Jumat, 14 September 2018

Sebuah Review Mie Instan Berbalut Nasionalisme


Assalamu'alaikum.

Ini review paling penting yang pernah gw buat selama ini. Tolong dicatat: I'M NOT ONE OF THE BUZZERS FOR THIS PRODUCT. Okesip?


Kenapa gw bilang penting? Indomie adalah identitas bangsa ini. Setiap dia muncul dengan rasa baru, gw rasa bukan gw aja yang penasaran dan merasa harus nyobain. Semua level masyarakat merasa berkewajiban untuk memberikan penilaian, karena ini menyangkut nasionalisme kita. 🤣 

Siang tadi gw mengaplod foto Mie Goreng Rasa Telur Asin ini. Banyak komentar dan beragam. Ada yang suka, ada yang gak suka, ada yang bilang keasinan dan ada yang bilang "not for me" bahkan ada yang bilang baunya amis. Yang paling sedih, ada yang belum nemu di mana2. Hahaha kasian. 🤣 Gw harus mengabaikan semua komentar itu sebelum mencobanya sendiri. 

Tapi para pembaca yang budiman harus mengetahui beberapa fakta terlebih dahulu:
1. Bahwa gw penggemar telur asin dan turunan menunya berupa apa pun goreng tepung berbalur telur asin. 
2. Bahwa gw suka masakan asin, di mana untuk beberapa orang dibilang keasinan, buat gw bisa jadi itu rasanya pas.
3. Balik lagi, isi dompet kita mungkin sama (sama2 ngenes), tapi selera gak bisa disamain.

OK. Mari kita mulay saja review berbasis nasionalisme ini.

Mie Goreng rasa Telur Asin ini gw temukan gak sengaja di Alfamidi deket rumah. Tadinya cuma mau beli minuman dingin karena Bekasi lagi luar biasa panasnya. Pas lagi jalan menuju tempat minuman, there they were, teronggok manja di rak setinggi pandangan orang dewasa dengan warna kuning cerahnya itu. Coincidence? I think not. Kurasa ini yang namanya takdir. Beklah, kamu masuk dalam keranjang belanjaan, wahay mie instan keluaran terbaru.

Ukurannya sedikit lebih besar dari Mie Goreng varian lain. Jenis mie-nya berupa mie keriting, walaopun mie-goreng2 rasa lain pun semua keriting, tapi yang ini keritingnya kelihatan lebih kekinian sampe harus dicantumkan di bungkusnya, Curly Fried Noodles. Mungkin karena ukuran dan keritingnya ini, harganya juga sedikit lebih mahal, Rp 4.500/bungkus.

Cara memasak sama aja kayak mie goreng Indomie lain, yakni DIREBUS. 🤣 Bumbu terdiri dari sebuah bumbu pasta yang gw suspect berisi perasa telur asinnya dan bumbu bubuk kayak bubuk koya bercampur micin yang kita sayangi dan sejumlah basa-basi bubuk cabai. Seriously Indomie, ngasih bubuk cabe cuma sejumput di semua produknya itu maksudnya apa? Rasa perkenalan? Pemanasan? Atau hanya PHP semata sehingga kami terjebak dalam rasa cabezone? Dah gak paham lagilah gw. 

Setelah mie goreng matang direbus lalu ditiriskan dan dicampur dengan bumbu2 yang ada, tibalah saatnyah! Saatnya untuk kembali jadi anak South, South Bekasi.

I was expecting a salty explotion taste in my mouth, which is gw gak dapet. Lihat fakta di atas, gw penggemar rasa asin. Ekspektasi gw tinggi. Ternyata level asinnya so so aja. But I can smell aroma telur asin on my noodle though. Rasa pedas? Ya lo tebak sendiri ajalah dengan jumlah bubuk cabe yang seiprit itu, lo mau ngarep apa? Dipacarin? Plis, deeh. Luckyly gw gak nyium aroma2 amis sih seperti yang beberapa temen gw bilang. But .... BUT, OMG! The after taste is so disturbing 😑 Sampe gw nulis review ini, 30 menit yang lalu gw makan, dan gw udah minum aer putih and coffee, masih bisa ngerasain sisa2 rasa bumbu telur asin yang gak asin itu di pangkal tenggorokan gw. Noo! Brb, drinking hot water nolong gak, ya? 

Overall, I don't like it. Its just not me. Sorry, Indomie. Namanya selera yah. Tapi karena Indomie adalah identitas bangsa, kalo pun gw gak repurchase yg varian ini, gw masih akan tetep beli varian lain. Kalo peringkat gw:
1. Indomie Kari Ayam (rebus) ini legend.
2. Indomie Goreng Original
3. Indomie Goreng Rasa Sambal Matah
4. Indomie Goreng Cabe Ijo
5. Indomie Goreng Rasa Mie Aceh

Walau bagaimana, ini bukan ajakan untuk tidak membeli bagi yang belum mencoba. Gw justru pengen tau testimoni teman2 lain dan encourage you to try it. Isn't it amazing how an instant noodle can give you such impact? Bleh, ngemeng apelah gw ini. Sepanjang ini isinya ngoceh soal mie goreng. 🤣

Jumat, 08 Desember 2017

Comparison is The Killer of Confidence

  5 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Comparison is the thief of joy. 

Kalau boleh agak keras dikit, comparison is the killer of confidence. Oh yes, this is gonna be long. 😅 


Berapa sering kita baca artikel parenting yang mengatakan, jangan membanding-bandingkan anakmu dengan anak orang lain? 

"Si Anu udah bisa baca, kok kamu belum juga?" 
"Sepupumu udah hapal satu juz, kamu baca quran aja masih plintat-plintut." 
"Kamu gak pengen kayak si Onoh, ranking satu terus?" 

