memanggilnya.
Enggan Aisyah beranjak dan keluar dari kamarnya.
Menyusun alasan untuk dapat menghindar dari tugas yang disuruh ibunya. Malas
sekali rasanya bertemu dengan Kristin setelah kejadian seminggu yang lalu itu.
Tiga buah nasi kotak sudah terikat rapi di atas meja makan. Siang tadi ibu
mengadakan pengajian mingguan di rumah seperti biasa. Dan seperti biasa pula,
akan ada beberapa nasi kotak yang harus diantarnya ke beberapa rumah tetangga
mereka, termasuk ke rumah Kristin.
“Lagi capek. Bu!” katanya sambil memasang muka
lesu.
Ibu mengangguk paham tanpa banyak tanya. Ia
bergegas mengangkat tiga kotak makanan itu dan pergi mengantarnya sendiri. Ibu
tahu, ada sesuatu yang tengah terjadi antara Aisyah dan sahabatnya itu. Mungkin
ada baiknya ibu yang datang ke sana
dan bertanya pada Kristin nanti.
“Kristin, ini ada nasi kotak untuk kamu.” Kata Ibu
sesaat setelah masuk ke pekarangan rumah Kristin.
Kristin yang tengah duduk di teras rumahnya
berdiri menyambut ibu sahabatnya itu sambil tersenyum.
“Terima kasih, tante,” ucapnya dengan sopan. “Aisyah
mana? Biasanya dia yang antar?”
“Itu dia yang tante mau tanya sama Kristin. Kalian
lagi berantem, ya?”
“Nggg…nggaak! Emang kenapa, tante?” tanya Kristin
dengan nada ragu-ragu.
“Sudah beberapa hari ini kalian tidak berangkat
dan pulang sekolah bersama-sama. Ada
apa?”
“Uum, aku lagi ada tugas kelompok, tante…” jawab
Kristin pelan. Cepat-cepat dia membawa masuk nasi kotak dari ibu Aisyah itu ke
dalam rumahnya. “Makasih ya, tante!”
Kristin menyesal sudah berbohong pada ibu Aisyah
yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri itu. Dia tahu alasan sebenarnya
mengapa Aisyah menjauh dari dirinya. Kristin juga merasa dia terlalu sibuk
dengan urusannya sendiri belakangan ini. Agung adalah urusannya selama
semingguan ini.
Kristin menyukai Agung. Sudah seminggu ini dia
sengaja berangkat lebih pagi agar bisa bertemu dengan Agung di ujung jalan
menjelang belokan terakhir ke sekolah mereka. Dan sudah seminggu ini pula dia
sengaja duduk berlama-lama di kantin menunggu Agung selesai bersenda-gurau
dengan teman-temannya, agar dia dapat pulang bersama Agung. Aisyah sama sekali
belum tahu tentang hal ini. Dan entah kenapa, Kristin merasa sedikit bersalah
kepada Aisyah karena sudah mengalihkan sekotak coklat itu untuk Agung di hari
Valentine.
oooOOOooo
“Jadi Agung pacaran sama Lily?” tanya Aisyah
dengan mata terbelalak. Mereka berdua tengah asyik duduk di pagar tembok rendah
di rumah Aisyah. Kaki-kaki mereka sudah bisa menjejak lantai sekarang. Sekotak
coklat murah teronggok di antara mereka.
“Iya…” jawab Kristin pelan. Tangannya menjangkau
sebuah coklat bulat dari kotak di sampingnya. “Dia nggak naksir aku. Katanya
karena aku beda agama sama dia…” jawab Kristin lagi dengan masygul.
Aisyah menatap sahabatnya itu dengan pandangan
prihatin. Tangannya mengelus punggung Kristin dengan penuh iba.
“Kenapa sih nggak cerita ke aku?” tanyanya pada
Kristin.
“Aku nggak enaaak sama kamu, soalnya aku malah
ngasih coklat ke dia dan bukan ke kamu pas Valentine kemarin. Maaf, ya…” kata
Kristin sambil menundukkan kepalanya.