Udah tau sih teorinya, jangan banding-bandingin anak dengan anak lain, tapi susah juga gak blingsatan kalau ngeliat anak seumuran anak kita berprestasi, udah bisa ini itu, punya piala selemari. Panas, sis! Panassss. Mikirnya, kurang apa gw jadi ortu? Ngajarin anak full, pake pecut segala. Tapi kok gak bisa kayak anak lain? #pecut 

Lompat ke si anak dulu. Gw sering banget liat, anak2 abege/kuliahan bikin status, "Gue cuma mau bikin orang tua gw bangga." Maaf, gw sedih bacanya. Cita-cita kok cuma mau bikin orang tua bangga? Apa selama ini orang tuanya gak pernah bangga sama dia? Apa dengan melahirkannya aja gak cukup udah jadi anugerah terbesar dari Tuhan? Kenapa harus jadi beban anak untuk membuat orang tuanya bangga? Kenapa anak jadi mengejar prestasi demi membuat bangga orang tuanya? 

Tentu aja gak salah punya keinginan membuat bangga orang tua. Tapi sebagai orang tua, gak perlu nunggu anak berprestasi, menang lomba, ranking satu, hapal seluruh isi kitab suci dulu kan untuk menunjukkan kita bangga sama mereka? 

Gw selalu percaya bahwa ketrampilan perlu diasah, termasuk terampil melihat kelebihan anak. Kadang kita suka lupa anak kita gak pernah berantem atau bikin masalah di sekolah, karena galau nilai-nilainya di sekolah kurang bagus. Kita gagal melihat anak kita selalu jadi yang pertama membagi bekalnya ke teman-temannya, karena mumet mikirin tinggal dia sendiri yang belum bisa baca di kelas. Kita bahkan gagal mengingat kalau setiap malam dia tak pernah lupa mencium kita sebelum tidur, karena siangnya kita nelongso liat lemari tetangga penuh sama piala-piala anaknya.

Sadar atau tidak, walaupun kita berusaha tidak mengatakannya, kekecewaan kita mungkin tercermin di perilaku kita ke mereka. Anak selalu pulang tepat waktu, gak pernah nongkrong dulu, jadi sesuatu yang biasa aja dan gak pernah dihargai. Kita terlalu fokus memikirkan prestasi besar apa yang belum bisa dicapai anak, sehingga yang "kecil" menjadi tidak penting dan kelihatan. Padahal yang "kecil-kecil" itu yang membentuk pribadi mereka. Semakin kita hargai, akan semakin mantap langkahnya dalam menjalani masa2-masa tumbuhnya. Rasa percaya dirinya akan tersusun rapi seperti lego tinggi, dibangun dari paling bawah satu per satu, dengan fondasi lebar dan kuat, yaitu dukungan dan penghargaan org tua atas dirinya.

Orang dewasa, oranh tua, saya juga, kadang suka jago berkilah, kita membandingkan mereka agar mereka termotivasi untuk mau belajar/bekerja lebih keras. There are probably more than a thousand other ways to motivate your children. Silakan cari mana yang sesuai, dan yang penting, yang tidak meninggalkan kerusakan psikis ke anak kita, yang tidak merusak rasa percaya dirinya, yang tidak menimbulkan kekesalan dan kemarahan dalam hatinya.

In the long term, membanding2kan anak kita dengan anak lain, bisa menimbulkan dendam, amarah dan kekecewaan. Sebelum anak2 kita berbalik memusuhi kita karena mereka mulai putus asa tidak berhasil memenuhi standard orang tuanya, mending kita sebagai orang tua yang mulai belajar untuk bisa menghargai anak, mendukung apa yang ingin dilakukannya dan tidak pusing dengan apa yang orang lain punya. 

Jadi nanti, ketika anakmu berkata, "I want to make you proud, mom, dad." Katakan kepada mereka, "That's good! But I'm already proud of you, and I will always be. So, it's not something you need to work on, you already make me proud. Let's focus on the bigger thing, what do you want to do? I'll support you, as always."
*catatan hati* *hati yang baper* 😂

Selasa, 14 Maret 2017

Orang Tua Anak Bilingual Sering Kena Cap Ini?

  14 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum.

Pa kabaaar? Cuti lama beud, mak? Keenakan ini mah saya. :') Mau ngasih alesan apa lagi deh, kalo ujung-ujungnya sebenernya emang kebawa males aja. Jadi buat yang belum ngalamin fase males ngeblog, kalo berasa rada bosen-bosen dikit, jangan diturutin kayak saya, yah. Begini akibatnya. 

Tapi sejujurnya, saya bukan cuma lagi nurutin males nulis aja, kok. *mulai defensif* Tahun 2017 ini anak-anak saya emang mulai banyak butuh perhatian extra. Fadhil, yang gede, misalnya. Dia udah masuk umur ABG sekarang. Lagi judes-judesnya sama emaknya. :( Ditanya sesuatu, jawabnya singkat-singkat aja. Giliran emaknya baper, dia ngeliatin saya aneh. Bhik. Jaman saya segede dia, boro-boro berani ngeliatin orang tua kayak gitu. Jadi sama dia ini saya lagi main layangan, tarik ulur, tarik ulur. Kalo terlalu diperhatiin kayak anak kecil, dia kesel. Kalau dicuekin, saya yang takut dia kebablasan. Butuh seni tersendiri ngadepinnya. Ngik.




Kalau sama Safina, tahun ini juga mulai banyak tantangannya. Mungkin beberapa yang suka ngikutin serial bilingual kids saya di sini udah tahu ya kalau Safina ini berjuang banget untuk menyesuaikan diri di sekolahnya karena masalah bahasa. Dia yang lebih senang berbahasa Inggris sehari-hari, ketika di sekolah semua pelajaran disampaikan dalam bahasa Indonesia, mau gak mau harus kerja lebih keras dibanding teman-temannya. Tapi seperti yang saya ceritakan di sini, itu challenge buat saya sebagai orang tua sebagai konsekuensi menyekolahkan anak bilingual ke sekolah negeri. 

Ngemengin soal anak bilingual lagi, apalagi di Bekasi, yang katanya Jakarta aja mesti lewat dua belas gate buat bisa masuk ke sini, orang suka aneh aja ngeliatin saya ngobrol bahasa Inggris sama Safina. Saya kenyang ditatap dengan penuh arti begitu. Seringnya suudzon, ni orang-orang ngecap saya sok bule kali, ya? *baperan* Etapi jujur, deh. Sering ngecap begitu gak, misalnya waktu denger Cinta Laura ngomong di tivi? Duile, ngomong sampe amburadul gitu kecampur-campur. Atau liat video artis sama anak-anaknya di Instagram, ibunya yang artis keukeuh ngomong bahasa Inggris, eh dijawab pake bahasa Indonesia, trus yang nonton langsung ketawa seneng campur ngenyek, "Hahaha! Sok bule, padahal anaknya nggak bisa ngomong Inggris." Mari kita tanyakan pada hati masing-masing, pernahkah kita begitu? Wkwkwkwk, penting.

Dulu sebelum punya anak dan memutuskan untuk membesarkan mereka secara bilingual, saya termasuk orang tukang nge-cap gitu. Setelah ngalamin sendiri, kapok. Ya kan emang udah gitu hukum alamnya, ditampol dulu, baru ngerti.-_- Ada beberapa cap yang pernah saya (mungkin kamu juga) pernah berikan ke mama-mama "sok ng-Inggris" ini. Karena sekarang saya menjadi bagian dari emak anak bilingual, sekalian saya coba jelaskan sedikit ada apa di balik itu semua. Hayah, ribet banget bahasa lo, mak.


Sok Bule

Sering diliatin di tempat umum kalau tiba-tiba anak jerit-jerit pakai bahasa Inggris? Sama! Beberapa kali saya nangkep pandangan mata orang berlanjut jadi jelalatan, kayak nyariin bapaknya. Mungkin berharap bapak anak saya orang asing, jadi gak perlu penjelasan lebih lanjut kenapa ni anak bermuka lokal tapi ngemeng londo. Hihihi.
Teman-teman, jaman sekarang udah banyaaaak keluarga murni pribumi yang mengaplikasikan pendidikan bilingual untuk anak-anak mereka. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, tujuan masing-masing keluarga berbeda-beda. Untuk saya pribadi misalnya, tujuan utamanya adalah untuk mempermudah anak-anak saya berkomunikasi dengan sepupu-sepupu mereka yang semuanya tinggal di luar negeri. Mungkin ada orang tua bilingual lain yang punya tujuan lebih besar, seperti ingin mempersiapkan anaknya sejak dini untuk bersekolah di negara tertentu. Ya bebas-bebas aja. Jadi, gak mesti bapak atau ibunya bule dulu atuh, kan?

Gak Nasionalis

Cih! Bahasa Inggris lancar, bahasa Indonesia belepotan. Gak cinta negeri sendiri kamoh!
Lalu Hayati nangis. Gak segampang itu menilai nasionalisme seseorang. Lancar tidaknya anak bilingual berbahasa asing (bukan bahasa ibu/asalnya) dipengaruhi oleh banyak hal. Yang paling besar mempengaruhi (ini pengalaman pribadi) adalah kecenderungan anak itu sendiri. Dua anak saya punya kecenderungan berbeda, Fadhil cenderung lebih nyaman berbahasa Indonesia, Safina sebaliknya. Apa Fadhil nasionalis, lalu Safina nggak? More of that, apa saya sebagai ibunya nggak nasionalis? Balik lagi ke point satu, kami punya goal, visi dan misi saat memutuskan untuk ber-bilingual di rumah.
Don't worry, kami masih pasang bendera merah putih tiap tanggal 17 Agustus, kok. Anak-anak hafal lagu kebangsaan, kok. Dan mereka sekolah di sekolah negeri, dan ini juga bukan karena menganggap yang sekolah di sekolah internasional gak nasionalis, ya. Murni masalah biaya ini, mah. Wkwkwkwk. Cetek amat sih, mak ukuran nasionalisme-nya? Ya sama dong ceteknya dengan mengukur nasionalisme keluarga kami dari bahasa sehari-hari yang kami pergunakan, di mana itu adalah hak kami sepenuhnya. Merdeka!


Kocak! Emaknya Sibuk Nginggris, Anaknya Jawab Pake Bahasa Indonesia

Hehehe. Ini asik banget jadi bahan ngenyek, ya. Semacam, "Ciaaan deh lo, susah-susah nampilin image kebule-bulean, tau-tau anaknya ngejawab pake bahasa Indonesia logat Betawi!" Terus ketawa setan, "MWAHAHAHA!"
Hush! Sini ya, saya kasih tau, setiap anak bilingual, sebelum dia memasuki fase cenderung memilih salah satu bahasa yang nyaman, akan melalui fase "suka-suka gue mau jawab pake bahasa apa". Hahaha, gak ilmiah banget, mak. Ya tapi emang gitu, sik. Anak yang dikenalkan ke lingkungan bilingual sejak bayi, berarti kan mendengar dua bahasa. Jadi wajar banget dia mau pakai bahasa yang mana, karena buat mereka, intinya adalah komunikasi, maksud tersampaikan.
Waktu anak-anak saya masih balita, sering banget kok kejadian kayak gini, dan emang sering ketangkep senyum sinis orang-orang yang gak sengaja denger.
"Safina, finish you meal!" Terus Safina jawab, "Gak mau! Nana mau maen!" Atau, "Fadhil, put on your shoes now." Dijawab, "Bentar dulu napa, Ma?" Napa? Napa? Et, dah! Hahaha, ya maklum pan, bapaknye orang Betawi aslik, kita tinggal di Bekasi, ya kali anak-anak saya gak nyerap sedikit pun logat Betawi. Mau emaknya casciscus setiap hari, kan bapaknya berbahasa Indonesia. There's a reason why it's called BILINGUAL. :D 

So, apa punlah, ini bukan buat menampilkan image tertentu atau supaya dilihat orang lain seperti apa. Ini murni soal pilihan masing-masing orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Gak usah ngenyek-ngenyekan. Motherhood udah berat banget sama perang ASI-susu formula, working mom-stay home mom, lahiran normal-cesar. Gak usahlah ditambah sama yang ini. Hihihihi.