Aisyah mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa
detik kemudian terdengar suara tawa tertahan keluar dari mulutnya. Pertama
terdengar pelan, lama-kelamaan semakin keras. Asiyah terkikik-kikik sendiri,
“Kok malah ketawa?” tanya Kristin dengan kesal.
“Hihihi…Lagian baru SMP aja udah mikir pacaran
sampai serius gitu!” kata Aisyah masih sambil tertawa geli.
“Siapa? Aku?”
“Bukan. Agung! Tapi ya bagus, dong…Dia lebih milih
yang sama-sama agama Hindu! Siapa tahu mereka emang jodoh. Hahahaha…” Aisyah
tidak dapat lagi menahan tawanya.
Kristin merengut mendengar ucapan sahabatnya itu.
Aisyah masih belum berhenti tertawa. Mau tidak mau, Kristin ikut tersenyum
mendengar suara tawa berderai Aisyah. Dalam hati ia ikut merasa geli karena
kegalauannya yang berlebihan.
“Ya ampun, Kristin! Kita itu masih 13 tahun! Masih
tujuh puluh tahun lagi kali kita bakal kawin! Ngapain pusing dari sekarang sih
soal pacar?” kata Aisyah.
“Gila! Tujuh puluh tahun?” kata Kristin sambil
mendorong pundak Aisyah.
“Intinya, masih ada jatah coklat buatku sampai
tujuh puluh tahun lagi, sampai kamu pacaran dan kawin! Hahahaha…” kata Aisyah
semakin menjadi menggoda Kristin.
“Gilaaa! Masak nunggu jadi nenek-nenek dulu baru
bisa pacaran? Ogaaah!” Jerit Kristin sambil menghapus air matanya yang keluar
karena begitu kerasnya tertawa.
Mereka tertawa terbahak-bahak. Sore sudah hampir
sampai batas akhirnya. Langit mulai memerah, pertanda matahari mulai bersiap
berganti tugas dengan sang bulan. Gema adzan magrib berkumandang dari musholla
perumahan mereka. Itu suara bapak Aisyah yang sedang adzan.
“Aisyah, ayo masuk. Sudah magrib,” kata ibu dari
dalam rumah.
Kristin beranjak dari tembok rendah di teras rumah
Aisyah itu. Dia sudah tahu ini waktunya mereka menyudahi waktu bermain dan
kembali ke rumah.
“Aku pulang, ya! Besok kita ngerumpi lagi!”
Kristin berlari menuju rumahnya sambil melambaikan tangan ke arah Aisyah.
THE END
Sekedar mencatatkan, cerpen ini diangkat menjadi sebuah film pendek bersama beberapa cerita lainnya oleh Story Lab dengan judul Omnibus Rahasia. ^_^
Idenya keren mbak! Salut! Orisinil dan ada pesan moralnya, pantas difilmkan memang.
BalasHapusTapi jikalau boleh sedikit berpendapat, percakapannya masih kurang anak-anak. Terlalu dewasa :D
*Eka yang bahkan sampai sekarang pun masih merasa anak-anak* Eh :D
eka:
BalasHapusiyaa, dialognya emang rada susah nyusunnya...tapi di filmnya beda kok...karena emang anak2 abg asli yg main...:') sayang masih kepentok birokrasi soal penayangannya...makasih yaaa....
aaaa.. ceritanya bagus banget mbaak :') moralnya dapet banget, ide nya juga segar..
BalasHapusooh ini toh postingannya tadi baca di fb :) keren mbak
BalasHapusCongrats ya mba....ceritanya bagus. :)
BalasHapusSekalian ijn follow ya mba, tq.
BalasHapusLho cerita begini kok smp kepentok birokrasi? Apanya yang berbahaya sih? Bagus kok. Btw sego gudeg tempelangannya bikin pengin pulang ke Jogja heheheee.....
BalasHapusMbak.. bagus bangetz... ijin share ya...
BalasHapus