Anyway, kalau ada teman-teman sesama penggiat bilingual di rumahnya, boleh dong share pengalamannya. Atau kalau ada yang mau tanya-tanya lebih jauh pengalaman saya mendidik anak bilingual selama 13 tahun terakhir ini, monggo. :* 

Sebagai penutup, ini ada "mini essay" yang ditulis Safina kemarin, judulnya Sharing. Yang bikin saya bangga bukan karena dia menuliskannya dalam bahasa Inggris, tapi isi dari tulisannya. Have a nice day. :*

SHARING
by Safina (8 years old)

"Did you know that sharing is caring? Sharing and caring to poor people is very nice of people and share everytime  makes you a good person. Being a good person makes you go to heaven. Share anything that's useful for poor people like a toy house or a chess or even better, a(n) oven for cooking, right?"

Selasa, 14 Februari 2017

Live di Facebook atau Instagram?

  8 comments    
categories: ,
Assalamu'alaikum!


UPDATE! 
Mulai 20 Maret 2017, Live Instagram sudah bisa di-save. Jadi beberapa poin di bawah mungkin ada yang sudah tidak berlaku lagi. ;)


Masya Allah, Subhanallaah! Si emak emang sesuatu, sebulan lebih gak nongol di mari. Hahaha. Maklum ya, seus, orderan lettering numpuk. Berfaedah. :*

Selain sibuk bikin pesenan lettering, sebulan kemaren lagi keasikan maen-maen Live di Instagram. You know khaan, live di Facebook udah melanda sejak beberapa bulan sebelumnya. Kemudian, IG tiada mau kalah, kemudian ikutan kasih fasilitas Live. Dan apalah saya ini, emak haus darah publisitas secara langsung dan tanpa basa-basi. Live adalah solusi!


So, sebulan kemaren, saya memuaskan gairah Live saya, baik di Faceboook dan IG. Siapa yang mau nonton, mak? Huahaha. Ya, tapi kita kan PD aja. Paling sial kalau lagi Live itu emang gak ada yang nonton. Tapi selalu ada hikmah di balik itu, yakni .... bisa ngaca di kamera, ngecek jerawat. Karena rajin Live di kedua tempat itu, akhirnya saya menemukan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing Live. Dan tentu saja, seperti biasa, saya harus mengabarkannya kepada dunia. Kalian semua harus tahu, agar tak ada konstitusi konspirasi konstipasi di antara kita.  (Batalin aja kalimat terakhir itu).

Live di Facebook

- Kelebihan

Video hasil live, bisa disimpan dalam postingan di status kamu. Saya senang dengan pilihan ini, karena mostly live video saya berupa demo atau tutorial. Sayang kalau gak tersimpan. Biasanya, hasil live di Facebook selalu saya download, kemudian dipadatkan jadi video semenit, untuk dipost ke IG.  Atau langsung saya setor ke Youtube. Mayan, dapat post di beberapa lokasi dengan satu video.

Live di Facebook termasuk aman, karena kamu bisa pilih audience, tergantung settingan postingan kamu. Kalau mau live ditonton berdua aja juga bisa. Tinggal atur di privacy setting. Kalau kamu punya fanpage, live dari fanpage kamu juga bisa, kok. Saya udah beberapa kali melakukannya.

Kualitas gambar saat Live sebenernya termasuk lebih baik daripada di IG, namun entah mengapa, begitu selesai live di Facebook dan video di-post, kualitasnya langsung njapruk (jadi jelek banget). Tolong dibantu yang ngerti. -_-

Ini salah satu hasil Live di FB yang langsung saya post ke Youtube.


- Kekurangan

Kalau kamu Live di Facebook sambil pasang musik yang dikenali oleh search engine (maksudnya lagu-lagu komersil dan terkenal), maka kamu akan dijegal (((DIJEGAL))) oleh FB saat mau post video hasil Live itu dengan pertanyaan, "Apakah Anda memiliki hak atas lagu/musik yang ada dalam video ini?" Tapi don wori bebeb, itu bisa diakali dengan menjawab beberapa pertanyaan rempong lanjutan dari FB yang menjelaskan kalau cuplikan musik yang kita pakai itu hanya sebagai ilustrasi. Kira-kira demikian.

For some weird reasons yang masih misterius, Live di FB lebih sulit menjaring audience ketimbang di IG. Kalau dari analitoy (analisa sotoy) saya sih, mungkin nih, ya, mungkiin karena tampilan live di FB itu sama persis seperti postingan video biasa sehingga terkesan berat buat di-klik. Hari gini orang mikir-mikir mau klik video, sayang-sayang kuota data. Hahahaha. Apalagi cuma gue gini yang Live? Cih! Beda sama tampilan di IG yang cuma bentuk lingkaran doang, terkesan ringan, dan orang gampang aja gitu nge-klik ngintip sebentar, abis itu kabur lagi. Padahal kan kena data juga, ya? Embuh.

Live di Instagram

- Kelebihan

Cepet banget building audience-nya! Dibanding Live di FB, di IG dalam hitungan menit bisa terjaring (((TERJARING))) lebih dari 10 pemirsa. Ini ukuran saya, ya. Jangan sama-samain saya dengan Dian Sastro, please,. Aku ra sudi. (Mbak Dian apalagi!). Apa mungkin ini karena tampilannya terkesan ringan ya, cuma lingkaran kecil di pojok atas sebagai notifikasi kalau kita sedang Live. Itu ngundang banget buat di-klik.

 Dapet audience segini udah anugerah banget buat akuh. :D 

- Kekurangan

Video hasil Live-nya langsung ilaaang begitu Live session ended! Huhuhuhu. Aku sediih. Padahal kalau bisa tersimpan otomatis di galeri atau dikasih opsilah buat save atau nggak, akan lebih baik lagi (buat saya). Sebagai seorang hoarder, video pun pengennya ditumpuk di galeri. -_-

Kualitas gambar pada video tergantung banget sama koneksi kamu, kalau koneksi lagi lambat, gambar bisa jadi blur banget emang, dan suara terputus-putus. Jadi pastikan koneksimu lancar kalau mau live.

TIPS LIVE ALA EMAK GAOEL

*Lakukan kalau ingin ngehits*

- Sekali lagi, ya, kecuali kamu Dian Sastro atau Kang Emil, yang sekali pasang Live yang nonton langsung ribuan, manfaatkan kegunaan deskripsi pada judul Live karena akan membantu calon penontonmu untuk memutuskan mau nonton atau nggak. Kan ada di bagian atas tuh sebelum kita Live, semacam judul. Kasih judul yang "provokatif" biar banyak yang nongtong. Hahaha. Nggaklah, kalo saya mah kasih deskripsi singkat standard aja, supaya pada tau saya lagi Live apaan. Misalnya, "Demo Lettering Qur'an". Jadi yang minat bisa langsung tau, yang gak minat bisa langsung skip.

- Kalau mau simpen video Live, maka lakukan Live di FB. Kalau mau rame-ramean mending Live di IG, tapi risikonya video gak tersimpan. Langsung hilang tanpa bekas.

- Siapkan topik yang mau diomongin. Kalau kamu mau ngobrol sama followers, dandan dikitlah karena kan pake kamera depan. Oh iya, soal kamera depan ini, jangan nyinyir tidak berfaedah kalo lihat yang Live minum atau makan pake tangan kiri, atau salaman pake tangan kiri. Kemungkinan besar itu pake kamera selfie, kakaaak. Kebalik itu, kebaliik.

- Kalau Live-nya model demo/tutorial menggambar atau lettering kayak saya biasanya, disarankan pakai kamera belakang aja, ya. Emang jadi rada susah buat baca komentar yang masuk. Tapi kualitas gambarnya lebih bagus, sih. Kayanya. Hihihi.

- Live sambil nyetir, yay or nay? Nah, sempet panas nih kemaren, banyak yang komentarin Mbak Disas Live sambil nyetir di IG. Kok gak aman banget, sih! Buat apaan, sih? Segitu pentingnya, ya? Dan de el el de es be ge demikian. Kalo saya pribadi, yaa, kebetulan cuma sekali nyobain Live sambil nyetir mobil, karena mau ngecek koneksi stabil atau nggak kalau di jalan. Itu kan sebenernya sama aja lagi ngobrol waktu lagi nyetir. Selama kamera sudah aman terpasang di dashboard, tombol Live sudah dijalankan sebelum mulai nyetir, dan jangan sibuk baca komen orang pas nyetir. Insya Allah sih, aman. Tapi saya mah males Live lagi nyetir. Bukan apa-apa, muke gue gak enak bener kalo nyetir, tegang campur nyolot. Gak sedep dipandang. Hahaha.

Jadi, kamu pilih Live di FB apa di IG? Kalau ada yang mau nambahin, monggo lho. Terima kasiiih. :*



Rabu, 21 Desember 2016

Ketika Princess Naik Taksi Online

  22 comments    
categories: 
Assalamu'alaikum.

Semua orang tahu (nggak, deng!), Emak Gaoel gak tau jalan, tukang nyasar, gak bisa bedain kiri sama kanan, dan banyak kekurangan culun lainnya yang berhubungan dengan arah dan tujuan. Entah kenapa, mungkin dulu waktu kecil nggak pernah dibawa jalan-jalan. Hahaha. Yang jelas, saya emang susah banget hafal jalan dan arah. Kalau boleh jujur, jalan dari Bekasi ke Ciledug (rumah mertua) pun sampai sekarang belum hafal. Hiks. Bukan karena nganggep gak penting, tapi beneran saya suka blank aja kalau ditanya jalan dan arah. 


Makanya sejak dulu saya bersahabat banget sama public transportation. Naik Metro Mini, yang penting tau turunnya di mana. Naik Mikrolet, yang penting tau nomor berapa dan jangan lupa pesen, "Bang, kasih tau ya kalau saya udah sampe." Naik taksi apalagi, tinggal bilang mau ke mana. Asal siap duit aja.

Alhamdulillaah, sejak ada aplikasi online buat trasnportasi model-model Go Jek, Grab dan Uber, keculunan saya makin dimanja. Ini enak banget! Tinggal klak-klik, cusss! Nggak perlu jelasin mau ke mana, tinggal naik, jadi princess. Tapi kemudian ....

Ternyata nggak semudah itu jadi princess. Karena mulai sering naik mobil/taksi online, saya jadi ketemu sama beragam supir yang sukses bikin saya gagal duduk cantik sambil main hape manjah dalam mobil. Kadang itu cuma keberuntungan belaka. Kalau lagi nggak beruntung, ada aja yang bikin saya blingsatan, takut telat, takut nyasar dan yang paling ngeselin adalah, takut ditanya, "Kita lewat mana, Bu?" Hah? Lu nanya guwwe?


One time, dapat driver yang GPS-nya nggak mau kerja sama. Nggak tau kenapa, tapi saya sih curiga paketannya abis pas abis ambil orderan saya. Ya, mbok isi aja dulu sih di minimarket. Jangan malah nanya ke saya, "Kita lewat mana, bu? GPS saya mati." Errrgh, sebelah kiri sama kanan aja saya bingung. 

Pernah juga dapat driver yang baru hari pertama kerja. Itu sih biasa, mengingat aplikasi online ini kan memang masih baru booming ya di Indonesia. Masih banyak rekrut tenaga baru. Yang nggak biasa itu, dapat driver yang hari pertama kerja, orderan pertama, bingung pakai aplikasi dan GPS, baru pindah dari Kalimantan setelah tinggal di sana selama 10 tahun, dan bilang, "Ibu tunjukin jalannya ya nanti." Ya Allah, tunjukkanlah jalan yang benar, pada kami berdua. -_-

Kadang dapet driver yang hasrat curcolnya tinggi banget. Baru duduk dalam mobil, "Bu, ada lowongan kerja, gak?" Yah, mas. Aku lelah mendadak. Tapi ya, sering juga hasrat ngobrol saya yang lagi tinggi, terus dapet driver yang lempeng. Nggak mau diganggu saat bertugas, pokoknya serius banget mengendarai mobil, sampai ajakan ngobrol saya dicuekin. "Udah lama pak bawa mobil?" Diam lima detik. "Baru, bu." Karena hasrat ngoceh lagi membludak, nanya lagi dong, "Sebelumnya kerja di mana, pak?" Dilirik sinis. Ih, aku salah apaaah? :(

Ternyata, nggak cuma nyari pasangan hidup aja yang susah-susah gampang. Sama driver taksi online pun perlu campur tangan Tuhan agar berjodoh. Sering juga kok saya dapat driver yang klop banget mood-nya sama mood saya. Kalau udah gitu, ngobrol sampe tujuan nggak selesai-selesai. Saya pernah dapat driver yang udah lumayan berumur, kira-kira seumuran Papa saya. Orangnya suka ngobrol, dan pas kebetulan saya lagi seger banget abis mandi pagi-pagi. Ternyata si Bapak pensiunan PNS dan pejabat pemerintahan yang kenalnya sama menteri-menteri. Rumahnya di perumahan elit, dan mobil yang dipakai untuk bawa taksi online itu mobilnya yang ke-tujuh. Dan saya bingung. Ngapain bawa taksi, paaak? "Iseng, isi waktu. Sambil nunggu weekend, cucu-cucu saya datang ke rumah." Nyesss. Kalau udah gitu, kan saya bingung ya, mau ngasih tips apa nggak? Lah, banyakan duit dia daripada gue? Hihihihi.

Eniwei, jadi mau naik taksi online pun kita harus siap mental, jiwa dan raga. Karena belum tentu "jodoh" sama drivernya. Yang paling bikin serba salah kalau udah nyasar, sama-sama nggak tau jalan, hape sama-sama bulukan gak bisa konek ke GPS dan sama-sama gaptek gak ngerti cara pake Maps. Sekian wasalam. Happened to me one time. Akhirnya kami menyerah, berhenti di minimarket, beli kopi kaleng dan nanya arah sama orang setempat. Hyuuuk. 

Naik taksi, belum tentu bisa duduk cantik kayak princess, yaah. Makanya sekarang mau gak mau saya belajar dikit-dikit cara pake Maps sama nyari-nyari bagian belah mana di hape buat nyalain GPS. Wakakakak. Alhamdulillaah, kemaren ke Bandung udah bisa pake aplikasi Maps, tapi tetep kebablasan karena koneksi lemot. Belokan udah lewat, aplikasinya baru ngomong, "Turn right." Telaaat! #tetepnyasar

Tips Sukses Sampai Tujuan Buat Princess Tukang Nyasar

Ini sekalian aja, karena baru beberapa minggu yang lalu, saya sama Neng Irma Senja terpaksa nunggu 3 jam selesainya jam ganjil-genap di Jl. Sudirman, karena kita terjebak gak tau jalan lain ke hatimu yang nggak ngelewatin peraturan itu. -_-

- Pasang aplikasi Maps atuhlah! Terus belajar gimana cara pakenya. #noted
- Bawa duit lebih, biar bisa kabur ninggalin si Neng, naik taksi. Huahaha.
- Punya temen yang bisa ditelponin, ditanyain arah dan jalan alternatif. Usahakan temennya itu model-model biker penjelajah. Hampir bisa dipastikan temennya itu tau banget jalan-alan alternatif.
- Selalu cukup minum air putih, biar konsentrasi, gak salah belok kiri atau kanan.
- Kalau nggak yakin, jangan masuk tol. Karena kalau di luar tol, kita bisa sewaktu-waktu menepi. Mayan, ngopi dulu di Sevel. Hlah.
- Kalau dapet driver yang sama culunnya, katakan dengan gamblang, "Pak, apakah Bapak yakin kita bisa sampai tujuan? Kalau nggak, saya ikhlas kok dicancel." Jangan PHP, "Kita cari aja ntar, Pak." Hahahah. Wassalam.

Kamis, 08 Desember 2016

[Jogja Trip, Part 2) Meleleh di Pantai Indrayanti dan Foto-Foto Manja di Hutan Pinus Imogiri

  8 comments    
categories: 
Assalamu'alaikum.

Yang belum baca Part 1 dilarang baca yang ini. Maksa harus baca semuanya. :v

So, hari kedua di Jogja, sewa mobil dari pagi karena mau ke Wonosari. Dari jauh-jauh hari anak-anak udah ribut mau ke pantai pokoknya. Nanya-nanya sama Mbak Irma (owner Pesona Jogja Homestay, tempat kami menginap) dan googling, katanya di Wonosari berjejerlah pantai-pantai syantiex berpasir putih. Ada beberapa pilihan, tapi akhirnya pilihan kami jatuh ke Pantai Indrayanti, salah satu pantai yang paling populer di jejeran pantai komersil di wilayah Wonosari.


Perjalanan dari kota Jogja kurang lebih makan waktu 3 jam. Safina sempet mabok di mobil karena ngelewatin jalan agak belok-belok, turun-naik. Maklum, bocah rumahan, hahaha. Kondisi jalan overall sih bagus, cuma di beberapa titik agak sempit sehingga kadang kalau papasan sama bis gede, terpaksa ngalah. 

Kami berangkat jam 9 pagi, dari rencana mau jalan jam 6 pagi. Yeah, right, jam 6 pagi. -_- Begitu masuk di area pantai komersil Wonosari, kami harus membeli tiket seharga Rp 9.500/orang. Pilihan pantai ada beberapa nama, dan itu bisa didatangi semua dengan tiket seharga itu. Pas dilihat-lihat, nama Pantai Indrayanti ternyata gak tercantum di tiket. Ternyata kata Dimas, guide kami, pantai Indrayanti memang bukan milik Pemda, melainkan milik pribadi, jadi tidak tercantum di tiket yang dikeluarkan Pemda. Tapi kita tetap bisa ke sana, kok. 


Mama cantik makin cantik waktu tepat jam 12 siang sampai di pantai, cwuyyn! Meleleh paripurna. Duhai! Tapi demi apalah, gak peduli foundation udah jadi bubur MPASI rasa kacang merah, pantainya tsakeeeppppp! Pasirnya banyaaak! Warnanya putiiih! Airnya biruuuu! Langitnya biruuu! Ombaknya indaaah! Dan ada bukit kecil di area kiri untuk yang pengen foto ala-ala memandang lautan dari ketinggian, sambil merenung, "Jodoh, di mana kau gerangan?"



Ah, pokoknya cucoklah Pantai Indrayanti. Anak-anak kayak gak ngerasain panas sama sekali, langsung jebar-jebur, main pasir, mondar-mandir gak tau ngapain aja. Akuh berteduh di bawah pos lifeguard, pakai topi lebar dan berharap hujan turun. Tapi doa saya tidak makbul. Seharian itu cerah banget, nyaris ngeselin panasnya. Saking aja lagi piknik, pantang kesel. Telen aja itu keringet rasa garem. 


Hayati hanya mampu bertahan sampai jam 2 siang, bukan karena kepanasan aja, tapi juga laper. Widhi kemarinnya ngusulin abis dari Wonosari, kami bisa melihat Hutan Pinus di Imogiri, gak jauh dari situ. Akhirnya kita bubar dan siap-siap cari makan sambil menuju Hutan Pinus di Imogiri. 





Alhamdulillaah, karena udah sore, plus suhu udara di Hutan Pinus ternyata lumayan sejuk. Lumayan buat ngadem sambil foto-foto. Nggak bayar kok masuk ke sana, cuma bayar parkir aja. Cantik beneran hutannya. Tapi ya, cuma itu aja sih. Adalah tempat foto di atas pohon model yang lagi nge-heits itu. Cuma Safina nggak mau naik, takut katanya. Ada hammock-hammock warna-warni terpasang di pohon pinus yang menjulang tinggi kurus, lagi-lagi, cantik buat foto-foto. Hihihihi. 

Hari ini, mission accomplished. Anak-anak happy, emak meleleh, bapak tepar. Besok lanjut lagi.

(Bersambung)

Rabu, 07 Desember 2016

Menyebar Inspirasi Lewat Hobi Lettering Art

  16 comments    
categories: 
Assalamu'alaikum.

Bismillaah.

Cerita ini berawal dari sebuah kegelisahan. Satu pertanyaan yang selalu terlontar dari ibunda sejak tiga tahun yang lalu, "Umur sudah hampir 40 tahun. Harus sudah berubah jadi lebih baik, atau kamu nggak akan berubah selamanya." 


Saya gelisah. Dan bingung. Sepuluh tahun terakhir ini bisa dibilang justru saya banyak membuat prestasi-prestasi penting yang harusnya membuat Mama bangga pada saya. Kenapa pertanyaan itu terlontar dari beliau? Apa menurutnya saya masih belum membuatnya bangga? Apa prestasi-prestasi saya selama ini, yang saya klaim sebagai kerja keras saya sendiri untuk menunjukkan jati diri saya sebagai seorang ibu dan perempuan, kurang besar baginya? 

Udah 40 tahun. nih. :)

Saya tanyakan pada diri saya sendiri, "Kamu bahagia, kan?" Saya berusaha tersenyum untuk menjawab, "Ya!" Lalu saya pandangi wajah polos anak-anak saya. Terlintas wajah Mama dan Papa. Lalu teringat sebuah nasihat yang begitu sering saya dengar dan baca, "Anak adalah pintu sorga kedua orangtuanya. Didiklah anakmu mengenal Allah, mereka akan jadi penyelamatmu di hari akhir." 

Tersedak. Kembali saya pandangi wajah kedua anak saya. "Duhai, akankah kalian menjadi penyelamatku kelak, anak-anakku? Cukupkah ilmu yang kusampaikan pada kalian sehingga menjadikan kalian mengenal Allah?" Apakah saya sudah cukup mengenal Allah? Lalu bagaimana nasib kedua orang tua saya nanti? Mereka tentu juga memiliki harapan yang sama atas diri saya, seperti saya kepada anak-anak saya. Bisakah saya menyelamatkan mereka di hadapan Allah kelak?


Tepat satu tahun yang lalu, setelah hampir dua tahun Mama meminta saya untuk mulai membaca Al Qur'an dengan rutin, memahami artinya, menghayati tafsirnya dan mempelajari semuanya, untuk kebaikan saya sendiri. Saya mulai membuka kembali Al Qur'an terjemah yang sudah lama saya miliki. Walaupun tidak setiap hari, tapi saya biasa membaca Al Qur'an itu. Hanya membaca, mengaji kalau kata orang kita. Sedikit pun tidak saya baca terjemah berhuruf kecil-kecil di samping jejeran huruf hijaiyah dalam Al Qur'an itu. Semata karena saya merasa kewajiban membaca Al Qur'an saya sudah tuntas hanya karena saya sudah menyelesaikan membaca satu juz dalam setelan rally. 

Saya mulai membaca perlahan arti tiap ayat yang saya baca. Terlintas sebuah keinginan untuk bisa menghafalnya. Dengan menghafal arti ayat-ayat suci itu, setidaknya saya tahu apa yang sedang saya baca. Tapi daya ingat saya sudah makin payah. Usia tidak lagi muda, penyesalan cuma akan membuang-buang waktu. Saya harus menemukan cara yang efektif dan menyenangkan agar proses ini bisa saya jalani. 


Hobi saya sejak kecil adalah menulis. MENULIS dengan tangan, memakai kertas dan pulpen. Entah berapa jumlah buku harian yang penuh saya tulis sejak saya berusia 12 tahun sampai sebelum menikah. Hobi itu terhenti ketika saya menikah dan punya anak. Waktu saya tersita dan internet menggantikan gerak tangan saya menggores tinta di atas kertas. Saya mulai lebih mahir menekan-bekan tombol huruf di keyboard komputer ketimbang menulis di atas kertas. Tiga novel yang diterbitkan menjadi saksinya. Blog ini juga salah satu hasilnya. 


Sementara itu, keinginan untuk bisa sedikit demi sedikit memahami arti ayat dalam Al Qur'an makin membuncah. Saya mulai mengambil selembar kertas dan sebuah pena. Menyalin arti tiap ayat yang saya baca dengan tulisan yang seindah mungkin yang bisa saya buat. Dimulai dari surat Al Fatihah, tekad saya bulat; ingin tuntas menyalin semua arti ayat dalam Al Qur'an mulai tahun 2016. Saya tahu ini terdengar ambisius sekali. Entah pun saya bisa memenuhinya atau tidak, tapi hati saya begitu berdebar karena semangat yang tidak terbendung. Lembar demi lembar penuh dengan tulisan tangan saya. Menyalin arti dari ayat demi ayat suci itu membuat saya mulai paham beberapa hal yang tadinya belum pernah saya tahu. Sedikitnya, beberapa ayat yang sering saya dengar, saya bisa hafal artinya. 

Ini tulisan tangan terjemah Al Qur'an paling pertama yang saya buat bulan Desember 2015

Lembar-lembar tulisan tangan saya itu saya kumpulkan ke dalam satu album di Facebook milik saya, sebagai penanda hari saya memulainya, dan semoga ada teman yang mau menemani perjalanan baru ini. Saya tidak menyangka sama sekali, dari sana terbuka sebuah pintu besar yang tadinya bahkan saya tidak tahu kalau ada pintu itu dalam hidup saya. Allah Maha Kuasa. Semudah itu bagiNya membuka dan menutup jalan hambaNya. Tanggapan dari teman-teman di Facebook sangat positif dan membuat haru, membakar semangat saya menjadi makin berkobar untuk menyelesaikan tantangan ini.

Tidak menunggu lama, beberapa teman mulai memesan tulisan/lettering saya. Tadinya saya jengah, apa iya mereka serius mau membeli? Sebagus apa sih lettering saya yang baru mulai ini? Saya pun mulai tertarik untuk melihat-lihat lettering art artist-artist di Instagram. Melongo-melongo sendiri melihat keindahan karya tangan mereka, lalu mulai sedikit-sedikit mencuri ilmu mereka dari video-video tutorial yang mereka bagikan. Allah memberkahi mereka yang ikhlas berbagi ilmu.


Pintu-pintu yang dibuka oleh Allah melalui niat awal saya yang ingin bisa menghafal arti Al Qur'an begitu banyak. Sampai saat ini saya masih merutinkan membuat lettering art terjemah ayat Al Qur'an setiap hari, sambil menjalankan apa yang sekarang malah menjadi bisnis hobi yang menyenangkan sekali dilakukan dari rumah.

Souvenir




Wedding Signs





Home Decoration




Mural for Business





Mengisi Workshop





Kids Fun Art Club
 


Satu hal baru yang saya pelajari setelah beberapa saat mendalami lettering art, alat yang digunakan ternyata tidak banyak yang menjual secara offline. Beberapa brand malah merupakan produk import yang hanya bisa ditemukan di online shop. Saya mulai rajin mencari-cari alat gambar yang spesifik di online shop. Daripada saya ke mana-mana, saya selalu mencarinya di Bukalapak, karena di sana berkumpul banyak online shop dari berbagai kategori.

Alat untuk lettering itu banyak banget macamnyaaa!

Hanya dengan mengetikkan kategori alat yang saya cari, semua online shop yang menjual alat tersebut langsung terbuka. Saya lebih leluasa memilih dan menimbang-nimbang harga. Selain itu, di Bukalapak saya selalu merasa transaksi yang saya lakukan aman, karena pelapak/penjual baru akan menerima uang yang saya bayarkan saat saya sudah mengkonfirmasi barang sudah diterima di tangan.




Bukalapak membantu kelancaran pekerjaan saya sekarang. Semoga bisnis yang diawali dari hobi ini kelak bisa berkembang dan yang paling penting selalu diberkahi Allah. Saya banyak belajar di HIJUP Magazine seputar perempuan-perempuan inspiratif yang sukses merintis bisnisnya (sambil kadang suka khilaf belanja jilbab sekalian, hehehe). Semoga niat saya selalu terjaga dan banyak orang yang ikut merasakan manfaatnya, syukur-syukur terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Saya terbuka banget lho kalau ada yang mau mengajak untuk belajar bersama. Sekarang ini saya sudah menyusun sebuah modul latihan untuk di rumah berupa Brush Lettering Starter Kit. Yuk, belajar lettering art! ;)

Starter Kit yang saya susun untuk latihan lettering sendiri di rumah.